Senin, 23 Februari 2009

PUISI-PUISI TAHUN 2007

PERBICANGAN DUA TANGISAN

Derai-derai air mata yang mengadu di dermaga
pada bintang yang mengejar pagi
kau rebahkan merpati di sisi puisiku
kadang kita bertaruh nasib, yang sembunyi
di balik etalase peradaban buta
selalu saja langkah mnejadi terjebak pada kenyatan.

Klaten, Jan ‘07














TERASING DI JELAGA

Kemarin, orang-orang mengabarkan duka
diujung langit. Dan sekarang orang – orang masih menertawakan
bagkai merpati di batas cakrawala, aku mendengus di sisi sejarah yang tabu
: pada siapa pahalawan di prasastikan ?
pada tanah yang sudah tak punya pori protein ?,
atau pada bocah-bocah yang tak bisa mengenal abjad nurani ?
sayang kita terlalu berani untuk bersanding di pelaminan
sedangkan badai setiap hari menggulung rumah sajak kita
senyap kita melawan arus
pada para penyair yang kini sudah kehilangan penanya
semua adalah jelaga yang sudah menggores tubuhku.

Klaten, February ‘07









AKU MENJAGA MALAM


Pada setengah bintang, kuterbangkan kidung
Dengan tangisan dua kelelawar, tak ada sobat yang menyediakan
secangkir kopi, atau denting nada malam
yang kini sudah menggantung
menyerupai lukisan ibuku
sementara, senja yang tadi kita lepaskan begitu saja.

Klaten, Feb ‘07















KARTU NAMA DAN SEBATANG ROKOK

Kartu nama itu berserakan
Menyerupai sampah
Nama-nama orang menjadi berantakan
Alamatnya tak jelas
Pekerjaannya tak berbekas
Lalu, sebatang rokokku membakarnya.


Klaten, feb ‘07























ODA SATU BABAK


Kepergianmu meninggalkan janji yang memerih
Pada sawah yang ditipu musim
atau khabarmu yang tertahan di dermaga
sedangkan aku sudah lama tak berbalas dengan sepasang camar
kita pun terkurung pada adab setengah hati
sempat aku menjenguk jejakmu yang nanar
kerena terik sudah membakar sejarah
pada bias sendu kulantunkan kidung kematian.

Klaten, Feb ‘07













SEKIAN WAKTU YANG HILANG

Kita berbilang tangis pada altar kematian
antara saudara yang meradang bencana
antara sejarah yang terenggut catatannya
bukan tak mungkin kita berpisah
untuk mengenang lautan yang menghening
mustahil. Darah ini akan menjadi muara doa-doa
kita akhirnya, meraba rembulan di huma tengah padang
wajah pagi tak ada.


Klaten, Feb ‘07











DI LINGKARAN TAFAKUR

Pada bulan yang telanjang di ufuk langit
serasa sukma menawarkan sepi di hitam langit
aku datang mengetuk pintu-Mu, ketika butiran tasbih
sudah terangkum dalam gagapnya doa-doa
aku selalu tertatih mengeja nama kebenaran
ketika kepalsuan memperdaya rona langkahku
dimana tangisan menjadi rytme tak terbendung
mengahadap-Mu dari jauh aku terlelap
serasa bongkahan batu menindih
dan tiga belas elang menyambar mataku

Klaten, feb ‘07










TANGIS HITAM I

kutelantarkan angin yang memagut sajakku
ketika cakrawala sudah telanjang menggoda kesenyapan
tangan yang tidak bisa digerakkan, untuk menulis alur kematian
dan bocah-bocah memandang pedesaan dengan tangisan
hitam seperti batu, dan hitam seperti tangisan yang tak pernah dikawinkan
pesta sudah usai.
khabar yang usang, menggeliat di lamunanku
daun-daun yang lupa musim mulai berjatuhan, seperti juga pesta itu.


Klaten, Feb ‘07











TANGIS HITAM II

kegaduhan menjelma menjadi titik-titik kelam
kau datang membawa setumpuk catatan mendung
kau datang seperti bangkai waktu.

sementara, kita masih menatap dua ekor angsa
yang lamban mencari ikan, dan nanah matamu
menjadi lara yang tak terbendung
kita pulang, dengan sembilu yang menggantung
dimana lukisan terakhir kita ?

Klaten, feb ‘07











BERAPA JARAK

ketika datang kesenyapan yang bersembunyi di emperan malam
lamunan kita terusik, ketika lampu-lampu dan sisa percakapan kita
tertinggal di tanah yang sudah basah karena hujan sore tadi.

berapa jarak antara kesepian dan kekalahan, tak ada beda
kita sama mengerti.karena, bunga-bunga di perkuburan sudah mengering
dan doa-doa sudah terkuras habis.
ribuan saudara sudah mati, dan ratusan bencana menjadi seremoni yang harus diyakini

berapa jarak kesedihan dan kebahagiaan, tak ada yang tahu
:dan
kapan persoalan ini, menjadi penutup segala cerita.

Klaten, feb ‘07








PERCAKAPAN SORE HARI

sudah larut kita bercakap di teras rumah, tentang negeri ini
selalu saja, ada yang tertinggal
yaitu: tangisan dan kematian
dan selalu saja tak ada akhir dari nadi sejarah
yang sudah muncrat menyerupai wajah jelaga malam
beratus bencana, beribu kematian, dan berjuta persoalan
menjelma sebagai srigala
lalu, semuanya menjadi sepi
dan untuk apa kita bercakap sore itu.

Klaten, feb ‘07











KHABAR DARI ILALANG

Aku menemukan tulisanmu
Terpasung di cakrawala
Guratannya sendu, seperti napas mendung
Dan tiga belas ekor camar tak pernah berkunjung
tentang : khabar yang gamang
selalu aku menemukanmu telah menjadi kembara yang hilang.

Klaten, Feb ‘07














NEGERI DI BATAS PANDANGKU

Senandung hawa desa yang menyengat
Kugegaskan terjaga di paruh waktu yang lelah, pada sungai kecil yang keruh airnya
Atau pada ikan – ikan wader yang mati karena toksin
Catatan usangku menjelma menjadi koreng yang mewabah
Tanah-tanah yang sudah kering karena musim tak bisa ditebak
Kini, bencana menjadi segumpal perjalanan yang mengerikan
Ketidakpercayaanku terjerembab kepada nasib, kepada harapan bayi-bayi
Kapan tangan ini harus menari bersama cahaya rembulan ?
Kapan kembang-kembang kasturi harus disebarkan ?
Negeri di batas pandangku,
Memandang cakrawala dengan ibaku.

Klaten, Feb ‘07









HANYA SEBATAS KATA

hanya sebatas kata
kuumpat kerinduan ini pada jarak yang menjauh
hanya sebatas kata
kurangkai kalimatku dengan ejaan pedang di matamu
hanya sebatas kata
kumencari sepi di rambut matahari
hanya sebatas kata
lalu, semuanya menjadi anarki sajakku.


Klaten, feb ‘07











GAMBAR BUNGA

Tidak pernah aku sangka
kenangan di akhir waktu mengirim aku pada luka
gambar bunga di sampul suratmu,
sudah pasti sebuah bangunan rindu yang rapuh
mengakar di muara yang dalam
dan gambar bungamu tak terisisa wanginya

Klaten, Feb ‘07














SENANDUNG HITAM DI LAUTANKU
: tragedy levina 1

camar pun pulang dengan lenguh yang panjang
paruhnya berucap datar dan dingin
angin laut bercabang di pohon kelapa
masih terdengar gemuruh ombak mengantam karang
secepat matahari menyibak awan
kata-kata bagai sebilah petuah leluhur
alam adalah pengertian, dan jagat raya adalah perjalanan kehidupan
kita mesti berkumpul dan menundukkan kepala
agar doa menjadi kasturi yang mewangi menerawang
dari duka yang paling dalam
pada lautan yang kadang bisu
atau mesti dia murka
dan kita melihat linangan air mata
seperti sejuta kalimat belangsungkawa mengaliri persada pertiwi

Klaten, Feb ‘07





SENDU DI LAUTANKU
; tragedy levina I
Bunga – bunga warna kelabu beriringan untuk ditebarkan
Hujan tropis masih terdengar tetesnya
Ketika wajah bumi sudah pucat pasi
Seperti perempuan yang terduduk lesu di taman kota

Senja yang temaram,
Catatan usang yang tak tersisa
Perjanjian perkawinan para peri laut sudah di tasbihkan
Seperti menunggu embun esok, yang membasahi jendela kamar kita
Selalu saja negeri ini, merangkum perjalanan dengan seribu bencana
Kemarin kita, teringat : tsunami, tektonik 5,9 skala richter, adam air, senopati,banjir, puting beliung,
Sekarang jeritan sang putri levina I
Menjadi bancakan sang malaikat pencabut nyawa
Haruskah Tuhan selalu marah sama kita ?

Klaten, Feb ‘07





DAHAN – DAHAN JATUH DI SISA MENDUNG

Dahan-dahan yang jatuh di sisa mendung
Dupa-dupa kematian merajai mimpi lukisan malam
Kawan yang hilang ketika belum sempat bertukar alamat,
Atau kereta-kereta waktu yang menderit
Membangunkan gembel-gembel di stasiun dzikir usang
Wahai malam berwajah tangis
Hujan yang bergeming di ketiak senja
Aku melumat sepi dengan tasbih janji
Yang hilang sukma.

Klaten, Maret ‘07











MENUNGGU TANYA PADA BIDUK BENCANA

Orang-orang melawan tangis, tapi tak berdaya
Orang-orang mengumbar senyum, merana jadinya
Orang-orang menyeberangi kebahagian, tapi batasnya hilang arah
Orang-orang membangun cinta, nuraninya sembunyi di balik mendung
Orang-orang ingin berlayar bersama camar, angin tak pernah membimbingnya
Dan
Akupun bertanya, bencana ini sempatkah kita masukkan dalam doa-doa kita ?

Klaten, Meret ‘07













SEMPAT AKU MENEMUI-MU

Sempat aku menemui Mu diseberang doa ini
Tapi Engkau masih membawa catatan bencana pada negeri ini
Sempat aku menemui Mu, di relung waktu munajatku
Esoknya kudengar khabar kematian berjubel di mataku
Sempat aku menemui Mu, ketika tiga belas burung ering menyambar sajak-sajakku
Diantara dentuman gempa, meluapnya air, badai menerjang terjang, atau kepak kematian
yang mengajari aku Untuk tetap menemuiMu
Rumahku menjadi cakrawala pandangku
Diantara gunung-gunung yang mendadak tak bisa diajak untuk merenung
Atau gelombang samodera yang mengkhianati janji semati Sang Karang
Bosankah Engkau untuk kutemui,
Entah, kapan awan sudah bisa di eja arahnya

Klaten, Maret ‘07








PEREMPUAN YANG SEDANG MARAH

Aku seperti gembala yang hilang ternaknya
Di padang savanna yang membatu dan cadas
Suaraku serak karena ujung matahari sudah menusuk kepalaku
Memoir durjana santap sajakku, keranda malam tersingkap
persis di bawah matamu yang tajam
kita tumpahkan kekesalan dilangit yang sepi,
gubuk tua yang mulai rapuh karena hujan
dan rerimbun sawah yang menghijau
ketika anak-anak merasa bangga dengan mainannya
: dan selalu saja kesangsianmu padaku
menjadi kelelawar kembaraku

Klaten, Maret ‘07









SURAT DI UJUNG BADAI

Garis mimpiku menjelma di daun kering
Kalimat yang berbelok tak menemui muara yang pasti
Seperti kasturi yang tak pernah menjadi Nubuat
Senja yang sangsi terhadap malam, atau tanah-tanah yang sembunyi di balik
bayang bulan.
Kita tawan kata-kata dengan cerita angka – angka tangisan
yang mulai angkuh untuk diperhitungkan
sebuah lembaran hujan mulai menetes bersama kerinduan yang mendendam


Klaten, Maret ‘07











SORE DI HAMPARAN SENJA

Kita kenang bangkai bulan pada karang-karang yang sepi
napas waktu sementara terhimpit beban nelayan yang resah
ketika ikan tak bisa didapat, karena lautan tidak bersahabat
masih saja kau tanyakan kemana hilangnya sukma yang miris
ketika berita bencana, sillih berganti
menyerupai fragmen anjing BullDog, yang kelaparan ketika
melihat para pembantu memakan sisa makanan majikannya.

kita kenang bangkai bulan pada setengah jarak yang sunyi
dupa kemenyan tercipta pada pagar bayangan matamu
bocah-bocah yang menelanjangi lautan dengan tarian
camar pun bergegas menengok sarangnya
kapal-kapal tak jadi diberangkatkan, karena nahkoda menjadi peri kegelapan
buritan masih menyisakan tangis delapan belas lumba-lumba

kita kenang bangkai bulan pada ringkihnya prasasti janji kita
sementara bunga-bunga yang tersisa dipasir, terseret ombak jauh ke tengah
kemana larinya harga diri, ketika saudara yang bernanah di kakinya
lupa arah pulang,
Lalu untuk apa kita kenang.

Klaten, Maret ‘07
KEMARIN KITA RABA BULAN

Kemarin,
kita raba bulan
yang mati di telan para penyair

Kemarin,
kita raba bulan
yang terkapar dengan catatan usang

Kemarin,
kita raba bulan
yang terdiam ketika matahari mengkhianatinya

Kemarin,
kita raba bulan
bagai symphoni setengan hati
: masihkah bayanganmu yang menganggu ?

Klaten, Maret ‘07




ORANG-ORANG PELARIAN

Orang-orang pelarian,
Menertawakan angin di gunung-gunung
Kakinya terbelenggu musim yang meranggas
Pada batas cakrawala, wajahnya berubah menjadi tanah

Orang – orang pelarian,
Membawa obor pada sudut-sudut kota
Mengerang suaranya persis orkestra negeri ini
Kerajaan sepi menjadi muaranya

Orang-orang pelarian,
Membuat jubah kematian dengan badai waktu
Meresapi kenyataan, menukar nasib dengan perlawanan
Bayangannya terbaca kelelawar

Orang-orang pelarian,
Tak sempat berlari.
Karena rambut matahari mengajak menari
Kereta waktu, mendekatinya
Akhirnya,kembali pada yang pasti.

Klaten, maret ‘07
METAFOR KEPAPAAN

Pada jalang kita menebar benih
Dengan doa-doa yang tercerai berai di jalanan dan sawah-sawah
Aku mencari kata-kata dengan luka di jantung
Sementara ciumanmu masih terasa hambar di bibir
Di tepi pelangi wajah hujan menghilang
Dan pasir putih pun sembunyi bersama
perasaanku yang terkubur

Klaten, Maret ‘07













HILANG

Menanam badai di paruh waktu yang sembunyi
Pada layar-layar bayangan hitam
Di wajah bumi yang gelisah
Karena janji langit sudah hilang arah
Kemana, anak-anak alam akan bersembunyi.

Klaten, Mai ‘07















DUA LELAKI

Dua lelaki saling menancapkan pisau
Di jantung mereka.
Ketika hujan semangati mereka
Dan tiga belas matahari, catat tetes darah
yang mengalir di bangkai sejarah yang terlelap
: dan
satu perempuan memagut kematian mereka
dengan ratusan pesta.

Klaten, Mei ‘07












BUNGA DI MUSIM HUJAN

Bunga di musim hujan mengenang tangis
Dengan lagu tanah yang basah.
Suaranya lirih, dipagut embun
Cahaya warnanya kemilau,
Seperti tanyaku, pada seratus kumbang
Yang terbang dengan bilur luka yang meliang

Klaten, Mei ‘07














SAHABAT KARIB

Sahabat karib, memberikan aku sebuah catatan
Tentang wajah malam yang tersudut di ufuk mata
Kubuka catatannya, sejuta berita menghias
Tentang desa yang hilang karena bencana,
Tentang masjid dan surau kesepian karena ditinggal jamaahnya
Tentang para kyai dan ustads kini, menjadi penjual jasa komoditas politik
Tentang puluhan perempuan yang sudi menjual tubuhnya kepada para makelar tanah
Tentang anak-anak sekolah yang suka menampar pipi ibu gurunya

Catatan itu kubaca, persisi di depan photo kita.

Klaten, Mei ‘07










SENJA YANG YANG TERNYATA ADALAH WAJAHMU

Kita kenang jingga, di bibir pantai
Antara warna – warna yang saling merindu
Antara kidung yang meredup bagai kasturi
Pantai yang membiru
Camar yang mengawal langit dengan kepaknya
Dan ombak yang membantur karang yang wibawa

Aku bawa senja ini, tanpa pertanyaan
Selintas pasir putih menghias di rambutmu
Sajakku pun terkulai, bimbang mengajariku
Senjapun berlalu bersama malam yang membentang

Klaten, Mei ‘07









PINANGAN BAYANGAN HITAM

Catatlah perjalanan badai,
Dengan tangan lelaki tua yang duduk di antara bangsal kota lama
Walau sejuta wajah menjadi, saksi kamar-kamar yang pengap
dan ratusan lalat yang berterbangan pada luka sejarah

aku mengamati engkau yang tertidur dengan dengkur waktu yang terbata-bata
aku menjumpai engkau, ketika sajak tidak pernah menghunus ke jantung atau matahari
aku mendendangkan kidung di setengah perjalanan sejuta merpati
yang hinggap, akhirnya terbang lagi karena tak pernah menemukan rumahnya

kita mengerti dengan satu titik kembara
lelah tak bertepi
semakin jauh jarak pandang kita terhadap samodera
demikian kita pernah bertemu


Klaten, Mei’07





BILANGLAH BAHWA ITU SEPI

Bilanglah bahwa itu sepi
Walau gaduh kau mengumbar dosa
Bilanglah bahwa itu khabar angin
Kalau ternyata kejujuran matahari membawa berkah
Bilanglah kalau itu kematian sajak-sajakku
Ketika nurani ini tersudut di kolong-kolong sejarah


Klaten, Mei ‘07













KONTRAS SATU PEREMPUAN

Satu perempuan menipu jutaan perempuan
Di jalan-jalan kampung, di warung –warung, di tempat arisan, di kantor-kantor
Suaranya kencang ketika menipu
Lirih ketika menyebut asma Tuhan

Yang mana harus kubela
Kalau ratusan kelelawar membuat perangkap
Yang dengan nama pembelaan trah nama suami
Dan syahwat sudah menjadi harga diri yang membangkai

Senandung sepi
Satu perempuan tadi pagi mati
Karena membela harga diri pelacur suaminya

Klaten, Mei ‘07







FRAGMEN BENCANA TANPA BATAS

Hari ini orang-orang berbondong-bondong,
Berkhidmat pada bencana dan bantuan
Ada yang menyerahkan kemiskinan dengan tangan berlumuran fosil dosa
yang sudah mengerat memenuhi nadi dan jantung mereka
bencana tak ubahnya satire tragedy dari negeri yang tak pernah sepi dengan air mata
tapi, yang kulihat upacara sesaji dari rentetan sejarah yang kelam, telah dirunut

dimana ronggowarsito ?
dimanan jangka jayabaya ?
parang baratayudhakah ini ?
aku sembunyi di balik sajakku yang mati

upacara itu telah dilaksanakan
orang-orang hari ini,
melakukan korupsi secara berjamaah
persis tepat hari ini
topeng-topeng berserakan di mimbar masjid, di altar-altar gereja…..

: dan aku tahu,
Tuhan sedang membuat skenario terbaru
Bagi mereka
Klaten, Mei ‘07
KAWAN LAMA

Kawan lama berkeluh denganku tadi sore,
Sebelum waktu adzan isya’
Suaranya pelan tak teratur tapi juga tak pasti
Dengan ditemani secangkir teh hangat dan beberapa lembar biscuit
Dia bercerita tentang perempuan
Yah, perempuan yang sudah bisa kutebak
Selalu itu.
Tak ada yang lain.
Bercerita tentang kegagalan dan keputusasaan
Berujung pada sebuah kebimbangan
Terlalu tua menerka perasaan,
Terlalu purba membuat prasasti cinta
Perempuan adalah titik temu dari sebuah keberanian
Dan keberanian itu adalah perkawinan

Kawan lama, selalu begitu
Dan aku mulai lelah
Menghitung mundur jalan pikiranku sendiri

Klaten, Mei ‘07


SAJAK SATU TAHUN BENCANA


Bagaimana mungkin Tuhan bisa santai lantas leyeh-leyeh
Kalau umatnya menertawai segala ujianNya
Dengan membungkam doa dan dzikir
Dengan suara yang sangat parau dan sumbang

Bagaimana mungkin seratus malaikat, tak bergerak
Dengan sejuta konvoi kemarahan yang maha dahsyat
Kalau seluruh manusia, tak pernah mengerti kegelisahan alam
Yang dikhianati lantas ditelantarkan mirip sisa buih ombak di pantai

Aku melihat ratusan pohon cemara tumbang
Di sekitar gubuk-gubuk tua yang reot berderit
Dengan luka – luka yang dibiarkan menganga
Tanpa pernah ada yang mau mengobati

Matahari terluka pada setengah perjalanan
Rembulan terisak-isak di kamar pengap
Karena kekasih malam melupakan janjinya
Batu-batu kali berubah menjadi berhala
Orang-orang menyiapkan sesaji
Untuk di bakar dalam perjamuan kematian nurani dan harga diri

Menjual nama Tuhan di mimbar-mimbar
Lafadz yang canggung, menghitung ribuan bencana
Satu mati, jutaan orang meng-amini kemiskinan

Relung kota tua yang mati
Wajahnya mirip mimpi buruk bayi-bayi
Entah, masa depan akan dibawa kemana
Kalau, pendidikan korupsi sudah menjadi tradisi kurikulum yang dipatenkan
Dan aku melihat ratusan pohon cemara telah tumbang
Dengan luka yang dibiarkan menganga

Senja yang kini selalu bersenandung sendu
Tanpa arah nada yang pasti
Koor sangkakala berdiam, menunggu waktu yang pasti
Arah angin berbalik menjuntai membuat lukisan metamorfosis kemaksiatan

Manusia menjadi ular berbisa
Melingkari rumah-rumah yang roboh, membelit ratusan nomor-nomor rekening,
Menyemburkan napas sangit pada peti-peti mati saudara kita
Dan aku tetap melihat,
Ratusan pohon cemara telah tumbang
Dengan luka yang dibiarkan menganga

Rokokku habis, puntung pun berserakan
Asapnya tak nampak di mataku
Yang terlihat hanyalah bayangan hitam di kepalaku
Anakku yang tertidur pulas sejak tadi habis Isya’
Istriku tak kuasa menunggu aku, tetap saja memburu mimpinya

Waktu bergerak cepat, hujan yang ganas. Sudah berhenti.
Teras rumahku terpias basahnya.
Rumpu-rumput di taman bergoyang sedikit, karena angin berdesir pelan
Aku mencoba menjadi batu.
Aku mencoba menjadi arloji.
Aku mencoba menjadi bayangan.
Ternyata, rasa muntahku meluap memenuhi rumahku sendiri
Baunya anyir dan berlendir, warnanya kehitam-hitaman
Dan masih kulihat, ratusan pohon cemara telah tumbang
Dengan luka yang dibiarkan menganga

Kini kuterasing di negeri sendiri
Lagunya sudah tak nyaring lagi
Pikiranku menjadi manifestasi
Dari luluhlantahnya negeri ini
Yang tak pernah bersyukur kepada Illahi


Ratusan pohon cemara
Luka yang menganga
Alam adalah ibu.


Klaten, Mei ’07
( menjelang 1 tahun bencana 27 mei )

















SELALU TENTANG MALAM

Bertasbih di butiran angin, seperti kembang yang terasing di vas bunga
Kedua mataku silau melihat jejak – jejak perempuan yang goyah dipasung cakrawala
Ada satu catatan sepi di balik kelambu malam yang purba,
Ketika ribuan badai mencabik kembara,
Tentang dosa yang mulai meleleh di perapian doa
Tentang janji yang terpahat di embun dzikirku
Kucoba menjelma menjadi abu,menjadi pasir
Sejak saat itu aku termangu
Di tengah samodera. Pada titik temu yang menemu memelan

Klaten, Mei ‘07











ORANG SAKIT

Orang sakit merintih ketika ribuan matahari menerkam jantungnya
Dari balik jeruji penjara dunia yang pengap
Napasnya menyerupai kereta waktu
Dengan lunglai, tangannya meraih doa yang tercecer
Di kursi tua, di ranjang bambu, dan di dalam photo
Wajahnya tak beda dengan lautan
Gemuruh kala mendekati tepi
Lalu sepi menyelinap dari balik penyesalannya

Klaten, Juni ‘07












SISA WAKTU

Sisa waktu yang ada telah mengikis
Kerontang sajakku mengumpat jaman
Tak mempan, terbiasa mencabik sepi
Kau datang, sayangku
Dengan sisa waktu yang hampir habis
Ungkapi sukma, terpasung dengan sejuta bencana
Dan kau datang , sayangku
Menjemput tangis di dasar batu-batu

Klaten, Juni ‘07












BEKERJA

Kita merangkum keringat di tapal tebing
Pada cuaca kita menantang, pada musim kita menunggu
Tak pernah letih jari ini berhenti mencakar batu-batu
Kemudian kita makan debunya
Kapal – kapal yang menunggu di dermaga
Dengan nahkoda yang setia walau tak ada mempercayainya
Lalu, angin menggembalakan kita
Sementara rumah pun tak ada yang merawat
Hanya kembang sore memekarkan kesangsian
Pada pelangi kita merintih titian keabadian

Klaten, Juni ‘07










KADANG JANJI

Kadang janjimu menjadi api
Ketika kamu membawa sampah di kamar sajakku
Kadang janjimu menjadi hujan
Ketika tangismu meluber ke sela-sela doaku
Kadang janjimu membawa batu
Suaramu serupa nadi sejarah yang terpegat adab
Kadang janjimu adalah sepi
Angin datang kedalam baju pengantin kita
kapan perjanjian ini terukir dalam catatan Tuhan ?

Klaten, juni ‘07











DUA KUCING YANG MATI

Dua kucing mati, di lantai kering
Tanpa daun yang bertasbih tentang nestapa
Atau guratan pelangi yang menjauh
Sejak awan terbaring di tiang langit
Sejak rambut kita memudar menjadi uban
Dua kucing mati, dan aku tertegun melihat bangkainya
Warnanya hitam, seperti perang yang tak pernah usai
Baunya busuk, seperti ejaan doa yang ditinggal umatnya
Aku memalingkan wajah ke arah tanah yang kerontang
Kembang dan tiga malaikat mengikatkan janji
Pada pertapaan abadi, dan aku masih sangsi
suaranya akankah terdengar di ujung cakrawala ?

Dua kucing mati
Khabarkan badai yang akan datang.

Klaten, Juni ‘07

Dimuat di Harian “ KEDAULATAN RAKYAT “
Minggu, 1 Juli 2007


RUANG SEPI

Di dalam bismillahhirahmanirohim, menepilah segala malam
Yang menghujat ruang sepi menjadi riuh dengan catatan doa
Aku pecahkan cermin dunia yang memelangi
silaukan ruh, tawarkan candu
Bagai berkayuh dengan dosa, seakan enggan pulang
Kapal dan ombak berhenti sandarkan senja
Dengan lagu tak tersentuh sukma
Biduk-biduk yang berdebu tak berbekal
Aku memerih pikirkan ujung langit
Yang telah memanggil, kapan kita akan dipertemukan ?

Klaten, Juni ‘07

Dimuat di Harian “ KEDAULATAN RAKYAT “
Minggu, 1 Juli 2007







MEMBAGI CERITA

Sudahi kembara dengan dengkur batu-batu
Diantara lipatan tangis dua angsa
Embun menetes di danau, pagi itu
Suaranya pelan sekali, sangsi aku melihat
Terbangnya harapan.
Jembatan yang berkelok dan meninggi
Dengan ujung mata yang tertuju kepada bayangan malam
Yang mengintip dari balik kelambu sajakku
Tetap aku sangsi, ketika kita terperangkap, berbisu tak ada muasalnya
Sayapku patah, mencakar persoalan yang tak kunjung diam
Masih kulihat dua angsa ragu untuk menuju danau yang lain.

Klaten, Juni ‘07
Dimuat di Harian “ KEDAULATAN RAKYAT “
Minggu, 1 Juli 2007







BERTANYALAH

Bertanyalah pada kamar pengap ini,
Di mana kusimpan sajakku yang manantang badai
Dengan sepoi lafadzh ujung kalimatku
Bertanyalah kepada ratusan kelelawar
Rumahku adalah malam, yang penuh daya inspirasi yang nyenyet
Bertanyalah kepada asap rokokku
Kubuat janji nurani tanpa sangsi,
Kasaksian jaman harus di monumenkan
Bertanyalah kepada ranjang – ranjang yang kosong
Kesepian ini, menjadi keringat yang menuju munajatku

Klaten, Juni ‘07

Dimuat di Harian “ KEDAULATAN RAKYAT “
Minggu, 1 Juli 2007







LAMPU-LAMPU TAMAN

Lampu-lampu taman membangunkan aku, dengan dengus napas bangunan tua
Masih terlihat asap dari jutaan unggun orang-orang yang bimbang
Matanya merah. Matahari pun tak nampak disekitarnya
Gambar langit yang berkabut, pandang mataku terlindas roda bis kota
Rumput-rumput mengambil sajakku, diantara cahaya rembulan
Aku menghilang lagi, karena suaraku terpasung mimpi kota raya
Sambil menyandarkan bara di kaki langit, aku sambut kembara ini
Dengan disaksikkan lampu-lampu taman.

Klaten, Juni ‘07












KENANGAN TERAKHIR

Belum sempat kutanyakan tentang kebehagiaan
ada bangkai kematian yang menyadarkan dzikir
yang bertapa dibalik pelangi

belum lama kutemukan jejak kaki di pasir pantai
napasmu terpenggal kebencian
kaupun menjadi ombak

belum cacat kenangan ini membekas
kita pun pulang membawa
air mata dengan wajah ibu kita

Klaten, Juni ‘07









KULUKIS WAJAHMU ISTRIKU
: rey

Kulukis wajahmu, Istriku
Dengan birahi yang merana
Ketika kejujuran wajahmu,
Mencatat kembara yang tertatih

Kulukis wajahmu, Istriku
Kamar pengap dan asap outlet mal
Mengganyang kerongkongan dompet kita
Lalu, berdiam di pinggir unggun
Membakar kanvas dan cat berwarna hitam

Kulukis wajahmu, Istriku
Tarian malam yang mencabik tulang
Dengan dua anak yang menggagas mata pelajaran
Kita pun terlambat menghitung pengeluaran kita

Duh Gusti Allah,umurku menyerupai gerhana
Matamu mencibir bangunan tua
Tanganmu menggores rumah sajak kita
Menjadi pengaduan akan ujung matahari

Kulukis wajahmu. Istriku
Selimut yang tipis, angin malampun menyusup
Keraguan apa, yang engkau pandang
Sementara doa sudah terkuras habis
Air matamu selalu meraih ibaku
Masa depan adalah sembahyang kita

Kulukis wajahmu, Istriku
Dekaplah mimpi anak-anak kita
Ciumlah keningku, lukissan tentang wajahmu
Menjadi tanggung jawabku.

Klaten, Juni ‘07











PASAR PAGI

Pasar pagi
Menggigil lagi
Orang saling manari
Diantara lipatan cahaya pagi
Saling janji, saling bagi
Entah siapa yang rugi

Klaten, Juni ‘07














MELIHAT PENGANTIN


Pesta dimulai
Dari pagi sampai esok lagi
Kembang-kembang dihiaskan
Pada pralambang pertalian dua insan
Malaikat menari, bidadari mengajari cinta kasih
Ratusan hidangan memberi arti
Aku melihat sembilan cahaya pelangi memberi salam
Sepasang pengantin
Terikat janji, khabar surga harus ditasbihkan.

Klaten, Juni ‘07










ILALANG LUKA INI

Masih berdarah sayatan belati di jantungku
Ketika suaramu menyerupai sangkakala
Pinus yang tumbang, dengan daunnya yang kecoklat-coklatan
ikut meranggas
dan aku melihat matamu bagai ratusan srigala
sementara, kegagapanku menjadi hidanganmu
aku belum mati, tapi tercabik
kakaiku bergetar kencang, pijakanku hilang arah
kau menungguku dalam singgasana api cemburu.

Klaten, Juni ‘07











BERNAMA RINDU

Senja bergaun sepi,
Kapal masih tersandar di bibir pantai
Photomu kulipat diantara ombak
Terhanyut mengulang sendu
Gamang menjamah, kapan akan betemu
Menjadi petuah akan air mata kerinduan.

Klaten, Juni ‘07














BERNAMA CINTA

Kupagut angin,
Rona wajahmu membekas merah
Terbius akan malam
Rebah langit tak terasa mengetuk
Dalam hanyut hening, langit mengajari aku menjadi penyair
Tersanjung aku menjumpai engkau
Yang duduk diantara pelangi
Ketika pandangmu mengajak turun, berdayung sampan
Pada samodera yang menunggu
Aku pasti hadir

Klaten, Juni’07










BERNAMA BENCI

Kehidupan kuhitung sendiri
Tak ada yang menemani
Selalu kepalsuan menghadangku
Mencabik catatan usang
Engkau datang bersama pelayatan malammu
Jauh sudah tangan ini untuk meraih rembulan
Karena memang tak ada yang perlu dibicarakan
Bereserakan kenangan mengotori jejakku
Ini tangis masih kusimpan

Klaten, Juni ‘07











SIAPAKAH YANG MENUNGGU

Siapakah yang menunggu
Dengan dsengkur waktu yang berisik
Jangan, mengambil malam ini
Kalau penungguanmu menyerupai wabah
Pada puisi yang hilang mata angin
: tentang gibran, engkau ikatkan cinta di rambut matahari
atau rumi, yang mengasah cerita jadi pakerti cinta
selalu kereta yang berderit
mengusik nabuat kita
ketika fajar, mashkah kau tetap menunggu
godod pun sudah menjadi hujan

Klaten, Juni ‘07









EPISODE TERPASUNGNYA DUA REMBULAN

Pada sebuah bibir penantian yang panjang
Dua perempuan terikat janji, akan samodera
Gelombangnya mengajari kesetiaan
Guaratan kepapaan berhias di ujung rambutnya
Sejengkah tangis tergantung d matanya
Lelaki yang sama terbunuh melawan badai

Klaten, Juli ‘07














EPISODE UNGU

Satu khabar menjadi bangkai
Ketika doa-doa terisak di tungku
Aku melihat sekawanan merpati terbang
Membelah awan, mengawasi lautan
Satu nama menjadi petuah
Kawan lama yang tiada
Naïf aku mengulang tangisan
Kita pun menanti pada kata belangsungkawa yang sama

Klaten, Juli ‘07












POTRET DESA

Menggambar lamunanku, diperempatan waktu yang melindas
Bau tanah sehabis hujan, atau kidung para perempuan pemetik daun tembakau
Yang memimpikan menjadi pelipur keluarga
Aku meremas pandangku di sela-sela matahari yang teduh
Bahkan tak terdengar.
Aku kesepian menunggu anak-anak bermain
Di hamparan sawah yang belum ditanam
Tapi, tak ada.
Tapi, tak nampak.
Yang ada badut-badut tengkulak berspekulasi tentang harga gabah
Pak tani kini, mendengkur bersama bangkai kerbaunya

Klaten, Juli ‘07









SENANDUNG DUA ANAK

Catatan bulan meleleh di ruang sajakku
Basi kenangan yang membara, antara napas yang sudah tergadai di batu-batu
Engkau dua anakku senggangkan menengok mimpi kita
Yang sembunyi di balik selimut dan meja belajarmu
Kerjakan mimpi batu-batu
Setengah kembara menjadi catatan abadi
Rasa cintaku meluber. Menjadi senandung yang terbata-bata
Rytma hidup sudah pupus di unggun penungguan
Ranting hidup telah patah, kalian lilit, insyaalloh ada hikmahnya.

Klaten, Juli ‘07











SEPIKAN MALAM, NIATKU

Sudah pasti sebagai penyair aku menjaga malam dari kebisingan
Ketika ranjang-ranjang aku rubah menjadi janji langit
Ketika arloji sudah tak bisa mengingatkanku
Segala dentum dingin yang mengaum, segala ledakan memagut birahi, tak mempan
Di dinding niat yang sudah bertasbih janji, tertulis niatku
mataku sudah lelah bercucur air mata. Aku kini menjaga malam dengan tahajud, dzikir yang berbusa. Napasku ku coba berhembus “ Laa Illaha’iIllallaah “
: ada jutaan peti mati melayang di langit, tak terbaca namanya.


Klaten, Juli ‘07











AKU MENEMUKANMU DI TERAS MALAM YANG HENING


Aku menemukanmu di teras malam yang hening
Langkahmu pelan, sepelan “ Ya Hayyu Qayyum “ yang aku ucapkan
Kelelawar pun sudah sebagai penguasa malam
Dajjal pun sembunyi lagi, tak sempat mengumpat doaku
“Yaa arhamar raahimiin irhamnaa “ aku memelas pada-Mu
selamatkan aku dari siksa-Mu.
Kita janjikan berita ini, di langit ke tujuh
Gurun dosa yang memanas, aku tatihkan tongkatku mengeja langkahku
pada savanna kepasrahanku, ketika ajal menjemput “ lirihkan nama-Mu “ ditelingaku
biar embun pagi menjadi wasiatku


Klaten, Juli ‘07








MALAM YANG BERTASBIH

Khabarkan dua belas merpati yang hilang kandang di padang ilalang
Ragaku mati rasa, mengingat fakir pikiranku
Seribu tombak “ Subhahnaallaahi wa bihamdi, subhaanallaahil ‘azhiim “ menghunus, menusuk jantungku
Darahnya muncrat di seberang buku harianku
Warnanya tak nampak.

Ada hitam, menungguku
Ada putih, menggerutu sendiri di taman firdausi
Aku melihat nama-Mu berkelebat di sajak-sajakku

Malam yang kutunggu
Ruangan doaku menghimpit, menunggu, di mana aku ?
Aku ingin menjaga kerajaan-Mu.

Klaten, Juli ‘07






AIR MATA

Air mata adalah penyadaran bumi
Air mata adalah genangan segala sesal yang terpasung
Air mata adalah fragmentasi “ mampir ngombe “
Air mata adalah sejimpit doa yang tersadar
Air mata adalah perkara yang purba
Air mata adalah puisi yang selalu ditunggu

Klaten, juli ‘07














MELIHAT INDONESIA

Kadang jengah menggurat air mata yang sudah kering
Menidurkan anak-anak yang berisik di depan televisi,
yang menayangkan iklan kondom.
Jendela sajakku tersingkap sedikit saja, lalu badai kapitalis
menjadi drakula di kalimatku.

Tanganku bernanah, rytme kamatian terdaftar rapi di cakrawala
Seribu malaikat melupakan perjalanan, khabar matahari tengah menanti
Pohon kamboja berguguran, batu-batu menjadi saksi
Kemana perjalanan bangsa ini bisa disandingkan
disisi warna pelangi.

Klaten, Juli ‘07









MENUNGGU WAJAH BULAN YANG SEMBUNYI

Aku berlayar ke ufuk, menemui-Mu
Di hening malam yang menggigil dengan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil
Anak-anak kecil berlarian di huma tengah padang
Matanya seperti matahari, badannya menari di kelilingi pelangi
Iramanya pelan memagut kidungkan munajatku
Menyampirkan peluh di masa lalu
Umurku kini kutatih, cahaya biru nampak di mataku
Sejak itu, aku berpegang pada jembatan-Mu
Talinya sepikan kembara
: Wahai, Dzat yang maha tinggi
aku di ujung lautan menunggu wajah bulan yang sembunyi
para nelayan yang lain sudah hilang arah.

Klaten, Juli ‘07








KOTA MATI

Hanya ada perempuan
yang sembunyi di balik bangunan runtuh
matanya merah, badannya kusut, napasnya ditelan malam
segerombolan perwira menyeretnya, dipenggal kepalanya berkali-kali
mata satunya hilang.

Klaten, Juli ‘07















KOTA MATI DAN KORAN BEKAS

Tertulis perempuan satu telah hilang
Yang lain menanti, dengan belenggu di lehernya
Menunggu dakwa yang telah kabur bersama angin
Aku mimpikan perempuan itu
Dengan baju kebaya biru, dengan selendang warna kuning
Memainkan gender berparau suaranya
Sementara, anaknya yang perempuan
Membaca koran. bekas penutup mayat busuk bapaknya.


Klaten, Juli ‘07











KOTA MATI DAN JUTAAN PEREMPUAN

Kota mati dan jutaan perempuan
menagih janji di gigir malam yang dingin
jutaan perempuan berebut berbicara
atas nama mati, atas nama kebodohan
yang telah menjadi guru di benak mereka
jutaan perempuan memenuhi jalan di kota mati
masih malam, dan tak akan pernah terjumpai pagi
di tanah yang basah, di aspal yang berlubang
mereka, menjumpai satu lelaki tertawa sendiri
hiya, hanya sendiri dengan srigala di matanya

Klaten, Juli ‘07










LAGU BUNGA – BUNGA

Melompat-lompat air di setengah pagi
yang belum aku temukan doa yang pasti
ada kereta waktu berpenumpang ribuan badai
sementara rambutmu yang tergerai
melepas kenangan dengan sedu sedan yang terpasung
pada kata – kata. Aku melepas anak panah ke ombak menderu
mendengarkan embun yang menetes di bunga kita.

Klaten, Agustus ‘07













JARAK KEPERGIAN

Aku mendengar napas daun memasung sajakku
Di bawah cemara, di tanah yang gersang
Aku membelai doa-doa yang amblas
Bagai kembara mendatangkan lelah
Bagai pujangga rasa ini mengiba
Tak pasti langkahmu menjauh
Kembang yang kau letakkan persis di depan pintu
Tersimpan tangismu yang kesekian waktu

Klaten, agustus ‘07












MERAMPAS WAKTU

Kemarin, terdengar tembangmu menggurat sepi
setelah kapal yang terdampar menampakkan kesombongan
tak ada angin yang membawa berita
atau para nelayan yang terkuaras air matanya, karena tak ada ikan
Kau pun menjadi buih
setelah kematian waktu, yang merampas langkahku
kidung mendadak menjadi perih
ketika bayangmu rajin menagih sepi kamarku

Klaten, Agustus ‘07












KERTAS PUTIH

Berteman dengan malam
Seperti seorang lelaki tua, yang kesulitan menerjemahkan jaman
Ada langit tak ada bintang
Kesepian membuat singgasana keabadian
Pada Tuhan malam menjadi pertemuan
Tahajjud yang melirih pelan, kubicarakan dosa
Diantara tumpukan kertas-kertas putih yang belum terisi sajak-sajakku

Klaten, Agustus ‘07













BANGKAI WAKTU

Diantara rerobohan bangunan tua, di kota tua
Aku terpasung pada bangkai waktu
Badai yang tiba-tiba datang
Diantara lipatan sejarah, bayangan cermin menjadi pudar

Seorang perempuan tua, mengelus rambutku
dengan napas yan berbau kasturi, dia mendiamkan malam
sampai aku terjaga.
Aku menemukan tubuihmu menjadi seekor merpati putih.

Klaten, Agustus ‘07











SUARA ALAM YANG SEMBUNYI

Berangkatlah aku, di padang pembantaian
tanpa jeda napas
Tanah-tanah menyerupai ketakutan kita terhadap kematian
Aku menjadi pasir di pantai
Ketika hujan membimbingku
Ke hutan, ratusan daun mengumbar tangis
Jejak sajakku terasing di negeri tanpa bocah
Aku melawan khabar badai
Suratku yang terakhir raib,
Tercabik tintanya
Karena hujan tak pernah berhenti.


Klaten, Sept ‘07








SENJA YANG AKU TUNGGU

Senja yang aku tunggu
Masih nanar matanya dengan pelangi
Dengan sejuntai angin yang miris
Aku hamburkan lamunku ke tengah gelombang
Pada pantai yang mengeja bayangan camar
Senja itu datang,
Ketika khabar sauadara yang mati
Merenggut penungguanku.


Klaten, Sept ‘07











KENANGAN BUNGA-BUNGA

Mimpi yang terbang bersama badai
Sebuah potret usang tentang bocah-bocah
Aku terpasung diantara kapal yang karam
Tak bisa berkata, walau sudah kuprasastikan sajakku
sebagai pengobat sepi
kita datang menjemput kematian
tumpukan tangismu mengingatkan aku
tentang bulan yang berada di taman
bergelanyut sepi, bercanda air mata


Klaten, Sept ‘07










IBUKU, MASIH DI SINI

Ibuku masih di sini mendengarkan kidung malam
Baunya wewangi firdaus, tangannya semerbak para nabi
Memimpikan rembulan yang menetes di photomu
Semakin dalam doa ini menembus mega-mega
Kangen yang menjelma menjadi penungguan
Puisi ini adalah kasturi untuk tetap mengingatmu
Terkenang aku dengan sorot matamu
Senandung tulisan yang terindah
hanya untukmu
dan ibuku, tetap masih disini


Klaten, Sept ‘07









MENJELANG KAMARAU

Awan yang berjalan tertatih
Debu-debu jalan membuat aku marah
Seperti kelaparan aku rakus meneriakkan panas
Sawah yang sudah mengering
Dengan napas tanah bercamupur air mata
Petani dan bocah-bocah menengadahkan tangan
Dengan muka yang terbalut kemiskinan
Kita makan dengan lauk jantung kita sendiri
Menunggu rasa lapar adalah nyanyian kita sendiri

Sementara, hujan tetap menunggu giliran
Entah datang, entah tidak.


Klaten, Sept ‘07







KAMPUNG RAMADHAN

Di kampung ramadhan
Orang-orang terbang menjadi merpati
Sayapnya putih kasturi
Matanya biru tasbihkan rahmat
Cakrawala tiada batas serpihkan lafadz

Di kampung ramadhan
Aku kenang lapar dengan kenikmatan
Aku bakar iblis di kelopak pikiranku
Munajatku menjelma matahari
Cahayanya kilaukan nama-Mu

Di kampung ramadhan
Dengan temaram,
Aku terhening sepi untuk selalu memanggil-Mu

Klaten, sept ‘07






SUARA RAMADHAN

Aku mendengar ramdhan berlalu
Dengan wajah yang kuyu
Bangkai dosa menjadi santapan srigala
Aku mendengar ramadhan
Bernyanyi sendirian
Di kolong-kolong jembatan, di rumah-rumah roboh,
di gubuk reyot
nadanya sumbang
karena orang-orang sudah berlalu lalang
di taman-taman kota dan di prostitusi yang dipatenkan
sura ramadhan semakin lirih
dengkur orang-orang kini sudah menjadi petuah

Klaten, Sept ‘07








CAHAYA RAMADHAN

Cahaya ramadhan adalah symphony tarian ribuan malaikat
yang memancarkan langit dengan sejuta pahala
cahaya ramadhan adalah lukisan kemenangan
dari jutaan manusia yang terampas hidupnya
ramadhan adalah catatan perjalanan
ketika kaki sudah melepuh mendaki batu-batu
ketika gelap kehilangan pelita
dingin pun tiada unggun
dan ketika ramadhan datang
suara bayi dalam rahim
seperti mengetuk pintu surga-Mu

Klaten, Sept ‘07








AKU TERBANGKAN

Aku terbangkan pesawat kecilku
Diantara langit yang merobek cakrawala
Lajunya digembalakan angin
Mengikuti camar yang pulang bersama cintanya
Pesawatku merendah menyentuh batas matahari
Sepi pun mengikutinya
Ada badai menghantam pesawatku
Berubahlah dia menjadi biduk
Yang menyeret nahkoda menjadi panutan
Yang sekedar hadir untuk melawan topan

Klaten, Sept ‘07










BISAKAH ENGKAU PULANG LAGI

Bisakah engkau pulang lagi ?
ketika cengkrama menjadi kesepian yang menyatu
Catatanmu tergeletak sendiri dengan nyayian ribuan peri
Kamar itu menjadi unggun penungguan
Yang membakar angin malam
Lagu itu belum berakhir
Karena suaramu masih tertinggal di sajakku ini
Bisakah engkau pulang lagi
Menengok ladang yang sembunyi di balik buku harianmu


Klaten, Sept ‘07










SAJAK LELAKI

Engkau datang dengan membawa halilintar
Ditafakurkan perjalanan bersama angin
Bersama badai, selalu biduk itu mencarimu
Bagai nahkoda tentukan arah

Engkau tasbihkan hujan di rumahmu
Bagai senja yang menyeret matahari ke paraduannya
Kesepian memasung, perempuan dan seorang anak
Menjadi prasasti yang harus diteguhkan

Besok engkau bisa menjadi elang
Yang mencari mangsa dengan kepak paruhmu
Dan seratus mata lelaki, ajarkan engkau menjadi pahlawan

Klaten, Sept ‘07







TAFAKUR BATU-BATU

Engkau belah sajak ini menjadi janji
Ketika panggilanku datang menyerupai mendung
Dan para pengemis tua mendermakan kidung pada tanah pertiwi
Yang bernanah tangis, tak bisa berbuat apa-apa
Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan
Dan kebimbangan menyelimuti kembara
Kota kecil yang lama kutinggal
Menyisakan butiran angin yang menetes di doa-doa kita
Dan batu nisan atas nama nurani
Tersungkur menyambut sepi malam

Klaten, Sept ‘07










ADA SAKIT

Ada sakit menyelinap di balik otakku
Suaranya memekakkan pikiranku
Aku tak bisa melihat warna
Kemarau dan hujan tak bisa kubedakan
Aku ditemani sajakku sendiri
Yang sudah tak tajam mengupas batin
Lalu, untuk apa sakit ini datang
Kalau lara ini tak bisa kutulis

Klaten, Sept ‘07












CERITA PAGI

Mengajakmu di jenjang waktu yang dini
Bunga-bunga sembari malu, masih mengucap salam
Pada semerbaknya, aku foya pada kerinduan
Sawah-sawah yang teratur berkirim salam dengan musim
Atau burung gereja yang mencari awan dengan matanya
Secangkir kopi panas sentuh sajakku
Lalu, engkau bakar percakapan dengan senyummu
kemudian, terhenti.
Ketika ada dua anak terbunuh, waktu mengikuti upacara bendera
Entah siapa yang membunuh
Dan pagi ini, sakitku kembali kambuh.


Klaten, Sept ‘07








KEMBANG YANG KUPETIK

Kecil datang rebut sadarku
Warna-warna yang membelenggu mimpiku
Kenangan yang membatu, atau atas nama cinta kita bergumam
Ada lagu yang mengembara bersama angin purba
Bidadari yang terbang di kamarku
Surat – surat dari sang malam
Masih tergeletak tak pernah kubaca
Aku rangkum janji kita menjadi pelangi
Karena, kembang yang kupetik
Tak pernah menjadi pembicaraan kita


Klaten, Sept ‘07









MASJID PUTIH

Bila ada tangis adalah aku
Tersungkur menjumput angin
Terpasung di sini, wajah yang kuyu
Di antara batu-batu, diantara janji
Lalu dedaun senandungkan tasbih yang memelan
Sadari dosa yang aku terbangkan bersama cemara
Yang roboh pada waktu ‘ashar

Masjid Kalasan, Sept ‘07













BERANDA MASJID

Tersapu buliran air wudhu yang menggenang di kening
Dahan yang pupus, dengan dedaun yang menguning
Sebuah catatan usang nuh, aku simpan di ufuk janji
Dermaga sudah menunggu, dengan biduk yang layarnya belum tegak benar
Aku jumpai wajah matahari, tersingkap warnanya di beranda sore itu
Aku belum selesai menghitung adzab-Mu
Ratusan abad menghajarku, lirih kulantunkan nama-Mu
Bagai firdausy membimbingku ‘tuju satu titik arah
Yang membekas dalam sujud yang terukur
Di beranda masjid itu, kini aku membumi

Masjid Kalasan, Sept ‘07










MENJEMPUT BUTIRAN ANGIN

Aku melihatmu terkapar dipasung mimpi
Dengan senandung tembang yang belum usai
Aku melihatmu terkulai di tepi nadir janji
Dengan dengus angin yang mati
:kadang memory ini tak ada ujungnya
dengan paruh waktumu yang tersisa di unggun
aku melihatmu tercabik mengurai air mata
kekasih yang hilang, kekasih yang kemarin
dan dengan seratus matahri mengawasi kembaramu
lalu sebiji angin ada di kupingmu.

Klaten, Sept ‘07










SEBELUM ENGKAU

Sebelum engkau adalah angin
Yang menjaga jarak dengan badai
Sebelum engkau adalah nelayan
Yang mengunjungi samodera dengan mata hati
Sebelum engkau adalah kota raya
Yang menjual mimpi di altar-altar rumah tuhan
Sebelum engkau adalah bangkai mawar
Yang ditinggalkan kekasih musim
Sebelum aku adalah engkau
Yang terdiam dikenang sajakku

Klaten, Sept ‘07










TANPA NAMA

Ada sepi mendekam di kamar sajakku
Suaranya menyerupai kerinduan
Malam yang bertaring tajam, dengan guratan dingin
Tak ada tulisan yang menjadi panutan
Tak ada tangis yang menggurui
Setelah unggun rindu ini
Aku buang surat yang tak ada nama


Klaten, Okt ‘07












LINGKARAN WAKTU

Lingkaran waktu memasung kota-kota yang bergerak
Ada nanah yang terbaca matahari
Teriakannya menyerupai perjalanan malam
Pengemis tua dan seorang penyanyi tua
Memilah malam dengan kemiskinannya
Lampu-lampu kota yang redup, lagu usang yang dilagukan sumbang,
Dan langkah sepatu lars yang bergetar
Kalian berada dimana ?
Kita pun tak menemukan waktu yang harus kita singgahi
Malam itu udara tak nampak lembutnya.

Klaten, Okt ‘07










HILANGNYA CAHAYA

Aku melihat zuhudku mengering
Pada lembar-lembar daun yang jatuh ke tanah
Kuda-kuda putih yang bersandar pada angin
Pada kesaksian sukma yang terjaga di teras dosa
Jendela hati kita sudah menjadi ritual jelaga

: berenang di pulauMu
jubah musa aku kenakan
miris aku melihat lautanMu

setelah kemarau usai, musim belum menjadi kekasih
seribu cahaya hijrah, dengan meninggalkan jiwa
yang terbelenggu dan fakir

Klaten, Okt ‘07







MENUNGGU

Angin terbiasa pada kesepian, di antara patahan tangis
yang mengembara.
unggun telah terenggut dengan janji hujan
lalu, anak-anak sudah menjadi malaikat
cahayanya semerbak eden
dengan meniru merpati terbang ke dahan-dahan kecil
laparnya mengingatkan aku tentang mimpi damai
kita kerasan menghitung bencana
dengan biduk yang tak pernah berlayar
ke dermaga seberang, atau singgah di ranah pelangi
apakah suara itu masih memerlukan aku ?

Klaten,Okt ‘07









MELUKIS AWAN HITAM

Dengan jarak yang tinggal sedepa
Dengan janji yang tinggal terucap
Dengan pilu yang tinggal ditumpahkan
Aku melihat awan hitam berarak mengenang nasib
Jubahnya tak memberi arti
Pedang telah dihunuskan
Kapak-kapak perang telah digali kembali
Bendera sudah berkibar
Anak-anak sudah berlari kerahimnya
Laki-laki telah disombongkan dengan kepahlawanannya
Dan para perempuan membuat kuburan atas nama suaminya
Aku melihat awan hitam masih berarak
Sekarang, kenyataan harus dijalani
Sejarah sudah tepatri air matanya
Dan sejuta embun tak akan pernah menjadi penyejuk
Kita telah berembug dengan biji mata kita
Yag terlepas sore tadi, menjelang malam

Klaten, Okt ‘07



KEMBALI

Sekian waktu ditarik ke dalam buih sampah
yang meranggas ke sukma, batinku mencabik batang tulangku yang keropos
ketika dua belas ekor srigala rakus menjilat darah dan mataku
baunya anyir seperti kapal yang patah buritannya
tersambar badai sejarah yang mati
dan ketika aku menjumpaiMu di persimpangan waktu,
nampak Engkau memungut Luh yang tercecer di teras doaku
aku menjadi lelaki pemalu, di atas ranjangku sendiri
kamar menjadi peraduan. Seperti kematian yang datang bagai angin
kini, aku ingin kembali
menawarkan khilaf untuk Engkau pudarkan menjadi nyanyian
yang tiada batas dan mengalir di surgaMu


Klaten, Okt ’07 ( menjelang idul fitri )







JANJI ANGIN

Janji angin menyambar ranjang kayuku
Ketika kata-kata sudah dipenjarakan waktu
Aku melihatmu mengais bayangan kepada malam yang rakus
Narakamu menjelma di nurani
Serakah aku tawarkan diam
Sejuta sajak terbakar habis
Asapnya menyilaukan langit
Kita pun pulang membawa sebutir angin

Klaten, Okt ‘07












MELIHAT MASJID

Melihat masjid
Banyak orang berharap kepada Alloh
Dengan kata-kata lalu melupakanNya lagi

Melihat masjid
Ustadz ngomong tentang akhlak
Dengan dalil dari kitabul
Lalu, orang merem melek mendengarkannya
Lalu, kotak infak lenyap di maling pengurus masjid

Melihat masjid
Orang-orang sholat terasa khusyuk
Mendengar iklan tv yang distel keras-keras
Merekapun lupa rakaatnya

Melihat masjid
Bangunan mewah berhiaskan kaligrafi nan arsitekturis
Tahu-tahu, kosong saat sholat shubuh

Melihat masjid
Pengemis dan anak yatim
Saling berebut
Semuanya ingin menjadi imam
Makmumnya para koruptor berwajah nabi

Melihat masjid
Napasku terhalang
Ratusan malaikat berduka
Di negeri yang berlinang dosa

Ktelan, Okt ‘07















MENUNGGU PAGI

Menunggu pagi dengan bulan yang rebah
Sakit yang terlalu lama mendera
engkau hiaskan doa yang mulai berkarat
Dengan wajah pagi yang mulai keriput
Lalu, menghitung kepapaan dengan tumpukan kertas usang
Tak bisa engkau menulis sajak yang indah
Tak bisa engkau menerjemahkan alam
Tak bisa merangkum kembara
Karena pagi
Selalu menghindar dari tapal batal penungguanmu

Klaten, Okt ‘07










MENUNGGU HUJAN

Beranda yang sepi akan kidung malam
Atau suara-suara kodok di blumbang belakang rumah
Masih memenjarakan sajak-sajakku
Terbayang, bocah-bocah dusun yang sering memamerkan
gambar garuda kepadaku, kini tak ada lagi
mereka lebih bergelanyutan di iklan-iklan tivi,
atau ber sms an dengan temannya
asem tenan. Aku masih di sini
menunggu hujan yang katanya nanti akan datang
dengan gaunnya yang paling indah
dengan dikawal tiga bidadari bermahkotakan kasturi

beranda masih sepi
bocah-bocah dusun kini,
tanpa garuda di dadanya.

Klaten, Okt’07





BAYANGAN BULAN

Aku dermakan tangisku
Pada setengah malam yang purba
Dari badai waktu yang mencibir keringat di dahiku
Asap rokok menjadi nada-nada inspirasiku
Ketika, orang-orang sudah terlelap
Ketika, kelelawar sudah menemukan mangsanya
Aku teringat saudara-saudaraku yang mati syahid
Tenggelam dalam penindasan
Akankah aku tetap mencari bayangan bulan
Yang sekarang sudah tak bisa aku pandang


Klaten, Okt ‘07









HUJAN PERTAMA

Kutunggu kau dengan kemarahan batu-batu
Senja yang mencakar lamunku
Angin yang sedari tadi risau,
dan daun-daun yang menampung galau
kau datang mencatat sore dengan gemericikmu
tanah yang basah, sekering kekasih yang merindu
catatan ini seperti catatan yang lalu
ketika, hujan pertama
beranda dan kamar meneteskan kesepin jua

Klaten, Okt ‘07











MASIHKAH

Masihkah kau sisakan aku, kecupmu ?
Ketika dermaga sudah ditinggalkan kapal-kapal
Dan deburan ombak tak meninggalkan janji lautan
Masihkan kau beri aku, dekapmu ?
Ketika rasa dingin menjadi kidung pinus-pinus yang mengering
Dan bintang pun kau sembunyikan lagi
Masihkan kau simpan surat rinduku ?
Ketika janjimu menjadi belati
Melukai jejak kaki yang berdebu
Masihkan kau sirami benih perjanjian kita ?
Ketika tangisan anak-anak seperti halilintar
Di tengah kegersangan akan daya hidup
Masihkah kau tunggu aku ?
Walau terompet pemberangkatan sudah memanggil
dan kereta ajal sudah mulai berderit

catatan ini,
seperti bayangan doaku
yang tak pernah kau mengerti.

Klaten, Okt ‘07

PASIR PUTIH

Kita melihat ribuan buih air dalam batas pandang yang nanar
Ketika sejuta bidadari bermain di atas gelombang
Tariannya memabukkan pandangku
Sementara, anak-anak kita dengan riangnya
membuat kastil dari pasir
Bidadari pun masih tetap menari
Warnanya pelangi
Samodera di depan
Dan pasir-pasir putih bergulir perlahan mengikuti arus gelombang
Anak-anakku masih tetap membuat kastil
Lalu, ketika gelombang datang
Kastil pun hancur luluh lantah

Orang-orang pulang
Membawa sekeranjang bidadari
Sekedar untuk perjamuan malam
Dalam pesta tanpa akhir

Parangtritis, Okt ‘07



PETANI DI DESAKU

Petani di desaku,
Sekarang manja-manja
Tak mau ada kerbau
Tak mau ada luku
Tak mau menghidupkan irigasi
Tak peduli musim
Yang ada hanyalah tekhnologi gaya jepang punya
“Lebih praktis dan tidak melelahkan, yang penting untung, tak peduli generasi ke depan “

Petani di desaku
Sekarang lucu-lucu
Masak, ke sawah menenteng hape
Masak, ke sawah menjadi ajang perselingkuhan
Jamane jaman lucu, tak lucu tak laku

Petani di desaku
Bergaya seperti peradaban kotapolitan
Menanak nasi pakai magic com
Tak mau pakai dandang dan kendil
Gandok di rubah menjadi kitchen set
Tak ada kayu bakar, nyoba pake kompor gas
Kemarin, ada yang kejeblukan kompor gas
Pemantik kompor gas dipikir puteran radio

Patani di desaku
Sekarang kehidupannya warna-warni persis kembang api
Tak peduli generasi
Aku menangis ternyata anakku tak mengenal yang namanya blumbang, yang dulu untuk irigasi para petani
Aku sedih banyak tanaman di desaku sekarang sudah musnah.
Pohon mlanding sudah hilang
Pohon glugu tak ada lagi
Pohon tebu tak nampak lagi
bader, cethol, kotesan sudah hilang di kali-kali desaku

Petani di desaku kini,
Tak peduli tangisan alam
Kekeringan mengintip
10 tahun kedepan kita akan kulakan air, ke laboratorium lingkungan hidup di kampus-kampus kota raya
“ Makanya, ada gempa “.

Klaten, Okt ‘07



ODA DIPENGHUJUNG TAHUN

Ratusan burung pemakan bangkai
Berparade dengan suara parau diatas langit yang gelisah
Warnanya seperti kabut.
Ketika doa-doa sudah mencakar senja
Ketika kalimat sudah tak bisa dirumahkan
Mereka pergi dengan jejak waktu yang begitu
Penghujung tahun, suaranya hilang di perkuburan sajakku.

Klaten, Nov ‘07













SATU MALAM

Cahaya di matamu menjembatani rakusku terhadapmu
pada nyawa yang terpasung dicakrawala
dari mimpi yang terjaga, aku dapatkan engkau mengajari sepi
dengan sejuta kidung
satu malam itu, bayangmu tersamar di kamar
aku menunggu beribu malam tanpa alasan
satu burung dara terkapar menghiba pada ruang waktuku.

Klaten, Nov ‘07













ANAK YANG TERTIDUR

Anakku tertidur menjanjikan pagi yang lebih baik
Tersimpan peluh di dahinya, tentang masa depan yang buram,
tentang janji negeri yang selalu lari dari filosofis kehidupan
aku melihat ratusan kupu-kupu mengitari kamar tidurnya
warnanya berpelangi, seperti samodera yang luas
mereka bebas menerka.
Anakku tertidur dengan menyematkan harapan
Kepada jutaan anak-anak yang kan bunuh diri atas tanah leluhurnya sendiri.

Klaten, Nov ‘07












SIANG HARI

Banyak tangan terkepal di perempatan waktu yang berdebu
Waktu yang sudah hangus disantap keringat para kuli dan bangunan
Sekilas nampak wajah perempuan tua
Menatap awan yang yang bersekutu dengan terik
Mulutnya tersimpan dendam pada jaman
Ketika jalanan itu telah merampas hidupnya
Di mana kehidupan adalah tipuan yang di-drama-kan
Tanpa akhir dan jutaan mata menjawab akhir dari sebuah kehidupan
Perempuan tua dengan bara di tangan
Menusuk ribuan lalat dengan darahnya
Bangkai waktu terlindas deru bis kota.

Klaten, Nov ‘07









SORE HARI

Matahari merebahkan pandangnya dengan suara memelan
Orang-orang menghibur diri sendiri dengan nyanyian tanah yang terampas
Kemiskinan adalah lelagu yang harus diyakini,
sebagai sebuah perjalanan yang tanpa batas
jalanan dan kota yang sepi menjalar di ujung sepiku
bangku taman yang kosong hanya suara binatang senja
menjadi bagian yang memerih diantara jutaan pengemis
yang merasa menjadi raja di negeri sampah
aku masih mencari angin yang terjatuh
pada roda kembara yang hilang arah
sore hari menggurui aku untuk menjadi “ matahari “

Klaten, Nov ‘07









BERBICARA TENTANG BATU-BATU

Kenyataan merenggut setiap kembara
Ketika kemiskinan membimbing matahari pada keredupan
Anak-anak yang hilang bapak, sejuta perempuan membuang rahimnya di jurang
Engkau datang menjadi batu-batu
Ini doa yang tak bercabang
Ini hidup tanpa daya
Engkaupun datang bak batu-batu
Iringan awan yang bercampur debu
bergerak perlahan mengantarkan janji-janji
kini yang ada hanya sisa.

Klaten, Nov ‘07










KABUT

Pandang samar
Dunia rapuh diantara sajadah dan wajah kerdil
Kembang-kembang telah ditabur di pematang janji
Kapan kabut berwujud menjadi sambut
Ketika tanya sudah tersudut
: Aku berjalan mengeja langkah
matahari enggan bersama, untuk menuai harapan
yang cecer di jutaan kabut yang terus mengikuti

Klaten, Des ‘07












PEREMPUAN YANG MENABUR ANGIN

Aku menahan sukmaku
Pada bayangan perempuan yang melahirkan badai
Selalu berkubang pada kenyataan sejarah
Kita membeli senjata pada jantung anak-anak kita
Yang lalai menyebut nama pahlawan
Senandung alam di gigir senja
Ingatkan huma yang sepi dengan musim
Tak bisa diterka kemana larinya kemarau dan hujan
Lalu, kita mencari rapuhnya tangkai padi
Yang terlupa untuk kita kita selipkan di kuping perempuan desa
yang menabur angin.


Klaten, Des ‘07








SISA WAKTU

Sisa waktu adalah jejak kembara
Mengenang yang terbuang dan yang menang
Sebagai cermin yang memasung langkah

Sisa waktu adalah ujung gunung
Kapan puncak harus terdaki
Dengan catatan yang ada dipundak

Sisa waktu adalah keheningan
Diantara ratusan badai dan lambaian tarian bidadari
Tersungkur dengan air mata dan doa

Sisa waktu adalah parasMu
Kerdil sukmaku mengikuti gerbongMu
Yang nuju pada tujuh cahaya

Klaten, Des ‘07





SUDAH LELAH

Sudah lelah sajakku menjadi saksi
Atas kebodoahan dan kemiskinan bangsaku
Seperti tak ada otak dan akal dari segala kebijaksanaan
Yang dibuat oleh para pejabat

Sudah lelah suaraku bersuara
Atas kemunafikan dan ke-pura-pura-an yang terjadi selama ini
Dan semakin kerdil kita dalam kejujuran dan kebenaran

Sudah lelah mataku menangis
Melihat ratusan bencana, konflik dan peperangan
Melanda tanah airku
Ketika, nasionalisme dan kesadaran akan alam raya sudah menjadi fosil

Sudah lelah tangan dan kakiku untuk berbuat
Yang hanya menghasilkan cemoohan
Dari segala invasi industri kapitalisme
Yang telah menjadi falsafah rakyatku

Sudah lelah badanku untuk bergerak
Ketika umur sudah mendekati uzur
Dan kematian sudah diambang pintu
Dan ketika aku sudah lelah memikirkan semuanya
Toh, aku tidak akan peduli
Dosaku dan dosa kalian
Adalah hak catatan preogratif Alloh
Dimana aku dan kalian akan ditempatkan ?

Klaten, Des ‘07

















NEGERI BUSUK


Negeri busuk bernyanyi mars kalajengking
Yang menyengat menebarkan racun
Diantara lipatan paha kaum borjouis
Yang mandi keringat saudara sendiri

Negeri busuk bedansa tikus-tikus sawah
Yang memakan hasil tanaman rakyatnya sendiri
Pada musim-musim panen, mereka menuangkan anggur
Yang berwarna merah. Persis darah saudaranya sendiri

Negeri busuk mengucapkan ikrar para srigala
Yang beringas di keheningan malam
Ketika anak-anak sudah lelah dengan tayangan tivi
Ketika para perempuan sudah melahirkan anak haram dari rahimnya
Dan anak haram itu, adalak anak saudaranya sendiri

Negeri busuk berpesta pora bersama sekelompok lalat-lalat hitam
Yang mengendus kebusukan dengan mulutnya
Ketika lengah, disantapnya kebusukan itu
Dengan korban, ratusan saudaranya sendiri yang berbau busuk

Negeri busuk
Adalah, negeri busuk
Kerena memang
Hidup di lingkungan sampah

Klaten, Des ‘07


















SURAT KELAM DI LERENG GUNUNG

Aku membalas suratmu yang sudah basah
Pada pohon-pohon pinus dan di bukit-bukit
Hujan yang belum reda
Dan mendung masih menggantung menyimpan kesumba
Jarak kematian dan kehidupan sudah tak terbendung
Engkau kira aku merindukan kisah ini
Tidak.
Selalu ada yang terjadi.
Air mata aku tampung di dinginnya shubuh
Bagai nestapa yang tak pernah hilang
Lerengmu menjadi saksi
Alam raya hanya guratan memori yang terpasung
Kita hanya menunggu dan menunggu
Kapan ini akan berakhir.

Klaten, des ‘07
( Tanah longsor tawangmangu )





AKHIR TAHUN AKU MELIHAT ORANG MATI

Akhir tahun aku melihat orang mati
Warnanya kelabu seperti jelaga di bianglala
Dengan wajah kuyu dan dingin
Di atas batu-batu, aku melihat warna pelangi memudar
Kesedihan terprasasti di sukma,
Seorang perempuan memeluk anaknya mati tertimbun tanah harapannya sendiri
Selalu yang terlihat melulu wajah tamu-tamu yang datang bagai maut
Senandung pohon-pohon yang ragu akan kehidupannya
Menjadi kidung malam yang melantunkan air mata di lerengmu
Malam dingin, malam hitam aku melihatmu lagi.

Klaten, des ‘07
( Longsor Tawangmangu )









CATATAN KAPAL

Kuhapal napasmu di dermaga yang sepi
Dengan sepasang kekasih yang bercumbu
Di tapal batas lamunan dua camar yang pulang
Kulihat layarmu tertiup angin
Dengan tujuh belas bintang menggembalakanmu
Catatan kecil di pinggir pantai
Dengan pasir yang memudar karena terhempas ombak
Aku mengenangmu,
Seperti menghitung janji yang harus kupenuhi

Klaten, des ‘07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo kasih komentar, komentar anda berguna bagi saya :