Senin, 23 Februari 2009

PUISI - PUISI TAHUN 2006

PAYUNG HITAM

Aku mengembara bersama dedaun yang terbang

Dalam buncah adzab jaman yang memerih.

Diantara puing-puing doa yang berserakan

Orang-orang sudah lupa ingatan, dimana harga diri sudah mati.

Aku mengembara mencari sajakku,

Yang hilang ketika badai sudah menggulung

Ketika langit sudah menjadi mendung

Khabar tentang kesepian sudah berakar di pucuk gunung

Orang-orang tetap memakai payung hitam

Sebagai kata akhir dari kesedihan.

Klaten, Jan ‘06

TANGIS BUMI I

Bongkahan harapan di dasar abad yang layu

Tangan yang tartancap belati nasib, kita sudah tak bisa

menceritakan lagi, kapan kapal yang terakhir akan menjemput

karena waktu bergeser begitu cepat. Seperti sekelebat burung ering

yang menyantap korbannya pada terik panas.

Hujan pun diam di batu-batu cadas

Keranda sudah dipersiapkan

Menunggu acara pemberangkatan

Tangis bumi mengalun merintih

Karena musim sudah sudah bukan seperti puisi lagi.

Klaten, Feb ‘06

TANGIS BUMI II

Aku merengkuh hujan pada setengah musim yang hilang

Ketika ayat-ayat Tuhan dikidungkan

Ketika bocah-bocah sudah membesar perutnya

Karena gizi entah karena dosa orang tuanya

Kau sendiri. Menghitung jejak kaki yang sudah letih

Banjir dan gempa datang, badaipun bersekutu dengan mendung

Semisal, sebuah catatan Nuh terukir.

Wajah bumi sudah retak, lalu,

Kembali kita terusik dengan iklan

Karena korban ada diantara kita.

Klaten, Feb ‘06

KEMBANG LAYU

Seperti senja yang mengucap pisah

Seperti lautan yang berujar ombak

Rambut matahari yang kusut, menyapa dada yang menyesak

Kembang-kembang yang layu, masih menidurkan pepohon

Di ujung tangisan.kini, tak ada catatan antara kenyataan

Bahwa, kita memang harus meninggalkan tanah leluhur

Karena malam sudah memanggil.

Klaten, Feb ‘06

CATATAN YANG TERLUKA

Tatapanmu bagai candu yang merayu,

Bagai kesenyapan yang menciptakan kidung malam

Diantara bangkai angin.

Tampak barisan burung mengabarkan kematian

Dengan perjanjian yang membatu,

Dan di antara seribu depa, rakus kau makan perjalanan ini

Sampai kembang-kembang yang mestinya bermekaran

Kini, menyepi tak pernah. kita bisa menikmatinya

Walau pelangi, sekarang hilang arah.

Klaten, Feb ‘06

POHON YANG HILANG

Di sore hari, hujan yang sudah lelah

Ratapan angin yang mendesir, kita bertemu untuk kesekian waktu

Dalam jarak yang tak terukur.

Ceritapun menjadi kemenangan yang purba

Lalu, “kau tanyakan : kemana pohon yang kita tanam bersama , yang kau sebut

sebagai prasasti pelipur lara ?”

Aku jawab : mati. bersama sajak-sajak kita”.

Klaten, Feb ‘06

AKU MELIHAT

Aku melihat perang menjadi ritual yang abadi

Aku melihat kematian menjadi seremoni kebiadaban

Aku melihat bencana menjadi perjamuan yang di-amini

Aku melihat lenyapnya mentari menjadi pelita para iblis

Aku melihat sajakku berlarian mencari perlindungan

Di antara bangunan dan kursi-kursi tua.

Yang sebentar lagi hanya menjadi beling di mata kalian. ]

Klt, Feb ‘06

SAJAK KAMAR DITERANGI LAMPU TEMARAM

Kita duduk berseberangan, dalam lamunan yang mengawan

dalam keredupan cerita yang basi. Masih terdengar kelopak rembulan

mengkidungkan sepi dengan keringatmu.tatapanmu menepis kelambu yang terburai

di lantai semen. Kadang nasib kita berpindah pada kegamangan.

Sejuta bidadari yang melompati mimpi-mimpi kita, lalu menjadi lukisan yang purba.

Sejak itu aku tak pernah menepati janji, karena seratus nestapa ini telah terangkum

di kamar ini.

Klaten, Maret ‘06

ANAK KITA

Anak kita adalah kereta waktu

yang mengejar perjalanan dengan gamang.

Anak kita adalah bongkahan birahi

Mereka selalu terpukau dengan nafsu duniawi

Anak kita adalah kertas sobek

yang terberai di kota-kota.

Anak kita adalah balon udara

Melambung tinggi, entah jatuh kemana.

Anak kita bukanlah puisi para pujangga

karena perasaan dan keindahan cinta sudah menjadi fosil.

Klaten, Maret ‘06 .

SEJAK ITU

Sejak itu adalah kata-kata yang terampas musim

kadang kita tak pernah tahu, kapan peradaban yang papa menjadi pelajaran

haruskah rembulan yang sudah sewindu kita peluk

menagih janji untuk kita pulangkan

haruskah air mata yang menyerupai bahana nuh

mencaci maki pendirian kita

perjanjian pun seperti tak pernah tertulis di cakrawala

Klaten, Maret ‘06

RINDU ITU

Rindu itu menghitam lagi

tak ada catatan yang harus diberitakan

pada kamar pengap, pada sepuluh kelelewar yang terusik di waktu malam

atau pada bohemianku

kita kadang terlalu kompromis dengan keadaan

yang menantang kemiskinan dengan tangan yang tak bisa terkepal

berapa kertas-kertas yang tak pernah kita bisa tulis

harus mampir di emperan toko. Lalu hanya pada sepi kita beradu.

Klaten, Maret ‘06

TAWA ITU

Tawa itu membuat munajatku menjadi rakus

tentang dunia yang berlinang dosa, tentang kebejatan yang diberhalakan

ratapan doa yang tertatih-tatih, diantara bau dupa-dupa peradaban yang

sudah dikultuskan.kau dimana, sejuta pelangi ?

kau dimana lautan pahala ?

yang kutahu sebagian tubuhku sudah mati

tentang mengenang kembara

yang tak tahu arah pulang.

Klaten, Maret ‘06

NYANYIAN SEPI

Aku meninggalkan wajah pagi yang tersedu

diantara bayangan musim yang rentan tangis

atas nama badai yang telah datang.

tak bisakah kita berjalan bersama,

kalau ke-nestapaan ini tak bisa terusik

ketika kembara harus memalingkan wajah

aku harus meninggalkan wajah pagi,

kalau tak sempat kita berkata, bagai khuldi kita bertaruh

tuhan yang hilang, ketika pagi aku tinggalkan

Klaten, Maret ‘06

BULAN MENGGANTUNG

Bulan menggantung di pucuk rambutmu

dan tanpa kusadari kita menunggu pagi,

yang jengah untuk menjemput

bulan menggantung di ujung lidahmu

ketika kalimatmu mengukir sepi

pada bias hitam di langit

juga bintang yang memelan bersembunyi dibalik cahayamu

setiap bahasa yang kita rangkum, menjadi keabadian yang termanis

karena malam tak pernah mengajak untuk berbicara

ada bulan yang menggantung di sajak kita.

Klaten, April ‘06

ANAK-ANAK

Anak-anak kini, takut melihat matahari

Yang ada hanya televisi yang memabukkan

Nurani dibungkam, perdaban agung menjadi kemiskinan yang mencibir

Ada anak diculik untuk menjadi pengemis

Bahkan ratusan. Panasnya kota raya, bagai serpihan mesiu

yang siap meledak, anak-anak hanya melongo tak tahu sejarah

anak-anak adalah anak kita.

Klaten, April ‘06

PERGI DI UJUNG MALAM

Kawan, yang berada di ujung kepapaan

Menghanyut membawa khabar bulan yang terasing

di pematang malam, kau datang lebih dari seribu kali

selalu air mata yang kau berikan dengan senandung nestapamu

lalu, kau pergi di ujung malam.

Klaten, April ‘06

AWALNYA

Awalnya adalah kata-kata

Lalu menjadi inspirasi

Awalnya adalah kenangan

Lalu menjadi pelajaran

Awalnya adalah perjalanan

Lalu menjadi tambatan

Awalnya adalah rasa sakit

Lalu menjadi perasaan

Awalnya adalah sekarang

Lalu menjadi badai

Klaten, April ‘06

PELACUR I

Pelacur itu menjerit di etalase emperan meja dewan

Tubuhnya ditulisi kata makian

Ratusan lalat mengerubuti tubuhnya

Dan jepretan kamera, membuyarkan lalat-lalat itu untuk terbang lagi

Para pajabat menutup kupingnya, karena makian itu semakin keras

bahkan, melengking. Tak tahan dengan jeritan pelacur itu,

Satpol pp menghardik lalu membungkam mulut palacur itu dengan kaos kaki, mereka.palacur itu tak goyah, digoyangkan pinggulnya

jatuhlah para satpol.

Pelacur karena kelelahan, hanya berkata “ gedung dan orang-orang yang di dalamnya adalah, yang dulu membuat keperwananku hilang

para pejabat lantas pergi, tapi lalat-lalat malah mengejar para pejabat itu.

Klaten, Mei ‘06

PELACUR II

Mereka menulis puisi di tembok jalan

Dengan kalimat sederhana,

Aku begini karena mereka membutuhkan aku

Tanpa aku, mana ada proyek raksasa yang bisa tembus ?,

mana ada pikiran jernih dari para pejabat membuahkan hasil ?,

mana ada rapat tanpa malamnya tidur denganku ?

Tiba-tiba mereka diangkut ke truk sampah, oleh orang yang berseragam

Aku persis seperti sampah.

Klaten, Mei ‘06

PELACUR III

Berbekal gincu dan peralatan kontrasepsi

Pelacur itu bergerak perlahan seiring lampu kota raya yang temaram

menerangi malam seribupun tak ada kisah.

Pelacur yang berumur 15 tahun itu menantang malam

tak ada lagu yang harus didendangkan, tak ada narasi yang harus dibacakan

semuanya berjalan sewajarnya.seperti malam ini yang hanyut melewati

penjara kehidupan purba.

Setelah tawar menawar, pelacur itu memberi nuansa malam menjadi berbintang

esok akan disandangnya sebagai pelacur berkelas, karena pejabat itu

menghargai aku dengan harga tinggi

yah, setinggi anganku menantang hidup.

Kini, hariku berlimpahan harta, karena pejabat yang mem-booking aku

menjadikan aku istri simpanannya, “ sebagai vitamin “ katanya.

Tiga bulan pejabat itu tak mendatangi aku, tersiar khabar, pejabat yang mem-booking aku itu mati kelebihan dosis obat penguat, setelah berkencan dengan pelacur murahan di stasiun.

Ternyata yang namanya pejabat, pelacur murahan dan kotor pun disikatnya.

Klaten, Mei ‘06

27 MEI 2006

sabtu belum bergas benar mengucap salam “ selamat pagi “

lalu, tanah bergetar, bangunan terkapar, simpang siur khabar

yang kusaksikkan, ada benar di depan mata

kita kena gempa

5, 9 skala richter

ribuan orang mati, persis seperti khabar yang sering kita lihat dan dengar

tak ada beda.

Cangkem janji bantuan menjadi gempa susulan yang lebih mengerikan

Belum bosankah kita dengan, teguranNya. ?

Klaten, 27 mei 2006

5, 9 SR

gruduk….gruduk…..

merapi habis

akhirnya meletus, setelah 62 hari menunggu

dimana maridjan

dimana gendol

dimana kaliadem

dimana bebeng

dimana deles

dimana kaliurang

kukira.

Jebulnya, kita dilimpekke

Dari selatan, gempa menghempaskan harapan

Ketakutan dan kemalasan merajalela

Pleret menjerit

Jetis menangis

Bantul porak poranda

Imogiri terkubur

Sewon mengerang

Prambanan menganga

Gantiwarno berduka

Wedi tersentak

Jogonalan merana

Cawas memerih

Trucuk terpuruk

Bayat tersayat

Lauk pauk, recovery, rehabilitasi,

Ribuan bantuan dari NGO yang mengincar tanah harapan

Lalu tiba-tiba

Lumpur Sidoarjo ikut-ikutan nimbrung, banjir Gorontalo, gempa di Papua dan Lampung

Para pakar ber-argumentasi, dengan klenik paranormal

Sementara di angkringan pasar gedhe solo, penjual dan pembeli

Memprediksi jerman akan menang, ternyata bukan

Wheladhalah…tim azury liipi kampiun 4 kali

besok pagi anak-anak harus mengulang tes UNAS

dan kita tetap sebagai obyek penderitaan

apakah kita harus menyalahkan satu sama lain ?

apakah kita harus ngungsi ke negeri dongeng ?

yang tak ada cerita tentang kesedihan

barangkali masih ada setitik unggun harap yang menyala

lalu, bisa kita rasakan pelita itu menyinari tanah yang sempat

kita perkosa dengan kesombongan kita.

Mungkin.

27 mei 2006

PARADOK KOK BENCANA

Gusti Alloh kok didikte,

Bencana kok disambut,

Rakyat kok dipaksa untuk ngungsi,

Gejala alam kok diherani,

Bencana Alam kok sebagai obyek wisata,

Bantuan bencana kok direbutkan,

Menjadi miskin kok bangga,

Bangsa ini sudah kebangeten

Dari awal republik ini berdiri, kok nggak tanggap-tanggap

terhadap penderitaan dan kemiskinan

apakah kita sudah hidup dalam kelas orang yang berjiwa malas ?

haruskah, kita menjadi syah sebagai bangsa ini, ketika kita telah mengalami bencana ?

inilah negeri seribu bencana

gelagapan ketika didamprat ribuan mesiu suara rakyat

yang berteriak ketika janji para pejabat hanya jargon selimut mimpi

tak ada yang merasa bersalah, semuanya benar

bahkan ayat Tuhanpun dianggap salah.

Lihatlah behtera Nuh telah menjadi bukti,

Tengoklah kesombongan Firraun

Camkan Namrud, Ratu Balqis, masih haruskah kita bertaruh terhadap dosa dan pahala kita

Puing-puing bangunan ini menjadi saksi, ketika alam bukanlah mainan komedi putar yang bisa dihentikan kapan saja.

Remuk redam sajakku, tak akan berhenti menyisir air mata yang telah habis

Ketika matahari mengabarkan kesakitan,

Ketika rembulan mencakar ribuan kematian

Dan api-api peperangan telah dikobarkan

Senjata yang disarungkan di nurani, telah terhunus

; sejak itu aku memimpikan ibuku

Klaten, Juli 2006

AKU MERASA SENDIRI

Kawan, terasa waktu tak bisa mendapatkan jawaban

Kemarin kita bisa berkumpul, bercanda, lalu memungut lamunan kita satu persatu

yang tercecer di halaman rumah sajak kita.

Malam yang semakin dingin, karena kepapaan kita menjadi saksi

antara kelelawar yang hinggap di pucuk pikiran kita

malam ini, kita tetap merangkum kata menjadi sebuah catatan sajak indah

kawan, ketika kereta waktu yang berjalan begitu cepat

tak sempat kita berada dalam gerbangnya, karena penuhnya

orang-orang yang berdesakan, entah menjemput sesuatu yang mengerikan

antara khabar tentang saudara kita, yang harus binasa satu persatu

dimakan alam yang bertarung dengan kebejatan manusia

kawan, aku mulai bosan kau berada di sisiku

karena malam ini, kita tetap dalam paraduan

menghitung bintang-bintang yang jatuh

atau menghapal suara angin yang berdesir

tak beda seperti yang lalu

akhirnya tangisan yang mendera

Klaten, Juli 2006

SELAMAT PAGI BENCANA

Bencana yang terhormat,

Kenapa negeri kami harus menampung suaramu, gemuruhmu, gelegarmu, letupanmu

Tak bisakah istirahat barang sejenak,

Untuk kita bisa saling mengerti

Bukankah kita tak perlu ber adu-argumentasi tentang kekauatan kita masing-masing

Toh, persoalan ini pasti ada jalan keluarnya

Bencana yang terhormat,

Tidak bosankah engkau menakuti kami ?

Tidak sedihkah engkau mendengar jerit tangis kami ?

Tanah harapan mereka semuanya hilang,

Kemiskinan apa yang harus kita perkayakan,

Karena kadang nurani kita sudah mati, apalagi materi

Lihatlah ratusan burung erring membawa paruh

berhiaskan sangkakala yang menakutkan

Mencipatakan nuansa kematian yang purba

Kembang-kembang yang tak pernah mekar

Menjadi sahabat rasa maut yang menjekut

Bencana yang perkasa,

Batin ini akhirnya, membuka tabir tentang Kuasa-Nya.

Kita tak pernah berhenti

Menatap rembulan yang terampas keperawanannya

Kita tak pernah muak,

Mencakar langit di antara sela-sela bau kematiannya

yang telah mengintip

Hentikan bencana, jangan menjadi kawan sejati bagi negeri kami.

Klaten, Juli 2006

NELAYAN SORE HARI DI PANGANDARAN

Laut yang teduh nan perkasa

Mengukur cakarawala dengan gelombang

Mengajak berlayar maha awan yang membiru

Pasir memutih merapatkan batin yang bimbang terhadap kepapaan

Lalu khabar tersiar,

Pangandaran terkena tsunami

Yang biasa kita dengar.

Lalu, banyak yang lagi-lagi mati

Anak-anak kehilangan, bapaknya, ibunya, neneknya, kakeknya, teman-temannya

Rumah-rumah terpelanting, persis mainannya dira ( anakku )

Perahu nelayan serupa kertas perahu yang terhempas di ember, persis mainannya dira

Batas ketakutan, maut dan kematian semakin tak jelas

Seperti tak pernah memiliki apa-apa

Tak ada rumah

Tak ada surat berharga

Tak ada motor

Apalagi mobil

Tak ada tv berwarna 14 inch

Tak ada vicidi empek tiga

Strata sosial tak di gubris

Jabatan tak penting

Apalagi nyawa

Semuanya kerdil di hadapan Kuasa-Mu

Pangandaran berlinang air mata, seperti ;

Pantai ayah, parangtritis, parangkusomo, parangendok, samas, krakal, kukup, ujung kulon, nusakambangan

Luluh lantah meninggalkan jejak air mata yang selalu menjadi mimpi buruk

Terbanglah kamu merpati

Jemput saudara kita, nyanyikan kebahagiaan yang hakiki

Karena Tuhan bukanlah menciptakan ini semua,

untuk hanya kita perdebatkan ; di gedung-gedung parlemen, di satlak-satlak yang gelegepan menghitung nyawa yang melayang, atau pada lembaga-lembaga kemanusiaan yang keringatnya tak bisa mengalir, di pundi - pundi amal yang bersaing dengan iklan mie instant, atau pada janji-janji pejabat yang akhirnya tercekik dengan budget-budget siluman, atau pada para dermawan yang antre masuk koran dan bisa berpose penuh rasa belas kasih ketika puluhan wartawan mengabadikan sumbangannya.

Bukan itu, masihkah kita mendengar suara jangkerik di malam hari, atau pada pagi hari embun memberi arti pengharapan kepada kesejukkan di antara kita.

Ada hikmah di antara ribuan bencana ini.

Klaten, Juli 2006

LINANGAN AIR MATA

Bagai merengkuh dayung yang terampas gelombang

Badan ini bergeming membacakan takbir, takhmid dan dzikir

Di antara kotoran asap kematian yang membumbung

Pada ufuk sejarah yang menghunus

Kawan yang jauh, saudara yang pergi meninggalkan jejak kaki yang bernanah

Atas nama bencana, kita meng-amini air mata ini

harus tetap mengalir

Klaten, Juli 2006

SENJA YANG BELUM TEMARAM

Senja yang belum temaram

Menemukan sebiji angin yang menyudut

dari arah selatan, kau bawa khabar tantang nestapa

senja yang belum temaram wajah matahari menyeringai

menandakan arah kapal harus segera beranjak pulang

pantai sebagai inspirasi

, pantai sebagai imajinasi,

pantai sebagai kerabat sejati sepi

mendadak gusar mengusir nelayan yang lelah

kenyatan ini, kita mengerti seperti perjalanan

berhembus, menembus, kepada gerhana di nurani

yang mulai layu satu persatu.

Klaten, Juli 2006

KUBILANG PADA MALAM

Kubilang pada malam, bagaimana mungkin puisi

harus menerjemahkan kalimat demi kalimat dengan

tangan terbelenggu, ketika awan putih yang berarak

merapat bersekutu dengan mendung

Kubilang pada malam, jarak kekekalan kita

tak mungkin menjadi garis pelipur duka

yang merajut rembulan menjadi serpihan yang tergadaikan

dengan waktu

Kubilang pada malam, kita tengah berdiri

di tapal fajar yang tak mungkin akan

kita rindukan lagi

Klaten, Juli ‘06

Di muat di Harian “ SOLOPOS “

Hari, Minggu 10 – Sepetember - 2006

BADAI YANG TERPASUNG

Sembilan khabar matahari mengajak menari

pada kelelawar yang terbang kebingungan

karena nestapa malam sudah menggunung

wahai, raja malam yang mempesona

sandarkan mimpi pada badai senja

ketika kekasih sudah memerih, mengabarkan

ada sembilan matahari telah terkubur

di pena-pena para penyair, yang tertunduk di atas catatan usang.

Klaten, Juli ‘06

Di muat di Harian “ SOLOPOS

Hari, Minggu 10 – September – 2006

DUA POTRET ANAK KECIL

Aku melihat dua potret anak kecil

sedang memainkan biola yang kulit kayunya

sudah mengelupas termakan jaman

wajahnya tak beda dengan embun pagi

dua anak yang ada dalam potret,

senyumnya ditahan. Seperti alur waktu yang tersendat

kita mengkaca pada kerinduan pujangga

yang menyair lelagu menjadi pelipur

dua anak masih memegang biola, karena mereka ada dalam potret

tangannya yang kecil pun tak bisa meraih kalimatku

Klaten, Juli ‘06

Di muat di Harian “ SOLOPOS “

Hari, Minggu 10 – September – 2006

RASA KANTUK DI ANTARA EMBUN

Kita menghilang menyerupai kereta waktu

yang datang tak pasti, menjemput catatan panjang

engkau datang tak pernah membawa seikat kembang

hanya tangisan yang terlalu sering aku dengar,

yang ada hanya. Malam ini kita benar-benar

sebiduk mencari bentuk peraduan yang hakiki

sebidang sajadah pun sudah kita tebar

di antara langit-langit dan di antara tanah harapan

agar rasa layu yang di raga ini bisa tumbuh

menyerupai pohon sakura kita, yang tetap bertahan.

Klaten, Juli ‘06

KENAPA ADA JELAGA

Kenapa ada jelaga

yang menghitam

seperti negeri ini tak pernah surut dengan

warnamu.

Kenapa ada jelaga di otak rakyatku

ketika keserakahan sudah dibaptis menjadi

panglima.

Kenapa ada jelaga di mataku

yang sudah merapat menemui kepapaan

nasib pun tak pernah berpihak ayat-ayat Tuhan

karena rasa hitam ini sudah mewabah

menjadi lendir nanah di mataku

pandangku semu,seratus malaikat

tak bisa di mengerti.yang ada hanyalah

rasa tandus akan adzab yang menghunus.

Klaten, juli ‘06

WAJAH YANG TERMANGU

Resapi sungai waktu di matamu yang sayu,

terdengar khabar kawan lama tak begitu mengerti tentang rindu

resapi wajahmu yang terus berlarian

di etalase – etalase purba, keringat kita bercampur

nanah yang tak bisa di hilangkan

resapi keluhmu pada lampu-lampu kota

mencakar batinku yang sudah karatan

karena langkah kita sudah tertatih

sekejap kita lelap dalam mimpi

sembilan matahari yang kelaparan pada rahim perempuan

kotoran-kotaran pun menjadi wajah pagi yang suram

kita menatap tragedi dengan perut yang terbuka.

Klaten, Agustus ‘06

BIARKAN POHON YANG MENDOA

Kuangkat tangis ini menjadi doa yang terukir Nama-Mu

Ketika derit tanah mengundang orang-orang untuk tersadar

Bahwa, kembang-kembang yang tertancap di nurani

Menjadi tak berarti, karena kita kini sudah melupakan

Datangnya purnama, maupun gerhana

Tangan ini sudah gemetar, sajak pun terlepas di bianglala.

Klaten, Agustus ‘06

KHABAR DARI TIDURMU

: rey

Sayang, kenapa kau marah terus

belukar pikiranmu menyantap sendi penglihatanmu

rasa putih batin apa, yang mesti ku-nina bobokan

agar, engkau terlelap dan tersadar

bahwa kehidupan seperti bara api

yang setiap saat bisa menjadi bahtera api

yang membakar rumah sajak kita

kita lihat dari teras rasa cinta kita, bangunan rumah kita sudah mulai utuh

jangan persoalkan orang-orang yang menusuk kita dari belakang

toh, hanya dari belakang.jangan mendidik anak kita menjadi seorang

‘tualang pengecut sejati.tidurmu harus dilelapkan dengan persoalan

yang jutsru datang dari masa lampau.

beribu malaikat telah berejejer rapi, mengunjungi rumah sajak kita.

sambutlah mereka suguh mereka dengan minuman kesejukkan,

agar mereka betah dan bersenda gurau dengan harapan-harapan kita,

yang dulu terampas di ijazah usang kita, di kantor-kantor bergenting langit,

di kursi-kursi direktur, di mal-mal maupun di salon kecantikan. Kita melihat itu semua.

terlelaplah, sayang. akan kudampingi malammu dengan janji tanpa air mata.

tiba-tiba jam weker terjatuh. Adzan shubuh sudah mendatangi selimut yang tersingkap.

Klaten, Juli ‘06

TEMBANG YANG TERLUPAKAN

Kita tiba di batu-batu tanpa jengah yang menyingkap sepi

ratusan badai mengajari kehidupan yang papa, pada ranting pohon cemara

kawan karib tak bisa bersama. Entah bersama pelangi mendatangi kerajaan sepi,

atau bertapa di gunung tanpa kitab suci. Karena seribu kematian tak bisa diukur

dengan kedalaman rasa sunyi. .Bencana demi bencana,memenuhi koran-koran dan televisi.

Air mata yang pasti akan menggenangi persada harapan tanah kita.menembus kabut satire negeri, menerjang paradoksal republik yang banci mengahadapi kemiskinan.

Bukan..bukan itu, sayang. Kita masih tegar mendatangi awan, dengan jubah yang tersobek di ujung kerahnya, Tuhan pun berdiam. Entah kemarin kita meninggalkan pesan di daun jati, biarkan anak cucu yang meneruskan lenguh ini, yang hadir tanpa sebab.

Klaten, Agustus ‘06

LAGU KOTA MATI

Lagu kota mati bersenandung kemenyan

Di nestapa anak negeri, yang ngeri melihat nanah di kakinya

Lagu kota mati berkidung kepapan tembok jebol

Pada pertengahan kemerdekaan yang tanggung

Lagu kota mati berteriak tanpa keluar suaranya

Karena sampah peradaban tak bisa di cegah invasinya

Lagu kota mati memetik kembang layu di kota-kota raya

Ketika perempuan menjual akta vaginanya di hotel berbintang

Lagu kota mati ber-sarinade di puncak gunung

Ratusan lalat berubah sombong layaknya rajawali

Karena sang garuda lupa meletakkan sayapnya, entah malu,

atau sudah terwabah hypokritis

Lagu kota mati ber-patitur lenguh buruh pabrik yang merah matanya

ketika keringat mereka adalah santapan nutrisi kapitalisme

Lagu kota mati berehenti, ratusan aparat bergerak tak teratur

mobil remote anakku terinjak sepatu lars mereka.

Klaten, Agustus ‘06

MELIHAT MALAM

Bulan menguning pada ruas malam

Lampu-lampu neon yang temaram, berloncatan

mengejar pijarnya sediri, perempuan tua sedikit terganggu

ketika ranting daun-daun mahoni yang jatuh mengenai tubuhnya

yang renta.

Dua kepak kelelewar segera berangkat mencari jelaga

perempuan yang sedari tadi gelisah, pela-pelan pejamkan matanya

bayangan anaknya yang kerja menjadi TKI, terbersit di gelisah tidurnya

aku melihat redup sinar matanya, entah berita kemarin benar atau tidak

tiga belas perempuan mati di negeri orang karena di perkosa majikannya

entah benar atau tidak.

Sebuah truk pengangkut pasir, getarkan nadi

Harapan orang-orang kecil menjadi segumpal nanah yang tak pernah pecah

Malam itu, aku melihat sepucuk surat terpampang di bianglala.

Orang-orang tak ada yang melihat, aku pun tiada saksi.

Klaten, Agustus ‘06

KATA HATI YANG TAK TERBACA

Bagai lenguh kereta, suaramu parau

Bagai mata pisau, pandangmu tajam

Tapi kau pergi, tinggalkan sejarah di keringatmu

Semestinya cerita ini jangan pernah usai

Karena berjuta bintang tak pernah berpaling untuk mendengar ceritamu.

Kata hati yang tak terbaca

Menari-nari salsa, di emperan gedung DPR, Istana Negara,

atau pada bilik-bilik rumah bordil partikelir

tariannya menggila, menyerupai gelombanag lautan

siapa yang memilih baju tariannya ?

Klaten, Agustus ‘06

ANAKKU SUDAH TERTIDUR

Anakku sudah teridur

Sejak mainannya menyerupai wajah malam

Ratusan nyamuk enggan menggangu

Meresapi kembali kidung – kidung sejati tanah pertiwi,

Meresapi lelagon kehidupan yang hakiki

Anakku adalah tombak harapan yang melesat jauh

menentukan sasaran.

Anakku tertidur beralas koran yang bergambar penidasan

Aku mengeluh karena lampu pun beranjak redup.

Kudekap anakku, biar besok harapnnya kan terpetik

Klaten, Agustus ‘06

API YANG MERANGGAS DI KAMARKU

Sudah kusangka kita menerkam kekaburan

yang berjalan bersama puluhan badai, bahkan hujan bersenandung menghajar

semestinya ratusan ayat-ayat yang kita yakini bisa mengalir

menyerupai telaga, sudah keruh dicemari paradaban.

Ini dosa bersama yang tak bisa diurai dengan jutaan sajak,

tapi diprasastikan sebagai catatan kembara yang terasing di tengah ilalang.

Kau menatap bintang yang dipaksakan untuk jatuh.

Sekejap bangunan yang uzur dengan nama cinta, runtuh dindingnya,

seekor srigala menunggu di balik baju para pengantin, yang jarang di pestakan.

Unggun yang sudah padam berbaur dalam riuh lelangit yang temaram.

Klaten, Agustus ‘06

BOLEH AKU MEMINTA

Boleh aku meminta kepada ribuan sajak ini,

Nuraniku telah mati, ketika ratusan srigala memangsa kalimatku.

Boleh aku meminta kepada lembaran kertas putih ini,

Ajari aku menulis kalimat syuhada tentang perlawanan daya penaku

Boleh aku meminta kepada abjad-abjad,

Ketika kekalutan sukma menjelama menjadi dendam yang membahana

Boleh aku meminta suara imaji yang mengharu-biru di otak kiriku,

Sematkan keindahan pikirku,bukan denganmenyaksikkan penindasan dan peperangan.

Boleh aku meminta kepada kalian,

Rasa diam ini, bukan berarti kita harus menyerah.

Klaten, Agustus ‘06

Dimuat di harian “ SOLOPOS “ Minggu, 28 January 2007

LUKA KALIMAT

Mengajari kemarau yang mengering di tapal penantian

Daun-daun jati, yang terpasung di cakrawala

Dan kapal-kapal sudah surut keberaniannya

Kita melangkah dalam bahasa yang purba

Para lelaki mengubur kepalanya di buncah keringatnya

Karena rumah yang berpenguhuni rayap sudah merapatkan barisan

Siap mengubur harapan mereka.

Dan kalian tetap duduk di belakang kaca-kaca bis kota

Yang menebal asap knalpotnya, kotoran-kotorannya menyilaukan

Lenguh napas perempuan yang menawarkan birahi

Sementara luka-luka ini seperti mengerti untuk menjadi luka.

Klaten, September ‘06

Dimuat di harian “SOLOPOS “ Minggu, 28 January 2007

JALAN SETAPAK

Merengkuh biduk yang tiada lelah menggembalakan angin

wajah bulan terlihat tabah di sisi awan yang menggantung

kadang keberanian ini, terpatri dalam sukma malam

dan malam ini, mata yang lelah

terucap gambaran perjuangan

seberang harapan yang terpampang harus lepas

dikhianati mendung, jalan setapak dan bunga-bunga

masih meng-kidungkan malam yang panjang.

Klaten, September ‘06

Dimuat di harian “ SOLOPOS “ Minggu, 28 January 2007

EMBUN YANG MENETES DI DEDAUN

Menyaksikkan pagi yang semburat murung

lampu-lampu taman sudah dimatikan

orang-orang teruburu-buru untuk mengejar waktu

yang lari terbirit-birit melupakan doa

yang terangkum dalam tasbih Illahi, dan lafadz keheningan batin

kita pun menghilang di balik pigura keluarga dan di antara kursi-kursi tua

serta bangunan yang mengkhawatirkan untuk ditinggali

nadi sejarah kini hanyalah balada tanpa rytme

antara embun pagi yang gelisah, karena tak bening lagi di dedaun.

Klaten, September ‘06

Dimuat di harian “SOLOPOS “ Minggu, 28 JanuaryY 2007

JARANG ( Oda Kawan Lama )

: sindu

Jarang kita bicara tentang politik lagi, saudara

Karena kita pernah ditusuk mereka. Yang telah lalu lalang menghajar idealis kita

Lalu kita hanya menbicarakan nama perempuan, yang tak pernah kau memberanikan diri untuk menjamahnya.

Jarang kita melupakan kebusukan itu, karena kita hanya punya nurani dan intuisi

Ini bukan jalan yang harus diperjuangkan. Biarkan matahari yang perkasa sebagai kejantanan yang abadi, mengajari kita untuk berlindung dari terpaan dingin yang menghanyut. Seperti dansa para bangsawan, yang mabuk dengan anggur di dalam cangkir yang bergambar wajah murung ibu kita.

Berdiri diantara onak, masihkah kita menunggu kesenyapan malam yang menjadikan kita mengerti kesejatian muara kehidupan.

Lagu blues pun mengalun pelan-pelan dalam mulut keringmu.

Klaten, Sepetember ‘06

BERLAYAR DI RAMADHAN

Retak jiwa ini, mengulum kidung batin yang hening

Tatkala, tetabuhan kesucian berdengung di kuping

Malaikat pun berdzikir dan berkumpul

Seperti gelombnag kerinduan yang maha dahsyat

Ya Allah, kusebut Engkau berjuta kali, sampai

ratusan angin mancabik penungguan ini

Kapal-kapal ramadhan telah berlayar

mencari bilur-bilur jalan yang terang di jalanMu

Ada dosa menjadi air mata

Ada sesal menjadi taffakur

Ada kebahagiaan menjadi muara

Ada kesucian menjadi hisab

ketika berlayar di RamadhanMu

“ Marhaban Yaa Ramadhan “

Klaten, Sept ‘06

AKU MELIHAT RAMADHAN

Aku melihat ramadhan di ufuk batinku

menjadi cahaya dan menjadi lagu rindu yang mendayu

Aku melihat ramadhan pada bias warna yang memutih

Pada ayat-ayat Tuhan, kita dituntun

untuk menyapanya.lapar dan dahaga ini di catat pada arsip Tuhan

Tak pernah terlewatkan walau sekejap mata

Dan setan-setan di nina bobo’kan pada ruang yang maha pengap

Aku melihat ramadhan, pada kertas kosong

kucoba mengangkat pena untuk menulis

tentang kerinduan ini.

Klaten, September ‘06

KUKENANG RAMADHAN

Kukenang ramadhan di jalan-jalan sempit kota raya

Suaranya lirih sekali, terlibas suara musik hip hop di seberang jalan,

Suaranya terasa berat menenteng panas yang mencabik

Pada sampah-sampah yang menggunung

Pada lampu jalan yang berserakan tak teratur

Atau pada mobil mewah yang bersliweran

Debunya menjadi amarah yang menggunung

Lalu, perempuan menjual birahi di gang – gang sempit

Aku kepayahan mencatat peluh dosa ini

Laparku ditantang

Dahagaku di uji

Hening batinku menjerit

Aku di mana ?

Aku memerlukanMu

Suara Adzan yang mengalun merintih mengajakku untuk kembali

Pada rumah yang maha teduh

Klaten,September ‘06

DOA YANG MENETES DI RUMAH

Aku tertikam sepi, tatkala rambut matahari menyentuh

sajakku, yang terasing di batu dan dupa-dupa malam.

perempuan – perempuan tua mendendangkan senyap di unggun badai perutnya

jarak pandangpun tak bisa terbaca, ketika Tuhan mencakar perjalanan kita

bagai napas yang terpenggal, wajah kawan lama menjelma menjadi pepohon randu

yang gemerlap ketika ditiup angin, engkau di mana ? bersua pun tak pernah kau katakan rindu. Kau menjamu mendung dengan tangismu. Aku pun sudah terbiasa.

Klaten, Oktober 2006

SEPI ITU ADALAH SAJAKKU

Sepi itu adalah aku

yang menepi meninggalkan jeda kerinduan

sepi itu adalah engkau

yang melumat tangis dengan janji

sepi itu adalah kalian

yang bertapa di gunung dan lautan

sepi itu adalah mereka

yang terbiasa dengan bayonet di kepala

sepi itu adalah sajakku

sekarang tertancap dengan lubang tujuh pintu peluru.

Klaten, Oktober 2006

KAPAL ITU TAK PERNAH BERLABUH

Sepuluh cahaya mengelilingi rumah sajakku,

ketika kapak-kapak perang sudah di gali kembali

kenyamanan hidup harus di barakan

agar unggun di dada tetap menyala,

bukan karena tanah yang kita pijak sudah hilang patoknya

bukan karena nenek moyang kita menjanjikan kita jamrud kehidupan

Bukan !inilah adalah kepalan seribu malaikat yang menghunus janji

Kita di sini menunggu penjemputan yang maha dahsyat, karena kapal kita tak pernah

berlabuh, pada dermaga yang harusnya kita tinggali.

Klaten, Oktober 2006

PAGI HARI

Menerawang kembara yang terenggut, ketika kelopakmu

memancarkan kerinduan yang beku. Berapa jarak menjadi perhitungan,

berapa musim yang bertengger di pucuk-pucuk rembulan. Kau tampak sayu

ketika kawan lama tak pernah mengirim segepok majalah bekas, atau sebuah petuah

panjang tentang perlawanan kaum marjinal dengan kaum kapitalis.

Dan bunga kamboja di depan rumah, masih seperti dulu. Mekar lalu layu lagi,

Entah aku yang salah lupa memberi air, atau ketakutan mereka pada kenyatan alam,

yang tak bisa ditebak. Bencana atau berkah. Lalu,sajak yang kupegang hilang nurani,

menyelinap di balik kebaya penjual tempe, yang bertahan hidup ketika semua saudaranya mati karena gempa. Aku hilang ingatan di mana kuletakkan ejaanku tentang

kalimat belangsungkawa. Dan pagi hari pun lenyap tak berbekas.

Klaten, Nov ;’06

MENDENGAR TEMBANG

Sesayup alunan tembang tua, yang nyanyi penyanyi tua

usianya sudah bau tanah. Mendayu, mengingtakan padang hijua nan penuh berkah

tersedak sedikit penyanyi tua itu, ketika nada lagu memang harus dialunkan tinggi.

secangkir kopi pahit menemani penyanyi tua itu. Masih setengah gelas, cukup untuk dua buah tembang. Malam yang tak begitu dingin, penyanyi tua itu mengkidungkan tembangnya, diantara puing-puing bangunan rumahnya yang roboh akibat 27 mei.

Angin dan malam seperti biasanya duduk bersila mendengarkan tembangnya yang sendu.

Penyanyi itu masih tetap menyanyi, diantara tiga nisan istri dan dua anaknya.

Klaten, Nov ‘06

BERITA DI DEKATMU

Perempuan, yang menyimpan amarah di stasiun kereta api. mati bunuh diri tergilas roda kereta api.

Perempuan, yang ditinggal pergi suaminya, mati gantung diri dekat Kuburan Cina.

Perempuan, yang bunting 6 bulan, mati minum racun serangga.

Perempuan, yang istri koruptor, mati di kamar tidur babunya, kerena kelebihan dosis obat penenang.

Dan sekarang, perempuan-perempuan itu duduk didekatku. Dan mereka tak pernah bisa bersuara, datang hanya untuk mendengar beritaku yang lain, tentang perempuan.

Klaten, Nov ‘06

BERITA USANG

Peri-peri menjajakan cinta di langit. Koran-koranpun ramai memberitakannya. wajah malam yang beringas, terjaga tidurnya. Karena kegaduhan yang menyerupai 9 kepala naga menjadi misteri abadi. Aku pergi ke utara mencari bentuk berita yang hakiki, tak ada jawaban. Ke selatan hanya menemukan bangkai pagi. Dan dikamar ini bergeletakan berita usang, mirip para penyair yang lupa nurani dan pena.

Klaten, Noiv ‘06

MENUNGGU KAWAN

Aku menunggumu persis di emperan waktu yang letih

Tak pernah tahu kapan engkau akan datang

Sementara kereta waktu datang silih berganti melindas sajak-sajak usangku

Khabar apa yang akan kau bawa padaku

Kau seperti angin, tak bisa kutebak hembusanmu

Keringat ini menjejali bangku-bangku tua, jalan-jalan yang rusak dan taman-taman yang semrawut di kota raya. Tetap aku masih menunggumu.biar sejuta badai menggulung taman penantian ini, tetap akan abadi penungguan ini. Matahari yang sudah letih, akan kubiarkan

menjadi penyaksi batinku.

Wahai, mendung yang berduka.

Sampaikan kepada kawanku yang tak pernah datang

Aku kini sudah menjadi monumen, yang tak tercatat dalam sejarah apalagi prasasti.

Karena menunggumu..

Klaten, Nov ‘06

DITANGAN ANAK-ANAK

Ditangan anak-anak, aku melihat butir embun merasa sendiri

menjalar memasuki ruang pengap yang berparas wajah malam yang sendu

Ditangan anak-anak, aku melihat tujuh bidadari tak bisa bernyanyi

ketika bising orang-orang mendikte alam dengan nurani busuk

Ditangan anak-anak, aku melihat kencangnya kepapaan

mengajari pakerti berubah menjadi tangan yang bertaring

Ditangan anak-anak, aku melihat dua musim yang saling berganti

tak pernah menjumpai kelepak sejuta merpati

dari kebimbangan membaca situasi

: Air bah menggunung

sejimpit doa yang pupus, membasahi pelataran rumah sajakku

tetap aku melihat

anak-anak yang dulu berwajah bumi yang masih pagi

sendirian, menghitung tagihan harapan yang masih cecer di republik ini.

Klaten, Nov ‘06

BOHEMIAN DI ATAS KARDUS

Segala tanya tentang engkau perempuan

lalu membuncah rindu yang tak kenal waktu

mendatangi warung-warung pinggir jalan, menampar sejuta pesona

gedung-gedung bertingkat, mengajak berdansa ditengah super mall-super mall aristocrat,

tertegun gemerlap mobil-mobil mewah.

Lalu seperti biasanya kita kehilangan arah untuk pulang, yang seharusnya bergegasnya waktu sudah pernah kita renungi.tapi, tetap saja kebimbangan menjadi raja.

Keringat waktu yang meleleh, terbaca oleh mendung

Kemarau hati ini, bisakah kita selesaikan di atas tumpukan kardus ini.

Klaten, Nov ‘06

PERTANYAAN ANAKKU

Pa, Allah marah kah kepada kita,

kenapa banyak bencana melanda bangsa ini ?

Kapan Allah tidak marah lagi ?

Aku keluar membuang ingus yang menggantung di hidungku

Matahari masih tetap perkasa dengan bertenggernya burung-burung Ering

dengan taringnya.

Anakku tersenyum, sambil memagut air wudhu’.

Ku katakan, “ Berdoalah”.

Klaten, Nov ‘06

MENDUNG YANG SEMBUNYI

Pada leluasa sepi yang mamagut, kepapaan malam

pantai pun menajdi temaram, ketika debur ombak

mengajak bergaung suara yang memerih

kita pun terpisah dalam tapal ufuk kerinduan purba

khabar segerombol camar tak bisa diterka

karena daya jiwa menciut terbawa akar-akar matahari

yang menjuntai mengawasi langkah seribu bidadari

ku bawakan serimbun nestapa kenangan

pada setengah kidung yang tak pernah selesai

awal ini bukanlah akhir ku kembarakan janjimu.

Klaten, Nov ‘06

BINGKAI AKHIR TAHUN

Di akhir tahun ini, masih ku eja nama-Mu elan-pelan,

kadang gagap mewabah resah

ketika dzikirku memelan mencari

tonggak dosa sudah terpasung di akar mendung

wajah-wajah muram membayangi jejak usang

ketika kutangkup wajah-Mu di keningku

nyanyian kematian terbawa dalam pertapaan abadi

bangkai waktu selalu mengeras di hidungku

bingkai akhir tahun ini, selalu patah kedua sisinya

Klaten, Nov ‘06

SORE DI ILALANG WAKTU

Mengajari hujan yang termangu menunggu musim

Wajahmu sedu menghujat nasib, daun sakura yang basah karena hujan,

Tanyamu khabar tentang cinta sepasang merak pelangi, tak pernah terdengar

Tangan-tangan kecil yang memegang dupa, rasakan tak beda

Dengan tulisan para rahib yang bertapa di gunung-gunung

Huma yang belum jadi di tengah padang, mengajak kenangan

akan kampung halaman menjadi kerinduan yang membatu

teriakku, memangil-manggil kereta waktu

berhenti dimana gerangan, nggigil sukma melihat

tujuh pintu angin telah terbuka, waktu adalah sebuah ingatan

yang bosan di kamar sepi.

Klaten, Nov ‘06

PARAS WAJAH DALAM KEMARAU

Paras wajah di ambang tingkap belukar tanya,

Angin yang bertahta di atas kedua matamu

Kadang tak pernah berhenti menghujat sajak-sajakku

Dua bocah yang bersembunyi di ketiak senja, menebar menyerupai dua

Pohon cemara yang meranggas daunnya.

Aku rebahkan rindu ini, di balik bantal

sejimpit rasa yang menghimpit

kita pun bertahan pada jejak langkah yang mongering

karena kemarau ini, seperti pecahan kaca yang menggores

jari-jari kita.

Klaten, Nove ‘06

MENDAYUNG SENJA

Rindumu bagai secangkir kopi pahit

yang berceceran di atas sajak-sajakku

senja itu, kita panah mentari

di atas gubuk yang tak kokoh kakinya

lalu, mendayu kau nikahkan pelangi

kita geser persoalan kehidupan, menjadi kalimat harga diri

kembali hening tak bisa diusik.

Klaten, Nov ‘06

PERISTIWA

Melihat langit, dua anakku digembala angin

Diantara barisan hapalan pelajaran yang menjemukan

Aku raup mukanya dengan bunga kasturi

Biar lapang jalan yang dia tempuh

Karena daya sukmaku, tak bisa diharapkan

untuk menghadapai peperangan yang sudah dikibarkan

tanpa sepatu lars, tanpa amunisi, tanpa jendral

biarlah angin yang menuntunnya.

Karena angin adalah muara nurani yang bersih.

Klaten, Nov ‘06

AKU HARAP, KAU MENGERTI

aku harap kau mengerti, diajeng

sajak ini letakkan di dalam nuranimu

karena sajak bukan untuk di bicarakan, tapi dihayati

aku harap kau mengerti, diajeng

tangisanmu tak bisa mendobrak monumen kekuasaan

kekuasaan tak bisa dihancurkan hanya dengan bah air matamu

tapi, rebut hatinya dengan melagukan senandung surgawi

aku harap kau mengerti, diajeng

ketika kau menagih janji tentang

bagaimana membungkam kemiskinan

dengan sajak.

Dan empat merpati hinggap di atas daun waru.

Klaten, Nov ‘06

AWALNYA

Awalnya adalah tangisan, yang menjadi sumpah serapahmu

Awalnya adalah celoteh merpati di kamar remang,lalu menjadi umpatanmu terhadap

kemiskinan

awalnya adalah kidung yang mencabik bulan, kupastikan kita akan tersudut

di dalam bangunan yang tak ada pintu jendelanya.

Awalnya adalah tarianmu yang memabukkan, ketika itu datang sejuta badai

yang nyungsep di tengah pesta itu.

Awalnya raga ini bertahan, akhirnya bagai pepatah kuno

kita sandarkan hidup ini.

Klaten, Nov ‘06

TAK ADA LAGI CATATAN YANG KAU BAWA

Tak ada lagi catatan yang kau bawa

semuanya telah dirundung kepengapan

catatan yang membingkai waktu menjadi kematian

rasa dangkal, menyerang kembara setengah kidung malam

perempuan membuka baju pada cahaya rembulan

warnanya jingga, persis jalanan di ujung cakrawala

tak ada lagi catatan yang kau bawa

sampai lupa waktu sudah berada di ujung jantung

ternyata kekalahan bermuara pada tangisan bocah

yang merengek di depan iklan tivi

kau akan merebahkan catatan ini,

ketika penamu jatuh menusuk sajak yang hilang kesaksiannya.

Klaten, Nov ‘06

SKETSA NOL

: ( rindu yang terbata-bata )

Kekasih,

Lalu, kita belai kemiskinan

dengan janji pohon waru yang selalu melindungi kita

Kekasih,

Lalu, ketika kita lihat hujan pertama di beranda

terbersit janji yang tidak pernah dikatakan pada lembar-lembar

rindu kita yang terbata-bata ini.

kita hadir mengajari hidup dengan seratus peluh

di corong pabrik yang busuk, di antara debu knalpot

dan kemesuman setengah hati kota raya.

Laknat, kita tanam benih seribu bajingan

yang tumbuh menjadi tuntutan sejarah

dan rambut matahari pun, kini sudah menghilang

menghitung pandangan purba kita terhadap rindu ini

dimana kesombongan ini harus kita amin-i bersama.

Klaten, Nov ‘06

DAUN DAUN YANG REBAH DI LADANG

Ketika doa-doa sudah berlayar menuju muara

sebabkan wajah ini tergores pedih,

masih ada sejuta lukisan yang mengambang di cakrawala

daun-daun yang rebah di ladang

tak bisa kita sangka sebagai kemunafikan

wajah daun yang muram

seperti detak jarum waktu

yang selalu menghujat kedatangan para perwira

di padang tandus.

Tetes hujan pun tak bisa mengartikan ini semua.

Klaten, Des ‘06

AWAL DESEMBER

Awal bulan ini.

masih banyak orang menyembah berhala kemiskinan

tanpa malu-malu.

Awal bulan ini,

Bencana dan berita pedih menjadi ritual tanpa basa-basi.

Awal bulan ini,

Orang lahir dan mati, persis tak ada upacara penyelamatan yang berarti

Awal bulan ini

Antrean panjang orang mencari kartu nama, berjejer di bawah lampu taman.

Awal bulan ini,

nama Tuhan terdengar lirih, kalah dengan dansa hip hop di kamar remang.

Awal bulan ini, sajak-sajakku tetap bertahan di pucuk cakrawala.

Klaten, Des ‘06

RUMAH DITINGKAP MARAH

Bagai durjana malam ini, kita berselisih

Pada buritan yang mengemban ombak

Dahsyat dan berwibawa

Pada setengah cakrawala , kita lumat dupa-dupa kemabukkan

Resiko harus kita ambil dengan setengah mata yang buta

Terasa daya nurani tersumbat, ketika khabar tak pernah datang

Dengan keindahan lekuk tubuh bidadari

Yang menari di dapur, kamar mandi dan ruang kerjaku

Aku masih bertasbih dengan kesabaran

Malam telah menghening, lampu-lampu mulai dipadamkan

Dan kereta malam yang berdenyut

Telah terbiasa dengan keadaan ini.

Klaten, Des ‘06

SETENGAH BULAN YANG TERAKHIR

Setengah bulan yang terakhir,

Orang-orang mendirikan tangisan di relung malam

Setengah bulan yang terakhir,

Bocah-bocah berkelahi di ujung pelangi

Setengah bulan yang terakhir,

Sempoyongan negriku mencatat kematina

Setengah bulan yang terakhir,

Wajah pagi tertanam di pengungsian

Setengah bulan yang terakhir,

Ratusan kidung bersemayam pada keheningan

Setengah bulan yang terakhir,

Senjata di hidangkan sebagai santapan siang

Setengah bulan yang terakahir,

Bagai sajakku yang tak berdenyut.

Klaten, Des ‘06

MARILAH KITA BICARA BAIK-BAIK

Marilah kita bicara baik-baik,

Padahal telah kau makan bangkai emosimu sendiri

Yang berjelaga, yang bertahta pada iblis di otakmu

Sedangkan aku menuggu Tuhan di setengah jalan ini

Kita sudah berpuluh badai, mencakar tanah kerontang,

Mencabik tanaman hias kita,dan kita kehilangan prasasti

Marilah kita bicara baik-baik,

Dengan kepala yang tertunduk, wajah bumi kita rindukan

Kita bawa pucuk sampul surat yang membiru

Kita dengar anak-anak di nirwana menanam kasturi

Dan bersenandung hati ibu kita

Marilah kita bicara baik-baik,

air hujan pun tak lama menemui kita

segala daya hidup yang tergadaikan

ketika kekeringan menjadi digdaya

pada kemarau hati kita

Klaten, Des ‘06

KENANGLAH WALAU KAU DIAM

Kenanglah walau kau diam

Aku telah merindukan padang kembaramu

Pada jejak-jejak kaki yang membekas

Kenanglah walau kau diam.

Sesenyap tangis,

Sesenyap jelaga,

Kau bawa sekeranjang dzikir usang

Yang aku mengerti sebagai pagar kencana

Sebilah penjara yang membunuh sepi

Aku rakus makan munajatku, ketika panggilanku menjadi beku

Di mana payung – payung hitam yang berderet ?

Dan lepaslah angin dari tujuh pintu

Terbayang seratus malaikat mencari puntung doaku.

Gambaran malam yang tertunduk. Tidak.

Kenanglah walau kau diam.

Klaten, Des ‘06

MENGENANG TAHUN BARU I

Mengenang tahun baru dipagar janjimu

Kau tersedak arus mata angin,

; kadang, berbicara tentang kemerdekaan

terlalu malam untuk diyakini menjadi sebuah kidung rembulan di jarimu, yang mengusir lamunan

yang berkeliling di kepalaku

sudahkan tahun baru tetap menjadi sepi.

Klaten, Des ‘06

MENGENANG TAHUN BARU II

Ketika sungai-sungai menjadi kencana

aku melihat, orang-orang merindukan pagi

dengan nyanyian tiga belas camar yang pulang

Ketika batu-batu menjadi wibawa

aku melihat, kekasih yang termangu

di mahligai jingga, tanpa kembara

kita menghilang diantara pohon-pohon kamboja

dengan seribu pelayatan rumah sajakku

tahun baru lalu, tak pernah bisa bertemu

dengan janji kenangan biru.

Klaten, Des ‘06

MENGENANG TAHUN BARU III

Rebahlah dengan nanah di matamu

berkatalah kembara yang kehilangan arah

hari berganti dengan daya hidup yang hampir mati

tahun berganti dengan daya imaji yang tersumbat

aku di mana ?

orang-orang tak bisa di ajak bicara

seperti batu, kita kenang tahun baru

dengan terompet kemiskinan yang sonder bunyi

dan rengekan anak-anak yang lebam pipinya

karena dihajar keadaan dan televisi

dan sejuta nahkoda telah kehilangan kapal pelayarannya

akhirnya, kita terdampar dalam peraduan pagi

di awal tahun yang gelisah.

Klaten, Des ‘06

KAU BERNAMA PEREMPUAN

Kau bernama perempuan

yang lupa letak rahimmu

yang teraniaya keadaan

yang terperangkap dalam hegemoni meteri

lukamu menjadi nanah di nadimu

kegelisahanmu ternyata semu tanpa kata merdeka

sejuta lakimu berkata, “ perselingkuhan ini kesejatian syahwatku “.

durjana, kau yakini itu sebagai bedak dan gincu

bukan bernama perempuan, sesal seperti kereta sendu

yang berderit mengabarkan tangisan menjadi ritual kamar pengap

jengah kita tersudut pada lorong air matamu

senja pun pulang tanpa menitipkan salam

Tetap saja, kau bernama perempuan.

Klaten, Des ‘06

HUJAN YANG KESEKIAN

Tanah yang lapar, mangajarkan pepohonan untuk berbagi

koran lama yang basah ujungnya, terbawa dekapan angin yang berdesir

ketika cahaya matahari dini pulang ke rumahnya,

aku melihat hujan di beranda, seperti parade waktu

yang tak kunjung bertahta. Aku ajak air hujan berada dalam mataku

biarkan tangan Tuhan yang mencatatnya. Biarkan tarian bidadari berkilauan

di antara puisi dan janji surgawi.

bagai ratusan laron hinggap di lampu bohlam

kesenangannya menjadi buah kenangan

Bayangannya seperti mimpiku yang entah terpasung atau lari

dengan cerita yang berbeda.hujan pun pelan-pelan melambat.

Klaten, Des ‘06

DESEMBER ADA YANG TERSEPI

Di bibir malam yang belum menyalak

tertancap dua kelelawar yang lepas pandangnya

angin yang membawa malam sudah habis ditelan anjing kompeni

iringan nada bossa pada pub-pub usang,

kita tak menemukan puisi kita

ketika seremoni kematian berbinar matanya

langit dan bintang bagai keluarga

seiring kelelahan malam menahan derita

orang-orang tak bergeming di kamar belakang

jam berdetak, ketika tangis adalah aspal jalanan

kita pulang memungut cerita,

di bulan desember yang telah menjadi fosil yang paling sepi.

Klaten, Des ‘06

KERTAS-KERTAS YANG TAK JAUH DI MATAMU

Sejak badai kita tambatkan di pesisir tangismu

Kerontang sendu yang kau tawarkan pada relung sedih ini

Hiasan kapal-kapal yang berlayar di dinding

Terbaca kita pernah mengajari lautan dengan sajak

Seratus depa jarak yang tak ada ujungnya

Masihkah menjadi catatan usangmu ?

Kertas-kertas yang ada di matamu

Kini, melayang rebut riak janji kita

Klaten, Des ‘06

SELAMAT DATANG PARA SRIGALA

Selamat datang para srigala

Silahkan mencari tempat di segala arah

Aku hiudangkan dua ratus dua puluh juta darah

Dari langit kelana yang semakin gundah

Selamat datang para srigala

Air liurmu memandang rakus para korban

Sejahtera perut kenyang sebagai santapan

Karena kebengisan kalian sebagai nyanyian

Selamat datang para srigala

Duduk di singgsana dengan dasi bergambar syahwat

Cincangkan perasaan kita pada bulan yang sudah cacat

Bagai kamar remang kita rampas segala derajat

Selamat datang para srigala

Suguhkan tarian pada nadi yang sudah amblas

Klaten, Des ‘06

SUNYIKAN NAMAMU PERAWAN

Lembah yang bertahta matahari

Seratus merpati hinggap dilekuk padi yang menguning

Kita simpan kesenyapan sebagai senjata

Bias warna tangismu mengundang catatan yang cacat

Malam yang menggantung di lesung pipitmu

Tertancap pisau lelaki didada kirimu

Yang kau sebut sebagai lelaki

Dan seratus lalat, mencabik matimu

Namamu sebagi kidung keabadian

Klaten, Des ‘06

SEBATANG POHON DAN NYANYIAN WAJAH LANGIT

Kita datang menjenguk pagi, dengan tangan hampa

Cerita dua bocah yang berkecipak pasir pantai, terlalu lambat untuk di kenang

Kursi-kursi tua yang sudah rapuh seperti persembunyian rasa lelah

Kita pun berbisik di pinggir khayal, di antara dua dinding yang berlumut

: kita pun mendayung harapan tanpa gelombang

sebelum kenyataan bersekutu dengan wajah malam

yang bengis menindas catatanku

perpisahan yang bagaimana yang harus mengundang tangis

ketika pintu pagi sudah kering embunnya

dan dedaun mengeja hari dengan tingkap kepapaan

ya, kau pun mengulang dosa

gambaran tentang wajahku yang sembunyi

sebagai saksi batang pohon.

Klaten, Des ‘06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo kasih komentar, komentar anda berguna bagi saya :