Senin, 23 Februari 2009

PUISI-PUISI TAHUN 2004

BERBICARA DENGAN AWAN

siapa yang menawarkan hujan, di kala aku kering ?

siapa yang menawarkan karang, di kala aku rapuh ?

siapa yang menawarkan ombak, di kala aku takut ?

siapa yang menawarkan angin, di kala aku sesat ?

siapa yang menawarkan bulan, di kala aku nafsu ?

dan siapa yang menawarkan namaMu, di kala aku dosa ?

Klaten, april 2004

AKU MARAH

aku marah

orang-orang marah

seperti darah

memerah dan gerah

keriput cahaya matahari

mengawasi sungai waktu

bilur-bilur nadi angin

menggeliat terasa tak betah untuk bertapa

memikirkan nasib yang tak kunjung untung

memaparkan perasaan pada samodera

gelombangnya membasahi baju yang bergambar para nabi

dan kitab-kitab suci di jual secara murahan

siapa yang menuju titik kereta malam

ketika suaranya menderit tajam

walau malam tanpa terjaga

orang-orang tetap mengawasi arah nasib

yang kian lama kian suram

orang marah

di perapian.

Klaten, april ‘04

AKU BERTEMU SINGA YANG KELAPARAN

arak di tuang dalam mangkuk bergambar pahlawan yahudi

orang-orang memandang langit

seperti jelaga dan suram tatapannya

orang-orang mabuk kenikmatan

lupa arah pulang dan jalan yang terang

kerena lampion telah disayat cahayanya

duduk di atas singgasana

yang berpatok tulang-tulang rakyat miskin

dan, aku bertemu singa yang kelaparan

wajahnya putih tak punya irama nurani

dimaki aku, karena lupa meletakkan jamuan makan malamnya

di ludahi aku, sambil mencakar-cakar perutku yang tak berisi

dihantamkannya kepalaku di batu penahan bangunan istana

sang singa yang kelaparan

matanya merah

memandangku dengan masih berdiam pada keyakinannya

bahwa, akulah yang bersalah

sebagai kambing.

Aku harus rahu diri.

Klaten, april ‘04

SAJAK SAUDARA KECILKU

saudara kecilku,

diamlah. aku akan bercerita

tentang nasib kita yang papa ini

saudara kecilku,

tenanglah. biarkan bulan yang di atas sana

menerangi kebingungan kita pada nasib

nasib ini kita tak tahu akan dibawa kemana

ke arah huma yang sejuk atau badai sekalipun

atau mungkin ke dalam tungku peradaban yang mati

nadi-nadi kita telah mengucur tanpa darah

rumah ini biarlah menjaga pertapaan bahasa kita

pada kemiskinan.

kita masih tetap di sini

menunggu terompet perjalanan yang membahana

dan kapal kita, akan segera menjemput

saudara kecilku,

jangan lupa.

bawa catatan puisiku.

kelak semua itu akan kita kenalkan kepada Tuhan.

Klaten, april ‘04

MANTRI JERON

dulu, ketika mata kita

masih tajam memandang matahari

sesuatu muncul dalam otak

berdebat atau meneruskan makan malam kita

pada buku-buku sastra

yang kita ambil di perpustakaan kampus

yang tak pernah kita kembalikan

hanya saja kau sering mengucap,

“ buku apa gunanya kalau hanya dijejer, tanpa pernah dibaca “

lalu, semuanya menjadi prasasti

antara kultur dan norma

atau, pada naskah teater kita yang antre untuk dimainkan.

sementara para aktor kita, sudah bersenggama dengan angin puyuh

aku tak tahu

harus mengulang dari mana

jari-jari langit mengajari kita

untuk berdamai dengan doktrin dan janji pepunden

kau menghilang di seperempat malam

sementara yang namanya perempuan

hanya berkhayal di depan cermin riasnya

kapan kau katakan cinta padanya

bisu menjadi pertapa yang abadi

badai.

dalam rumah kontrakan,

bising

dalam kamar sempit.

kita menghitung tagihan rekening listrik

yang tak pernah kita perhitungkan sebelumnya

orang-orang hanya memandang lukisan abstrak kita

tanpa pernah tahu estetika

mana kesenian yang akan kita bawa

sementara, bayonet dan lars adalah mimpi buruk yang harus kita beli.

Klaten, mei ‘04

( memori sanggar KPBI )

MATAHARI YANG TELAH PULANG

menepi dermaga diantara kapal-kapal yang gelisah

karena terompet pemberangkatan belum jua, di tiup

ada daun yang terampas waktu

ada khabar yang termakan usia yang membatu

sementara, tangan perempuan

masih menghitung jatuhnya busa kodrat yang menempel di tangan

kau kelakarkan nasib pada matahari

yang mengintip diantara daun-daun kelapa

para nelayan enggan bercerita tentang gemuruh samodera

karena memang tak ada yang diharapkan

ikan-ikan sudah tak mau peduli nasib mereka

mereka berpesta yang tanpa api unggun

dingin mengenang

pada anak-anak kecil yang teriak mendamba

minta setetes pengertian pada ayah ibunya

kapan bisa sekolah dan punya pendidikan

dan kapal-kapal belum jua diberangkatkan

priuk nasi yang berasap keringat nelayan

tak terasa waktu mengajari makna perjuangan

dan matahari telah pulang.

Klaten, mei ‘04

MELIHAT KENYATAAN DI SEBERANG JALAN

nanar mata batin berbisik

kekalahan yang beruntun

membuat jantung berdenyut

kau paksakkan tangisan menjadi pesta tawa

serakah kau telan malam

tak ada yang menemani

pulang sang kapal, entah di mana dermaga ‘kan menyambut

tangan-tangan semburat cahyaNya masih terlalu dini untuk dilihat

kapan engakau akan menjadi angin

ketiak kenyataan sudah terlanjur menjadi badai

kapan engkau akan menjadi sungai waktu

ketika kenyataan sudah mengalir menuju muara

kapan engkau akan menjadi tungku

ketika tangan kita sudah terlalap lava

sudah tidak ada artinya

berkeluh kesah tentang hari kemarin

di depan ada bongkahan nasib yang masih teronggok

tak berdaya. dan purba.

kita hidup, seperti nanah di kaki kita.

Klaten, mei ‘04

KENANGLAH

( lagu sendu untuk anakku )

kenanglah dan senanglah, anakku

ternyata hidup memang tak mudah

kenanglah dan senanglah, anakku

ternyata menghitung nasib, bukan seperti menghitung

nilai pelajaran matematikamu

kenanglah dan senanglah, anakku

kepapaan ini membimbing kita untuk menjadi tungku

yang siap berkobar di kala dingin merayap

kenanglah dan senanglah, anakku

kemarahan dan tangisan bukan seperti lagu

yang harus disenandungkan

tapi dihayati sebagai sungai nadi nasib kita

kenanglah dan senanglah, anakku

mimpimu tak semestinya kau lukis

hanya untuk dipajang

tapi, dinilai kapan itu akan terwujud

kenanglah dan senanglah, anakku

kapal terakhir belum jua akan menjemput

siapkan bekal kalian dan kita akan pergi bersama

ke dermaga yang baru

yang ada harapan

yang ada lagu tentang cinta.

Klaten, mei ‘04

JANGAN BOSAN

jangan bosan bertanya tentang bobroknya mental bangsa ini

karena kebosanan akan membuat kita menjadi pemalas sejati

jangan bosan mengabari koreng negeri ini kepada siapapun

karena koreng-koreng memang perlu dikabarkan

sebelum menular ke penjuru tubuh rakyat kita

jangan bosan mencium bau busuk di sudut rumah kita

kerena bau busuk tanpa ada yang pernah menciumnya

tak akan pernah ketemu, siapa yang menyimpan kebusukan itu

mungkin tikus yang mati karena terbunuh, lalu dibuang sembarangan

atau anjing kecil yang tak tahu apa-apa harus mati konyol

jangan bosan menatap kekeliruan angka-angka di benak kita

karena jika, angka-angka sudah diputar balikkan

akan menjadi petaka tujuh turunan

dan menciptakan pangeran – pangeran koruptor baru

jangan bosan menyelam di air yang keruh

karena kita akan tahu siapa yang membuat air kita

menjadi keruh

mungkin sebuah peradaban

jangan bosan menyapa nama Tuhan

karena Tuhan perlu teman untuk bertegur sapa

dan tahu siapa yang membutuhkanNya

aku pun kini bosan

untuk berkata-kata.

Klaten, Juni ‘04

SENANGKAH KAU UNTUK MENEGURKU ?

senangkah kau untuk menegurku ?

setelah sekian tahun hanya bercanda dengan bingkai mimpi

yang terkotak dan purba untuk dijadikan sebuah catatan

rembulan yang termangu

napas matahari yang cacat kaki-kakinya

sewindu kau lupakan pahatan hati kita

kini, kita gali dalam tanah kenangan yang berkabut

memiliki atau tanpa memiliki

seperti menyulam kain langit di penghujung malam

selalu kau tawarkan pertanyaan,

“ Kenapa kau tinggalkan kapal peraduan kita ? “

Aku menjawab, “ Kita berjalan dalam arah mata angin yang berbeda “

“ dan kapal kita, biarlah menjadi prasasti ketidakpastian kita “

senangkah kau untuk menegurku ?

setelah rajutan itu, terlepas benang-benangnya

kini kau temukan titik ujungnya

entah kapan kita bisa menjadi ikatan yang tanpa lepas.

Ah. Embuh.

Klaten, Juni ‘04

DEDAUN JATI YANG TERSEMBUNYI

gugusan awan hitam

mendulang kata-kata menjadi penantian, akan angin

terhadap nama purnama yang menguning membintang

terbiasa dingin menyerang sendi tulang sajakku

nama perempuan yang menjelma menjadi kegelisahan

kau sembunyikan dedaun jati

di bawah curigaku pada kedatanganmu

gugusan awan hitam

tercekat, ketika barisan burung malam

menerjang kepulan asap peperangan

atas nama kebodohan, kau pecundang sepi

dengan tarian dan minuman

tangan langit mencakar dataran tinggi

sejuta unggun, tetap menyimpan

dedaun jati yang lupa untuk mencari arti.

Kaliurang, Juni ‘04

LUPA PULANG

burung kecil terbiasa bermanja

dengan awan dan angin

langit biru bentangan harapan

segala penjuru tertembus tak tersisa

kepak dikibarkan

angin bergeser memelan

siapa yang terbang paling tinggi,

dialah penguasa keadaan

walau badanku kecil

aku rakus untuk melahap cakrawala

cakarku tajam, untuk menghancurkan ribuan pinus

paruhku kokoh, untuk mencabut isi perut lautan

berani terbang, berarti berani bertaruh

antara kematian dan arah pulang

ibu ku memendam tangis

diantara lipatan sayap yang patah

karena aku lupa membawa peta arah pulang

kesombonganku adalah petaka keluarga

Klaten, Juni ‘04

BELUM TERDENGAR SUARA ADZAN DI TELINGAKU

belum terdengar suara adzan di telingaku

ketika aku bertaruh dengan nafsu duniawi

belum terdengar suara adzan di telingaku

malam yang panjang meregang kesunyian

menunggu bisikan yang maha dahsyat

atas nama dzikir dan doa

belum terdengar suara adzan di telingaku

perjalanan yang berdebu dan berlumpur

hanyalah kembara semu dari sejuta harapan yang lenyap

belum terdengar suara adzan di telingaku

kereta waktu yang datang merapat

akankah bermuara pada hidup yang maya

atau hanyalah nyanyian bulan dan cakrawala

membiru, membayangkan betis-betis bidadari

yang kerasan menyetubuhi mimpi-mimpiku

belum terdengar suara adzan di telingaku

ketika bilal tersedak memandang, pecahan wajahnya

tak pernah terlukis dalam kitab suci

atau nasib yang harus mengitung sendiri

belum terdengar suara adzan di telingaku

mungkin, kupingki yang budeg

untuk mendengar jeritan kelaparan batinku

harusnya Dia yang harus kuminta pertimbangan

harusnya.

Klaten, Juni ‘04

MENGAPA KAU LUPA UNTUK MENGHITUNG

sepinya warna langit

masih menjingga dan mulai menampakkan gelapnya

matamu yang besar dan putih mulai pulang ke peraduan

daun-daun yang masih tersisa

melayang membuat sangkar wajah rembulan

jejak langkah perempuan

miris menatap rahim yang berkabut catatan usang

detak waktu yang mengencang

detak sukma yang masygul

kau tetap sebagai batari yang memegang harpa

di seperempat malam

janji burung malam

lenyap. yang tersisa hanya bangkai waktu

karena kesenyapan malam

mestinya, kau tetap menghitung.

Klaten, Juni ‘04

DI DALAM BIS

( antara Klaten – Bandung )

senja belum terlalu telanjang, kau tawarkan padaku

terminal yang sepi, asap knalpot tersedak suaranya

koran-koran yang berceceran di aspal

tak ada yang memungut atau pun membacanya

mungkin, bosan atau mungkin sudah hapal dengan situasi

berderak langkah menuju arah barat

terdiam. memandang aspal dan kelokan

terkadang nyanyian angin menghina kesendirianku

jalanan yang tak berputus

kelokan yang mencabik isi perutku

selalu kulihat kenangan akan perempuan dan anak-anak

menjadi pigura sukma yang menjerit

dimanakah engkau ?

masihkah kau sisakan teh hangat buatku ?

atau malahan kau minum sendiri, dengan anjing-anjing

penghuni rumah kosong ?

Ah. Entahlah.

bis yang rakus melahap jalanan

beberapa khabar tentang kota raya

menjejali pikiranku

orang-orang kota, konon senang menertawai diri sendiri

tatkala tahu kotoran di dahinya menyerupai mulut anjing tetangganya

berucap selamat datang

tiba waktunya bertahan kepada kenyataan

cepat pulang atau bertahan pada air bah kebosanan.

Klaten – Bandung, Juni ‘04

SKETSA MIMPI SEPI ( 1 )

diterkam pagi,

jengah kudapat nama mantra-mantra

dari lambung matahari

ibuku menjelma seekor merpati

di surga kau buat rumah

di pucuk rembulan meminang doa – doa

wajah pagi yang letih

aku pun meng- Amininya

Klaten, Juli ‘04

SKETSA MIMPI SEPI ( 2 )

masih diterkam pagi,

lautan batinku mendapatkan pelangi

hujan belum reda jua

ketika doa untuk anakku

memuncratkan luka pohon atas lukisannya

mataku jadi muara

sebaris mendung, tiada terbendung

semisal sang dzikir tiada yang mengetuk

Klaten, Juli ‘04

SKETSA MIMPI SEPI ( 3 )

kudapatkan badai dalam balik bantalku

warnanya hitam dan tanpa bersayap doa

suaraku parau terawang di sisi mimbar yang kosong

makmun berlari ketakutan

sebiji angin menetes

di ruang – ruang busuk, di kantor-kantor

di mana-mana ada nama Tuhan

Hanya nama.

Klaten, Juli ‘04

SKETSA MIMPI SEPI ( 4 )

kereta malam sebelum lelap

kau bangunkan aku, di tengah badai

mencari arah matahari

sakitku adalah mutiara kemiskinan

doa-doa para rahib

hanyalah sekedar menghitung musim

sentuhlah aku dengan ayat-ayatMu

tamparlah aku dengan tangan putihMu

atau dukaku adalah tuduhanMu terhadap mimpiku

Klaten, Juli ‘04

SKETSA MIMPI SEPI ( 5 )

: tentang ibuku yang di sorga

lewat sakit kau tertawakan musim

tangan kurus keriput sekedar menghitung

arah tetes infus yang di paksakkan

untuk bermuara di tubuhmu

empat tahun menitipkan surat

kepada Tuhan, tentang pohon anggrek yang kau tanam

rinduku dibuat sarang camar

rajutan doaku terbesit cahaya

ruang sujudku terlukis gambarmu

kudaki sembahyangku untukmu

kutunggu kecupmu di mimpiku

: sudikan kau tengok anakmu dan cucu-cucumu ini.

Klaten, Juli ‘04

SKETSA MIMPI SEPI ( 6 )

meminta nasehatmu

kubenturkan kepalaku di gunung dosaku

ya, atas nama ayat-ayatMu

lusuh kulukis aliran darah tentang nabi

berbelok menjadi taring mimpi purba

diangkat aku tinggi-tinggi

seperti angin tulisan ini tak terlihat

bisa bersembunyi atau tertawa cekikikan

tidurku selalu terjaga

sontak kau bisikkan kidung malamMu

Klaten, Juli ‘04

KALAU BOLEH AKU MENULIS

kalau boleh aku menulis sajak tentang malam

akan kuhitung sepiku dilangit yang berbintang

kalau boleh aku menulis tentang pagi

akan kuminum doaku di air embun

kalau boleh aku menulis tentang siang

akan kujemur kalimatku di matahari

kalau boleh aku menulis tentang senja

akan kupulangkan puisiku di peraduan

Klaten, juli ‘04

DITINGGAL PERGI

kau kalungkan janji di batas rinduku

sedemikian jauh memandang pinus-pinus yang meranggas

lenyap sudah tatkala senyap menyelinap masuk

dari balik kerudung malam

kaki-kaki waktu yang tertatih

melatih kembara yang terbata-bata

perempuan ! hinggaplah di libidoku

sebagian hidup tak tersisa tanpamu

walau seribu kenangan menancap di bahu kiriku

walau sejuta senapan tangismu mengundang aku

untuk memelukmu.

tapi kapan ritual kemenangan

akan di upacarakan

ketika tanganmu harus terlepas

tanpa sejimpit angin yang mengantar

tanpa segudang ucapan selamat tinggal

hanya itu. lalu pergi.

Klaten, juli ‘04

DUA ANAKKU

dua anakku adalah titisan puisi yang membahana

dilahirkan dari kejujuran yang sudah direncanakan

dua anakku adalah kalimat yang panjang

dari perjalanan kembara yang tanpa lelah

dua anakku adalah senapan dan bayonet harapanku

yang kelak akan membidik dan merobek kepengapan hidup

dua anakku adalah rembulan dan matahari

yang bersolek dan bersuara lantang,

tatkala hidup sudah dihimpit dengan ketidakjujuran

dua anakku. Toh senyawa yang harus dihidupi.

Klaten, juli ‘04

SELALU ENGKAU PEREMPUAN

selalu engkau perempuan

yang menghunuskan tubuhnya

ke dalam bayang-bayang tanpa arah

di buat aku gelisah diantara tawa dan air mata

badai yang ada dalam cakrawala otakku

berontak aku , di mana Tuhan ?

bawakan aku sekeranjang ayat-ayatMu

jangan biarkan aku menjadi badut di atas panggung duniaMu

dibawa aku kearah tapal kepalsuan

memerah wajah tatkala , aku harus berkobar dalam api

selalu engkau perempuan

meng inspirasi dirimu

sejuta arti menjadi bait-bait sajak

kecantikkan perempuan adalah berhala

selalu menggoda langkah, bunga-bunga yang tersebar

di jalanan. Entah akan ku pungut atau membiarkan mereka

menghias secara liar.

selalu engkau perempuan

malam menjadi birahi yang meranggas.

Solo, juli ‘04

BALADA SANG BADUT I

merah matamu tertutup topeng

sengatan lampu-lampu kota

membakar peluhmu yang menetesi aspal jalanan

kau ciptakan tawa semu pada gemerlap kapitalisme

membumbung anganmu pada kampung halaman

yang ditinggal, karena tak tahan menampung badai kepapaan

anak dan istri mengerti kembara yang harus kau jalani

terucap janji, senja itu muram dalam peraduannya

kau akan bawakan mereka kereta kencana dan sebongkah mimpi

ufuk waktu menerkam sepi

kampung halaman terisak sendiri ditinggal

sawah dan kebun ditanami surat gadai dan ijazah catutan

perempuan dan anak-anak menjual kemiskinan nan polos

pada jalanan dan kota raya

kau pun mencakar rambut matahari yang bergerak seperti zombie

bedak dan topengmu kau lepas di kamar rias

setengah malam kau pulang diantar sinar bulan

sejimpit beban telah kau lepaskan

walau rejeki harus berproses dan tak mudah

besok pun akan di awali seperti biasanya

sekutu rembulan memudar mencari sarangnya

sekelompok anjing menggonggong,

lampu gang yang sempit masih nanar warnanya

angina dingin mencabik tulang

lalu sekelompok orang bertopeng badut

menusuk jantung dan matamu

keheningan menjadi doa

pada anak dan istri.

Klaten, juli ‘04

BALADA SANG BADUT II

setelah kenangan pahit itu berlalu

harapan akan masa depan tercerai berai

dihantam angin yang datang menyelinap di segala relung kehidupan

anak dan istrinya pun berharap kepada kenyataan

kehidupan harus tetap terjaga bara apinya

di sela tangisan itu reda

dan di antar seorang sipir penjara di kota itu,

sang istri menjenguk orang yang membunuh suaminya

kehidupan memang tak bisa ditebak

yang sejatinya kawan dalam mengais rejeki bersama

tega membunuh kawannya sendiri, hanya gara-gara sesuap nasi

setelah melihat wajah kawan suaminya itu

rautnya berubah redup, teringat wajah suaminya yang tersenyum

seakan mau berucap, “maafkanlah dia “

lalu, sang istri memberi bunga kepada kawan suaminya itu,

lalu di doakan kawan suaminya itu, agar dalam menjalani proses kematian

di depan regu tembak dapat ketenangan dan kedamaian.

sipir pun tertegun memandang langit

yang mendung, entah mau hujan atau hanya kejadian alam yang biasa

Klaten, juli ‘04

RINDU PUN AKAN AKU BANGUN

aku bisa berucap rindu

bila kau pergi

aku bisa berucap sayang

jika dirimu jauh

aku bisa berucap cinta

andai engkau lama disana

aku bisa jatuh cinta lagi

kalau suaramu seperti yang dulu

rindu ini lama hilang

karena kita selalu tak pernah berpisah

dan pasukan kebosanan di otak kita

seakan-akan siap meyerang kita

rindu ini lama lenyap

karena tempat tidur kita

selalu terdengar lenguh libido kita

rindu ini lama raib

karena sajak pun tak akan punya makna

jika kehidupan berjalan stagnant

kuharap engkau tetap lama di sana

biar gunung rinduku meninggi dan meledak

menerjang bait-bait sajakku

celakanya dalam membangun rinduku padamu

ada api yang akan membakar pondasi rumah kita

yang aku mainkan sendiri

Klaten, Juli ‘04

DALAM SISI MIMPI

kesan yang aku tangkap pagi itu,

embun bersemayam sendiri di sangkarnya

menanti fajar yang akan melelehkan sejuknya

lalu, bermula dari awal yang wajar

bagaimana mungkin aku menterjemahkan

sikap angin yang tak pernah kau prasastikan

kita pasung cahaya matahari

jerat panasnya membakar petuah-petuah tua

pada kenangan yang tersisa

sebelum fajar itu,

kita tetap diam.

Klaten, juli ‘04

SUDAH KUDUGA

serasa ada rahasia kimia

yang tak bisa dibaca oleh diriku sendiri

kesepian menjelma dogma kebodohanku

mata dan tanganku menjadi saksi

pertarungan antara kejujuran dan memalsu nama moralitas

dijalanan itu kulempar jauh-jauh

rinduku padamu

tak terbayang sama sekali

serenade yang setengah hati

atau bulan yang setengah bayang

tadi, Tuhan pun tak meperingatkan aku

akhirnya, kealpaan mengalir menjauh

menembus dinding tanpa reklame

kadang, dosa itu sudah menjalar ke nadiku

haruskah aku meminta maaf padamu

kau pun pasti tak akan mengerti.

Yogya, Juli ‘04

HARI SELASA ITU

kuumpat syahwatku

ketika para pelayat meninggalkan upacara pemberangkatan

panas memang.tapi kuterdampar pada candu duniawi

perempuan-perempuan menjual teteknya di salon-salon, di panti pijat

dan di otakku.

di hari siang itu,

sebuah sedan terperosok menabrak pembatas jalan

Kaliurang, juli ‘04

TIRTONADI

shubuh kujaring dalam dingin

yang sudah kuhapal sebelumnya

dengan kantuk yang datang seperti iblis

mengganggu pikiranku

toh masih banyak bis yang akan menghampiriku

kenapa harus ditakuti dengan jadwal penerbanganku

waktu itu fleksibel, jika kita bisa terjaga dengan arah jarum waktu

jam empat lebih tujuh menit

aku merasa seperti seorang kembara

yang galau dengan arah penglihatannya

dari satu terminal ke terminal yang lain

aku hitung puisiku akan menjadi

kenangan, untuk menemuimu.

Terminal Tirtonadi, juli ‘04

BUNGUR ASIH

tanpa tidur aku mendatangimu

kekerasan watak berkiblat pada panasnya kotamu

wajahku terampas pada para pengamen

yang menjajakan potensi seadanya

menuju deritan mesin – mesin bis

dan mencabik mataku ketika melihat

berpuluh – puluh bangunan pabrik berdiri

tanpa pondasi, para buruhpun berteriak meminta pesangon

yang manusiawi

diserobot aku dengan tawaran harga taksi

yang mestinya bisa dibicarakan.

perut yang belum terisi penuh

aku lampiaskan pada warung kecil di pinggir terminal

sempurnalah apa yang sudah aku rencanakan

melihat lalu lalang bis yang bersliweran

melihat anak-anak yang dipaksakan untuk menjadi pengemis

aku melihat jarum waktu yang berjalan terlambat

masih dua jam lagi.

aku berontak bila waktuku

hanya untuk melamun saja

lalu, menghitung jari matahari

yang membakar seluruh tubuhku

kenapa waktu terasa semakin melambat

Terminal Bungur Asih, juli ‘04

JUANDA

percaya pada pikiranku sendiri

akhirnya aku merasakan bisa tiba disini

pertama aku harus bertaruh, kapan aku bisa seperti elang

yang terbang bebas dan merdeka

kurasakan perasaan seperti borjuis

yang bisa terbang kesana kemari

walau aku tahu, aku harus mengembalikkan

hutang-hutangku hanya untuk merasakan ini.

banyak orang berwajah gelisah

karena menunggu waktu.

diantara check in, boarding pass lalu ruang tunggu

aku mencampuri kekhawatiranku sendiri

seperti apa rasanya membelah langit, menembus cakrawala

aku harus merasakan itu

untuk apa dahsyatnya kalimat penyair

yang menyanjung cakrawala, kalau belum pernah melihatnya.

Tuhan merupakan misteri yang tak terungkap

ketika aku melihat lukisan langit dan awan yang maha dahsyat.

Bandara Juanda, juli ‘04

SEPINGGAN

satu jam aku dipasung misteri

yang tak bisa kuterjemahkan

angkasa dan pesawat ini, adalah pertanyaan yang selalu

menjuntai di otakku

seakan berada dalam dunia

yang belum aku kenal sebelumnya

akhirnya, keletihan pikiranku

mereda ketika pesawat itu mendarat

Sepinggan, aku datang.

dua anakku dan istriku, seperti biasanya

tak ada pertanyaan atau pun peluk cium

berjalan sewajarnya. seperti tak terjadi apa – apa.

pesawat yang lain melesat jauh ke angkasa

membawa penumpang yang lain.

Bandara Sepinggan, Juli ‘04

BALIKPAPAN

mengenal kotamu

tak beda dengan kota yang lin

selalu menawarkan kepengapan dan kemacetan

apalagi zombie kapitalisme dan liberalisme

sudah mulai menjangkiti sendi-sendi kotamu

mengenal kotamu

ada rasa tertarik dengan tingkahmu

minyak, gas bumi, kayu ulinmu

lalu tangki-tangki minyakmu

yang katanya, kota ini adalah emasnya republik ini.

kemudian, aku setiap hari

harus menyantap ikan laut, yang tumpah ruah dalam

tiga kali makanku.

orang-orang laut tak menggubris

ketika rumah panggungnya yang ada dalam sisi-sisi laut

harus terbentur dengan deburan ombak

mereka harus memberi arti hidup ini,

ekosistem harus dijaga, melaut, mencari ikan lalu pulang

menyantap hasil jaringanya

wahai kota seribu emas

kau pecundangi aku dengan kekayaanmu

Jawa beda dengan Kalimantan

di Jawa kepulan asap jengah untuk hidup

meradang menghisap peluh ribuan petani.

Wahai senjata mandaomu

kuhunuskan kerinduanku kepada kampung halaman.

Balikpapan, Juli ‘04

KECEWA

: untuk joko nugroho

kenapa.

kenapa kau tinggalkan istri dan anakmu ?

Klaten, agt ‘04

MELUNASI HUTANG MALAM

Kadang persemayaman kaki-kaki malam

menjelma menjadi kembara yang hilang

di pigura pagi, langkah kita tak sejajar lagi

bunga sakura yang sudah mengering

tanah-tanah yang sudah tak berjiwa

khabar pun terlepas alamat suratnya

dimana kawan yang mengikat percintaan ?

dimana sahabat yang memberi unggun kesunyian ?

lalu, kita ciptakan rasa enggan

diantara selimut sepi.

Klaten. ,sept ‘04

BADAI MASIH DISINI

Badai masih disini

di sisi kapal penungguanku

yang berlayar juangkan kewajaran

Badai masih disini

diantara sepoi malam yang menggantung

kau ucapkan kemiskinan yang tak berujung

Badai masih disini

samodera pikirku meluap

selalu kau tanyakan kapan keajaiban akan muncul

Badai tetap disini

anak-anakku merengek

mengajari kebodohan harus disumbat mulutnya .

Klaten, Sept ‘04

Dua Enam Dua Belas Kosong Empat

Aku ngumpet,

ketika hitam ada di negeriku

selalu ku bertanya

ada yang matikah ?

atau

ada sebatalyon burung ering

yang sedang menunggu bangkai ?

lalu

berita pun bersliweran bagai nyamuk

di atas persis otak kananku

seratus dua puluh ribu orang mati

atas nama bencana tsunami

lagi-lagi ACEH !!!

Klaten des ‘05

Habis

Sudah habis kata yang harus kutulis

paling-paling tentang kemiskinan, keputus asaan, penindasan

dan bencana

terus, aku harus bagaimana

sebagai penyair aku menghargai peristiwa

sebagai penyair aku menghargai kepedihan

tapi

setiap yang kutulis, harus berujung kepada kenyataan

nyawa adalah taruhannya

seperti bencana tsunami

aku harus menulis apa !

air mata ? aku sudah tak memiliki stock air mata lagi

puisi sedih ? apa gunanya !

mereka tidak butuh itu

akhirnya aku hanya tertidur

di atas bongkahan kertas-kertas usang

yang hampir saja aku tak mengenal

siapa pengarangnya.

Klaten, des ‘04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo kasih komentar, komentar anda berguna bagi saya :