Yang Paling Depan
Kau merapat dalam buritan yang papa
mengapa senyap menyapa baitbait syair yang usang
kembali kita menuai khabar yang tak pasti
simpan saja rindu di atas pacahan bangkai rembulan
biarkan mengarat dan mencabik guratan sejarah
wahai layar yang belum berkembang
sempatkan singgah di pematang tangis
yang belum menjadi kembara yang hitam
aku duduk memandang titik jingga
engkaukah itu.
Klaten, Maret 2005
Terakhir
Terakhir bukan menjadi ritual ketakutan
tapi menjadi sebuah ratapan kenangan yang membekas
pada lampu-lampu
pada kursi di taman yang ditinggal dedaun kering,
pada para pengemis yang berharap akan turun lampu ajaib
dan kulihat engkau terakhir menghampiriku
membawa payung hitam.
Klaten, maret ‘05
Kubuka Jendela
Kubuka jendela dengan lingkaran sajak dikepalaku
ketika hujan masih membimbangkan keadaan di sekelilingnya
jendela tua yang engselnya sudah berkarat
hampir sulit aku buka.
Kubuka jendela kamarku
mesin ketik yang bersuara berat,
mengantar setiap jengkal tulisanku
menjadi petuah sukmaku
Kubuka jendela karena angin sudah malas untuk bekata-kata
tubuh yang sudah lelah untuk menghitung kekalahanku
walau selalu kau bilang, bersabarlah
di luar
terjaganya malamku.
Klaten, maret ‘05
PULANG
Bahu kiriku terluka
Ketika malam menjadi pertapa abadi
Ratusan kelelawar satu persatu lepas dari paraduannya
Jarak yang mengeja durasi waktu
Pinus yang yang semakin meninggi
: rindu ini rahasia alam
walau membekas, tangismu memanggil
entah waktu yang mengajari langkah
entah racun yang menenggak kenikmatan
aku ingin pulang.
Klaten, maret ‘05
Suara merdeka
REFLEKSI MAWAR BERDURI
Kau tumpahkan air anggur di cangkir doaku
berapa sejarah harus tertikam pada kisi nasibnya
kita berbenah pada kamar yang belum tertata rapi
atau kebosanan akan menjadi petaka seumur hidup
; puisi ini talah terpanah sarangnya
walau engkau bilang tidak mungkin
: puisi ini telah hilang kehangatannya
walau senyummu mencerca pendirianku\
Di sini dalam musim yang tak menentu
kembang yang telah aku tanam
harus melukai tanganku
; entah kapan akan aku tulis puisi usangku
Klaten, April ‘05
CERITA TENTANG MENUNGGU HUJAN YANG TAK REDA
tatkala hujan menetes untuk yang terakhir
aku tertegun di depan tvku, bapak menangis
meratapi kepergian anak semata wayangnya
anaknya, mati diperkosa lalu dibunuh
entah apa yang ada dalam pikiranku
meratapi atau mengutuk sang pembunuh
atau alam yang berkehendak begitu
sudah habiskah kesadaran kita dengan arti nyawa
sudah hilangkah nama Tuhan diantara kita
hujan yang aku tunggu untuk berhenti
ternyata masih juga tak berhenti
alam bergerak secara arif, kalau kita meng-arifi sang alam
alam akan murka, jika kita murka terhadap alam
hidup harus berpedoman dengan ibu pertiwi
pertiwi yang lembut dan bijaksana
mestinya, terwarisi sikap manusia
tapi kenyataan berbicara lain
nyawa tetap sebagai kompetisi untuk saling memusnahkan
hujan belum juga reda,kubuka jendela kamarku
sambil aku dengar lagu “hotel californianya eagles “
kepenatan pikiran menjelma menjadi pertapaku
kepada arah mata angin.
Akankah hujan tak akan berhenti
mestinya sajak ini tak mengajariku untuk menyerah
segumpal harapan harus selalu ada
satu orang diantara sejuta kebejatan manusia
pasti akan menjadi kasturi dalam kehidupan alam ini
suara tetes hujan menutupi kesepian malam
tetesnya adalan rytme kehidupan
kadang hanya sepercik
tapi juga, bisa menjadi bah
Klaten, April ‘05
SENANDUNG BIRU HITAM
; untuk reza
lepaskan penat itu, kala suara srigala sudah menyerupai cemasmu
pada kenyataan. Langit sudah hilang warna birunya
kini yang ada hanyalah jelaga kepapaan hatimu
hujan akan sebentar lagi membasahi tubuh bumi ini
lalu, petir bagai rakasasa yang membahana mengisi tangismu.
Kenyataan ini harus dibingkai,
sebagai kewajaran hidup seorang laki-laki
mulutmu sudah lelah untuk berkata rindu
kepada perempuan yang telah kau nobatkan
sebagai prasasti janji yang mati
memang, kapal sudah jauh berlayar
memang, layar sudah terbentang
angin sudah menyambut kegirangan
tapi kepastianmu untuk sampai ke dermaga
enggan engkau berikan, kini.kapalmu tetap saja berputar-putar
lalu sebentar lagi akan dihantam sebuah kapal besar, engkau terombang - ambing
kini, senyapmu selalu engkau bawa
tanpa persediaan untuk meraih dermaga
mana yang akan engkau pilih !
kepastian dan kebaranian bahkan pengorbanan
atau rasa sakit yang tercerai berai tak bisa dipungut lagi
perempuan adalah kata jamak dari misteri
yang sama sekali tak bisa engkau terjemahkan
atau penungguanmu yang tak akan pernah berujung.
Klaten, April ‘05
CERITA WAJAR TENTANG PATAH HATI
: untuk reza
Kemarin dalam ufuk waktu yang panjang
kau sematkan kembang tak berupa
pada kuping kekasihmu.
Kemarin, kau masih meminang kata-kata indah
kepada kekasihmu
Kini, bagai bangkai
kau merangkak menghiba
meminta kekasihmu untuk merajut janji
yang telah kau jahit
pada kain sang dewa erros
tapi, ceritapun jadi wajar adanya
ketika senandungmu sudah tak bermakna lagi
ketika janjimu sudah termakan oleh peradaban
apa jadinya
jika, kata sudah tak mempunyai makna lagi
apa jadinya
jika, keretamu sudah tak mampu untuk menjemput lagi
kesenyapan kau ciptakan sendiri
janjimu adalah belati untuk kau tusukkan pada jantungmu sendiri
Klaten, April ‘05
DI DEPAN RUMAH
Bagai lagu Mozart yang mendayu
Bagai lenguh kapal yang menjuang ke samodera
Bagai kasturi yang semerbak di firdausi
Di mana bocah-bocah malam
Yang melantunkan nocturno kepapaan
Bingkai waktu ini, semakin merapuh
Tatkala tangan-tangan kita sudah melahirkan dajal
Napas alam yang sempit, khabar yang berganti tangis
: di depan rumah barisan pelayatan sajakku, mengantar kepergian angin
Klaten, april ‘04
BAGAI MALAM YANG TAK BERKIDUNG
Dengan tangan yang terkulai
Wajah angin masih nampak pasi, mengeja kalimat kencana
Tiba waktunya untuk merapatkan tangan diantara lipatan keluh bumi
Sebongkah nama Tuhan tergeletak, menyiratkan pesan yang bergeming
Di bawah gedhek-gedhek rumah penduduk dusun.
Kita nobatkan pahlawan diatas pusara kemiskinan
Kita ciptakan mimpi, walau sulit terbeli
Sepi nian bara yang mengabarkan senyap
Pada malam yang bertaring bulan,
Sempurnakan penungguan ini
Entah enggan kuhitung lagi
Klaten, April ‘05
KADO ULANG TAHUN
: anakku Ludira
Dira, yang tersayang
Masih kau simpan wajah matahari
Di balik tas ranselmu
Atau pada kotak nasimu
Biarkan ia beradu dengan pensil warnamu
Karena matahari berbinar, jika kita mengerti energinya
Dira, yang tersayang
Kehadiranmu bagai pelepas busur yang menghunus kepengapan
Bukalah jendela pagi, embun akan menyapamu
Dalam daun anggrek yang kita tanam bersama
Dira, yang tersayang
Kadang tangismu bagai kidung yang mengulum pongah
Kehidupan yang sulit, bah menerjang menghancurkan kapal kertasmu
Entah berapa kali, kau merengek meminta yang lebih perkasa
Dira, yang tersayang
Duri yang tertancap di jantung papamu ini, cabutlah
Biarkan rasa sakit yang akan kita bangun
Karena kesakitan adalah bibit kemerdekaan
Dira, yang tersayang
Kado ini jangan kau lepaskan ikatannya
Simpanlah di bawah bantalmu
Kelak mimpimu menjelma menjadi peraduan yang abadi
Selamat ulang tahun.
Klaten, April ‘05
PERTANYAAN DI PERTIGAAN MALAM
Selimut malam menggelantung, mencakar kelelawar yang terbang
di paruh bulan. Kadang kehidupan yang tergores bingkainya, mengajari suara malam
menjadi catatan kembara yang agung
bagai menjadi pertapa kita buktikan kebenaran dengan darah di tangan kita
di atas tumpukan kardus-kardus yang menjamur, pertanyaanmu kadang tak ada jawaban
hening, purba dan berjelaga
seribu camar yang terbang rendah
diantara lekukan langit yang menggunung
sempat kita berbicara , lalu semuanya fana
marah ini tak pernah berujung
karena kecurigaanmu manjadi haluan batinku
kapal-kapal yang sudah bercinta dengan samodera
tidak pernah terpikirkan, pertanyaanmu adalah parasit malam
Klaten, April ‘05
Mendapatkan bintang yang terpakur di bangku terminal
Wajahnya bening bak pualam yang bersinar
Sementara, rambut matahari yang tak sempat aku prasastikan
Kenapa nama perempuan yang menjelma menjadi pertengkaran
Ruang kamarku menjadi pengap
Asap rokok yang menebal memberi tanda
Untuk lekas meninggalkanmu
Yang dari tadi menunggu kelelawar yang tak pernah bisa terbang
Menghitung rindu yang percuma
Menebak musim yang mengingkar
Vas bunga yang telah retak
Menyimpan kenangan yang purba
Aku duduk memandang aspal yang berdenyut keras sekali
Kapan engkau akan datang ?
Klaten, April ‘05
Suara merdeka
MELIHAT TREMBESI MENATAP MUSIM
Ketika daun – daun trembesi di musim hujan
Bercengkrama dengan air sungai, wajahnya pasi
Mencibir hujan yang sangsi terhadap matahari
Atau kecipak katak yang melompat di daun talas
Peristiwa menyadarkan pada kembang yang berebutan untuk bermekaran
Ketika trembesi memagut mendung
Dengan tangan yang terbalut, kulihat camar yang pulang
Hatinya terluka karena kefanaan yang semu
Menjadi berhala yang bimbang
Matanya merah
Kakinya merah
Dengan sikap yang papa, camar tak pernah berucap “ mati “
Dan trembesi mencari sajak di ketiak malam
Dijumpainya serpihan kenangan yang membatu
Di kalungkanya petuah, pada dinding sepi
Lalu kembara menjadi pertapaan akhir.
Klaten, April ‘05
METAMORFOSIS ILALANG
Menggurat kesenyapan pada wajah malam
Kita tuang air mata itu, lalu mendung pun tak ada yang menyertai
Pada sobekan kertas-kertas usang, lampu-lampu
Bangku-bangku taman yang menyudut. Tak ada khabar yang melintas.
Deretan kata yang mengalir
Masih saja seorang kawan menyinggung cinta
dengan nama dendam.
Di sudut senja yang mangu
Engkau menjelma menjadi bangunan
Dalam pengap yang terjaga
Wajahku terluka, tercabik kenangan yang memahit
Kapan suratmu yang harus kutunggu ?
Atau sudah lepas busur panahmu ?
Klaten, Mei ‘05
Suara merdeka
EMPAT TEMAN
Empat teman adalah pasangan kehidupan
Yang menatap langit menjadi patokan
Empat teman tak bisa dicabik dengan hasutan
Walau beribu panah kurawa akan mengancam
Empat teman adalah sinergi kembang,yang baru bermekaran
Mewangi menjuntai para rahib yang berkontemplasi kekekalan
Empat teman menghitung musim menjadi pelajaran
Karena alam menjadi pijakan untuk berjalan
Empat teman masih menjadi teman
Kalau darah yang satu tuang dan nadi,
tak pernah disuguhkan pada pelacur kehidupan
Klaten, Mei ‘05
PUJANGGA
Kelelawar mencakar genting makam yang berlumut
Wajah matahari masih nampak tahan dengan godaan
Semilir angin terbiasa dengan sindiran hujan
Orang-orang memamerkan doa pada batu kali
Diskusi dan seminar tak selalu menjadi arti
: Wahai cucu yosodipuro, kau longgarkan bait syairmu
Untuk menjadi misteri alam
Jaman edan selalu menjadi harga jual tinggi
Sementara jasadmu menjadi kecongkakan ruang para penziarah
Siapa yang menaburkan kembang tujuh rupa
Pada kereta waktu yang berderit lalu memelan
Memecah keheningan.
Tak terhitung korban yang harus mengisi relung bumi pertiwi
Inikah ajaranmu, inikah ramalanmu ?
Orang-orang berdesakan untuk menyantap kue sedekah
Lalu menghilang untuk menipu diri sendiri
: Wahai raden, dari beribu bintang
Kau sendirian mengangkangi jaman
Seribu kelelawar berkelebatan diatas makammu.
Makam Ronggowarsito, Mei ‘05
BADAI TIDAK PERNAH PERGI
Badai tidak pernah pergi
Karena awan-awan mengajari kebohongan
Badai tidak pernah pergi
Segala dzikir dan doa bagai kapal yang ditengah gelombang
Badai tidak pernah pergi
Matahari yang mengumpat lalu berdesakan menyampaikan panas
Yang harus disikapi
Badai tak pernah pergi
Keringat ini, bukan tak pernah kita hitung
Karena nyawa yang kita umbar tak pernah tergantikan
Kepada tunas yang mewangi
Badai tak pernah pergi
Kita berkumpul menatap kepak-kepak merpati yang pulang
Satu kawan yang mati, tak pernah ditulis sebagai persahabatan abadi
Badai tak pernah pergi
Karena virus kebencian ini selalu kita bawa.
Klaten, Mei ‘05
DARI JENDELA YANG TAK BISA DIBUKA
Dari jendela yang tak bisa dibuka
Terdengar lagu yang pernah engkau senandungkan
Terdengar merintih mengkaca pada bibirku yang terkatup
Dari jendela yang tak bisa dibuka
Yang aku bisa hanya melihat
Bias photo yang sobek tepi – tepinya
Kenangan mengelana, mencari bentuk arti kepastian
Dimana engkau yang pernah mencuri
Sebait sajak usangku
Dari jendela yang tak bisa dibuka
Panas merayap, menghardik pengap
Lampu bohlam yang meredup
Menyesal aku harus masuk kamar ini.
Klaten, Mei ‘05
REPORTOAR JALAN SLAMET RIYADI
Aku termangu menatap
yang berbenah, diantara lipatan paha panas yang menyengat
jalanan yang bersetubuh dengan asap knalpot,
orang – orang membawa uang belanja yang tak cukup
sementara bau kotoran menyengat hidung
kita menanti apa di sini ?
mal-mal saling berjingkatan mengisi relung kehidupan
juru parkir memamerkan keringat dengan harapan
pada paruh matahari, genta waktu bergerak cepat
mobil-mobil mewah bergelantungan di bibir fast food, steak plate
dan serabi tradisionil
kita menanti apa di sini ?
sementara “hardono “ nongkrong di emperan kraton,
bukan tak mungkin “slamet “ akan teriak-teriak di tirtonadi,
bukan “ joko “ kalau tak bisa nglesot di alun-alun
tapi pasti “ purnomo “ berani kulakan batik di klewer
matahari bertemu pacahan kaca mata para mahasiswa
kita menanti apa di sini ?
slamet riyadi, sriwedari, pasar kembang, triwindu, pasar legi, manahan, gladak,
solo baru, silir adalah metamorfosis metropolitan yang nanar
lalu semuanya meminang rembulan
dan jalanan itu tertawa, bagai sebuah reportoar yang lambat untuk dipentaskan,dan kita menunggu apa di sini ? sementara Lik Suto bertanya, kenapa sekarang kantor pengadilan
ramai dikunjungi anggota DPRD ?
dan matahari turun bersama badai.
Slamet Riyadi, Mei ‘05
Dimuat di harian solopos
Minggu, 26 juni 2005
DI TANAH YANG HABIS TURUN HUJAN
Sejak dzikir usang mengajari awan-awan
kemboja yang meranggas daunnya,
ulat putih yang bertarung dengan nanah dada ini
nama kesenyapan kembali menjelma
biarkan hujan ini meliang ke dasar parade waktu
bagai chairil yang meminta 1000 tahun,
atau willy yang tersodok tenggorokannya,
karena terbata-bata dengan orde – demi orde
kapan engkau beri perempuan, yang berhias di dinding yang tanpa lepo.
Pada tujuh nocturno yang tak berbekas ini,
hujan yang menggugah munajatku
paras-Mu bukan seperti biasanya
aku terjatuh dalam lapangan kapitalisme
dan modernisme
siapa yang mengirim kenangan firdausi ini ?
aku enggan bertaruh dengan jelaga adzab-Mu
tangan kiriku terluka.
jantung matahariku raib, entah ke pub-pub atau salon kecantikan
wahai hujan yang bergeming
di bulan paruh bayang
engkau lepaskan panah kurawa
yang tersimpan bersama bathok-bathok kepala perwira. yang beringas kala mencium bau darah
sepatuku yang tak berdasar . menyentuh tanah basah
karena hujan yang tak pernah
aku mengerti.
Klaten, mei ‘05
Dimuat di harian sloops
Minggu, 26 juni 2005
PAGI DI TEPI SURATMU
Kawan, tak tahu darah mana yang harus kita tangisi
penjara batin ini tak bisa kulepaskan
pada nama ayat yang mengais surga,
kau kenangkan hujan yang tak pasti datangnya
kawan, pagi yang berkabut ini
kau jagakan unggun di tepi langit, malam itu
butir angin yang merajut senyap
kita lingkarkan segala jengah, walau itu hanya
sekedar isak bait usang yang berkarat
kawan, suratmu datang tepat terselip di batang anggrekku
warnanya putih seperti batu kapur,
dan bergurat pada tulisannya
ada nama Tuhan di akhir kalimatmu
bagai air samodera aku menepikan kangenku
: masih banyak cerita yang belum pernah aku dengar
kawan, satu angin ini aku titipkan
pada balasan suratku
biar seribu hujan yang akan mengantarnya
biar sejuta pelangi yang mengabarinya
karena, dayaku mengingatmu
bagai mencabik sembilan penjuru angin
Klaten, mei ‘05
MENCARI
Aku mencarimu di balik bantalku
Tak pernah kutemukan
Nama-Mu
Aku mencarimu dalam dengkur malamku
Tahajudku menertawai kebodohanku
Aku mencarimu di pentium tigaku
File-Mu bagai virus
Melelahkan imajinasiku
Aku mencarimu pada kamar mandi yang belum jadi
Kecipakmu membasahi kotorku
Lantas, harus kemana aku mencarimu
Tak ada yang mengajariku
Untuk bersabar.
Klaten, mei ‘05
BUKU KECIL DI ATAS MEJA
buku kecil di atas meja,
masih menangis di penghujung pena
buku kecil di atas meja,. menatap aku dengan dzikir-dzikir tuanya. buku kecil di atas meja,
melenggang sendiri menyusuri
Klaten, mei ‘05
Dimuat di harian solopos
Minggu, 26 juni 2005
Berita Pagi
Anak TK mati bunuh diri,
Matinya kecil, tubuhnya kecil,
Masalahnya kecil, beritanya kecil
Kita menjadi kecil, diantara penjara kehidupan
yang paling durjana.
Klaten, mei ‘05
SINGKAT SAJA
Patahan sungai tangismu,
Mengajak aku mencapai kata sepakat
Kita pergi. Lalu, semuanya menjadi ruam nasib yang papa
Di atas kursi tua yang berdebu,
Di antara bingkai photo yang goyah
Karam penungguanku selama ini.
Tujuh pintu bulan telah kita masuki,
senda tawa kita kayuh,
kapan perjanjianmu akan menjadi pualam
: sementara Tuhan selalu menghindar dari kita.
Klaten, mei ‘05
MAK TUM DAN WARUNGNYA
Rumah tak bertembok, bersandar di angin sawah yang memelan
kadang hembusannya mencabik penat yang mendalam
pada kaca bis-bis yang lewat, atau para penjual sayuran yang mengatup
kau layangkan senyum yang terbang pada bibir langit yang memerah
warung itu mencibir keadaan dengan kebulan sotomu
“ mak, langit masih memerah “
bagai ratusan kilo sungai waktu
yang kau rajut, kau tak lelah menunggu pembeli
“ sebagai istri yang tertua, aku menyadari, untuk
selalu menghargai suami,
setelah itu, untuk apa hidup ini ? “
Warung masih tetap belum bertembok.
Klaten, mei ‘05
KUPU-KUPU DI ATAS DAHAN
Kau berjanji mengalungkan warnanmu
dengan terbangmu, bersandar pada dahan yang tertunduk
kibasan angin yang berdesir,
seratus cahaya diantara penungguanmu pada musim,
mengubah arah matahari.
Kupu-kupu di atas dahan
masihkah kau hinggap, pada kembang yang putih ?
lumut-lumut kayu yang cemburu
menerkam arti kekasih musim
pulanglah, karena pagi masih termangu
dengan jengah waktu yang panjang.
Klaten, mei ‘05
PERJALANAN I
Masih sempat kau titipkan sebaris sajak
pada lenguh waktu yang menghujat
setelah perjalanan ini menjadi ritual kepedihan
antara jemari yang terlepas dalam genggamanku
: sementara jingga langit. terlalu pagi untuk
perjalanan pun bagai terhembus angin
Klaten, mei ‘05
PERJALANAN II
; memoir wonolelo
dingin angin di perbukitan, tak sempat aku membisikkan
namamu, wahai badai yang masih bertengger di antara cemara
ketika tubuh-tubuh kita harus naik turun bukit, mencari arah penjuru
matahari yang hilang entah kemana
wanita – wanita penacri kayu, dan orang-orang yang memerah susu sapi
ketika gunung masih pulas dengan kabutnya, kita terjaga memandang lampu teplok
yang mulai enggan untuk bersinar. Selalu cahaya bulan menjelma menjadi bayangmu
sahabat, yang jauh.
Atau orang-orang yang bertapa di
Bukan tak mungkin kalau gunung yang aku peluk ini,
adalah perjalanan untuk mengenal keagunganMu
Klaten, mei ‘05
SEMBUNYI I
( harus kemana )
Aku ngumpet di baris-baris sajakku,
ketika berita- berita di koran dan televisi mengejarku
aku takut , segala berita membuatku merinding
ada yang mati karena tak bisa melunasi hutangnya,
ada yang mati karena karena mengutil uang rakyat
ada yang mati karena bencana yang beruntun
ada yang mati karena terkena bom nyasar
aku harus lari kemana
karena rumah-rumah untuk sembunyi
sudah terbakar oleh kepengapan
berita-berita itu terus mengejarku. kapankah berita-berita itu, tak akan mengejarku lagi
kini, yang kulihat sebarisan langit mengahadang,
warnanya berjelaga.
Klaten, Juni ‘05
SEMBUNYI II
Tuhan mengejarku diantara
mataNya menatapku penuh kecurigaan
aku sembunyi dibalik kelambu malam
aku sembunyi diantara paha perempuan
aku sembunyi di laci-laci para pejabat
aku sembunyi di antara proposal aparat negara
lampu- lampu taman menyilaukan pandangku
aku berlari tak terarah,
wajah-wajah perempuan penjual sayuran, aku tendang
wajahnya lebam membiru
aku hanya menoleh sebentar
aku terus berlari
aku berhenti di pelataran masjid
Tuhan tak mengejarku lagi.
Klaten, Juni ‘05
SEMBUNYI III
Sementara doa yang mengalir
diantara lenguh waktu yang mengiris
aku mengeja namaku, bagai mamahat rambut matahari
batu-batu yang kusam warnanya, tempat aku sembunyi
mereka diam dan perkasa
sementara tangan dan mataku
telah lelah menghitung
orang-orang yang antre untuk dilukai kehidupannya
Klaten, Juni ‘05
TESTIMONI BIRU I
: rey
Kupaksa kau untuk berkata jujur,
: bahwa kelelawar malam telah kembali
katakan bahwa engkau mencintaiku,rey
ragaku telah sempoyongan menahan kehidupan yang payah ini
kau malah membelakangi persoalan dengan tangisan
tangismu bagai desau suara angin yang tak tahu musim
kekhilafan kita adalah ujung belati yang bagai menggores
pigura kenangan kita.
Aku lelaki mencoba untuk sombong dengan pendirianku.
malahan, Tuhan selalu menertawakan kekanak-kanakan kita,
harusnya, kita malu kepadaNya
segala badai tak ada yang berani menghajarku
karena testimony ini adalah sikap agung cintaku padamu
dan kekelawar tak akan pergi lagi.
Klaten, juni ‘05
TESTIMONI JINGGA II
: rey
Bagai bersampan di perahu yang hilang nahkodanya
karena kita telah sengaja mendikte kehidupan ini,
dengan pertengakaran yang tak ada habisnya.
habiskah kita ?
bulan separuh bayang, masih meng-kidungkan suara malam
pertengkaran seperti meminjam tangan dan otak iblis
yang tertawa cekikikan di ujung kamar kita
ketakutanku menjelma, bagai rahib yang baru turun gunung
kesucian ini harus dipertahankan
dan yang namanya iblis adalah kawan sebagai pengontrol dari kebaikan kita
dendam ini harusnya bukan diciptakan untuk kita,
tapi dijaga agar tidak membakar rumah kita
selesai. Dan jingga di langit menghilang.
Klaten, juni ‘05
TESTIMONI MAAF YANG TAK TERHITUNG
; rey
Aku minta maaf padamu.
Hunuskan marahmu di api . Perjalanan ini masih panjang.Ada Tuhan yang selalu menjaga kita
Koreng-koreng kita, pelan – pelan akan sembuh
Percayalah.
Klaten, juni ‘05
SERDADU I
: tentang paranoid
Berpanggul nama bangsa
Di antara bangkai tangis yang terkapar
Langit tujuh penjuru memancar nanar warnanya
Dan sehelai
Serdadu itu, melepas peluru di kepalanya sendiri
Dhuaaar.
Klaten, Juni ‘05
SERDADU II
: tentang bireun
Coba apa yang akan kita cari
Ketika senapan harus terhunus
Di rumah-rumah penduduk desa
Yang tersayat mata hatinya, ketika melihat keluarganya mati
Sepatu lars berdetak keras
Sekompi serdadu, di hadang penduduk
Semua telah lupa nama persaudaraan
Apa kita telah diajarkan untuk membunuh
Peperangan ini belum berakhir,
Hati kita masih menempel di dinding dendam
Serdadu pulang sendiri
Hanya di temani angin malam.
Klaten, juni ‘05
SERDADU III
: tentang
yang ada di pulau jawa.
Aku masih di sini, menunggu perintah
Pemberontakan masih ada, sayang
teman-temanku masih ada di hutan,
malahan kemarin seorang teman mati tertembak
mungkin bulan depan tugasku sudah selesai
kamu sehat-sehat saja ?
tuggulah aku, bulan depan aku akan melamar kamu. seperti janji kita
kelebat cahaya kekuningan nan menghitam
jatuh tepat di kamp serdadu.
serta darah yang menetes di atas photo seorang perempuan
: dan genggaman tangan sang serdadu yang menggenggam photo itu,
tak akan mungkin dilepaskannya
kesetiaan sang serdadu terpatri di paruh burung-burung ering
Klaten, juni ‘05
SIANG YANG TAK BEGITU PANAS
Siang yang tak begitu panas,
Menerpa wajah-wajah kuli pasir
Menunggu truk-truk yang lewat bagai
Mawar yang baru semerbak
Harapan akan bayaran dari keringat yang menetes
Dan legamnya kulit.
Siang yang tak begetu panas,
Tarikan napas setiap hari terasa berat
Karena beban hidup yang kian bertambah
Menjadi kenyataan
Siang yang tak begitu panas
Kelakar para sopir, diantara kartu-kartu domino
Rejeki bisa datang dari balik tikar
“ Mereka seperti angin “
“ Tak terlihat tapi bisa dirasakan “
sementara pasir sudah penuh satu truk
truk harus segera diberangkatkan
Siang yang tak begitu panas
Aku mendengar khabar,
Seorang penambang pasir mati, tertimbun pasir.
Klaten, Juni ‘05
PEREMPUAN PENJUAL KEMBANG
Pasar itu menapak waktu yang begitu rumit
Orang-orang tak sempat melihat arloji
Kadang waktu harus dipaksakkan untuk menurut
Perempaun setengah baya, pakai kebaya lusuh
Di depan, di atas taplak yang juga lusuh
Kembang yang berwarna-warni dan harum baunya
Perempuan itu tertunduk lesu
Memandangi dagangannya, masih dua karung
Tetap utuh.
Perempuan penjual kembang
Hidupnya penuh warna-warni tapi tidak harum baunya
Dia berkata, “ aku dulu seorang lonte murahan di pasar ini, karena sering
di tertawakan lingkungan, aku pindah profesi jadi seorang penjual kembang “
penjual kembang itu, melihat langit sudah berwarna jingga
dia tak berkutik dari tempatnya
mungkin berpikir, rejeki itu tidak mengenal waktu.
Orang sudah pulang
Teplok yang temaram menemani perempuan penjual kembang.
Klaten, Juni ‘05
SEJAK MEMOIR BINTANG-BINTANG YANG HILANG
Kapan perjamuan tentang malam di tangisi
Ketika tangan kita mejelma di jelaga ufuk waktu
Di tengah peraduan malam yang tenang
Kasturi firdausi tak kunjung datang
Sepi ini, adalah mimpi yang tak bisa ditebus
Atas nama cinta yang muncul
Kau datang tiba-tiba, lalu menghilang lagi
Bukan nama kita yang harusnya terukir
Tapi candu kepapaan yang selalu menyelinap
dalam baris bait kalimat yang memelan, mencari
kapal misteri pertemuan kita.
Klaten, Juli ‘05
KAWAN YOGYA YANG DATANG
Lama nian tiada berjumpa
Menyapa malam yang riuh,
Dengan iklan-iklan teve, dengan demo anti pilkada, mal-isasi di kota-kota kecil,
penggusuran kaki
Aku berjumpa kawan lama,
dalam malam yang kesekian kali mengejek aku.
Kawan yang lusuh, dengan mata angin kau bawakan aku kerinduan
“ politik adalah mata pedang yang bisa menyayat tubuhmu “ hanya itu.
lalu, cerita kawan yang hilang
dan sekarang sudah mencari perempuan baru lagi
“ itulah kehidupan yang selalu membalas perjalanan kita “ hanya itu.
aku tertawa lirih,
ketika kutanyakan
“ apakah reportoar tentang lelaki berjubah putih, sudah kau lakonkan “ kau tertunduk, hanya itu.
Lalu apa yang terjadi.
Kau masih duduk berserakan dengan koran-koran yang sudah basi, atau kau masih
bergulat dengan proposal-proposal tentang penindasan, rakyat yang mana harus kau bela ?
jam sebelas malam, kau pamit pulang.
Klaten, Juli ‘05
KETIKA SAHABAT,
Ketika sahabat adalah jembatan kehidupan yang purba
Ketika sahabat adalah peraduan cinta yang terbata-bata
Ketika sahabat adalah tamparan sukma yang membekas
Ketika sahabat adalah bom waktu yang mengancam
Adalah badai kerinduan yang tak bisa dipadamkan
Kapan kalian akan menengok sakit bait-bait kehidupan ini ?
Klaten, Juli ‘05
SAKSI JALANAN YANG BERLUBANG
Ketika orang-orang meneriakkan kemenangan
Sembunyi dedaun yang jatuh menyerupai kalimat yang meliang
Aku melihat sekawanan mendung menyulut matahari dengan rambutnya
Kita berlari diantara lipatan sejarah yang suram
Orang-orang masih berteriak tentang kemenangan Seratus mata angin menyibak busur kenihilan.Dimana kita berpijak, dimana kawan yang menyelami tangisan ?
: wahai bangkai waktu yang meranggas, serahkan tubuhmu pada kehidupan
semoga jalanan ini tak pernah mengerti
bahwa, badai yang aku bawa sudah pergi.
Klaten, Juli ‘05
KEMARIN AKU MELIHAT KAU
Kemarin aku melihat kau
Menertawai Tuhan, dengan bantal yang bertahta amis darah
Dan sekarang kau mencari-Nya, di antara mimpi yang bersekutu dengan mendung
Tak pernah aku kehilangan tangan yang lincah
menjahit pelangi dengan oda malam.
Kemarin aku melihat kau
Berkerumun mencari kata-kata walau tak pernah lagumu terselesaikan
Sekarang bongkahan dendam mencakar parung penungguanmu
Pada siapa kita berpihak. Langit pun mulai menyibak
Membawa sekeranjang misteri tentang.kehidupan.
Klaten, Juli ‘05
AKU BUKAN
Aku bukan penguasa yang menuding obyek
dengan perintah.
Aku bukan binatang yang meyalak ketika mencium musuh
Aku bukan tumbuhan yang tertunduk pasrah bila ditebas
Dan
Aku bukan batu-batu yang terdiam bila dipahat
Serta
Aku bukan lonceng, berteriak jika dipukul
Serahkan jiwa ragaku tetap pada kehidupan alam
Biarkan mengalir tak terbatas ruang dan waktu.
Klaten, Juli ‘05
PETUALANG I
Mengajari matahari tanpa mencari dendam
Aku datang dengan panggul yang letih
Bersayap kembara yang kosong
Arah mata angin kujadikan pandangku
Dengan irisan darah yang mengalir
Penuhi rasa rinduku pada kampung halaman
Klaten, Juli ‘05
TENTANG DIA
Nabi yang buta huruf itu adalah Nabi Muhammad
Tak ada nabi sepintar nabi Muhammad
Nabi yang menderita itu adalah Nabi Isa
Tak ada nabi yang meninggal sebahagia nabi Isa
Nabi yang miskin itu adalah Nabi Ayub
Tak ada nabi yang bersyukur nikmat Tuhan, selain Nabi Ayub
Dia adalah Yusuf, Nabi yang sangat rupawan
Tak ada Nabi yang selalu menjauhi nikmat duniawi, selain Nabi Yusuf
Terima Kasih Allah, Engkau ciptakan Nabi – Nabi sebagai kaca kami
Di bumi ini.
Klaten, Agustus ‘05
SAJAK PEREMPUAN YANG BERSELIMUT
Perempuan yang berselimut, menutupi mukanya dengan kekesalan para iblis
Kau serahkan kemarahanmu padaku, ketika priuk nasi sudah mongering,
Ketika malam yang mendingin sudah melumat waktu,
Bukan kita menciptakan mimpi, tapi kehidupan ini yang tak pernah kita mengerti.
Perempuan yang berselimut, mendekap malam dengan tangisan
Ketika nyamuk-nyamuk bertahta di kepala, ketika dupa-dupa mulut yang berbisa sudah melayang, kita akan pergi kemana.
Sementara gerbang surga sudah kehilangan catatan nama kita
Haruskah kita mengulangi kehidupan ini dengan romantika ?
Haruskah aku berseloroh tentang perjalanan para Nabi ?
Kau terdiam ketika kakimu sudah terpasung di cakrawala.
Wahai engkau perempuan yang berselimut, bilur-bilur nadi darahku
Tak akan pernah mendidih, walau engkau sebut aku seorang pelarian
Yang menghamba pada kata-kata.
Ini malam yang gaduh, diantara lolongan anjing perkampungan
Yang merengsek mencampuri urusan kita
Tidurlah , biarkan lelapmu diantar oleh air yang mengalir
Aku terdiam di pojok, menghitung kapal-kapal yang sudah diberangkatkan
Sementara, malam mulai menggigil, jarum waktu menetes diantara para iblis yang sudah mengantri untuk mengetuk pintu kamar kita.
Engkau tetap berselimut.
Klaten, Agustus ‘05
DUA ANAK YANG TERTIDUR
Kalian bermimpi tentang rumah kaca ?
Atau tentang mobil warna merah menyala ?
Sementara ibumu memimpikan mempunyai suami seorag Nabi
Sedang aku, bertahan pada kata-kata.
Klaten, Agustus ‘05
SEPI YANG MENGHILANG
Kereta itu bersembunyi di langit
Pada tengah hari yang menepi
Kidung yang setengah hati, mengalun pada not-not yang terbata-bata
Sayang, sempatkan peluk itu menyela,
Kadang tangisan ini sudah hilang sukma
Sayang, deretan angka-angka di jam dinding itu
Seperti tragedi yang harus kita hitung
;dan orang-orang masih sempat menitipkan senyum
di emperan peron.
Klaten, agustus ‘05
RINDU DI BATAS KEJAUHAN
Kutitipkan rindu ini, pada balik jeruji penjara
Ketika cahaya rembulan tak pernah aku pandang,
Ketika sinar matahari bagai memori yang mengiris.
Tangan ini penuh dendam, antara kawan yang tiada
Antara kerasnya kehidupan
Dan tuhan telah menunggu penyesalanku
Kutitipkan rindu ini, pada sipir yang mengetuk jeruji penjara
Dengan piring rasum yang basi untuk kumakan
Lapar ini menggelanyut di dada, setiap detik waktu kuhitung
Sebelum datang penentuan, sendiri di pojok khayal yang purba
Engkau datang membawa sekeranjang kembang
Klaten, September ‘05
POLONIA BERKABUT HITAM
Memandang langit, dua belas camar mendadak gusar
Sekelabat bayangan hitam menjulur memenuhi cerita pilu
: ada yang jatuh, bagai dentuman meriam di siang
yang belum begitu nanar
orang-orang tak bisa bicara apa-apa
hanya sayatan mata kelu, memandang ratusan orang menjadi arang
berapa cerita harus kutulis, kalau setiap yang terjadi adalah kesedihan
berapa orang harus menangis, ketika menyaksikkan kemalangan tak pernah berhenti
polonia berkabut hitam
seperti karangan bunga belangsungkawa, berserakan di halaman bumi pertiwi.
Klaten, 5 Sepetember 2005
Dimuat di Harian “ SOLOPOS “
Minggu, 2 Oktober 2005
hari itu, di
149 orang mati. Saling menyalahkan adalah ritual pembicaraan yang pasti,.ketika nyawa sudah menjadi bukti.
September itu, adalah sebatas cerita yang belum ada akhirnya
Mata ini sudah sulit untuk menangis,
Kalimat ini sudah susah untuk dicerna
Karena Tuhan menguji ini dengan tangan besiNya
Kapan penderitaan yang mendera ini bisa berhenti.
Klaten, 5 Sepetember 2005
Dimuat di Harian “ SOLOPOS “
Minggu, 2 Oktober 200
TUHAN MARAH
Tuhan marah
Mandala dijatuhkan
Padang Bulan menyayat
Nyawa taruhannya
Kembang berwarna violet menghiasi tiang bendera merah putih
Daftar kematian berjajar rapi, di pekuburan massal
Peti-peti mati, dijual murah
Karena kenyataan kematian setiap saat bisa menjemput
Tanpa pernah ada yang tahu skenario dari Tuhan
Tuhan marah
Aku melihat layar tipi
Tanpa pernah bisa berkomentar
Klaten, 5 Sepetember 2005
Dimuat di harian “SOLOPOS”
Minggu, 2 Oktober 2005
TRAGEDI POLONIA
Tuhan bersembunyi di balik awan
Adzab berkibar di pucuk-pucuk rembulan
Srigala berjingakat di relung
Setelah lelah memangsa korban
Selembar daun terjatuh di parit yang hitam warna airnya,
Bahkan bukan hanya selembar puluhan, mungkin ratusan
Tak bisa ditebak dari arah mana, dia berasal
Karena tsunami, karena gempa Katrina, karena polio, karena busung lapar, karena bbm naik, karena kalangkaan minyak tanah, karena reshuffle kabinet, karena human error, , karena Mou GAM, karena urusan pilkada, dan tak pernah ada yang tahu arah nasib dari bangsa ini.
Kotoran-kotoran
Tangisan bagai partitur yang tak bisa ditebak
Bagai simponi kepenatan yang menyayat
Seperti pagi itu, jam 10.15
Pesawat mandala jatuh, menimpa kenyataan
Ketika sekawanan burung ering menyapa dengan beringas
Sejimpit kemarahan Tuhan, terbukti
Tangan dan hati ini sudah bernanah dengan kelukaan
Tangan sudah banyak berlumuran darah
Kenangan tentang perjalanan bangsa ini, menghitam lagi
Ketika malam tiba
Kusapa rembulan pada tangis yang mengalir
Klaten, 5 Sepetember 2005
KUTITIPKAN HANYA PUING, ANAKKU
Kutitipkan hanya puing, anakku
Ya, hanya puing
Selebihnya tak ada
Bunga-bunga yang tak bisa bermekaran
Karena bau asap bom, dan anyir darah
Selalu meracuni republik ini,
Bangunan bersejarah, hilang tarmakan debu
Persawahan yang menghijau, kini tak ada lagi
Yang ada hanya, bangkai-bangkai saudara kita
Yang tak dikubur secara layak
Sungai-sungai sudah berubah warna
Ternak-ternak sudah mati terkena virus
Dan cangkul-cangkul sudah tak bisa dipakai lagi
Karena tak ada tanah yang subur lagi
Yang ada hanya toksin-toksin jaman yang mewabah
Buku-buku tentang perjuangan sudah habis terbakar
Gedung sekolahan tak ber-murid dan tak ada yang bisa mendidik kalian lagi
Pak guru dan bu guru sudah ber-imigrasi ke negara lain
Takut tragedy keluarganya akan menimpa mereka
Kutitipkan hanya puing, anakku
Selain itu
Tak ada
Yang kalian bisa hanya
Menunggu, ketika fajar sudah memanggil
Panggul senjata kalian
Lalu, cari musuh untuk kalian bunuh
Biarkan nama bapakmu yang menjadi taruhannya
Karena nama sudah tak bisa dijual lagi
Kutitipkan hanya puing, anakku
Selembar kertas usang ini
Sematkan tanda baktimu kepada kata-kata
Karena republik ini
Sudah tak nyaman untuk kita tinggali
Maafkan aku, anakku.
Klaten, 2 Oktober 2005
BUNGA DI TELAGA
Bunga di telaga, ketika bibirmu memancar kemerah-merahan
Berita burung pipit tentang telaga yang mengalir penuh kehidupan
Bagai harpa batari selaras dengan hembusan tujuh mata angin
Rusa remaja mengawasi gerak rerumput, yang bergoyang ditiup angin
Matanya lentik surga keteduhan, tersirat di hati para dewa
Bunga di telaga, tertunduk malu
Ketika matahari sadar akan kuasaNya
Lalu, seberkas warna
Di pinggir telaga, tentang cerita kekasih musim
Di paras wajah langit biru.
Wahai, kekasih yang sendiri di telaga
Aku temani engkau dengan symponi maha biru
Lama kau menyendiri, lamunanmu bagai berlumut
Sepilah angin, sepilah desiran
Biar kusambut tanganmu untuk menyatu
Dalam sejuta bayangan dan kenangan
Klaten, Oktober ‘05
: tentang bom bali 2
Serpihan-serpihan tangis belum kering,
Sobekan-sobekan kalimat belangsungkawa
Belum hilang dari kuping,
Pulau itu menghitam lagi,
Orang-orang kehilangan arah mata angin,
Sebongkah misteri kebejatan manusia, tak bisa terungkap
Yang terbang rendah diantara reruntuhan pub dan kafe
Diantara kursi-kursi berserakan, diantara makanan dan minuman yang tersisa
Oh kuasa-Mu adalah misteri.
Siapa yang tega dengan penderitaan ini
Atau iblis sudah bertengger di antara otak manusia
Besok apa lagi ?
Klaten, Oktober ‘05
BERITA HITAM DI SKETSA REPUBLIK INI
: bom bali 2
Ketika matahari sedang tidur di antara pantai
Dimana kintamani, dimana sanur, dimana tampaksiring, dimana lot
Atau sesaji yang siap diberkahi penuh selaksa doa
Dan matahari masih tertidur digantikan warna perak rembulan
Buih ombak di kuta, tak melukiskan keindahan para camar yang pulang
Dari reggae, r & b, hip hop atau nostalgia sixties
Mengalun mencakar perut jimbaran
Aku linglung, aku bingung mencari arah
Ketika bom itu meluluhlantakkan baliku
Oh …hyang widi, oh tuhan yesus, oh ya masya Allah. Kita terdampar lagi dalam irama amoral, kebejatan kemanusiaan
Negeri ini bagai bangkai yang terlihat
Penuh koreng dan bernanah, tangisan anak-anak sepertinya adalah ritual purba
Tak ada bedanya.
Sedih ini manifestasi rasa tangis yang menggunung,
untuk republik ini.
Klaten, Oktober ‘05
13 Oktober 1996
: untuk istriku, rey
pernikahan kala itu, mencakar bunga anggrek yang meranggas
di teras rumah
atas nama pesta yang tak pernah direncanakan,
tapi dengan selaksa janji yang mengkristal
aku sunting engkau, camar kecilku
dengan perabotan dan mas kawin kalimat usang nan abadi
dengan bidadari di perutmu, aku antar engkau ke pelaminan
janur yang menjulur di belahan cakrawala
menitipkan berkah yang maha agung
13 oktober kembara lusuh, akhiri masa lajangnya
tak pernah tahu, pucuk matahari mana
yang akan didaki
karena kepapaan mengurung perjalanan setengah musim
hanya
kutitipkan kereta kebahagiaan untuk disekutukan dengan kenyataan
: kita harus melawan kemiskinan dan kebodohan
Klaten, oktober ‘05
DI
Mendung yang setengah hati
Menitipkan daun-daun yang mulai layu
Dan rumput-rumput yang kecoklatan,
Masih menimang kupu-kupu yang terbang tak tentu arah
: kau datang tak pernah mengatakan
bahwa, rembulan yang kita pinang, kini terbang dengan kelelawar
di kursi kayu yang lusuh
jawaban pada hati yang bimbang
antara berjalan sendirian, mengantar hujan yang belum turun
sementara, lalu lalang orang memamerkan harta di depan mata kita
di taman rumah
orang belum nyalakan api
ketika dingin akan datang
Klaten, oktober ‘05
AKHIR OKTOBER
Hujan yang menjemput di pematang khayal,
Kita menebarkan benih doa dikisi-kisi ayat Tuhan
Pada Dzikir lama yang mengalun,
Pada dupa malam yang mengepul
Akhir oktober tak ada yang perlu dibicarakan
Karena kemiskinan selalu mengajari kepada kebodohan
Kita memanggil – manggil, sementara suara kita hilang
pada angin purba kita menunggu.
Akhir oktober menemui kamu di teras kereta waktu.
Klaten, okt ‘05
SEPARUH JALAN
Nyanyian srigala di pematang tandus,
khabarkan pedih di ranting pinus
antara khayal dan kenyataan
ketika napas siang menyeka keringat
yang tergadaikan diantara rel waktu
dimana nama keadilan
dimana nama kebenaran
rumah-rumah kardus menghimpit malam yang melamun
aku berdiri dalam naungan wajah-wajah orang miskin
yang antre ketika namanya harus rela disebut keluarga miskin
nuraniku berontak, aku malu memandang bayanganku sendiri
yang teratur mengikuti arus.
Khatulistiwa harapku
Nusantara pandangku
Semakin jauh jarak kita untuk bercerita,
Tentang manisnya kehidupan
Aku berjalan pada separuh jalan yang gamang.
Ya tentang negri ini.
Klaten, okt ‘05
KALIAN TETAP BERPESTA
Kalian tetap berpesta
Dalam karpet beludru,
Dalam tuangan minuman borjuisi
Dalam makanan jantung rakyat miskin
Kalian tak ‘
Di kolong-kolong jembatan, di rumah-rumah peyot, di kaki-kaki
Dan diantara pemasungan akal pikir dan daya hidup.
Kalian tetap berpesta
Meski berita tak bisa dicerna lagi
Meski kematian menjadi ritual pasti
Meski darah yang menjadi rabuk tak bermakna lagi
Dentuman musikmu adalah sangkakala yang menghunus nasib peradaban
Aku menyerah
Untuk menjawab,karena mestinya kita bisa hidup yang wajar.
Klaten, Okt ‘05
DI PARLEMEN
Di parlemen itu, para pejabat sedang berakrobat keputusan
Kemiskinan adalah inspirasi dan anugerah
Di parlemen itu, wakil rakyat melampiaskan pemikiran . Untuk me-skenario kebodohan rakyat
Di parlemen itu, teater komedi berlangsung
Yang tidak tertawa dianggap mbalelo
Di parlemen itu, ruangan penuh dengan bisikan
Kepentingan untuk mempecundangi lawan, halal aturannya
Di parlemen itu, sekarang mereka berkata
“ aku tantang engkau rakyat “
yang disini,mereka berebut uang
Klaten, Okt ‘05
SETENGAH MALAM DI TENGAH PELAYATAN
Gemuruh langit yang berlarian ketika malam
Menghujam di pucuk rembulan
Kepak-kepak burung sriti yang bersenandung lirih,
tak menggoyahkan dupa-dupa yang bertengger
di langit-langit
khabar yang terdengar, orang menangis tatkala
orang yang dicintainya harus mati
tiada yang mampu menahan, walau beribu gelombang
harapan yang lama terbina
harus runtuh ditengah kebahagiaan yang mengintip
mana ada sesuatu yang kekal
hilang sudah bunga-bunga yang tertanam
di jantung. Hilang sudah symphony malam yang mengalun
karena kesepian sudah seperti rayap yang menggurat
kadang keheningan menjadi awal perjalanan, yang abadi.
Klaten, Okt ‘05
SILUET SAJAK YANG TERPASUNG
Bagaimana, sayang
kau khabarkan bunyi matahari pada kaca-kaca mobil mewah ?
atau, kau malah mendengkur memikirkan nasib yang terpampang
di savana sajak usang ?
atau, kita masih memihak keadilan dan kebenaran yang sebenarnya
tidak pernah ada ?
kita menangis,
kita mengais
pada kotak-kotak kitab yang kosong tak ada petuahnya
lalu, malam menjadi peraduan yang purba
kembali kita meniti detik waktu
tanpa ditemani cahya rembulan.
Klaten, Nov ‘05
SILUET SETENGAH HATI
Kenapa, sayang
kau pecahkan pigura malam ?
kenapa, sayang
album photo rembulan memancarkan keredupan ?
bila memang sudah usai malam
mari kita berkemas, manaiki punggung malam ini
yang sebenarnya sudah enggan untuk berpenat
kidung yang tanpa seruling masih mengalun
walau kita masih enggan untuk bertanya
kenapa tuhan duduk di situ,
sedangkan kita malu untuk menatap
Klaten, Nov ‘05
SILUET TANPA KOMA
Bagaimana, sayang
masih adakah kue perjalanan yang engkau buat ?
beri aku seiris manis senyummu, di tengah peradaban malam
yang mencabik telaga tangis
kita semestinya menyadari bahwa kita sempoyongan
mendirikan prasasti embun pagi
bilur-bilur rambut angin mencari symponi kenangan
yang kini memudar, mejadi kereta waktu yang siap menjemput
bagaimana, sayang
masih bersediakah, engkau memberi arti sajakku ?
Klaten, Nov ‘05
SILUET CINTA YANG TERTATIH
Ingatlah,sayang
ketika bidadari-bidadari yang bermata perak kekuning-kuningan
merangkai rambut-rambut matahari dengan napas angin gunung
kita hilang arah
kita raba sajak, tanpa pernah tahu akhirnya
dengan seratus lolongan srigala
yang nanar matanya
cemara yang meranggas ke pucuk rembulan
senyap bagai bangkai sajakku
Ingatlah, sayang
roda waktu terus berputar
mengingkari apa, apa yang sudah kita janjikan
pada huma yang berselimut lembayung
Klaten, Nov ‘05
SILUET TERAS RUMAH
Kembalikan itu, sayang
catatan usang tentang darah dan pengorbanan
yang tergadaikan bersama hilangnya sukma matahari
bagai, benih dzikir malam yang meratap.
Kota-kota mengumbar nafsu, di paha-paha perempuan
yang menjual syahwat lewat iklan murahan
dan kau termenung, sayang
ketika kutanyakan, “ jatah makan anak kita sudah kau berikan “
karena
mereka diam karena mati
mereka mati karena lelah untuk merangkai kalimat rembulan
:dan orang-orang mengulum panas, dengan firman-firman
yang sudah terbakar oleh kapitalisme
aku menunggumu, sayang
di teras rumah yang belum jadi
hanya bunga sakura yang menemani aku
tanpa secangkir kopi, aku di peluk pancaroba
Klaten, nov ‘05
ANGIN YANG TERDIAM
Kau sandarkan bangkai sajakku
di pelataran malam yang sepi tanpa unggun
walau, setiap jengah napasmu memanggil
bibirmu lupa untuk kuraba
karena kata-kata kini sudah hilang
menembus catatan usang tentang badai perempuan
kau tetap sandarkan hening ini
kepada nama kekasih musim
yang datang tak pernah memberitahu lebih dahulu, setelah melihat malam
kita rakus melahap mimpi
yang tak pernah habis
angin masih tetap terdiam
menunggu cerita lain lagi.
Klaten, Nov ‘05
BISAKAH
Kadang menjumpaimu
seperti melawan arus badai yang datang silih berganti.
Nyanyian burung hantu seimbang
dengan kasturi yang melambai di taman firdaus
bisakah kita menjumpai damai
tanpa pernah bertanya, “ saudara kita mana yang akan terbunuh ? “
kau pun menghilang
di cemara yang merambat
di balik sajak-sajakku
Klaten, Nov ‘05
PENYERAHAN MALAM
Di sepertiga penungguan yang melindas lamunku
tanganmu yang lembut, masih manja mengelus setiap relung
nadi yang berdenyut.
Dari balik jendela kayu yang terkelupas warna catnya,
kita menengok malam dengan perasaan sama,
masihkah mimpi ini menjadi prasasti yang pasti ?
sementara di sepertiga malam,
tembang yang dipaksakan menjaring cerita
tentang, angsa kecil yang memungut ikan – ikan kecil
masihkah kau ingat ?
atau penyesalan tentang matahari yang tega memperdayai camar
harus kita ulangi cerita itu.
walau, kereta waktu ini harus
mencabik-cabik dingin yang merayap pelan-pelan.
Klaten, Nov ‘05
RINTIK HUJAN
Kadang melihat rintik hujan yang membekas
di pertengahan november ini, seperti harpa yang bersuara
terbata-bata.
Tetesan hujan yang membasahi rumput dan dedaun
rabaan angin membisikkan tembok-tembok yang kotor
karena siang tadi begitu panas dan berdebu
satu dua angsa yang merendam tubuhnya di empang
mulai pulang ke kandangnya masing-masing
dan sebiji angin mencabik guratan sore yang sudah kelam
tulisan demi tulisan
adalah penyeimbangan kegelisahan otak yang meradang
pada nama sepi kuadukan sajak ini,
atau pada nafsu pertengkaran harus kutulis ini
hujan pun mengerti tatkala suaranya sudah tak terdengar lagi.
Klaten, Nov ‘05
HINGGAPLAH
Hinggaplah di dahan itu, merpati yang bulunya putih
Biarkan hembusan alam memeluk dirimu
Bagai kehidupan yang serba gamang untuk diraba.
Hinggaplah di dahan itu, merpati yang terasing dengan alam raya
Rentangkan kepakmu, terbangkan sajakku
Pada kereta waktu kita meng-amini kekalahan.
Hinggaplah di dahan itu, merpati yang teduh mata hatinya
Nyanyianmu bagai dupa yang mengangkasa mengadu pada cahaya matahari
Dan peluru itu menembus jantungmu.
Klaten, nov ‘05
NEGERI ANGIN PURBA
;peneror
Ketika dzikir dan ayat sudah di hancurkan hakikatnya
Atas nama Tuhan, engkau melumatkan ciptaaNya
Dimana istighfarmu, dimana tassyakurmu ?
Tuhan pun akan sembunyi bila engkau cari
Darah, debu, dan nama-nama manusia
Berjejal sebagai musuhmu, selalu asap kematian
Menjaring tangis yang tak terbendung
Apakah dengan membunuh sesama, adalah pencarian surgamu ?
Apakah dengan meniadakah harapan, adalah jihadmu ?
Surga dan jihadmu menciptakan keranda-keranda waktu
yang terkutuk.
karena darah dan air mata sudah mengalir pada tanah-tanah
pertiwi.Haruskah dendam tidak bisa kita hentikan ?
galilah kapak perangmu dengan amerikamu,
kobarkan api permusuhan dengan inggrismu,
lantangkan suara kebencian dengan italiamu,
sulutlah picu dendam dengan australiamu,
tapi, kenapa matamu silau, ketika nyawa manusia
tak berdosa harus bergelimpangan
memberi arti pedih republik ini.
haruskah ?
negeri yang tak pernah mengerti
harus meneguk racun, di saat orang merindukan kedamaian
negeri ini ternyata harus mengulang petuah
yang sudah menghilang bersama angin purba.
Klaten, nov ‘05
BIDUK YANG MENUNGGU ANGIN
Menjaring cahaya bulan,rambutnya menggesek daun-daun
yang menghilang bagai kapal yang sudah berkarat
tujuh cakrawala diantara nama perempuan yang mendengkur
dalam malam yang berbatu.
warna tulisannya memudar menyerupai wajah malam
dan selamat jalan kekasih musim yang sudah
meninggalkan bait-bait sajak lama,
selamat jalan sahabat yang mengkhianati kompas waktu
aku duduk, ketika kembang yang kugenggam
tertiup angin. Dan biduk pun tetap merindu untuk dijemput.
Pada pantai yang menanti.
Klaten, nov ‘05
TADI MALAM AKU DI PASUNG CAKRAWALA
: ibu di surga
Ibu, aku tadi malam bermimpi
Wajahmu adalah embun pagi
Dan kesetiaan dewi kunti menjelma dirimu
Bayangmu tersulut sejuk menepi
Di rambut matahari kau mengayun-ayun,keluh kesah anakmu
Lantas, sejuta kalimat petuah berbaris rapi
Menghujat aku.
: dan wajahku
tak ada yang pernah menyetujui
ketika luka itu harus kulukis lagi
Di sini aku kesepian,
Tak ada yang selembut dirimu
Membelai kerinduan ini
Tak ada yang setajam dirimu
Ketika jurang telah menghadang anakmu
Di sini aku melagu tanya
Diantara sajak-sajakku yang sudah menjadi gerhana
Ibu, di sini aku sudah menjadi kelelawar
Yang menjumpai malam tanpa jeda
: angin berbisik, kapan aku akan dipeluk lagi
Klaten, nov ‘05
BIOLA YANG TERSUDUT
Nadamu menggunyah malam
Pada geliat syahwat yang memancar
Memadukan perempuan dan lelaki
Atas nama cinta kita dipertahankan
Dan atas nama ekosistem kita dilestarikan
Nada itu mencakar punggung waktu
Yang bergerak lamban sekali
Karena terjejali disharmonisasi kehidupan
Apalagi yang harus kita tunggu
Sementara nada itu, sudah tak bisa dipercaya lagi
Terompet kapal sudah meneriakkan panggilan
: toh, kita harus segera bergegas
mengejar godot yang tak pernah datang
klt, nov ‘05
Hawa, engkau tak bisa menebak kedatanganku
karena tipu daya sudah kujual belikan
Pada angin, pada mobil-mobil mewah, pada kantor instansi
atau pada bau sampah di
Hawa, kasihmu tak akan pernah engkau dapatkan
karena, kemiskinan ini sudah menjadi wabah
tak ada penyembuhannya, meski senyummu mengumbar
syahwat lakiku
Hawa, kadang kita tertawa
ketika bintang jatuh di atas langit yang gemerlap
permintaan apa ? sejuta kata telah kita pinta
tangismu pun menjadi ritual abadi dari namamu
Hawa, kau ternyata racun dalam sajakku
kenapa kita dijerumuskan di sini
dan bersamamu.
klt, nov ‘05
MENGIRIM BUNGA
Ketika peluhmu menempel di tubuh ini
Lenguhmu menyerupai kereta tua yang sudah berkarat
Dan sejuta pesona terbang diantara nyamuk kamar
Kau mengintai birahi pada kelam yang menganga
Lampu setengah redup, melukis siluet yang tak pernah pudar
Darah yang mengalir, nadi yang bergetar
Sepasukan air bah menerjang penungguan ini
Kita kirim bunga
Pada malam yang kesekian kali
Klt, nov ‘05
DETAK JAM DIANTARA SAJAKKU
Kasih, biarkan napas ini memanggil
Kelopak matamu telah nanar, mengartikan kepergian awan. Karena angin, ternyata tak pernah bisa digembalakan
Dan catatan usang ini, biarkan tersepi
Diantara sampah dan puntung rokok
Karena jam di kamar ini sudah mulai berdetak
Bergeser menuju penjemputan yang abadi
Kau menyaksikkan, ketika tangan ini
Harus bertanya pada sajakku, jua
Yang telah jenuh dan berdarah
Angin telah bernyanyi . Daun telah menari
Dan tanah memadukan air hujan dan kemarau
Kau pun menghilang, ketika kulantunkan sebuah lagu diantara sajak-sajakku.
Klt, nov ‘0
PERTENGAHAN DESEMBER
Burung-burung yang alpa arah pulang
Terbang rendah, di antara angin yang letih
Kepaknya tersedak di wajah hujan
Tembang pun sudah kita gadaikan
Tandai mimpi tanpa pertanyaan
Sementara, kita harus kembali
Menanti kekasih musim dalam bangku-bangku tua,
atau pada rerumputan yang maranggas
aku melihat ratusan badai
menyapa setiap jengkal tulisan ini
rebahlah pada dedaun yang sudah tak ada tangisnya.
Klaten, Des ‘05
MELIHAT HUJAN DARI JENDELA KAMAR
Jam sembilan malam pada kerudung malam
napasmu yang semerbak, persis kasturi
ada sebuah catatan yang tercecer,pada lampu bohlam
yang meredup, kutemukan dirimu menari bersama rintik hujan
jendela mengembun perlahan kita usap bersama
lalu birahi memberi arti, ketika detak waktu merenggut
dan mengejar dingin yang menyatu
tapi, pada sudut matamu yang teduh
aku menemukan kecemburuanmu
rebahlah, pada kejujuran yang sudah kutelanjangi
rasakan, kataku-kataku bukan sebuah mantra
yang berderet manis bagai ‘tualang yang lupa pulang
kembali hujan meributkan suara kita
kembali kututup jendela kamar kita
agar angin malam, tak pernah berani mengusik.
Klaten, Des ‘05
AIR MATA
Air mata adalah renungan
Bagai muara sejarah perjalanan
Air mata adalah kenyataan
Ketika nama Tuhan kembali diingat
Air mata adalah titik puncak
Sejuta petuah dan kalimat sudah merangkum
Air mata adalah rasa sakit
Yang datang mengetuk kesadaran
Air mata adalah kesimpulan hati
Ketika api harapan sudah meredup
Air mata adalah luka rembulan. Tujuh panah merobek malam. Air mata adalah sajak-sajakku
Yang melihat luka alam sudah mewabah.
Klaten, Des ‘05
LAGU SENDU
Ibuku menangis di pematang sawah yang kerontang
napasnya terpengal pada nyanyian sriti yang terluka
ketika rambut matahari tergerai bersaput pelangi
semacam air mata yang terpasung
sementara anak-anak memandang orang tuanya
mencangkul hati nuraninya sendiri, di antara harga minyak tanah yang tak bisa terbeli,
di antara harga gabah yang tak seimbang dengan harga pupuk, di antara musim yang
tak bisa ditebak, di antara etalase-etalase virus iklan yang menggoda
: aku melihat sekawanan srigala memungut tulang-tulang busuk
ketika, wajah rembulan tercerai – berai
karena keperawanan sudah tak bisa dikuduskan lagi
Ibuku menyendiri setelah merapatkan wajahnya
di antara lipatan kakinya, air mata sudah menjadi bah
dan. Bunga-bunga pun mulai berguguran
para petani satu persatu mati, jantungnya yang utuh menyisakan pertanyaan
kenapa kita harus menjadi miskin ?
MATAHARI TENGGELAM
Di pelangi wajahmu menyisakan mimpi
Aku letakkan suratmu persis didalam secangkir kopi pahit
Lalu, melepaskan prasasti kenangan yang membisu
Sebuah kapal di ufuk barat, ternyata sudah jauh meninggalkan kita
Hanya ombak dan buihnya sempat kita pungut
Lalu kita genggam, agar peristiwa ini seperti sebuah kembara
Matahari yang perkasa, kenapa kau meratapi puisi usangku
Darhaku sudah membeku, karena sejarah yang tak bisa terbendung
Kereta waktu berjalan searah kejujuran
Yang sudah kita kuburkabn kemarin lusa
Lalu, engkau pergi
Seperti di ufuk barat pandangku terbatas
Pada jingga, kau ucapkan selamat tinggal .
Klaten, Des ‘05
DENTING GITAR
Wajah – wajah daun yang memucat, tatkala angin menyisakan cerita
ratusan doa-doa terdengar lirih merintih
seumpama kekasih yang memegang sunyi
kau dimana menyembunyikan nadamu ?
karena kesenyapan sudah mencapai tahtanya
dimana anak-anak yang berkecipak rembulan
menjadi tangis di dasar samodera lagumu
: jendela-jendela kamar sudah tertutup rapat
lampu sudah harus dimatikan
lalu, kita merajut doa dengan tak pernah tahu, tuhan mendengar atau tidak ?
percuma, jika kau nyanyikan lagu,
kalau dinginnya suaramu, membekukan peristiwa yang menikam memory.
Klaten, Des ‘05
LUKISAN DUA POHON CEMARA
Yang tersendiri di relung embun, engkau kekasih
ketika selepas derai hujan, kau tak pernah ada
sebuah biduk yang rapuh, dengan kayu yang sudah lapuk, menatap pandangan kosongku.
Yang terjadi bukan kebenaran,
tapi perjanjian yang sudah membatu untuk dikhabarkan.
Kamar kecil pengap ketika napas sudah berebutan
untuk berkehidupan. Kau perempuan diam di balik kelambu misteri.
Sudah bukan catatan lagi , kerena kembara ini, tidak ada jejaknya.
Langit ini muram, aku melihat pelangi merapat ke mendung.
Klaten, Des ’05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo kasih komentar, komentar anda berguna bagi saya :