Kamis, 26 Februari 2009

Catatan tentang aku, agamaku dan lingkunganku

Sebuah catatan

AKU INGIN BELAJAR AGAMA


Catatan Kaki.

Ketika saya pertama kali mengenal yang namanya agama Islam secara utuh, dibilang baru sekitar 3 tahun-an. Padahal saya sekarang ini berumur 34 tahun. Jadi menurut hitungan matematikanya , bahwa saya meninggalkan agama saya ( Islam ) kurang lebih 22 tahun. Karena, yang selama 10 tahun adalah masa belum aqil baliqh. Kurun waktu yang lama terhadap pengenalan tentang agama, adalah masa-masa yang terasa kosong dan tak terarah. Sepertinya kehidupan pada waktu lalu, seperti kapal-kapal yang bergerak tanpa nahkoda. Saya menyadari bahwa pada waktu itu memang mengenal bahwa agama itu penting, tapi ketika dihadapkan pada praktek untuk mengamalkannya terasa berat dan sulit,

Sekarang, Alhamdulillah setelah terjadi pengendapan pikiran, pemahaman dan instropeksi diri serta dengan mendekati lingkungan yang lebih baik, saya pelan –pelan belajar agama Islam secara utuh dan terarah. Bahwa ternyata Islam itu menyenangkan dan menyehatkan, baik sehat jasmani dan rohani. Ada daya kekuatan ketika sudah lebur dengan Islam. Bahwa agama itu tidak memberatkan justru sebaliknya bahwa agama Islam justru meringankan kehidupan saya. Tak ada perasaan takut akan kegagalan, tak ada perasaan takut terhadap kepapaan. Optimisme hidup akan selalu berkobar ketika kita sudah mengingat kepada yang patut untuk disembah yaitu, Allah SWT. Dialah yang menjadi kekuatan segala kehidupan kita.

Buku ini tercipta karena melihat lingkungan saya yang berkembang seperti kehidupan saya. Lingkungan saya bukan lingkungan agamis. Menarik saya kira, saya yang notabene tak tahu ajaran agama. Baca tulis Al Qur’an pun saya belum bisa,Surah-surah di Ayat-ayat suci Al ‘Qur’an hanya beberapa surah yang bisa saya hapal. Syari’at-syai’at agama pun yang saya tahu hanya sebatas ketika guru agama es de memberi pelajaran itu pun sekarang banyak yang saya lupa. Maka dengan melihat diri saya dan lingkungan saya yang non agamis, saya bisa membeberkan kekurangan-kekurangan muslim di lingkungan saya.Segala tokoh atau karakter dalam buku ini, memang saya buat imaginer dan fiktif. Sengaja memang, agar tak ada yang merasa tersinggung.Tujuan pembuatan buku ini hanya satu, mari belajar bersama untuk tuh bisa mempelajari agama Islam secara benar dan seimbang, tanpa ada yang terluka hatinya. Dakwah dan syiar agama Islam adalah tujuan saya dalam mengemban amanah dari Allah SWT. Sedekah yang saya mampu ini untuk diri saya, keluarga saya, lingkungan saya, masjid saya, agama saya, Rasull saya dan hanya untuk Allah SWT.Adalah pembuatan tulisan ini.

Semoga hadirnya buku ini, bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Buku ini saya buat menjadi beberapa jilid, tergantung perjalanan kembara penglihatan, rasa, batin dan imajinasi saya terhadap kehidupan agama pada diri saya dan lingkungan. Semoga dengan hadirnya buku ini, ada perubahan yang berati bagi semuanya. Akhir kata, selamat membaca. Semoga amalan kita bisa diterima oleh Allah SWT. Amin.

Klaten, 6 September 2008

Penulis

Dendy Rudiyanta



1. ABANGAN


Abangan. Itulah yang terjadi pada diriku. Aku tidak tahu artinya abangan. Yang aku tahu, konon istilah abangan diciptakan dalam masa orde lama, ordenya Bung Karno. Tokoh yang sangat dikagumi Bapakku. Konon lagi, istilah Abangan diciptakan untuk menghantam kaum muslimin dan kaum nasionalis serta komunis. Abangan mungkin berarti, dia islam tapi tidak melaksankan syariat agama, sunah dan hadits. Tapi dia mempercayai adanya Allah SWT. Banyak di kampungku yang beragama Islam, mungkin hampir 99 persen mereka beragama islam. Mereka sholat, tapi itu pun hanya jum’at-an dan sholat ied.Kalau pas waktu sholat maghrib maupun isya’ apalagi shubuh, jamaahnya hanya beberapa gelintir orang.Tak ada penambahan maupun pengurangan, ya stabil saja. Paling hanya 10 orang mentok-mentok 15 orang. Kalau dilihat, kampungku punya masjid yang cukup bagus, luas, fasilitas sarana dan prasarana untuk beribadah cukup lengkap. Tapi yang ke masjid tetap saja sedikit. Buat apa masjid dibuat bagus – bagus kalau tidak ada jamaahnya, buat apa masjid di perluas sampai bertingkat-tingkat, kalau jamaahnya hanya selusin. Kotak infak dibuat sampai berkotak-kotak, tapi yang ikhlas sedekah hanya segelintir. Justru, yang ada di masjidku, banyak sarana masjid yang dicuri. Kemarin, malah kran air buat wudhu di curi orang.

Kembali ke soal Islam yang Abangan, sesuai dengan namanya abangan berarti sebuah sinonim nama dari sebuah warna yang belum sempurna ( belum ke warna yang asli, belum menjadi abang beneran ) Jadi, sesuai namanya Islam Abangan berarti sesuatu yang belum utuh, masih mencari, bentuk yang benar. Konteks ini bisa berarti adanya proses belajar, mengenal, mempelajari dan mengerti. Baru setelah itu, menjalankan. Taraf ini yang terjadi dalam kampungku. Secara political historis geographis, kampungku mempunyaii daerah yang bernuansa nasionalis Bukan agamis . Kebanyakan masyarakatnya adalah kaum petani, birokrat ( Abdi Negara ). Dalam sejarahnya kampungku, selalu jadi barometer kekuatan politik. Setiap ( dulu ) lima tahun kampungku menjadi kekuatan partai nasionalis ( golkar / pdi ). Partai yang bernuansa hijau menjadi musuh utama untuk di kalahkan. Dari keadaan seperti itu, jelaslah secara psikis sosio masyarakatnya untuk mengenal agama khususnya agama islam sangatlah minim / terbatas. Itu terjadi dari generasi kecil sampai pemudanya apalagi yang sepuh. Padahal, kampungku memeluk islam hampir 90 %. Yang 10 % non muslim ( Kristen dan katolik ).Kegamangan untuk mengenal Islam secara benar dari masyarakat kampungku, masih perlu pemahaman dan kesadaran per individu.

Memang mengerjakan syarikat bukan dengan cara dipaksa,tapi dengan kesadaran penuh terhadap penyerahan diri dengan Sang Khalik,dan itu akan muncul sendiri dengan niat iklhas dan penuh.Keterpaksaan justru akan menjadi petaka, dan mempunyai kesan agama hanya sebagai tuntutan sosial dan kesungkanan terhadap yang menyuruh. Akhirnya yang terjadi adalah, secara phisik mereka menjalankan syarikat ( Sholat, puasa dan sedekah ) tapi dalam hati mereka berontak. Karena secara batin mereka tidak ( belum ) mau melakukan itu. Tapi karena yang menyuruh seorang tokoh, majikan atau atasannya akhirnya, dengan budaya ewuh – pekewuh, mereka pun melakukan apa yang disuruh. Islam bukan agama memaksa, tidak ada istilah ewuh – pekewuh, tapi kesadaran penuh yaitu ; penyerahan diri dengan Allah Jaa’alla.

Dan kondisi ini telah berlangsung mengakar di kampungku. Perubahan masyarakatnya pun sangat lambat. Dari Islam yang abangan menjadi Islam yang utuh, ini memerlukan proses yang lama. Aliran kejawen yang begitu kuat yang di telah didoktrinisasi oleh para leluhur telah menjadii pedoman yang tak bisa diowah-owah dan itu menjadi aturan tidak tertulis bagi masyarakatnya.

Islam ditengah masyarakat yang butuh penjelasan secara benar dan utuh, bukannya islam yang berdasar pada fanatisme,atau kebenaran sepihak oleh beberapa golongan di dalam Islam itu sendiri, justru akan membuat kebingungan kepada masyarakat yang diharapkan akan mengenal Islam sesuai dengan Al’Qur’an, sunnah dan hadits yang tentu saja shahih, secara utuh dan benar. Islam dikenal karena kedamaiannya, karena ke-fleksibelannya, karena mengatur segala permasalahan yang ada di muka bumi ini. Jadi, ketika ada pihak membenarkan bahwa ajaran itu benar, ajaran itu salah.Kenyataan yang terjadi malah terjadi diskontruksi dari ajaran islam itu sendiri,maka akan terjadi perselisihan yang mungkin tak akan berujung pada penyelesaiaan. Karena Pihak –pihak itu tetap akan mempertahankan argumennya terhadap apa yang mereka percayai.Masyarakat yang semula akan masuk islam dengan totalitas dan loyalitas batin yang ikhlas terhadap Allah SWT, justru akan bingung, takut dan bertanya-tanya. Islam kok begini, ya ? Mereka yang seharusnya dibimbing untuk mengenal islam tanpa pemihakan kepada golongan apapun dalam islam itu, bukan dengan cara, mengajarkan kebencian terhadap sesama muslim ( Al.Qur’an mengajarkan sesama muslim adalah saudara ) atau menyerang satu dengan yang lain. Pastilah akan berakibat mundurnya kita terhadap ajaran syiar islam itu sendiri.Apalagi ketika ada seseorang yang belajar tentang islam dan ingin bersosialisasi dengan sesama muslim. Ketika orang yang akan belajar itu ingin pergi berjamaah ke masjid lalu ada seorang yang merasa / paling tahu tentang islam, orang itu yang ingin belajar itu, langsung ditegur : Kok, dengaren ke masjid ?Apalagi langsung divonis , bahwa kamu salah. Orang itu pasti akan mundur lari. Dan tak akan kembali lagi ke masjid. Inilah yang disebut diskontrusksi dalam islam. Toh, hak preogratif dosa dan tidaknya, benar dan salahnya tetap terletak kepada Yang Satu yaitu : Allah SWT.

Klaten, 24 Feb 2008




2. SHOLAT WENGI




Saya teringat dengan tembangnya tombo ati, yang telah disadur oleh Kyai kondang Musatofa Bisri. Isinya adalah : Tombo ati iku limo perkarane, kaping pisan, moco Qur’an sakmanane, kaping pindho sholat wengi lakonono, kaping telung wong kang sholeh kumpulono, kaping papat weteng sira kudu luweh, kaping limo dzikir wengi ingkang suwe. Salah sawijinging sopo biso, nglakoni insya aaloh gusti alloh ngijabahi. Itulah saduran syair dari Gus Mus. Sederhana tapi mempunyai makna batin yang luas dan dalam khususnya, terhadap penyerahan diri secara total dengan Allah SWT.

Dalam tulisan ini,saya tidak akan membahas satu persatu kalimat dalam tembang di atas. Karena saya memang tidak mampu untuk mengejawantahkan lagu Tombo Ati itu. Tentu, bukan kapasitas saya untuk mengartikannya. Yang ingin saya bicarakan dalam tulisan ini, adalah tentang sholat wenginya. Kenapa saya tertarik dengan bait lagu yang mengajak kita untuk selalu ingat kepada Allah, dengan menjalankan sholat wengi ( sholat malam / lail ) ? Sholat wengi adalah termasuk yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Meski sholat wengi termasuk sholat sunat. Dari kalimat yang terkandung sudah berarti kita menjalankan setelah kita melakukan sholat wajib dan dilakukan pada waktu malam ( setelah sholat isya’).

Sholat wengi memang kegiatan ibadah yang sulit untuk dilakukan.Karena waktunya yang berada pada waktu malam hari.Dan ibadah sholat itu dilakukan ketika orang seharusnya beristirahat ( tidur ).

Ada sesuatu yang bermakna dan bermanfaat ketika kita melakukan sholat wengi. Ada nilai sendiri ketika kita melakukan ibadah sholat wengi. Ketika malam sudah beranjak dan orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya. Orang-orang yang beriman, akan bergegas melakukan sholat wengi ( tahajjud / hajat ). Keheningan malam adalah muara doa yang InsyaAlah akan didengar oleh Allah. Keheningan dan sakralnya malam, adalah sesuatu yang dibutuhkan batin untuk mengasah dan berkomunikasi dengan sang Khalik. Melakukan dzikir, munajat secara tawadhu’.Ketika suara malam sudah mendekat, dan keheningan sudah kita dapat, yang didengar hanya suara binatang malam, seakan bersama-sama bertasbih meng-agung-kan nama Allah SWT.Inilah saatnya segala raga jiwa, pasrah meminta ampunan agar dosa-dosanya diampuni oleh-Nya. Atau memohon harapan yang lurus dan bersih kepada Allah SWT.

Klaten, 26 Maret 2008



3. Assalamu’alakum, Pak Haji !




Aku punya tetangga, tahun kemarin naik haji. Namanya Pak Wanto seorang pengusaha toko kelontong yang cukup sukses. Istrinya seorang guru TK ABA.Pak Wanto memang orang bodoh, naik haji Karen telaten terhadap usahanya. Dulu pada waktu kecil tak lulus esde, hanya mentok kelas tiga esde. Karena memang otaknya sulit untuk menghapal mata pelajaran yang diberikan gurunya. Karena orang tuanya miskin,dan dulu katanya terkena pasal subversif karena dituduh oleh pemerintah orba, bapaknya terlibat sebagai antek PKI.Waktu remaja, katanya sudah bekerja sebagai laden tukang di Yogya ikut liknya.Orangnya supel, grapyak semanak, setiap orang diluruhinya sambil tersenyum lebar. Istrinya pun demikian, selalu tersenyum, sumeh, dan tak pernah bermuka masam. Mungkin, itu adalah resep dari Pak Wanto. Bahwa, usahanya maju pesat mungkin karena senyumannnya itu. Dan, Alhamdulillah tahun musim haji kemarin Pak Wanto bisa naik haji bersama istrinya. Itulah Pak Wanto, seorang yang sederhana, bodoh tapi bisa naik haji dengan jerih payah usahanya.Sekarang Pak Wanto, punya gelar Pak Haji Wanto. Memang cukup membanggakan.

Memang jaman sekarang bisa naik haji itu gampang. Yang penting punya uang, hanya paitan bisa hapal satu dua surah di Al.Qur’an cukup. Tidak usah harus fasih baca Al.Qur’an, tidak harus sering keluar masuk masjid,atau keluar masuk majelis pengajian. Pokoknya punya uang, sudah cukup. Apalagi sekarang banyak biro-biro jasa perjalanan yang bisa mempermudah orang bisa naik haji maupun umroh. Uang ternyata memang segalanya.

Haji bagi orang dulu sangatlah sakral adanya. Dan hanya orang-orang yang mampu bisa menunaikan haji. Kata mampu disini bukan berarti hanya materi saja. Tapi mampu segalanya. Baik, mampu materi, agama, norma lingkungan dan perilaku terhadap sesama ciptaan Allah SWT.

Tapi sekarang di jaman yang serba komputer ini, haji hanyalah sebagai hiasan sosial dan politis.Bayangkan dari orang yang hanya sekali bisa hapal tata cara sholat, wudhlu dan beberapa surah di dalam Al Qur’an. Karena punya uang dan ingin dianggap sebagai orang yang sholeh, mereka sudah bisa naik haji. Orang ingin mencalonkan sebagai pejabat politis kalau tidak pakai titel haji, sepertinya kurang sreg. Karena haji merupakan sebuah symbol status sosial seorang pejabat politis. Pencitraannya akan naik ketika dia bisa memakai titel haji.

Padahal, ketika orang menyandang gelar haji. Pastilah sangat berat, karena ini menyangkut amanah dari Allah. Bahwa segala tindakan, perbuatan, tutur kata dan kehidupannya, haruslah memenuhi segala aturan Allah SWT. Karena seorang haji bukanlah predikat yang hanya bertahan sesaat. Tapi selamanya sampai kita mati Ibadah haji adalah sebuah perjalan sprituil dari seorang muslim untuk memenuhi sebuah panggilan suci ke Baitullah. Kesiapan harus dilakukan oleh seorang yang akan menjalankan ibadah haji. Phisik dan rohani haruslah bersinergi ketika menjalankan ibadah haji. Memang, haji adalah tujuan semua muslim, ketika kita mampu. Baik materi, maupun perilaku kehidupan kita. Bukan haji, ketika ada orang mengucap. Assalamu’alaikum, Pak Haji. Pak hajinya malah menjawab, Wakampul-kampul…..

Klaten, Juli ‘08




4. PENGAJIAN BAPAK-BAPAK




Sudah hampir empat bulan ini, masjidku mengadakan pengajian untuk bapak-bapak. Karena yang Ibu-ibu, atau kaum perempuannya sudah rutin hampir lima tahunan mengadakan pengajian. Tapi, kalau yang bapak-bapaknya, ya, baru empat bulanan berjalan. Awalnya adalah sebuah niat untuk mengerti agama secara betul, menyuburkan masjid dan sarana ber-sosialisasi dan silaturahmi antar warga.Awalnya dulu semua bapak-bapak rajin datang, penuh ke-ingintahuan yang tinggi. Seluruh ruangan masjid penuh. Apalagi ada yang sudi bersedekah memberi minum dan snack. Pembicaranya pada waktu itu, hanya dari kampung sendiri. Dipilih orang-orang yang dianggap ngerti agama. Setiap pengajian selalu diisi dengan diskusi, dan dialog interaktif seluruh orang yang hadir. Pokoknya hati ini terasa sejuk. Ketika melihat antusias orang-orang yang hadir di pengajian tersebut. Saya berpikir, apakah orang-orang di kampungku sudah berubah ? Yang dulunya hanya mengenal agama secara sederhana dan grambyangan. Apakah sekarang mereka memang ingin betul mengenal Allah secara utuh dengan cara mengikuti pengajian rutin setiap bulan itu ? Ataukah mereka hanya ingin kumpul-kumpul saja, tanpa mengambil subtansi pengajian yang diikutinya ? Ataukah hanya ingin makan dan minum gratisan yang disediakan oleh orang dermawan ? Tema-nya pun dibuat sesederhana mungkin dan tidak terlalu berat. Hanya masalah keseharian-harian. Atau lebih singkatnya tentang masalah syari’at. Misalnya tentang cara berwudhu, sholat, sholat jenasah, adab di dalam masjid, sholat berjamaah dan lain-lain.

Pengajian rutin terus berlangsung.Yang kutakutkan terjadi. Sudah hampir dua bulan ini, atau dua kali pengajian bulan terakhir ini, yang hadir bisa dihitung dengan jari kaki dan jari tangan. Tak lebih dari dua puluhan orang. Padahal kalau awal-awalnya hampir tujuh puluh sampai sembilan puluhan orang yang hadir. Tapi sekarang terjadi penurunan yang signifikan. Masya Allah.Memang, ada berbagai macam alasan setiap kali aku tanyakan kepada orang-orang yang tidak bisa hadir dalam pengajian. Jawabannya pun juga macam-macam. Ada yang alasannya, lupa, kurang enak badan. Ada yang tidak senang dengan tema pengajiannya. Ada yang sentiment terhadap pembicaranya karena sering menyindirnya. Pokoknya macam-macam alasannnya. Aku hanya diam dan memaklumi semuanya, tanpa berpikiran su’udzhon terhadap mereka. Aku berpikir positif saja. Mungkin alasan mereka untuk tidak hadir dalam pengajian itu, memiliki dasar yang kuat.

Kalau dilihat secara sederhana dan simple, memang pengajian itu adalah sebuah bentuk nilai ibadah.Yaitu, sedekah ilmu. Dari orang yang mengerti sebuah ilmu berusaha untuk memberi ilmu yang didapat kepada orang-orang yang belum mengerti ilmu tersebut, khususnya ilmu tentang agama.Diharapkan orang-orang yang belum mengerti itu akan menjadi lebih mengerti dan lebih tahu tentang betapa pentingnya kita untuk menyembah kepada Allah. Kalau tanpa pengarahan, tanpa ada yang memberitahu atau memberi ilmu, mana mungkin ada yang mengerti. Apalagi ditambah lingkungan yang tak mendukung. Yang dilakukan orang-orang atau lingkungan itu hanya urusan dunia saja. Tanpa mempedulikan urusan akhirat. Pastilah akan terjadi ketidak seimbangan kontrol manusia terhadap kesejatian arti hidup. Hidup untuk apa ? Siapa yang membuat kita bisa menjadi begini ? Dan juga untuk, sarana instropeksi terhadap tindak tanduk kita.Kaya - miskin, sehat - sakit, untung - rugi,rejeki - bencana adalah sebuah perjalanan siklus kehidupan manusia yang selalu ada. Itulah kehidupan dunia yang tidak ada abadinya. Dan Allah menggariskan semua itu. Pengajian mengajarkan kepada kita semua untuk saling mengingatkan satu sama lain. Dan daya telaah dan instropeksi menjadi hal utama dalam mengerti sebuah bentuk kegiatan pengajian. Sesauatu yang baik harusnya menjadi sangu untuk langkah ke depan. Dan sesuatu yang buruk yang tidak pas di hati kita, menjadi catatan sendiri untuk didiskusikan menjadi bahan kajian.Itulah intinya sebuah pengajian. Tak ada yang buruk dari acara kegiatan pengajian. Karena pada dasarnya pengajian pastilah memberi pencerahan kepada hal-hal yang baik. Pengajian buruk kalau sudah mencoba saling menjelek-jelekkan antar sesama muslim.Memberi justifikasi ( pembenaran ) bahwa, hanya ajaran inilah yang benar, tanpa ada dialog yang sehat lebih dahulu. Apalagi ditambah dengan istilah me-bid’ah kan kepada tata laku seorang muslim maupun kelompok tertentu. Seharusnya sebuah pengajian itu, memberi kesejukkan kepada yang mendengar, bertambahnya ketaqwaan kita terhadap Allah SWT, dan saling berkasih sayang sesama muslim. Bukan dengan cara saling adu fitnah sesama muslim. Bukan itu. Dan Allah lebih mengetahui siapa yang akan dipilihNya. Wallahu’alam.

Klaten, Agt ‘08




5. SADRANAN PENTINGKAH ?




Setiap bulan Ruwah, menjelang akan datangnya bulan Ramadhan, masyarakat Jawa selalu disibukkan dengan ritual jawa, yaitu : Sadranan.Sadranan diambil dari bahasa Sangsekerta yang berarti Sadra yang menemu arti : Sesaji.Tradisi nyadran tidak lain adalah sebuah ritual ziarah ke kuburan kepada keluarga yang telah mendahului mereka bertemu Sang Khalik. Tradisi nyadran sudah dilakukan sejak Jaman Majapahit ( kebudayaan hindu / budha ), yaitu upacara Sradha. Upacara Sradha mengambil arti, yaitu : Berbakti kepada orang tua.

Kalau kita membahas masalah ritual atau kebudayaan Jawa, khususnya : Ritual nyadran yang dilakukan setiap menjelang bulan Ramadhan, memang tidak ada kaitannya dengan sebuah aqidah agama maupun syarikat agama, khusunya agama Islam , maupun sunnah Rasul. Kita perlu berpikir secara jernih dan bijak. Bahwa, kebudayaan berbeda dengan sebuah keyakinan yang didasarkan dengan ajaran agama yang datang dari langit ( Illahiyah ). Kebudayaan adalah proses dinamis dari sebuah masyarakat guna untuk memberi spirit kehidupan yang lebih baik. Misalnya : saling berkumpul, gotong royong,bersedekah, bersih desa dll. Dan agama adalah sebuah ajaran keyakinan penuh bahwa kita hidup harus memiliki sebuah keyakinan, bahwa semuanya yang ada di alam jagat raya ini ada yang mengatur, yaitu : Allah SWT. Dari keyakinan kita terhadap adanya Allah ( ke-tauhid-an ), yang mengatur perjalanan kehudupan kita, maka kita mempunyai kewajiban untuk menyembahNya, dan mengkuti segala aturannya ( amar ma’ruf nahi mungkar ). Dengan segala cara yang telah diatur melallui sebuah aqidah, syarikat dan sunnah Rasul.

Agama tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pengakuan dari keyakinan manusia itu sendiri. Pengakuan bahwa Allah itu ada, disampaikan oleh seorang Nabi maupun Rasul-rasulNya. Sang pembawai wahyu pun tidak bisa berdiri sendiri, mereka harus beradaptasi dengan sebuah lingkungan yang asing. Karena pada awalnya mereka adalah sebuah kaum yang tidak mengenal adanya Allah. Rasul pasti dibantu oleh sahabat-sahabatnya untuk menyampaikan pesan dari Allah. Jadi agama memang harus menjadi sebuah bagian kehidupan manusia yang mempunyai kewajiban untuk mengetahui siapa dirinya dengan cara berkomunikasi dengan Sang Pencipta ( baca syahadat,sholat, puasa, zakat, haji ).

Agama terasa bisa mengalir dan diterima oleh masyarakat yang notabene adalah masyarakat yang tidak / belum pernah mengerti siapa yang mengatur semunya ini.Maka diperlukan sebuah formula atau cara, bagaimana agama itu bisa diterima dalam sebuah kultur ( budaya ) masyarakat.Meski dengan cara dimodifikasi penyampain yang fleksibel tidak memaksa maupun dengan kekerasan.

Seperti yang diuraikan di atas tadi kebudayaan berbeda dengan sebuah keyakinan / agama. Dalam kultur masyarakat Arab atau Timur Tangah yang secara sosio masyarakatnya adalah berdagang dan secara temperamen ( watak ) adalah keras dan tegas, secar phisik anatomi manusianya pun tinggi-tinggi, gagah dan berwajah garang. Secara geographis alam lingkunagn di tanah Arab adalah, beriklim panas dan kering. Ini akan menimbulkan efek gaya masyarakat yang keras dan tak pandang bulu. Maka, ketika Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Rasul oleh Allah SWT, Rasulpun mengikuti kultur masyarakat Arab yang pada waktu itu terkenal dengan Jaman Jahiliyah-nya. Rasul pada waktu sangat keras jika orang-orang suku Qourays dan bangsa Yahudi/ bani israil menentang agama Islam, maka hanya satu cara Rasul merubah cara perilaku untuk menyembah Allah atau menyadarkan mereka, yaitu : berperang ( di dalam Al Qur’an Allah SWT telah mengijinkan kepada Rasul untuk memerangi kaum kafir dengan cara berperang ). Meski pada waktu itu, banyak cerita tentang perjalanan Rasul sebagai orang yang penyayang,sering memaafkan musuh-musuhnya dan lain sebagainya. Tapi, pada umumnya syiar agama Islam di jaman Rasul kebanyakan adalah berperang. Karena memang kultur yang berkembang pada waktu jaman Rasul adalah penuh dengan kekerasan dan kejahiliyah-an.

Ini berbeda dengan syiar yang dikembangakan di Indonesia, khusunya pulau Jawa. Secara sosio masyarakat, orang jawa itu halus, penuh dengan perasaan, gampang memakai hati dari pada otot. Dan secara geographis, pulau jawa adalah pada dulunya adalah sebuah pulau yang gemah ripah loh jinawi,toto titi tentrem kerto raharjo, makmur dan sejahtera.Maka ketika sejumlah khalifah islam yang datang dari banyak negeri seberang datang ( Gujarat, irak, Pakistan, India, cina dll) ke pulau Jawa, syiar agama Islam belum berhasil diterima oleh sebagian besar masyarakat di pulau Jawa. Karena pada waktu itu, ajaran Animisme, dinamisme, paganisme yang dikembangkan oleh para leluhur mereka ( Hindu / budha ) masih dipegang kuat, serta bercokolnya kekuatan kekuasaan Majapahit, maka syiar yang dikembangkan oleh orang-orang di atas tidak berhasil . Karena pendekatan ( Approach culture ) dari para Khalifah di atas, masih pendekatan gaya mereka di tanah kelahirannya. Yaitu, penuh dengan kekerasan tanpa mempedulikan kultur yang ada di masyarakat Jawa. Maka, pada generasi ke 3 ( tiga ) ke-khalifahan \Wali Sanga, muncul lah tokoh pribumi asli pulau Jawa, Yaitu : Raden Sahid ( putra Raja Demak ) Alias Sunan Kali Jaga. Sunan Kali Jaga yang asli Jawa, pastilah sudah sangat mengenal tentang seluk beluk tradisi Jawa yang telah berafiliasi dengan ajaran Hindu / Budha. Sunan Kali Jaga dengan teori pendekatan budaya yang maha tiggi dan dengan kesantunannya berdekatan dengan rakyat kecil, syiar agama Islam pelan-pelan bisa diterima di kalangan masyarakat Jawa. Tanpa meninggalkan 100 % kebudayaan yang sudah berkembang selama ini. Bagaimana sang Sunan mengembangkan bentuk syiar agama dengan cara menciptakan sebuah bentuk kesenian misalnya : wayang, lagu-lagu dolanan yang berisi tentang ajaran agama Islam yang sangat kuat (Lakon wayang Jamus Kalimosodo ,Lelagon Ilir-Ilir, Cublak-cublak Suweng, ajaran tombo ati )Sunan Kalijaga dalam menyebar ajaran agama Islam, juga melihat bahwa kultur Jawa adalah kultur yang senang berkumpul, membicarakan sesuatu secara bersama-sama, gotong royong dll. Dengan kepekaan yang adi luhung, Sang Sunan membuat terobosan yang tanpa meninggalkan kebudayaan terdahulu, yaitu : Ziarah kubur, Pembacaan Yasin dan Tahlil, Yoquwiyu, serta Sadranan dll. Kebudayaan atau tata laku secara duniawi atau phisiknya, adalah ajaran kebudayaan hindu ( Memakai sesaji, kembang, payung dll ) tapi, secara batin ( Ke-ilahiyah-an )adalah memohon keselamatan,pengampunan,kepasrahan hidup hanya kepada Allah SWT.Itu yang paling penting, hanya mengingat kepada Allah, meski secara sunnah Rasul ajaran atau tata cara di atas, tidak ada. Karena masa, keadaan serta situasi sangat berbeda dengan yang di ada di Jawa. Dilihat Secara nalar dan logika, seandainya pada waktu itu Sunan Kali Jaga menerapkan pendekatan kebudayaan dengan cara pendekatan gaya Rasul atau sahabat-sahabatnya, dipastikan orang Jawa tidak ada yang beragama Islam. Dan kemungkinan besar Indonesia bukan sebagai Negara Islam terbesar di Dunia. Karena syiar cara Rasul untuk menyampaikan wahyu dengan cara berperang. Sedangkan Sunan Kali Jaga dengan cara pendekatan kebudayaan masyarakat yang sudah ada. Dengan cara dimodifikasi, dikurangi secara pelan-pelan, lalu dimasuki ajaran Islam yang sesuai dengan Al’Qur’an, hadits dan sunnah Rasul. Maka, kesimpulannya adalah Sunan Kali Jaga lah yang tahu bagiamana syiar agama tanpa ada yang tersakiti, terluka, maupun saling mengejek. Satu sama lain saling bersahabat, tak ada yang saling memusuhi. Karena ajaran yang dikembangkan penuh dengan kedamaian. Seperti arti Islam itu sendiri yaitu : damai. Kalau sekarang banyak bermunculan spekulasi silang pendapat tentang budaya nyadran. Ada yang mengatakan nyadran bukan ajaran Islam. Memang benar, nyadran bukan ajaran Islam. Karena Islam tidak ada ajaran atau syarikat tentang nyadran. Tetapi nyadran atau sadranan adalah sebuah kebudayaan asli dari Pulau Jawa ( khususnya Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur ) sebagai salah satu sarana syiar Islam. Dengan cara berkunjung, saling silaturahmi, mendoakan keluarga yang sudah meninggal, membersihkan makam keluarga yang sudah meninggal, mengingat kematian, sarana berkumpul dan bersedekah dengan sesamanya dan lain sebagianya. Maka, kalau pembahasan ini, hanya menyinggung masalah phisiknya saja berkaitan dengan masalah ritual sadranan, yang bukan merupakan sunah Rasul atau ajaran agama islam, maka permasalahan ini tak akan pernah selesai. Islam tidak mungkin mengajarkan kepada umatnya memberi sesaji, memberi kembang dan ubo rampe kepada orang yang sudah meninggal. Tapi, seperti yang diuraikan di atas, sadranan adalah sebuah kebudayaan yang lahir untuk mengenalkan Islam secara halus bukan dengan cara radikal dan penuh dengan pemaksaan . Jadi, sadranan bukan ajaran agama. Hukumnya pun jelas, ketika agama tidak dilksanakan secar benar, hukumannya adalah siksa neraka yang pedih, sifatnya pun obsulute dan pasti.Agama dibuat oleh Allah SWT, yang disampaikan oleh para nabi dan Rasul-rasulNYa,yang bertujuan untuk menyembahNya. Aturannya tidak bisa diubah-ubah ( Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji ) Tapi, sebuah kebudayaan yang ditinggalkan oleh seseorang, atau sebuah kelompok masyarakat ,hukumnya adalah, sangsi sosial politik yang datang dari masyarakat itu sendiri dan sifatnya tidak obsulute ( mutlak ).Dan sering system atau aturan sebuah kebudayaan itu, akan berubah-ubah sesuai dengan kondisi, keadaan maupun perkembangan yang terjadi dalam sebuah system masyarakat itu sendiri.

Marilah kita sesama muslim, sesama masyarakat Jawa yang mempunyaii kebudayaan tinggi nomer 2 setelah Cina. Bisa membuka wacana berpikir yang sehat. Agama itu penting dan hukumnya wajib. Tapi, kebudayaan juga tak kalah penting untuk menumbuhkembangkan rasa kebersamaan, gotong royong, saling tegur sapa, bersilaturahmi serta bersedekah. Maka dua-duanya harus berjalan seimbang. Sesuai dengan ajaran Rasul, Hablouminannas, hablouminnaAllah.Toh, sebuah kebenaran hakiki, yang tahu hanyalah Allah Ja’Alla. Allah tahu yang tersembunyi, yang benar dan salah ( haq dan batil ). Serahkan semuanya hanya kepadaNya. Amin.

Demikian uraian dari saya. Bila ada salah penyampaian makalah ini, sebagai manusia pastilah saya selalu akan ber-instropeksi diri dan tak akan mengulangi kesalahan kembali. Dan bisa menjadikan kesempatan yang lain menjadi lebih baik dan bermanfaat. Terima Kasih semoga bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Wasallam.

Trucuk 9 Agsutus 2008



6. SUARA ADZAN YANG TIDAK TERDENGAR.




Saya jadi grengseng ketika melihat masjidku sudah semakin makmur, kalau maghrib-an dan sholat isya’ sudah ada beberapa shaf yang penuh dengan ma’mun nya. Mungkin sudah ada perubahan lagi di kampungku. Hanya sayangnya kalau suara adzan yang dikumandangkan oleh seorang muadzin suara sound yang keluar pelan sekali. Jadi perlu penajaman telinga agar tidak ketinggalan sholat berjamaah di masjid.

Kalau masalah sound itu , sebenarnya adalah masalah gampang. Sepele. Tinggal panggil pemuda kampung yang lulusan atau masih sekolah di SMT Jurusan elektro, untuk memperbaiki sound masjid. Itung-itung latihan plus ngamal, pastilah selesai.

Sebenarnya masalah adzan yang tidak terdengar adalah masalah niatnya. Kalau niat kita akan sholat jamaah, pastilah ketika waktu sholat, kita seharusnya sudah siap untuk menunaikan sholat jamaah di masjid. Kebiasaan kita selalu tergantung kepada tekhnologi. Termasuk dalam mendengar suara adzan harus menunggu suara adzan itu keluar dari sound.Kemanjaan kita terhadap tekhnologi sudah mengakar. Seandainya tekhnologi tidak sesuai, apakah kita juga harus berhenti. Tidak juga, bukan ?. Tekhnologi adalah pendamping manusia untuk kehidupan yang lebih baik, tapi tekhnologi juga jangan sampai mengalahkan kita. Kita yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Semuanya tergantung niat kita terhadap diri kita sendiri. Ketergantungan dengan segala hal yang berbau materiil menyebabkan kita akan terkukung dengan alur duniawi yang belum tentu benar.

Sebagai muslim ada panutan dan pedoman kita, yaitu : Al’Qur’an, Hadits dan Sunnah Rasul.Itu yang menjadi pedoman kita. Di jaman Rasul tidak mungkin ada tekhnologi secanggih ini, tapi semuanya pada waktu itu dengan niat tulus ingin melaksanakan ibadah jamaah, mereka berduyun-duyun pergi untuk melaksanakan sembahyang. Memang beda alam dan kondisi dulu dengan sekarang. Tapi yang menjadi subtansi dari hal di atas, adalah, siapa yang butuh ? Allah atau kita manusia ?

Tentu saja jawabannya adalah, kita yang butuh dengan Allah.

Klaten, agustus ‘08



7.PERBEDAAN




Malam minggu kemarin aku diajak ngborol dengan Takmir masjidku. Ngobrolnya di warung kucingan pinggir jalan kampungku. Dengan nyruput segelas teh panas, dengan hidangan tempe mendoan yang kemebul serta ditemani beberapa batang rokok, aku di ajak ngalor ngidul jagongan masalah situasi kampungku. Aku sebetulnya males kalau jagongannya hanya ngrasani para pemimpin negeri ini yang sudah lupa diri, para pemilik partai yang selalu mementingkan diri sendiri, apalagi nggrenengi para pejabat / perangkat desa yang sering selingkuh, aku sudah bosan dan muak. Digrenengi terus-terusan oleh rakyat, toh tak ada perubahan sama sekali. Malahan tambah susah dan menjadi-jadi . Rakyat sudah banyak hutang ke sana - sini, gali lubang tutup lubang. Eh jebule, jagongan malam minggu kemarin tidak nggrenengi masalah negara ini tapi, membicarakan masalah situasi kampung ini. Ya, situasi kampung, yaitu masalah agama. Aku penasaran, karena selama ini aku lagi seneng-senengnya ingin sinau agama. Aku tanyakan kepada Takmir masjidku itu, kenapa dengan situasi agama di kampungku ?. Katanya Takmirku, bahwa sekarang kampung ini sudah kemasukan paham-paham ajaran Islam yang medeni. Aku tanyakan lagi, medeni bagaimana ? Takmirku bilang, bahwa sekarang ada beberapa orang yang menyisipi setiap pengajian dengan ajaran baru yang katanya benar dan sesuai sunnah Rasul. Dan katanya lagi, bahwa kebiasaan atau tradisi dari kampungku dianggap bid’ah. Atau tak sesuai yang di ajarkan Rasul.Takmirku dalam hal ini sebagai orang yang mempunyai otoritas dalam hal syiar, dakwah dan kesejahteraan masjid, merasa takut akan terjadi kegoncangan dan ketidak stabilitas- an sosial budaya di kampungku. Aku pun hanya mantuk-mantuk saja, aku mengerti dan ingin sekali membuat sebuah jalan keluar. Tapi karena waktu sudah mepet dan larut,dan sepertinya penjual warung kucingannya sejak tadi klakepan terus, aku pamit pulang. Aku ingin berpikir sejenak.

Konteks di atas adalah permasalahn tentang perbedaan,. Beda persepsi, beda pandangan dan beda melihat kasus per kasus ( kasuistik ).Orang-orang yang ingin merubah tradisi dari kampungku, mungkin melihat dari cara pandang mereka benar. Begitupun juga Takmir dan kampungku memandang tradisi yang sudah berkembang jangan di otak – atik , juga benar. Melihat dua perbedaan itu, kita harus berpikir jernih dan bijak. Kalau semua berpikiran dengan philosopis pokoknen, diskusi tak bisa jalan. Deadlock, istilah kerennya.

Marilah kita pilah satu persatu-satu. Sunnah Rasul adalah sebuah kebiasaan Rasul pada waktu itu. Dan itu seyogyanya memang harus diikuti oleh para muslimin. Tapi, sunnah Rasul yang memang tak sesuai dengan situasi jaman dan kondisi apa memang harus ditransformasikan ke ranah kehidupan sekarang ? Secara rasional itu sulit. Contohnya pada waktu dulu Rasul dalam dakwah Islam selalu menggunakan kendaran yaitu, onta. Pakaiannya pun sesuai dengan keadaan di padang pasir. Dengan jubah yang panjang, dengan terompah di kakinya, dengan penutup kepala untuk menghindari terik panas dan debu. Apa itu harus diikuti di jaman sekarang ? Jawabannya jelas, itu tidak mungkin. Kita mempunyai sepeda, kendaraan bermotor, mobil, pakaiannya pun sesuai dengan alam sekarang. Tradisi yang berkembang pun kalau memang tak sesuai jaman harusnya memang harus di tinggalkan Misalnya, membuat kenduri yang berlebihan. Kadang banyak nasi, sayuran yang terlalu banyak, jadi terbuang karena kebanyakan alias mubadzir, memberi sesaji yang berupa kemenyan, memberi taburan bunga mawar di atas kuburan dll. Tapi dari dua perbedaan itu, marilah kita mengambil sebuah kalimat yaitu, tujuan. Tujuannya kepada siapa ? Pada prinsipnya orang / masyarakat yang melakukan itu semua, atau tradisi itu dilakukan karena mereka telah diberi nikmat oleh Allah SWT, dengan cara memberi sedekah kepada lingkungannya. Rasa syukur kepada Allah itulah yang diungkapkan lewat tradisi itu. Jadi intinya permintaan itu tetap kepada Sang Pencipta alam semesta ini, yaitu Allah SWT,.. Lain cerita kalau permintaan dalam kendurinan, yassin tahlil ada doa-doa yang diminta selain Allah., misalnya : yang mbaurekso kuburan si anu, penunggu pohon ringin mbah anu dan lain sebagainya.Baru kita bisa bicara bahwa itu dosa besar yang tak akan diberi ampun oleh Allah SWT.

Perbedaan itu wajar, dan memang kehidupan di dunia ini di haruskan ada perbedaan. Tapi, melihat perbedaan itu jangan sampai membuat kita mengalami perpecahan, khususnya sesama muslim. Ukhuwah Islamiyah, hablouminanass dan hubungan horizontal kepada masyarakat harus kita junjung tinggi, tanpa meninggalkan dan tetap berpegang teguh kepada aturan Allah yang sesuai ajaran di Al Qur’an. Kita manusia tidak bisa mengatakan bahwa hal-hal yang masih bersifat meragukan, samar di katakan dosa, bid’ah, tak diterima Allah dan lain sebagainya. Tapi jelas, ketika orang melakukan dosa yang tertuang dalam Al Qur’an dikatakan dosa atau melanggar aturan Allah SWT. Misalnya, berzina, mencuri, musyrik, tak pernah sholat, tak pernah puasa,tak pernah bersedekah dan lain sebagainya Oke, hal-hal tersebut baru bisa dikatakan DOSA.Tapi kalau sifatnya masih samar dan penuh dengan dalil-dalil hadits yang berwarna-warni, itu belum bisa dikatakan bahwa perbuatan, kelakuan, amalan kita dikatakan tak diterima Allah alias berdosa. Padahal, secara nalar bahwa sesuatu yang baik dan mendatangkan kebaikan adalah hal yang di cintai oleh Allah SWT.

Kesimpulan dari kegelisahan Takmir masjidku, adalah wajar. Tapi tidak perlu disikapi secara ekstrim dan emosi. Biarlah semuanya berjalan. Kenapa kita tidak mengurusi atau melarang orang-orang yang berbuat maksiat ? Orang-orang Kristiani yang selalu menyebarkan misi misionaris mereka terhadap para muslim ? Orang atau pejabat yang melakukan korupsi, mencuri uang negara ? Atau mengajak orang-orang yang katanya memeluk agama Islam untuk sholat lalu pergi ke masjid ? Sebetulnya itu tugas dasar kita terhadap dakwah, syiar, jihad islamiyah terhadap agama kita ini. Kenapa kita harus berkutat kepada hal-hal yang sudah mapan,sejuk, damai dan penuh kebaikan bagi orang banyak, justru dipersoalkan ? Kembalilah kepada penilaian Allah. Dialah Yang Mempunyai hak penilaian kepada tingkah laku kita di bumi ini. Dialah Yang Maha Mengetahui, Allah lah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.Semoga kita termasuk orang-orang yang disayangi oleh Allah SWT. Amin Ya Rabbilalamin.

Klaten, Agustus 2008





8. RAMADHAN




Hari ini kampungku agak ramai. Karena sebentar lagi bulan yang penuh pahala akan datang. Masjidku sudah mulai ada kegiatan bersih-bersih. Sound yang tadinya suara yang keluar pelan,sekarang sudah diperbaiki. Malahan suaranya agak kebanteren, sepertinya malah mbrebeki. Tapi nggak apa-apa, toh yang keluar dari suara sound itu adalah suara untuk mengajak untuk menuju kebaikan. Jadi kebanteran dan mbrebeki pun tak jadi masalah. Karpet-karpet juga sudah dibersihkan, dari debu-debu yang menempel. Pengurus masjid sibuk menyiapkan acara untuk mengisi kegiatan ramadhan. Dari yang, Imam sholat tarawih siapa ?, Khotib ngisi ceramah nanti siapa ?, Daftar masyarakat yang ingin sedekah berupa ta’jilan / jaburan juga menjadi kesibukkan sendiri pengurus masjid..Bulan ramadhan memang berbeda dengan bulan yang lain. Ada nuansa religi yang kental sekali. Karena orang yang biasanya tidak pernah ke masjid, karena bulan ramadhan berbondong-bondong orang mendatangi masjid untuk sholat isya’, tarawih, dan shubuh. Kotak – kotak infak pada bulan ramadhan bisa terisi penuh, pada waktu malam keheningan masjid pada waktu ramadhan berubah kepada nyanyian surga untuk mengucap lafadz ayat-ayat suci Al’Qur’an, sholat shubuh yang biasanya hanya didatangi oleh segelintir jamaah, pada waktu ramadhan bershof-shof jamaah akan memenuhi masjid.,pada waktu berbuka puasa keriuhan umat untuk berebut bungkus ta’jilan di masjid menjadi nuansa sendiri setiap bulan ramadhan.Itulah ramadhan yang selalu indah dan selalu kita rindukan. Ramadhan memang bukan bulan sembarangan. Karena dibulan itu Al ‘Qur’an diturunkan sebagai pedoman hidup orang muslim.

Seandainya bulan-bulan yang lain itu adalah ramadhan, betapa senangnya umat muslim karena kekeringan dari pencarian jati diri terhadap TuhanNya akan terbalas menjadi guyuran kesejukkan, kedamaian, keikhlasan,rasa kasih sayang sesama, menahan segala emosi diri. Baik yang bersifat lisan, maupun batin. Ramadhan adalah seperti lautan pahala yang terhampar luas. Hanya orang yang beriman dan yang bertaqwa yang siap untuk memungut pahala yang menyebar itu. Karena ramadhan memang bulan yang sangat spesial. Sayang sekali ramadhan hanya datang satu kali satu bulan ( 30 hari ) dalam satu tahun. Tapi semestinya bagi semua muslim, spirit ramadhan selalu tertanam dan terpatri setiap hari selama kita hidup. Bukan hanya karena bulan ramadhan kita akan ingat Allah SWT, rajin puasa, sedekah dan beramal, masjid menjadi ramai Tapi ketika ramadhan sudah lewat, kita kembali kepada kelapaan kita, kembali kepada kesalahan-kesalahan, masjid-masjid kembali sepi karena ditinggalkan jamaahnya, kedermawanan kita lenyap. Ramadhan adalah latihan kontrol diri,selalu bersabar, menahan nafsu yang datang menggoda setiap napas dan nadi kita.Seperti sudah digariskan setan senantiasa tak akan bosan untuk menggoda kita. Maka, tanpa ramadhan atau dengan ramadhan kita harus selalu menjaga amalan kita, tindak tanduk kita,memakmurkan masjid, sifat kemurahan sedekah kita harus tetap utuh dan meningkat.Karen tujuan hakiki kita hidup di dunia yang fana ini adalah,hanya untuk meminta imbalan pahala kepada Allah SWT.

Klaten, Sept ‘08



9. DUNIA DAN AKHIRAT




Kalau berbicara masalah agama selalu kita bahas tentang masalah dunia dan akhirat. Dunia sebagai sebuah kehidupan yang sekarang kita jalani. Di dalam dunia ada berbagai macam hal, sifat, bentuk dan masalah. Di dunia ada beberapa makhluk yang hidip secara kasat mata ( manusia, hewan, tumbuhan, plankton dll ). Di dunia juga terdapat benda-benda mati ( Matahari, bulan, bintang, langit,batu, gunung, lautan, karang dll ). Di dunia juga ada berbagai macam sifat yang memang sudah di gariskan oleh Sang Pencipta. Tapi kebanyakan sifat itu saling berpasangan ( Laki perempuan, baik buruk, siang malam, halal haram dll ) Itulah sesuatu yang terjadi di dunia. Dunia adalah alam kita,alam sekarang ini, alam yang sudah diamanatkan oleh PenciptaNya untuk kita pelihara secara baik dan benar, bukan malah merusaknya, memperkosannya. Dunia diciptakan karena ada konsekuensi logis peringatan Allah kepada Adam Hawa yang melanggar peringatan Allah. Maka, Adam Hawa harus rela tidak menempati surga karena melakukan pelanggaran terhadap Allah. Pelanggaran itu terjadi karena bujuk rayu Setan Laknatullah. Di dunia ada berbagai macam makhluk hidup dan mati, dan manusia lah makhluk yang paling mulia diantara makhluk yang lain. Karena manusia di beri akal dan pikiran daripada makhluk yang lain. Dari mempunyai akal dan pikiran, sewajarnya manusia mengemban amanat dari Allah SWT sebagaimana mestinya. Dari yang tidak tahu menjadi tahu.

Sekarang kita berbicara akhirat. Akhirat adalah sebuah kehidupan yang sama sekali belum pernah kita mengetahuinya. Sebagai orang muslim diwajibkan kita mempercayai adanya alam akhirat, sebagai alam keempat dari manusia ( kandungan, dunia, kubur dan akhirat / surga neraka ). Dalam Al Qur’an, akhirat adalah alam terakhir, dan alam penentuan kemana kehidupan yang langgeng itu akan kita tempati. Entah surga apa neraka ? Akhirat menurut Al Qur’an, dibagi menjadi dua macam tempat, surga dan neraka. Surga adalah tempat atau kehidupan yang sangat diharapkan oleh manusia/makhluk dimanapun. Dan neraka adalah tempatnya yang tidak akan diinginkan oleh manusia / makhluk manapun juga. Surga seperti tergambar dalam kitab suci manapun, adalah tempat berbagai macam kenikmatan yang belum pernah dirasakan di dunia.Dan orang tidak bisa membayangkan maha kenikmatan itu selama hidup di dunia. Neraka sebaliknya adalah tempat penyiksaan yang pedih, sakit, kejamnya tak pernah terjadi di dunia. Sekarang marilah kita bertaruh. Lebih banyak mana orang yang memilih surga apa neraka ? Jawabannya pasti 1 milyar persen orang akan memlih surga. Jelas tak ada manusia atau makhluk manapun yang akan memlih neraka, kecuali setan dan antek-anteknya yang sudah digariskan dalam Al ‘Qur’an akan menempati neraka jahanam.

Dari narasi di atas jelas, manusia yang hidup di dunia setelah kematian akan berharap bisa tinggal di dalam surga. Mereka tak akan sudi tinggal di dalam neraka yang mengerikan. Saya berpikir Allah membuat surga dan neraka dengan sebuah pemikiran yang Maha Agung dan Luar Biasa. Allah tak akan pernah sia-sia menciptakan segala sesuatuNya tanpa perhitungan, tanpa manfaat, tanpa hikmah, tanpa ke-mubadzir-an. Tak ada yang sia-sia dari segala CiptaaNya. Dan tidak segampang itu kita/manusia bisa memilih. Harus ada batu ujian ketika kita akan menempati rumah surga ciptaan Allah itu. Karena alam akhirat adalah alam ke-langgengan dan ke-abadian. Dunia adalah alam semu, alam yang hanya sementara sebagai tempat segala ujian beradu. ( mampir ngombe )Sebagai orang muslim sepantasnya kita akan berlomba-lomba mencari surga di akhirat nanti.

Kelemahan manusia adalah mempercayai hal-hal yang bersifat materialis, sekuler dan pragmatis. Sedangkan Allah menjanjikan kenikmatan dan siksaan dalam bahasa ke-Ilahiya-an, dengan menggunakan bahasa langit ( kitab suci ), dengan hal-hal yang bersifat ghaib. Padahal sebagi orang beriman, diwajibkan kita harus mempercayai kitab-kitab Allah, / hal-hal ghaib ( Taurat, Zabur, Injil dan Al’Qur’an ).Kalau kita mempercayai itu semua, maka sepantasnya kita juga harus mempercayai alam akhirat itu ADA.

Allah memberikan kebebasan kita terhadap cara pandang kita terhadap ke-EsaaNya. Karena kebebasan itu toh akan dihisab di hari kiamat kelak. Seandainya Allah itu memberikan gambaran surga dan neraka secara kasat mata atau nyata dan benar-benar bisa dilihatkan seperti ketika kita bisa melihat di latar TV atau di photo-photo maupun koran-koran, maka teori ujian dari Allah hilang dan tak berguna lagi. Orang yang hidup di dunia pastilah akan takut berbuat salah, dan tak mau hidup di neraka, karena sudah digambarkan secara kasat mata dan nyata, bahwa nereka itu mengerikan dan kejam. Penciptaan neraka pun akan sia-sia, karena semua manusia akan berbuat baik semua. Ini juga akan berakibat manusia akan menginginkan kematian segera akan datang menjemputnya, agar bisa hidup di surga.

Allah menciptakan dunia sebagai tempat segala ujian bagi manusia. Dan akhirat adalah alam abadi sebagai hasil dari ujian tersebut. Apakah kita lulus atau tidak, Ketika melakukan ujian kehidupan di dunia ? Hisab Allah akan berbicara secara adil dan yakin benar.

Dari gambaran di atas bahwa janji Allah adalah benar. Sepantasnya kita sebagai manusia selalu mengejar kehidupan di akhirat kepada kehidupan di surga yang maha nikmat. Sekali lagi kelemahan manusia yang lemah imannya adalah, tidak mempercayai kehidupan setelah kematian/ akhirat adalah, omong kosong belaka. Parahnya sekarang ini, banyak orang berduyun-duyun mencari harta dunia dengan menghalalkan segala cara. Mereka berpikir hidup dunia adalah hidup yang sangat nikmat, karena manusia itu memiliki segalanya ( kekuasaan, harta, dan ke-materialis-an yang lain ). Pokoknya hidup di dunia adalah surganya, tanpa akan mau mati. Padahal kenikmatan hidup di dunia tidak ada apa-apanya dengan kehidupan dan kenikmatan di surga. Tapi, orang-orang yang lemah itu tak mempercayai itu semua.

Hidup enak di dunia belum tentu bisa hidup enak di akhirat, itu semua tergantung dengan amal ibadah kita terhadap Allah. Sebaliknya manusia yang setiap denyut nadi, setiap kehidupannya mengalami kekalahan, mengalami sakit yang pedih, kemiskinan, ketersingkiran dan nestapa. Belum tentu hidup akhirat akan hidup sengsara. Kembali lagi semua itu tergantung amal ibadh kita terhadap Allah SWT.

Memang tidak gampang memahami hidup di dunia ini. Tak ada manusia dimanapun yang menginginkan hidup sengsara. Semuanya pasti menginginkan hidup yang sejahtera, kaya raya dan semuanya bisa tercukupi.Pada intinya dari hal di atas adalah, ini semua tentang pilihan kita. Apakah kita menginginkan hidup serba enak di dunia, tapi celaka di akhirat ? Atau hidup sengsara di dunia, tapi kenikmatan surga berada di matanya ? Atau, hidup enak di dunia, juga surga ada di hadapannya ?. Saya, anda, semua manusia pastilah menginginkan opsi yang terakhir, tentu saja. Istilah jawanya ; Dunyo nunut. Surgo katut. Dunia dapat akhirat dapat.

Kalau kita mempercayai akhirat, dengan dua alamnya, surga dan neraka. Surga adalah tempatnya orang yang taqwa, patuh,mampu melewati ujian yang maha berat dari Allah dan setia terhadap Allah SWT. Dan neraka adalah tempatnya orang-orang yang melakukan kemusyirkan, orang kafir, kejahatan, kemaksiatan dan segala sesuatu yang melanggar perintahNya, dll. Sepantasnya kita sebagai orang muslim tidak menginginkan hidup di neraka bersama setan laknatullah. Tapi jelas kita mengiginkan hidup di surga,seperti yang sudah dijanjikan oleh Allah SWT.

Apakah kita sebagai manusia menyadari bahwa tingkah laku kehidupan kita sudah sesuai dengan aturan Allah atau tidak ? Kalau tidak, neraka akan melambai-lambaikan tangan kepada kita, agar nerakanya bisa kita tinggali.Masya Allah. Tapi kalau sudah, semoga surga akan melapangkan tangannya untuk kita tempati.Allahuma Amin.

Kesombongan dan ketidakpercayaan manusia terhadap ajaran agama yang sejatinya adalah benar, membuat manusia lupa diri karena dunia sudah mencukupi apa yang menjadi kebutuhannya. Meski semuanya itu dilakukan dengan cara melanggar aturan Allah SWT. Mereka yang dalam posisi itu biasanya tidak mau cepat-cepat mati. Tapi, ketika orang-orang yang mu’min, orang-orang yang taat kepada ajaran agama dan mempercayai surga dan neraka, pasti menginginkan cepat-cepat bisa dipanggil oleh Allah SWT, karena mereka menginginkan hidup yang abadi dan bisa tinggal di surga sesuai dengan janji Allah SWT. Kesiapan bekal ke-imanan sangatlah penting ketika kita hidup di dunia sebelum menjalani kehidupan di akhirat. Celakalah orang-orang yang belum mempunyai bekal yang cukup, atau malahan kurang sama sekali, yang sering melakukan ke-kufuran, tiba-tiba harus berhadapan dengan kematian.

Kesadaran kita terhadap Allah harus menjadi gambaran kita. Bahwa kehidupan di dunia adalah sebagai ujian kita untuk menghadapi hasil akhir penempatan kita di kehidupan yang abadi kelak. Sebagai manusia yang normal. Kita pasti akan memilih hidup enak di dunia tapi di akhirat juga mendapatkan surga. Wallahu alam.


Klaten, 7 September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo kasih komentar, komentar anda berguna bagi saya :