BERBICARA DENGAN AWAN
siapa yang menawarkan hujan, di kala aku kering ?
siapa yang menawarkan karang, di kala aku rapuh ?
siapa yang menawarkan ombak, di kala aku takut ?
siapa yang menawarkan angin, di kala aku sesat ?
siapa yang menawarkan bulan, di kala aku nafsu ?
dan siapa yang menawarkan namaMu, di kala aku dosa ?
Klaten, april 2004
AKU MARAH
aku marah
orang-orang marah
seperti darah
memerah dan gerah
keriput cahaya matahari
mengawasi sungai waktu
bilur-bilur nadi angin
menggeliat terasa tak betah untuk bertapa
memikirkan nasib yang tak kunjung untung
memaparkan perasaan pada samodera
gelombangnya membasahi baju yang bergambar para nabi
dan kitab-kitab suci di jual secara murahan
siapa yang menuju titik kereta malam
ketika suaranya menderit tajam
walau malam tanpa terjaga
orang-orang tetap mengawasi arah nasib
yang kian lama kian suram
orang marah
di perapian.
Klaten, april ‘04
AKU BERTEMU SINGA YANG KELAPARAN
arak di tuang dalam mangkuk bergambar pahlawan yahudi
orang-orang memandang langit
seperti jelaga dan suram tatapannya
orang-orang mabuk kenikmatan
lupa arah pulang dan jalan yang terang
kerena lampion telah disayat cahayanya
duduk di atas singgasana
yang berpatok tulang-tulang rakyat miskin
dan, aku bertemu singa yang kelaparan
wajahnya putih tak punya irama nurani
dimaki aku, karena lupa meletakkan jamuan makan malamnya
di ludahi aku, sambil mencakar-cakar perutku yang tak berisi
dihantamkannya kepalaku di batu penahan bangunan istana
sang singa yang kelaparan
matanya merah
memandangku dengan masih berdiam pada keyakinannya
bahwa, akulah yang bersalah
sebagai kambing.
Aku harus rahu diri.
Klaten, april ‘04
SAJAK SAUDARA KECILKU
saudara kecilku,
diamlah. aku akan bercerita
tentang nasib kita yang papa ini
saudara kecilku,
tenanglah. biarkan bulan yang di atas
menerangi kebingungan kita pada nasib
nasib ini kita tak tahu akan dibawa kemana
ke arah huma yang sejuk atau badai sekalipun
atau mungkin ke dalam tungku peradaban yang mati
nadi-nadi kita telah mengucur tanpa darah
rumah ini biarlah menjaga pertapaan bahasa kita
pada kemiskinan.
kita masih tetap di sini
menunggu terompet perjalanan yang membahana
dan kapal kita, akan segera menjemput
saudara kecilku,
jangan lupa.
bawa catatan puisiku.
kelak semua itu akan kita kenalkan kepada Tuhan.
Klaten, april ‘04
MANTRI JERON
dulu, ketika mata kita
masih tajam memandang matahari
sesuatu muncul dalam otak
berdebat atau meneruskan makan malam kita
pada buku-buku sastra
yang kita ambil di perpustakaan kampus
yang tak pernah kita kembalikan
hanya saja kau sering mengucap,
“ buku apa gunanya kalau hanya dijejer, tanpa pernah dibaca “
lalu, semuanya menjadi prasasti
antara kultur dan norma
atau, pada naskah teater kita yang antre untuk dimainkan.
sementara para aktor kita, sudah bersenggama dengan angin puyuh
aku tak tahu
harus mengulang dari mana
jari-jari langit mengajari kita
untuk berdamai dengan doktrin dan janji pepunden
kau menghilang di seperempat malam
sementara yang namanya perempuan
hanya berkhayal di depan cermin riasnya
kapan kau katakan cinta padanya
bisu menjadi pertapa yang abadi
badai.
dalam rumah kontrakan,
bising
dalam kamar sempit.
kita menghitung tagihan rekening listrik
yang tak pernah kita perhitungkan sebelumnya
orang-orang hanya memandang lukisan abstrak kita
tanpa pernah tahu estetika
mana kesenian yang akan kita bawa
sementara, bayonet dan lars adalah mimpi buruk yang harus kita beli.
Klaten, mei ‘04
( memori sanggar KPBI )
MATAHARI YANG TELAH PULANG
menepi dermaga diantara kapal-kapal yang gelisah
karena terompet pemberangkatan belum jua, di tiup
ada daun yang terampas waktu
ada khabar yang termakan usia yang membatu
sementara, tangan perempuan
masih menghitung jatuhnya busa kodrat yang menempel di tangan
kau kelakarkan nasib pada matahari
yang mengintip diantara daun-daun kelapa
para nelayan enggan bercerita tentang gemuruh samodera
karena memang tak ada yang diharapkan
ikan-ikan sudah tak mau peduli nasib mereka
mereka berpesta yang tanpa api unggun
dingin mengenang
pada anak-anak kecil yang teriak mendamba
minta setetes pengertian pada ayah ibunya
kapan bisa sekolah dan punya pendidikan
dan kapal-kapal belum jua diberangkatkan
priuk nasi yang berasap keringat nelayan
tak terasa waktu mengajari makna perjuangan
dan matahari telah pulang.
Klaten, mei ‘04
MELIHAT KENYATAAN DI SEBERANG JALAN
nanar mata batin berbisik
kekalahan yang beruntun
membuat jantung berdenyut
kau paksakkan tangisan menjadi pesta tawa
serakah kau telan malam
tak ada yang menemani
pulang sang kapal, entah di mana dermaga ‘
tangan-tangan semburat cahyaNya masih terlalu dini untuk dilihat
kapan engakau akan menjadi angin
ketiak kenyataan sudah terlanjur menjadi badai
kapan engkau akan menjadi sungai waktu
ketika kenyataan sudah mengalir menuju muara
kapan engkau akan menjadi tungku
ketika tangan kita sudah terlalap lava
sudah tidak ada artinya
berkeluh kesah tentang hari kemarin
di depan ada bongkahan nasib yang masih teronggok
tak berdaya. dan purba.
kita hidup, seperti nanah di kaki kita.
Klaten, mei ‘04
KENANGLAH
( lagu sendu untuk anakku )
kenanglah dan senanglah, anakku
ternyata hidup memang tak mudah
kenanglah dan senanglah, anakku
ternyata menghitung nasib, bukan seperti menghitung
nilai pelajaran matematikamu
kenanglah dan senanglah, anakku
kepapaan ini membimbing kita untuk menjadi tungku
yang siap berkobar di kala dingin merayap
kenanglah dan senanglah, anakku
kemarahan dan tangisan bukan seperti lagu
yang harus disenandungkan
tapi dihayati sebagai sungai nadi nasib kita
kenanglah dan senanglah, anakku
mimpimu tak semestinya kau lukis
hanya untuk dipajang
tapi, dinilai kapan itu akan terwujud
kenanglah dan senanglah, anakku
kapal terakhir belum jua akan menjemput
siapkan bekal kalian dan kita akan pergi bersama
ke dermaga yang baru
yang ada harapan
yang ada lagu tentang cinta.
Klaten, mei ‘04
JANGAN BOSAN
jangan bosan bertanya tentang bobroknya mental bangsa ini
karena kebosanan akan membuat kita menjadi pemalas sejati
jangan bosan mengabari koreng negeri ini kepada siapapun
karena koreng-koreng memang perlu dikabarkan
sebelum menular ke penjuru tubuh rakyat kita
jangan bosan mencium bau busuk di sudut rumah kita
kerena bau busuk tanpa ada yang pernah menciumnya
tak akan pernah ketemu, siapa yang menyimpan kebusukan itu
mungkin tikus yang mati karena terbunuh, lalu dibuang sembarangan
atau anjing kecil yang tak tahu apa-apa harus mati konyol
jangan bosan menatap kekeliruan angka-angka di benak kita
karena jika, angka-angka sudah diputar balikkan
akan menjadi petaka tujuh turunan
dan menciptakan pangeran – pangeran koruptor baru
jangan bosan menyelam di air yang keruh
karena kita akan tahu siapa yang membuat air kita
menjadi keruh
mungkin sebuah peradaban
jangan bosan menyapa nama Tuhan
karena Tuhan perlu teman untuk bertegur sapa
dan tahu siapa yang membutuhkanNya
aku pun kini bosan
untuk berkata-kata.
Klaten, Juni ‘04
SENANGKAH KAU UNTUK MENEGURKU ?
senangkah kau untuk menegurku ?
setelah sekian tahun hanya bercanda dengan bingkai mimpi
yang terkotak dan purba untuk dijadikan sebuah catatan
rembulan yang termangu
napas matahari yang cacat kaki-kakinya
sewindu kau lupakan pahatan hati kita
kini, kita gali dalam tanah kenangan yang berkabut
memiliki atau tanpa memiliki
seperti menyulam kain langit di penghujung malam
selalu kau tawarkan pertanyaan,
“ Kenapa kau tinggalkan kapal peraduan kita ? “
Aku menjawab, “ Kita berjalan dalam arah mata angin yang berbeda “
“ dan kapal kita, biarlah menjadi prasasti ketidakpastian kita “
senangkah kau untuk menegurku ?
setelah rajutan itu, terlepas benang-benangnya
kini kau temukan titik ujungnya
entah kapan kita bisa menjadi ikatan yang tanpa lepas.
Ah. Embuh.
Klaten, Juni ‘04
DEDAUN JATI YANG TERSEMBUNYI
gugusan awan hitam
mendulang kata-kata menjadi penantian, akan angin
terhadap nama purnama yang menguning membintang
terbiasa dingin menyerang sendi tulang sajakku
nama perempuan yang menjelma menjadi kegelisahan
kau sembunyikan dedaun jati
di bawah curigaku pada kedatanganmu
gugusan awan hitam
tercekat, ketika barisan burung malam
menerjang kepulan asap peperangan
atas nama kebodohan, kau pecundang sepi
dengan tarian dan minuman
tangan langit mencakar dataran tinggi
sejuta unggun, tetap menyimpan
dedaun jati yang lupa untuk mencari arti.
Kaliurang, Juni ‘04
LUPA PULANG
burung kecil terbiasa bermanja
dengan awan dan angin
langit biru bentangan harapan
segala penjuru tertembus tak tersisa
kepak dikibarkan
angin bergeser memelan
siapa yang terbang paling tinggi,
dialah penguasa keadaan
walau badanku kecil
aku rakus untuk melahap cakrawala
cakarku tajam, untuk menghancurkan ribuan pinus
paruhku kokoh, untuk mencabut isi perut lautan
berani terbang, berarti berani bertaruh
antara kematian dan arah pulang
ibu ku memendam tangis
diantara lipatan sayap yang patah
karena aku lupa membawa peta arah pulang
kesombonganku adalah petaka keluarga
Klaten, Juni ‘04
BELUM TERDENGAR SUARA ADZAN DI TELINGAKU
belum terdengar suara adzan di telingaku
ketika aku bertaruh dengan nafsu duniawi
belum terdengar suara adzan di telingaku
malam yang panjang meregang kesunyian
menunggu bisikan yang maha dahsyat
atas nama dzikir dan doa
belum terdengar suara adzan di telingaku
perjalanan yang berdebu dan berlumpur
hanyalah kembara semu dari sejuta harapan yang lenyap
belum terdengar suara adzan di telingaku
kereta waktu yang datang merapat
akankah bermuara pada hidup yang maya
atau hanyalah nyanyian bulan dan cakrawala
membiru, membayangkan betis-betis bidadari
yang kerasan menyetubuhi mimpi-mimpiku
belum terdengar suara adzan di telingaku
ketika bilal tersedak memandang, pecahan wajahnya
tak pernah terlukis dalam kitab suci
atau nasib yang harus mengitung sendiri
belum terdengar suara adzan di telingaku
mungkin, kupingki yang budeg
untuk mendengar jeritan kelaparan batinku
harusnya Dia yang harus kuminta pertimbangan
harusnya.
Klaten, Juni ‘04
MENGAPA KAU LUPA UNTUK MENGHITUNG
sepinya warna langit
masih menjingga dan mulai menampakkan gelapnya
matamu yang besar dan putih mulai pulang ke peraduan
daun-daun yang masih tersisa
melayang membuat sangkar wajah rembulan
jejak langkah perempuan
miris menatap rahim yang berkabut catatan usang
detak waktu yang mengencang
detak sukma yang masygul
kau tetap sebagai batari yang memegang harpa
di seperempat malam
janji burung malam
lenyap. yang tersisa hanya bangkai waktu
karena kesenyapan malam
mestinya, kau tetap menghitung.
Klaten, Juni ‘04
DI DALAM BIS
( antara Klaten –
senja belum terlalu telanjang, kau tawarkan padaku
terminal yang sepi, asap knalpot tersedak suaranya
koran-koran yang berceceran di aspal
tak ada yang memungut atau pun membacanya
mungkin, bosan atau mungkin sudah hapal dengan situasi
berderak langkah menuju arah barat
terdiam. memandang aspal dan kelokan
terkadang nyanyian angin menghina kesendirianku
jalanan yang tak berputus
kelokan yang mencabik isi perutku
selalu kulihat kenangan akan perempuan dan anak-anak
menjadi pigura sukma yang menjerit
dimanakah engkau ?
masihkah kau sisakan teh hangat buatku ?
atau malahan kau minum sendiri, dengan anjing-anjing
penghuni rumah kosong ?
Ah. Entahlah.
bis yang rakus melahap jalanan
beberapa khabar tentang
menjejali pikiranku
orang-orang
tatkala tahu kotoran di dahinya menyerupai mulut anjing tetangganya
berucap selamat datang
tiba waktunya bertahan kepada kenyataan
cepat pulang atau bertahan pada air bah kebosanan.
Klaten –
SKETSA MIMPI SEPI ( 1 )
diterkam pagi,
jengah kudapat nama mantra-mantra
dari lambung matahari
ibuku menjelma seekor merpati
di surga kau buat rumah
di pucuk rembulan meminang doa – doa
wajah pagi yang letih
aku pun meng- Amininya
Klaten, Juli ‘04
SKETSA MIMPI SEPI ( 2 )
masih diterkam pagi,
lautan batinku mendapatkan pelangi
hujan belum reda jua
ketika doa untuk anakku
memuncratkan luka pohon atas lukisannya
mataku jadi muara
sebaris mendung, tiada terbendung
semisal sang dzikir tiada yang mengetuk
Klaten, Juli ‘04
SKETSA MIMPI SEPI ( 3 )
kudapatkan badai dalam balik bantalku
warnanya hitam dan tanpa bersayap doa
suaraku parau terawang di sisi mimbar yang kosong
makmun berlari ketakutan
sebiji angin menetes
di ruang – ruang busuk, di kantor-kantor
di mana-mana ada nama Tuhan
Hanya nama.
Klaten, Juli ‘04
SKETSA MIMPI SEPI ( 4 )
kereta malam sebelum lelap
kau bangunkan aku, di tengah badai
mencari arah matahari
sakitku adalah mutiara kemiskinan
doa-doa para rahib
hanyalah sekedar menghitung musim
sentuhlah aku dengan ayat-ayatMu
tamparlah aku dengan tangan putihMu
atau dukaku adalah tuduhanMu terhadap mimpiku
Klaten, Juli ‘04
SKETSA MIMPI SEPI ( 5 )
: tentang ibuku yang di sorga
lewat sakit kau tertawakan musim
tangan kurus keriput sekedar menghitung
arah tetes infus yang di paksakkan
untuk bermuara di tubuhmu
empat tahun menitipkan
kepada Tuhan, tentang pohon anggrek yang kau tanam
rinduku dibuat sarang camar
rajutan doaku terbesit cahaya
ruang sujudku terlukis gambarmu
kudaki sembahyangku untukmu
kutunggu kecupmu di mimpiku
: sudikan kau tengok anakmu dan cucu-cucumu ini.
Klaten, Juli ‘04
SKETSA MIMPI SEPI ( 6 )
meminta nasehatmu
kubenturkan kepalaku di gunung dosaku
ya, atas nama ayat-ayatMu
lusuh kulukis aliran darah tentang nabi
berbelok menjadi taring mimpi purba
diangkat aku tinggi-tinggi
seperti angin tulisan ini tak terlihat
bisa bersembunyi atau tertawa cekikikan
tidurku selalu terjaga
sontak kau bisikkan kidung malamMu
Klaten, Juli ‘04
KALAU BOLEH AKU MENULIS
kalau boleh aku menulis sajak tentang malam
akan kuhitung sepiku dilangit yang berbintang
kalau boleh aku menulis tentang pagi
akan kuminum doaku di air embun
kalau boleh aku menulis tentang siang
akan kujemur kalimatku di matahari
kalau boleh aku menulis tentang senja
akan kupulangkan puisiku di peraduan
Klaten, juli ‘04
DITINGGAL PERGI
kau kalungkan janji di batas rinduku
sedemikian jauh memandang pinus-pinus yang meranggas
lenyap sudah tatkala senyap menyelinap masuk
dari balik kerudung malam
kaki-kaki waktu yang tertatih
melatih kembara yang terbata-bata
perempuan ! hinggaplah di libidoku
sebagian hidup tak tersisa tanpamu
walau seribu kenangan menancap di bahu kiriku
walau sejuta senapan tangismu mengundang aku
untuk memelukmu.
tapi kapan ritual kemenangan
akan di upacarakan
ketika tanganmu harus terlepas
tanpa sejimpit angin yang mengantar
tanpa segudang ucapan selamat tinggal
hanya itu. lalu pergi.
Klaten, juli ‘04
DUA ANAKKU
dua anakku adalah titisan puisi yang membahana
dilahirkan dari kejujuran yang sudah direncanakan
dua anakku adalah kalimat yang panjang
dari perjalanan kembara yang tanpa lelah
dua anakku adalah senapan dan bayonet harapanku
yang kelak akan membidik dan merobek kepengapan hidup
dua anakku adalah rembulan dan matahari
yang bersolek dan bersuara lantang,
tatkala hidup sudah dihimpit dengan ketidakjujuran
dua anakku. Toh senyawa yang harus dihidupi.
Klaten, juli ‘04
SELALU ENGKAU PEREMPUAN
selalu engkau perempuan
yang menghunuskan tubuhnya
ke dalam bayang-bayang tanpa arah
di buat aku gelisah diantara tawa dan air mata
badai yang ada dalam cakrawala otakku
berontak aku , di mana Tuhan ?
bawakan aku sekeranjang ayat-ayatMu
jangan biarkan aku menjadi badut di atas panggung duniaMu
dibawa aku kearah tapal kepalsuan
memerah wajah tatkala , aku harus berkobar dalam api
selalu engkau perempuan
meng inspirasi dirimu
sejuta arti menjadi bait-bait sajak
kecantikkan perempuan adalah berhala
selalu menggoda langkah, bunga-bunga yang tersebar
di jalanan. Entah akan ku pungut atau membiarkan mereka
menghias secara liar.
selalu engkau perempuan
malam menjadi birahi yang meranggas.
Solo, juli ‘04
BALADA SANG BADUT I
merah matamu tertutup topeng
sengatan lampu-lampu
membakar peluhmu yang menetesi aspal jalanan
kau ciptakan tawa semu pada gemerlap kapitalisme
membumbung anganmu pada kampung halaman
yang ditinggal, karena tak tahan menampung badai kepapaan
anak dan istri mengerti kembara yang harus kau jalani
terucap janji, senja itu muram dalam peraduannya
kau akan bawakan mereka kereta kencana dan sebongkah mimpi
ufuk waktu menerkam sepi
kampung halaman terisak sendiri ditinggal
sawah dan kebun ditanami
perempuan dan anak-anak menjual kemiskinan nan polos
pada jalanan dan
kau pun mencakar rambut matahari yang bergerak seperti zombie
bedak dan topengmu kau lepas di kamar rias
setengah malam kau pulang diantar sinar bulan
sejimpit beban telah kau lepaskan
walau rejeki harus berproses dan tak mudah
besok pun akan di awali seperti biasanya
sekutu rembulan memudar mencari sarangnya
sekelompok anjing menggonggong,
lampu gang yang sempit masih nanar warnanya
angina dingin mencabik tulang
lalu sekelompok orang bertopeng badut
menusuk jantung dan matamu
keheningan menjadi doa
pada anak dan istri.
Klaten, juli ‘04
BALADA SANG BADUT II
setelah kenangan pahit itu berlalu
harapan akan masa depan tercerai berai
dihantam angin yang datang menyelinap di segala relung kehidupan
anak dan istrinya pun berharap kepada kenyataan
kehidupan harus tetap terjaga bara apinya
di sela tangisan itu reda
dan di antar seorang sipir penjara di
sang istri menjenguk orang yang membunuh suaminya
kehidupan memang tak bisa ditebak
yang sejatinya kawan dalam mengais rejeki bersama
tega membunuh kawannya sendiri, hanya gara-gara sesuap nasi
setelah melihat wajah kawan suaminya itu
rautnya berubah redup, teringat wajah suaminya yang tersenyum
seakan mau berucap, “maafkanlah dia “
lalu, sang istri memberi bunga kepada kawan suaminya itu,
lalu di doakan kawan suaminya itu, agar dalam menjalani proses kematian
di depan regu tembak dapat ketenangan dan kedamaian.
sipir pun tertegun memandang langit
yang mendung, entah mau hujan atau hanya kejadian alam yang biasa
Klaten, juli ‘04
RINDU PUN AKAN AKU BANGUN
aku bisa berucap rindu
bila kau pergi
aku bisa berucap sayang
jika dirimu jauh
aku bisa berucap cinta
andai engkau lama disana
aku bisa jatuh cinta lagi
kalau suaramu seperti yang dulu
rindu ini lama hilang
karena kita selalu tak pernah berpisah
dan pasukan kebosanan di otak kita
seakan-akan siap meyerang kita
rindu ini lama lenyap
karena tempat tidur kita
selalu terdengar lenguh libido kita
rindu ini lama raib
karena sajak pun tak akan punya makna
jika kehidupan berjalan stagnant
kuharap engkau tetap lama di
biar gunung rinduku meninggi dan meledak
menerjang bait-bait sajakku
celakanya dalam membangun rinduku padamu
ada api yang akan membakar pondasi rumah kita
yang aku mainkan sendiri
Klaten, Juli ‘04
DALAM SISI MIMPI
kesan yang aku tangkap pagi itu,
embun bersemayam sendiri di sangkarnya
menanti fajar yang akan melelehkan sejuknya
lalu, bermula dari awal yang wajar
bagaimana mungkin aku menterjemahkan
sikap angin yang tak pernah kau prasastikan
kita pasung cahaya matahari
jerat panasnya membakar petuah-petuah tua
pada kenangan yang tersisa
sebelum fajar itu,
kita tetap diam.
Klaten, juli ‘04
SUDAH KUDUGA
serasa ada rahasia kimia
yang tak bisa dibaca oleh diriku sendiri
kesepian menjelma dogma kebodohanku
mata dan tanganku menjadi saksi
pertarungan antara kejujuran dan memalsu nama moralitas
dijalanan itu kulempar jauh-jauh
rinduku padamu
tak terbayang sama sekali
serenade yang setengah hati
atau bulan yang setengah bayang
tadi, Tuhan pun tak meperingatkan aku
akhirnya, kealpaan mengalir menjauh
menembus dinding tanpa reklame
kadang, dosa itu sudah menjalar ke nadiku
haruskah aku meminta maaf padamu
kau pun pasti tak akan mengerti.
Yogya, Juli ‘04
HARI SELASA ITU
kuumpat syahwatku
ketika para pelayat meninggalkan upacara pemberangkatan
panas memang.tapi kuterdampar pada candu duniawi
perempuan-perempuan menjual teteknya di salon-salon, di panti pijat
dan di otakku.
di hari siang itu,
sebuah sedan terperosok menabrak pembatas jalan
Kaliurang, juli ‘04
TIRTONADI
shubuh kujaring dalam dingin
yang sudah kuhapal sebelumnya
dengan kantuk yang datang seperti iblis
mengganggu pikiranku
toh masih banyak bis yang akan menghampiriku
kenapa harus ditakuti dengan jadwal penerbanganku
waktu itu fleksibel, jika kita bisa terjaga dengan arah jarum waktu
jam empat lebih tujuh menit
aku merasa seperti seorang kembara
yang galau dengan arah penglihatannya
dari satu terminal ke terminal yang lain
aku hitung puisiku akan menjadi
kenangan, untuk menemuimu.
Terminal Tirtonadi, juli ‘04
BUNGUR ASIH
tanpa tidur aku mendatangimu
kekerasan watak berkiblat pada panasnya kotamu
wajahku terampas pada para pengamen
yang menjajakan potensi seadanya
menuju deritan mesin – mesin bis
dan mencabik mataku ketika melihat
berpuluh – puluh bangunan pabrik berdiri
tanpa pondasi, para buruhpun berteriak meminta pesangon
yang manusiawi
diserobot aku dengan tawaran harga taksi
yang mestinya bisa dibicarakan.
perut yang belum terisi penuh
aku lampiaskan pada warung kecil di pinggir terminal
sempurnalah apa yang sudah aku rencanakan
melihat lalu lalang bis yang bersliweran
melihat anak-anak yang dipaksakan untuk menjadi pengemis
aku melihat jarum waktu yang berjalan terlambat
masih dua jam lagi.
aku berontak bila waktuku
hanya untuk melamun saja
lalu, menghitung jari matahari
yang membakar seluruh tubuhku
kenapa waktu terasa semakin melambat
Terminal Bungur Asih, juli ‘04
JUANDA
percaya pada pikiranku sendiri
akhirnya aku merasakan bisa tiba disini
pertama aku harus bertaruh, kapan aku bisa seperti elang
yang terbang bebas dan merdeka
kurasakan perasaan seperti borjuis
yang bisa terbang kesana kemari
walau aku tahu, aku harus mengembalikkan
hutang-hutangku hanya untuk merasakan ini.
banyak orang berwajah gelisah
karena menunggu waktu.
diantara check in, boarding pass lalu ruang tunggu
aku mencampuri kekhawatiranku sendiri
seperti apa rasanya membelah langit, menembus cakrawala
aku harus merasakan itu
untuk apa dahsyatnya kalimat penyair
yang menyanjung cakrawala, kalau belum pernah melihatnya.
Tuhan merupakan misteri yang tak terungkap
ketika aku melihat lukisan langit dan awan yang maha dahsyat.
Bandara Juanda, juli ‘04
SEPINGGAN
satu jam aku dipasung misteri
yang tak bisa kuterjemahkan
angkasa dan pesawat ini, adalah pertanyaan yang selalu
menjuntai di otakku
seakan berada dalam dunia
yang belum aku kenal sebelumnya
akhirnya, keletihan pikiranku
mereda ketika pesawat itu mendarat
Sepinggan, aku datang.
dua anakku dan istriku, seperti biasanya
tak ada pertanyaan atau pun peluk cium
berjalan sewajarnya. seperti tak terjadi apa – apa.
pesawat yang lain melesat jauh ke angkasa
membawa penumpang yang lain.
Bandara Sepinggan, Juli ‘04
mengenal kotamu
tak beda dengan
selalu menawarkan kepengapan dan kemacetan
apalagi zombie kapitalisme dan liberalisme
sudah mulai menjangkiti sendi-sendi kotamu
mengenal kotamu
ada rasa tertarik dengan tingkahmu
minyak, gas bumi, kayu ulinmu
lalu tangki-tangki minyakmu
yang katanya,
kemudian, aku setiap hari
harus menyantap ikan laut, yang tumpah ruah dalam
tiga kali makanku.
orang-orang laut tak menggubris
ketika rumah panggungnya yang ada dalam sisi-sisi laut
harus terbentur dengan deburan ombak
mereka harus memberi arti hidup ini,
ekosistem harus dijaga, melaut, mencari ikan lalu pulang
menyantap hasil jaringanya
wahai
kau pecundangi aku dengan kekayaanmu
Jawa beda dengan
di Jawa kepulan asap jengah untuk hidup
meradang menghisap peluh ribuan petani.
Wahai senjata mandaomu
kuhunuskan kerinduanku kepada kampung halaman.
KECEWA
: untuk joko nugroho
kenapa.
kenapa kau tinggalkan istri dan anakmu ?
Klaten, agt ‘04
MELUNASI HUTANG MALAM
Kadang persemayaman kaki-kaki malam
menjelma menjadi kembara yang hilang
di pigura pagi, langkah kita tak sejajar lagi
bunga sakura yang sudah mengering
tanah-tanah yang sudah tak berjiwa
khabar pun terlepas alamat suratnya
dimana kawan yang mengikat percintaan ?
dimana sahabat yang memberi unggun kesunyian ?
lalu, kita ciptakan rasa enggan
diantara selimut sepi.
Klaten. ,sept ‘04
BADAI MASIH DISINI
Badai masih disini
di sisi kapal penungguanku
yang berlayar juangkan kewajaran
Badai masih disini
diantara sepoi malam yang menggantung
kau ucapkan kemiskinan yang tak berujung
Badai masih disini
samodera pikirku meluap
selalu kau tanyakan kapan keajaiban akan muncul
Badai tetap disini
anak-anakku merengek
mengajari kebodohan harus disumbat mulutnya .
Klaten, Sept ‘04
Dua Enam Dua Belas Kosong Empat
Aku ngumpet,
ketika hitam ada di negeriku
selalu ku bertanya
ada yang matikah ?
atau
ada sebatalyon burung ering
yang sedang menunggu bangkai ?
lalu
berita pun bersliweran bagai nyamuk
di atas persis otak kananku
seratus dua puluh ribu orang mati
atas nama bencana tsunami
lagi-lagi ACEH !!!
Klaten des ‘05
Habis
Sudah habis kata yang harus kutulis
paling-paling tentang kemiskinan, keputus asaan, penindasan
dan bencana
terus, aku harus bagaimana
sebagai penyair aku menghargai peristiwa
sebagai penyair aku menghargai kepedihan
tapi
setiap yang kutulis, harus berujung kepada kenyataan
nyawa adalah taruhannya
seperti bencana tsunami
aku harus menulis apa !
air mata ? aku sudah tak memiliki stock air mata lagi
puisi sedih ? apa gunanya !
mereka tidak butuh itu
akhirnya aku hanya tertidur
di atas bongkahan kertas-kertas usang
yang hampir saja aku tak mengenal
siapa pengarangnya.
Klaten, des ‘04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo kasih komentar, komentar anda berguna bagi saya :