Selasa, 24 Februari 2009

CERPENKU

PRIT GANTIL

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Suara itu masih saja terdengar mencekam. Kadang berpindah dari sisi satu ke sisi yang lain. Sangat aneh suara itu terdengar. Anak –anak di kampung enggan untuk keluar ketika mendengar suara itu. Mereka takut kalau terjadi apa-apa. Mungkin, karena ditakuti orang tua mereka atau memang mereka memang mendengar sendiri, perihal suara itu. Suara itu terdengar tak kenal waktu. Kadang pagi, kadang siang, maupun pada waktu malam hari. Dan selama suara itu datang , seperti terdengar sangat dekat lalu,menghilang entah kemana. Sebentar lagi muncul suara itu yang datang dari lain arah lalu, menghilang lagi. Tiba-tiba muncul di seberang sana. Terus begitu dan sangat misterius.Dan sekarang suara itu datang lagi. Entah yang keberapa suara itu mengganggu pikiranku dan orang sekampung.

* * *

Setelah kematian mendadak Lik Warso, 3 bulan yang lalu, terdengar khabar bahwa, Lik Warso mati karena, kualat menangkap seekor burung misterius. Orang banyak menyebutnya Burung Prit Gantil. Matinya Lik Warso aneh. Mulutnya terbuka tak bisa dirapatkan lagi kedua rahangnya. Setelah Lik Warso, Yu Junah mati terjatuh dari jurang lereng gunung dekat kampung seberang. Katanya orang kampung, Yu Junah mati karena sering mengejar burung Prit Gantil. Mayatnya ditemukan seminggu kemudian dan sudah membusuk, mulutnya pun sama dengan Lik Warso. Juga terbuka tak bisa dirapatkan lagi. Setelah Yu Junah, anaknya Pakdhe Parmin juragan minyak tanah, juga meninggal. Ketika dibawa ke Rumah Sakit Kabupaten, kondisi tubuh anaknya Pakdhe Parmin sangat panas sekali, di atas temperature kondisi normal. Akhirnya, belum sampai Rumah Sakit, nyawanya tak tertolong lagi. Ketahuan kalau anaknya Pakdhe Parmin, dua hari sebelum meninggal, anak itu sempat bermain-main dengan seekor burung Prit Gantil yang masih piyik dan sering dia main-mainkannya. Itulah beberapa kejadian misterius yang menimpa kampungku.

* * *

“ Tidak mungkin ! Hanya masalah Prit Gantil saja, bisa menyebabkan orang mati.” Tangkas Bengor, yang dari tadi menyangkal opini yang berkembang di masyarakat, kalau penyebab semua kematian dari beberapa penduduk kampung ini, penyebabnya adalah Burung Prit Gantil. “ Kok kamu nggak percaya tho, Ngor ! Prit Gantil itu burung misterius. Dengar saja suaranya sangat aneh. Suaranya seperti bergema, seperti ada echonya. Kamu juga pernah mendengar tho, Ngor ? Katanya sih, setiap suara yang kita dengar berarti daerah itu pasti ada sebuah kejadian misterius, dan dipastikan akan terjadi sebuah pageblug. .Ini terbukti, Ngor ! Lihat beberapa kejadian yang lalu, yang menimpa kampung kita “ Lik.Pangkur tetap mempertahankan opini yang berkembang di masyarakat, ketika mendengar bantahan dari Si Bengor. “ Mustahil, Mblegedes. Aku tetap nggak percaya !Orang-orang sekarang pada aneh, kejadian yang begitu saja selalu dihubungkan dengan jalan pikran yang irasional, tahayul, tak msuk akal “. Bengor masih tetap ngeyel .Dengan wajah mbesengut karena jengkel dengan perkembangan situasi di kampunya, Bengor lalu pergi entah kemana. Memang, sampai saat ini belum ditemukan penyebab kematian yang mendadak dari beberapa orang penduduk kampungku . Polisi pun juga belum menemukan titik terang, apa penyebab kematian dari beberapa penduduk. Dibunuh, karena sakit atau memang penyebabnya adalah datangnya suara dari burung Prit Gantil. Kalau dilihat secara spesifik, burung Prit Gantil itu, badannya kecil, dan kalau dilihat sangat sulit karena sering berpindah-pindah apalagi ditangkap. Yang menjadi pertanyaan dari pikiranku, suara itu sangat aneh. Memang suaranya kecil melengking, dan di akhir ocehannya ada gema mengikutinya. Ya..seperti ada echonya.Aku yang sudah dewasa saja, kalau mendengar suara Burung Prit Gantil itu, pasti ada perasaan takut. Apalagi ditambah kejadian beberapa waktu yang lalu, masih ditambah lagi opini yang berkembang di kampung ini. Kalau Burung Prit Gantil adalah burung pembawa petaka atau Pageblug. Kadang anakku pertama yang perempuan sering bertanya tentang suara itu. Aku pun hanya menjawab kalau itu suara burung Prit Gantil, sejenis spesies avian yang langka dan dilindungi oleh Pemerintah, tidak boleh menangkap apalagi membunuhnya. Ketika anakku mendengar suara itu lagi, pasti bertanya ,kok suaranya aneh, suaranya seperti memedi di sinetrom TV. Aku hanya terdiam, entah dalam atmosphere pikiranku, takut, was-was atau bingung. Aku tidak tahu, sudah yang keberapa anak perempuanku, bertanya perihal suara burung Prit Gantil tersebut.

* * *

Kampungku memang sebuah kampung yang dianggap setengah desa, setengah kota. Jadi masih dalam masa transisi sosio kultur masyarakatnya. Kebanyakan penduduknya adalah Petani dan PNS, atau Guru. Jadi, kalau dianggap terbelakang apalagi purba juga tidak. Berpikirnya pun kadang sangat rasional dan normatif . Tapi yang sangat kusayangkan dari perkembangan alam di kampungku, tidak seperti alam desa pada umunya, yang sejuk, segar, penuh tumbuhan-tumbuhan yang rimbun, burung-burung liar saling berkicau bersahut-sahutan. Hampir satu dasawarsa ini, kampungku telah berubah. Tak ada pepohonan yang rimbun, udaranya sangat panas dan gersang , rumah – rumah penduduk saling berhimpit-himpitan. Jelas sangat semrawut kampungku sekarang. Banyak sumber-sumber alam yang dihabisi oleh tangan-tangan yang serakah. Air sawah setiap hari dipaksa untuk keluar airnya, guna mencukupi irigasi dari sawah para penduduk. lewat alat – alat pertanian import. Makanya, setiap musim kemarau tiba, banyak sumur-sumur para penduduk menjadi kering karena tak keluar airnya. Alam di kampungku sudah sangat berubah total. Setiap jengkal jalan kampung, tidak ada tanahnya, yang ada hanyalah proyek betonisasi. Aku sering teringat sewaktu aku masih kecil, masih duduk di bangku SD, setiap hari aku bisa memancing ikan di kali yang kecil, lalu berenang di Blumbang dekat persawahan para penduduk, airnya bening dan sejuk.Lalu setiap hari minggu dengan membawa sebuah ketapel, aku biasa mencari burung di kampungku, burungnya masih banyak dan suaranya sangat merdu sekali.Tapi sekarang, tak satupun burung yang bisa dilihat, apalagi berkicau. Aku menyadari bahwa inilah kehidupan, kehidupan yang selalu berkembang, dan sekarang adalah jamannya sudah modern semuanya pakai komputer dan Hape.Masyarakatku sudah maju. Bayanganku menerawang jauh, ke masa kecil dulu. Lalu, bayangan itu lenyap ketika suara Truck Tronton yang membawa hasil kerajinan mebelair untuk di-Eksport lewat di jalanan aspal depan rumahku. Suaranya bergemuruh, dan sangat berisik. Aku gelisah, inikah yang disebut perkembangan pembangunan, semuanya sibuk mencari uang tanpa berpikir kepada kehidupan alam raya. Jam setengah tiga pagi, akhirnya aku bisa tertidur.Sepi pun berkuasa di kampungku.

* * *

Orang-orang di pagi hari itu, gelisah. Wajahya sangat resah dan gundah. Mereka berlarian untuk mencari sumber suara yang memekakkan telinga mereka. Semuanya menutup telinga, tapi tetap saja suara itu yang terdengar. Ribuan burung Prit Gantil menyerbu kampungku, dan semuanya mengeluarkan suara misterius, yang sering mereka dengar. Jalanan macet, orang - orang saling bergerombol karena ketakutan. Ribuan burung itu seperti sebuah parade musik yang di -aransemen dan sangat kompak. Ribuan suara itu bisa berpindah dari sisi yang sangat jauh, lalu tiba-tiba terdengar sangat-sangat dekat sekali. Gerakan ribuan burung itu sangat cepat sekali. Orang-orang terperangah, dan tak percaya ribuan burung Prit Gantil meneror mereka. Semua kegiatan kerja pagi itu terpaksa diliburkan. Sekolah-sekolahan pun terpaksa juga ikut libur. Para aparat kepolisian sibuk mengatur arus lalu lintas, yang semakin tak terkendali, Burung-burung itu masih saja bergemuruh memekakkan telinga para penduduk. Bebebrapa saat, tiba-tiba suara itu hilang, burung-burung dan suara itu sudah menghilang, entah kemana. Setengah jam kemudian keadaan menjadi hening dan nyenyet. Orang-orang masih shock dengan kejadian yang baru saja mereka alami. Satu jam kemudian, ketika suara ribuan dari burung Prit Gantil itu sudah benar – benar mehilang, keadaan menjadi normal kembali. Orang kembali kepada kesibukkan mereka masing-masing.Jalanan menjadi ramai kembali, kegiatan kesehari-harian menjadi hidup kembali. Kehidupan pun kembali seperti sedia kala. Seperti tak terjadi apa-apa.

* * *

Pagi jam 05.55 WIB, aku dibangunkan istriku secara mendadak dan tiba-tiba. “ Ada gempa, Mas ! Ada gempa ! “ Ketika aku sudah keluar rumah dan merangkul anakku, aku melihat puluhan rumah tetanggaku hancur berantakan rata dengan tanah. Aku hanya tercengang dan tertegun. Sesaat itu, aku hanya teringat sewaktu aku masih duduk di bangku SD.

Klaten, Nov ‘06

PROPOSAL

CERPEN KARYA : Dendy Rudiyanta

Tak seperti biasanya Kang Mangun pagi-pagi begini sudah keluyuran naik uduknya. Sesekali tersenyum ramah kepada para penduduk yang pagi itu akan pergi ke sawah.Matahari pun belum menampakkan keperkasaannya, tapi pagi itu, Kang Mangun tampak bersemangat sekali dengan uduk jeleknya yang knalpotnya mengeluarkan polusi luar biasa, apalagi ditambah suaranya seakan bisa kedengaran ke se-antero kampung. Memang, suara uduknya Kang Mangun sangat tidak enak didengar, suara kentut pun sepertinya lebih merdu dari pada suara uduknya Kang Mangun. Tapi, itulah ciri khas dari Kang Mangun seorang mantan Preman pasar di ibu kota, yang sekarang pulang kampung karena dulu takut kena Petrus ( Penembak Misterius ). Dengan susah payah dia me-rehabilitasi namanya kepada para penduduk kampungnya. Tiga kali dia masuk penjara, macam-macam kasusnya. Ada kasus perkelahian antar kelompok, pencurian beras di pasar, ketahuan nyopet istri perwira.Kang Mangun, memang pantas dianggap sebagai Preman. Badannya penuh dengan tattoo, gambarnya pun macam-macam. Ada gambar naga, ada gambar macan, adapula gambar perempuan telanjang. Badannya Kang Mangun juga sterek, gedhe dan berotot. Sudah hampir dua puluh tahun dia tinggal di kampung halamannya ini. Setelah dapat warisan sawah dari mendiang bapaknya, dia kini hidup sebagai petani yang rajin dan telaten. Hasil panenannya lumayan. Dan yang paling berhasil diantara petani yang lain. Kini hidupnya dibilang lumayan, tapi masih jauh dianggap sebagai orang kaya. Punya istri yang setia, dan satu orang anak perempuan yang cantik, yang kini sudah beranjak remaja. Kang Mangun bangga menjalani hidup di kampung. Dia kini sudah dianggap sebagai orang paling berhasil di kampungnya. Bayangkan dari mantan Preman Pasar, yang dianggap sebagai sampah masyarakat, kini dia bisa menjadi teladan bagi para penduduk. Kang Mangun pernah bilang, “ Jangan pernah menyerah, yang penting jalani hidup ini dan jangan pernah takut jatuh, mengalir saja lah.. “. Itulah prinsip hidup dari Kang Mangun, penuh filsafat hidup yang mumpuni. Dan pagi itu, dengan mengendarai uduknya, Kang Mangun kini sudah hilang di telan pagi yang berkabut itu.

* * *

“ Pak Lurah, ini harus segera cair. Kalau tidak saya bisa celaka, Pak Lurah “. Kang Mangun nekan Pak Lurah di pagi itu.

“ Sabar tho, Mas. Pagi-pagi kok marah-marah, mbok ngopi-ngopi dulu “. Sembari memanggil pembantunya, untuk mbuatin kopi ,Pak Lurah mengatur suasana agar bisa nyaman

Lha sudah lama banget proposal ini kita ajukan sampai sekarang nggak jelas. Ini jadi cair tidak ?.” Seorang perempuan setengah tua keluar, sambil membawakan dua gelas kopi yang masih kemebul.

“ Mari, Mas di minum dulu kopinya, nanti ndak dingin “.Pak Lurah masih saja menganggap kedatangan Kang Mangun sebagai kedatangan kebanyakan para tamu yang lain, yang sering minta tanda tangan dan cap kelurahan.

“ Pasti cair, Mas “. Hanya itu jawaban Pak Lurah. Setelah agak lama ngobrol ngalor-ngidul, yang menurut Kang Mangun obrolan pagi itu belum memuaskan hatinya dan jawaban dari Pak Lurah masih dianggap ngambang. Akhirnya Kang Mangun dengan wajah yang penuh keraguan, pamit pulang. Memang, proposal yang ditanyakan Kang Mangun kepada Pak Lurah adalah Proposal yang sangat penting, untuk kepentingan pembangunan di kampungnya. Dengan keluarnya dana pembangunan dari pemerintah Kabupaten, maka pelaksanaan proyek betonisasi jalan di kampungnya Kang Mangun bisa terlaksana. Dana swadaya masyarakat sudah sebagian terkumpul. Jadi seandainya proposal yang diajukan lewat Pak Lurah bisa cair, pastilah pelaksanaan proyek betonisasi bisa lebih gampang pelaksanaannya. Tapi sudah hampir enam bulan, proposal itu tidak ada khabarnya. Seakan sudah ditelan jaman. Padahal yang sangat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan proyek pembangunan betonisasi, adalah Kang Mangun. Karena, kapasitasnya sebagai Pimpro. Apalagi Kang Mangun sudah berjanji kepada para warga, akan mencarikan dana dari Pemerintah Kabupaten. Dulu memang Kang Mangun pernah ingin mencari dana itu sendiri tanpa lewat Pak Lurah, tapi waktu itu Pak Lurah wanti-wanti, kalau proposal itu tanpa lewat Pak Lurah tidak akan mungkin keluar. “ Harus lewat saya, Mas. Biar cepat keluarnya”. Kata Pak Luarah waktu itu. Untuk kepentingan proyek itu,agar terlaksana, akhirnya proposal itu sepenuhnya diserahkan ke Pak Lurah. Kang Mangun pun percaya kepada anjuran pak Lurah. tersebut.Tapi, sekarang hampir enam bulan, janji Pak Lurah meleset. Kang Mangun pun gusar ketika para warga menanyakan kapan proyek betonisasi jalan akan dimulai, karena para warga sudah terlanjur urunan nambahi biaya proyek tersebut. Dan itu sudah terlaksana enam bulan yang lalu. Kang Mangun dengan argumentasi sederhanannya hanya menjawab “ Kita masih nunggu persyaratan adminitrasi yang masih kurang , ini lagi diurus Pak Lurah “. Hanya itu jawaban dari Kang Mangun kepada para warga.

* * *

Semakin hari semakin tidak jelas urusan proposal itu. Pak Lurah yang sangat diharapkan mampu untuk mencarikan dana tersebut, kini, jarang ada di tempat, “ Keluar kota lah, rapat lah, urusan keluarga, lah “. Macem-macem alasannya. Kang Mangun semakin hari semakin pusing kepalanya. Pertanyaan dari para warga semakin hari semakin gencar.Pertanyaan dari para warga seperti sebuah meriam yang selalu mengarah di kepalanya. Dedikasi, pengabdian serta loyalitas Kang Mangun sebagai panutan di kampungnya dipertaruhkan saat ini. Kang Mangun seakan tidak percaya, para penduduk yang selama ini dianggap sudah baik terhadapnya dan sudah menghilangkan anggapan jelek dia sebagai mantan preman, kini mereka berbalik menyerangnya secara membabi buta, dengan ucapan yang sangat pedih dan perih kalau didengar. Para penduduk menuduh bermacam-macam terhadapnya. Ada yang menganggap dirinya yang nilep uang proyek tersebut, ada yang menuduh diriya dan Pak Lurah mengadakan konspirasi bisnis dana proyek untuk kepentingan pribadi. Kang Mangun pun sebagai mantan preman, yang sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, hanya menyikapi dengan kesabaran yang mungkin tinggal secuil dan mungkin sudah hampir habis.

* * *

Langit membiru, awan memutih dan matahari dengan gagahnya bertengger di singgasananya yang membentang memenuhi cakrawala. Sawah menghijau, angin membisikkan desiran yang menghanyutkan rasa. Burung-burung berkicau di pucuk-pucuk pohon waru dan randu. Suaranya merdu sekali seperti lelagon kidung para pujangga. Air yang mengalir dari kali kecil pinggir sawah, bening dan bersih. Kecipaknya melukis alam yang indah membasahi rumput-rumput yag menghijau dan padi-padi yang mulai menguning. Gambaran itu sangat kontras dengan yang ada di rumahnya Kang Mangun. Hampir ada ratusan warga berdatangan silih berganti mendatangi rumah Kang Mangun. Mereka mengadakan demontrasi, mempertanyakan dana urunan warga dan proposal ke pemerintah Kabupaten yang katanya sudah keluar satu bulan yang lalu. Mereka berteriak-teriak, suaranya berisik sekali. Tapi, anehnya yang didatangai tak menampakkan diri. Kang Mangun tidak ada. Yang ada hanya istri dan anaknya perempuannya. Warga tahu kalau yang dicari tidak ada di rumah, akhirnya, mereka pelan-pelan meninggalkan rumah Kang Mangun dengan perasaan yang penuh emosi tinggi. Matahari yang tadi siang nampak perkasa, sore itu sudah pulang ke peraduannya. Kini yang ada hanya segerombol kelelawar yang datang dari berbagai arah, kekuasaan malam kini sudah dikuasai oleh para spesies mereka. Bintang dan bulan sudah saling bersekutu menyinari malam yang panas. Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan. Anak-anak sekolah sudah diwajibkan oleh para orang tuanya, untuk belajar karena besok masa depan harus direbut. Waktu tetap bergulir, malam sudah menggantung dan keheningan malam berjalan sesuai alurnya.

* * *

Rumah Pak Lurah pagi itu, ramai oleh Polisi dan beberapa warga. Pak Lurah mati. Itulah yang terjadi pagi itu. Banyak tusukan di tubuh Pak Lurah, kepalanya hampir pecah karena dipukul oleh benda tumpul, entah palu, entah batu. Banyak darah yang mengotori keramik lantainya Pak Lurah. Baunya anyir dan amis. Banyak penduduk yang menyaksikkan peristiwa pembunuhan itu, memandanag dengan perasaan miris dan mereka seakan tidak percaya Pak Lurah harus mati dengan cara seperti itu. Pagi itu, matahari bersinar seperti biasanya.

* * *

Kang Mangun dengan membawa sebuah kertas tanda terima dari Pemerintah Kabupaten, perihal pengambilan dana pembangunan kampungnya, yang telah dia temukan pagi tadi di rumah Pak Lurah.Dengan tangan yang masih membawa sebauh pisau, dengan darah yang masih segar di pucuk pisau itu. Dan di atas bak truck yang berjalan pelan,yang dia tumpangi secara paksa. Pandangannya tajam setajam mata sang rajawali. Persis seperti dua puluh yang lalu,kini hanya satu tujuannya,yaitu ; ibukota. Ya,..Ibukota yang pernah mendidiknya sebagai seorang preman. Dan dia harus kembali kepadanya,untuk menjadi sorang preman lagi. Karena pengabdian kini tak ada gunanya.

Klaten, Nov ‘06

AKU BAWAKAN MAWAR BERDURI

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Entah mengapa setiap menjelang tahun baru itu, Kasmi selalu kelihatan sedih. Wajahnya tampak tidak sesegar seperti biasanya. Rambutnya tampak acak-acakan tak teratur, dan sepertinya jarang disisir. Padahal, sepertinya Kasmi itu termasuk gadis primadona di desa . Wajahnya cukup manis, putih kulitnya, rambutnya panjang, badannya memang tidak terlalu tinggi tapi tampak proporsional. Sudah banyak jejaka, bahkan duda pun ada yang ingin melamarnya, tapi Kasmi tolak mentah-mentah. Alasannya Kasmi sih sangat klise “ Belum memikirkan hal - hal seperti itu “. Sejak lulus dari SMKK, Kasmi pada waktu itu, langsung merantau ke Surabaya mencari pekerjaan. Tapi hanya dalam waktu 4 bulan, Kasmi sudah pulang lagi ke desa. Setelah itu, dia pergi lagi merantau. Dan sekarang yang dia tuju kota Batam. Seperti yang terdahulu, tapi sekarang agak lama, yaitu sekitar, 1 tahun dia bekerja di Batam. Setelah Batam, dia pernah hanya 1 minggu di kerja di kota Semarang. Begitulah Kasmi, seorang perempuan yang berusaha untuk membahagiakan kedua adiknya dan seorang Bapak Tiri. Memang, Kasmi hidup bersama kedua adiknya yang masih sekolah dan seorang lelaki setengah baya yang sering dia sebut “ Pakdhe “ tak lain adalah bapak tirinya. Ibu kandung Kasmi memang sudah meninggal 4 tahun yang lalu, akibat sering sakit-sakitan,. Dan bapak kandung Kasmi entah pergi ke mana, sejak Kasmi masih duduk di bangku SMP. Sejak itu Kasmi dan Ibunya harus membanting tulang guna menghidupi keluarga. Setiap hari setiap pulang sekolah, Kasmi harus membantu Ibunya berjualan bubur di pabrik tekstil dekat rumahnya. Dan disitulah seorang Satpam Pabrik tekstil itu, yang bernama Darmo seorang duda tanpa anak, menaruh hati kepada ibunya Kasmi. Buah cintapun tumbuh di antara kedua pasangan yang tidak muda lagi itu. Akhirnya, mereka menikah. Kasmi kini mempunyai seorang bapak tiri, yang sering dia panggil Pakdhe Darmo. Yah, kini Kasmi tinggal bersama bapak tirinya, dan kedua adiknya.Kusmi dan Kismi. Hidup mereka sangat pas-pasan, tak ada yang lebih. Bapak tirinya pun kadang kerja hanya serabutan sebagai kuli bangunan musiman. Karena sudah hampir 2 tahun ini, Pak Darmo harus pensiun sebagai satpam pabrik.

* * *

Kasmi sore itu, masih setia duduk di bangku kecil samping rumahnya, di bawah pohon sawo yang berumur sudah puluhan tahun. Wajahnya kosong, kadang di mulutnya hanya sedikit terucap sesuatu yang tak jelas. Di tangannya tampak bunga mawar kecil-kecil yang sudah dia potong kecil-kecil pula. Di letakkan satu persatu bunga itu di atas bangku. “ Tinggal besok “ hanya itu yang diucapkan Kasmi. Dan itu berlangsung setiap menjelang tahun baru. Sudah hampir 2 tahun ini, Kasmi berkelakuan aneh, dan itu berlangsung ketika menjelang tahun baru. Pernah dia di bawa ke dokter, tak ada penyakit di tubuhnya.Pernah juga di bawa ke seorang paranormal, jawaban paranormal pun seperti biasanya, tak rasional. “ Kena ganguaan makhluk halus “, katanya. Tapi tetap juga paranormal itu tak merubah perilaku Kasmi. Kasmi tetap saja berperilaku aneh. Kalau ada yang menegur, Kasmi hanya tersenyum. Adiknya – adiknya Kasmi pun juga tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi Bapak tirinya, yang kini juga sudah sering sakit-sakitan karena kebanyakan merokok juga tak mempunyai kekuatan apa-apa untuk merubah perilaku Kasmi menjadi normal kembali. Sore itu, langit sudah menjingga, matahari turun pelan-pelan ke peraduannya. Kasmi pun sudah beranjak pergi dari bangkunya menuju dalam rumah. Setelah makan malam, Kasmi langsung menuju kamar tidurnya.Itulah kebiasaan Kasmi kalau malam hari. Tak ada pembicaraan dengan Bapak tirinya maupun adik-adiknya. Semuanya tampak aneh.

* * *

Siang itu keluarga Kasmi bingung. Kasmi menghilang. Di kamarnya tidak ada, di bawah pohon sawo, tak ada. Bapak tirinya sudah mencari kemana-mana, tapi Kasmi tetap tak diketemukan. Adik-adiknya pun sibuk mencari keberadaan Kasmi. Sudah hampir seluruh desa dia bolak-balik dan menanyakan kepada setiap orang, tapi Kasmi tetap tak ada. Orang-orang kampung digerakkan untuk mencari Kasmi, bahkan aparat kepolisian juga ikut mencari keberadaan Kasmi tetap saja tak ada tanda-tanda keberadaan Kasmi. Bulan sudah berwarna keperakan . Malam sudah bergelanyut diantara bintang-bintang.Waktu terus berjalan. Kasmi yang malang belum juga ketemu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun terus berganti Tapi tetap saja Kasmi belum juga pulang.

* * *

Sudah hampir 5 tahun peristiwa hilangnya Kasmi masih membekas di desa itu.Dan persis ketika tahun baru Kasmi menghilang. Kelurga Kasmi sudah pasrah dengan apa yang terjadi, meski mereka masih masih menyisakan tanda tanya besar, “ Kenapa Kasmi menghilang, dan ke mana perginya Kasmi ? Matikah Kasmi, atau diculik ? Tapi buat apa Kasmi diculik, mereka bukan keluarga kaya yang memang pantas untuk dimintai tebusan uang. Kalau memang benar Kasmi sudah mati, di mana mayatnya ? “. Pertanyaan itu selalu menghujam pikiran keluarga Kasmi dan para penduduk desa. Pak Darmo yang sering sakit-sakitan ditambah beban amanat dari mendiang istrinya, untuk menjaga Kasmi telah gagal dia laksanakan. Pikiran Pak Darmo semakin berat, akhirnya 1 tahun yang lalu Pak Darmo meninggal karena sakit paru-parunya tak dapat ditolong oleh dokter yang menanganinya. Tinggallah kini 2 adiknya Kasmi yang hidup sebatang kara, tak ada keluarga. Memang, setelah kematian Pak Darmo, banyak tetangga yang ikut prihatin dan simpatik terhadap 2 adiknya Kasmi. Setiap hari para tetangga itu bergiliran untuk memberi jatah makan dan memberi uang sekedarnya kepada 2 adiknya Kasmi. Tapi, itu hanya berlangsung 2 bulan. Setelah itu, tak ada yang memberi makan maupun uang. Dengan terpaksa kedua adiknya Kasmi harus membanting tulang untuk sekedar mencari sesuap nasi. Yang adiknya Kusmi bekerja sebagai pemintal benang di tempat Pak Adul tetangganya yang terkenal mempunyai multi usaha. Yang satunya Si Kismi, bekerja di pabrik mebel sebagai tukang amplas. Dengan bekerja itu mereka sampai sekarang bisa hidup, meski dengan keadaan yang sangat minim.

* * *

Rumah Kasmi, atau tepatnya tempat tinggalnya Kusmi dan Kismi 2 gadis yang merana nampak sepi. Angin masih bertiup pelan menyibakkkan rumput di halaman rumah yang sudah mengering kekuningan.Sayup terdengar suara radio di dalam rumah itu. Kusmi dan Kismi masih berada dalam rumah mungil kecil itu. Sambil menyenandungkan lagu yang keluar dari speaker radio, kedua gadis itu bergaya, seakan mereka sudah merasa menjadi penyanyi professional. Terdengar memelan suara mobil mewah berhenti tepat di depan pagar bambu rumah kecil itu. Suaranya halus dipastikan mobil itu mahal harganya. Tampak seorang perempuan yang belum terlalu tua tampak anggun keluar dari mobil sedan berwarna hitam . Wajahnya terang seperti rembulan, kulitnya bersih. Dia melangkah mendekati pintu rumah itu. Lalu, diketuk pintu itu. Satu kali tak didengar ketukan itu, dua kali tetap tak ada jawaban. Ketiga kali, perempuan itu memanggil dengan suara yang dikeraskan,

“ Kismi Kusmi….!” . Terdengar suara radio dipelankan, kedua gadis itu terperanjat seakan tak percaya.

“ Mbak Kasmi…!! “ Dibukalah pintu itu. Berhenti sesaat ketika menyasikkan perempuan yang berdiri persis di hadapan mereka.

“ Benarkah kamu Mbak Kasmi ? Ragu mereka bertanya.

Hiya, benar. Aku Kasmi Mbakmu yang dulu “. Tenang perempuan itu menjawab pertanyaan dua gadis itu. Memang , perempuan yang anggun itu adalah Kasmi .

“ Mbak Kasmi pulang “. Mereka berteriak, tangis pun memecah, mereka saling memeluk. Kerinduan yang terpendam tumpahlah siang itu.Mereka saling bercerita tentang segala peristiwa selama 5 tahun yang lalu, semenjak Kasmi menghilang.

“ Betul aku pergi persis tahun baru, 5 tahun yang lalu. Niatku hanya satu, mencari orang yang dulu memperkosaku ketika aku bekerja di kota Batam. Akhirnya kutemukan dia, persis ketika itu bulan purnama. Aku tusuk perutnya dengan pisau,lalu aku ambil jantungnya, lalu kubuang ke sungai. Setelah itu aku rampas hartanya. Tak ada yang tersisa. Aku bisa lega waktu itu. Aku bisa mengelabui polisi waktu itu. Akhirnya aku bisa bebas tanpa kena perkara. Dengan hasil rampasan hartanya, aku gunakan untuk berbisnis bunga, yah..bunga mawar. Seperti obsesiku untuk menjadi bunga mawar. Lambang kecantikan dan pembalasan yang menyakitkan.Aku berhasil membangun usahaku. Dengan usaha itu aku bisa menjadi orang yang kaya. Pada waktu itu aku teringat mendiang ibu. Aku ingin membalas sakit hati ibu. Aku cari orang yang telah mengkhianati ibu. Segala informasi aku cari, hampir bertahun-tahun aku mencari keberadaan ayah kandungku sendiri itu. Kutemukan dia, persis seperti orang yang memperkosaku, aku tusuk perutnya dengan pisau yang sama. Jantungnya ku lempar ke sungai. Akhirnya terbalaslah semua.Dan kini, aku sudah pulang untuk menjemput hidup baru bersama kalian. Yah, kita bisa bersama lagi,tanpa pernah ada kata sakit dan tangis . Perlu diingat ! Kalian jangan meniru aku ! Tapi, tirulah bunga mawar ini. Satu jimpit kelopak mawar menghilang, sejuta duri akan membalasnya “. Langit hening sore beradu dengan suara adzan maghrib.

Klaten, Feb ‘08

KHABAR DARI KANTOR

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Sudah hampir setengah jam ini, Bari mondar-mandir dari ruang tamunya. Sebentar ke samping lemari buku, kemudian berpindah lagi ke sisi rak TV. Entah apa yang dipikirkannya. Tampak raut mukanya kelihatan sangat bingung dan kalut. Ruangan tamu yang sebetulnya sangat luas, tapi bagi Bari seakan begitu kecil untuk mengimbangi langkah kakinya. Hanya sebentar saja ia merebahkan tubuhnya di kursi sofanya, kemudian berdiri lalu melanjutkan kegelisahannya dengan berjalan mondir-mandir. Jam, malam itu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Tapi, kelihatan mata dan phisik Si Bari masih kuat untuk mempertahankan kegelisahaannya. Suara TV pun sudah dia kecilkan, karena mungkin sangat mengganggu ke-gundahannya.Anaknya pun sudah tertidur pulas sejak jam delapan tadi. Hanya suara bianatang malam yang memberi nuansa sendiri dalam ruang tamu itu.

“ Aku harus membatalkan acaranya Mas Tono. Mas Tono tidak boleh pergi “, terdengar Bari berbicara sendiri, meski langkahnya tetap saja menampakkan kekalutan pikirannya. Tiba-tiba suara mobil terdengar dari teras rumah.

“ Mas Tono sudah pulang “, bisik Bari. Pintu ruang tamu pun terbuka. Tampak muka Mas Tono sudah kuyu karena kelelahan. Maklum sebagai Wakil Direksi Pemasaran Pabrik Tekstil di Ibukota, pastilah pekerjaan seperti itu sangat melelahkan. Mas Tono adalah pekerja yang sangat disiplin, telaten, jujur dan tak pernah mengecewakan atasannya. Tapi jangan salah tafsir, Mas Tono sangat sayang kepada keluarganya. Berbeda dengan teman sekantor maupun kolega bisnisnya, yang tiap hari selalu meng-iming-iminginya yang namanya perempuan. Baik yang namanya, ayam kampus, selimut hotel sampai PSK kelas sopir-sopir. Malahan, ada yang nawari padanya, untuk nyari istri simpanan, sekedar untuk uji nyali dan refreshing. Mas Tono tak berkenan ketika ditawari hal-hal seperti itu. Dia hanya tersenyum saja, ketika teman – temannya nyodorkan ide gila semacam itu. Kecintaan terhadap keluarganya lebih dari segalanya. Dengan disiplin kerja seperti itu, atasannya sangat senang terhadap cara kerjanya Mas Tono. Tak aneh setiap tahun, ketika perusahaan omset penjualannya meningkat, Mas Tono pastilah orang yang pertama mendapat bonus dari jerih payah kerjanya oleh atasannya. Keluarga Mas Tono memang sangat kaya dan berada. Rumahnya sangat luas. Ada kolam renang dan bungalownya. Bari adalah istri yang sangat setia kepada suaminya. Keluarga mereka adalah keluarga yang sangat harmonis.Sudah hampir enam tahun mereka menjalin kehidupan berkeluarga, dan sepertinya belum terjadi permasalahan. Tapi, malam itu tampak suasana menjadi berbeda tak seperti biasanya.

“ Belum tidur, Ma ?’. Hanya itu yang diucapkannya, setelah mencium kening istrinya, Mas tono langsung masuk kamarnya. Tampak suara kran air dihidupkan. Bari hanya terpaku, tak bisa berkata apa-apa. Karena memang kebiasaan dari Mas Tono sehabis pulang kerja langsung mandi dan tidur. Besok jam tujuh pagi, suaminya harus sudah berangkat kerja. Dan malam itu, waktu bergeser dari detik menuju jam. Keheningan pun segera menguasai.

* * *

“ Berangkat dulu, Ma.” Mas Tono pagi-pagi sudah berangkat kerja lagi.

“ Apa yang harus aku lakukan, aku tak ada keberanian untuk melarang Mas Tono membatalkan acaranya nanti sore”. Kegelisahan dari Bari semakin bertambah, kegelisahan dari jam ke jam semakin menumpuk. Bari pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya terduduk di ruang dapurnya. Matanya menerawang jauh kepada peristiwa kecelakaan kapal yang terbakar seminggu yang lalu. Yang kata berita, banyak menewaskan beberapa penumpang .

“ Ya Tuhan, lindungilah Suamiku “. Ratap Bari dengan mata berkaca-kaca. Pagi itu, sinar Surya ber-angsur memperlihatkan keperkasaannya. Orang-orang sudah siap dengan harapan barunya. Anak-anak sekolah sudah kelihatan rapi dengan seragamnya, mereka dengan tegapnya menuju pintu-pintu sekolahnya,ya, pintu cita-citanya, meski masa depan kadang memang sulit dicapai pada jaman sekarang ini walau dengan pendidikan tinggi dan biaya yang tinggi. Yang berdagang pun sudah siap dengan hasil dagangannya. Suara klakson bis kota dan angkutan sudah saling beradu dengan suara para keneknya, kadang sangat memekakkan telinga yang mendengarnya. Mereka lalu-lalang menawarkan tumpangannya. Tapi, Bari istri Mas Tono pagi yang hampir siang itu, tak bisa menyembunyikan ketakutannya terhadap berita – berita yang terjadi akhir-kahir ini, bermacam bencana yang menimpa negeri ini, terus menghantui pikirannya. Para pembantu pun tahu kondisi yang terjadi dari majikannya, mereka tak berani menegur maupun bertanya. Padahal Si Bari istrinya Mas Tono itu, orangnya sangat sabar dan tak pernah membedakan-bedakan itu yang namanya pembantu atau bukan.Keluarga itu sangat terbuka sekali, jika ada permasalahan, mereka pasti bicarakan bersama-sama Para pembantu yang berjumlah dua orang sangat betah tinggal dengan keluarga Mas Tono. Setiap tiga bulan sekali, mereka diajak piknik bersama. Untuk melepas ketegangan kalau majikannya bilang pada waktu itu. Pekerjaan mereka sebenarnya tidak terlalu berat. Anaknya Mas Tono tidak rewel maupun manja. Keluarga kaya itu mempunyai anak satu semata wayang, seorang perempuan kelas empat SD.Terdengar siang itu, suara knalpot dari sebuiah mobil mewah keluaran terbaru masuk dalam Carport rumah.

“ Kok tumben Mas Tono sudah pulang “. Bisik Bari keheranan.

“ Ma…”. Yang dipanggilpun segera keluar untuk menemui suami tercintanya.

“ Acaranya nanti sore dibatalkan “.

“ Apa ? “ Teriak Bari siang itu.

“ Hiya, acara nanti sore dibatalkan. “

Alhamdulillah..”.

“ Apa, Ma ?”

Enggak….”. Wajah yang semula padam siang itu berubah terang benderang dan memancarkan harapan yang menyala, ketika mendengar suaminya berkata demikian. Gunung es yang berada di kepala Bari, seolah-oleh seketika itu mencair. Dan kembali menyejukkan pikirannya.

“ Jadi, Mas Tono tidak jadi berangkat sore nanti ? “

Jadi , Mas Tono tidak jadi naik kapal tho, Mas ? “ Bari nerocos bertanya tentang kebenaran berita tersebut.

Hiya..”. Yang ditanya tak memperhatikan wajah istri cantiknya itu yang sekarang berbinar-binar karena kegirangan ketika mendengar khabar tersebut. Mas Tono malah sibuk ke kamarnya, entah apa yang dilakukannya.

“ Lalu, kenapa kok tumben siang-siang begini sudah pulang ?” Istrinya kelihatan belum yakin dengan jawaban suaminya.

“ Acaranya dirubah besok pagi, bukan ke Lampung tapi ke Yogya untuk bertemu dengan seorang Buyer asal Brasil. Berangkatnya sih, naik pesawat penerbangan pertama. Jadi tolong, siapkan bajunya-bajunya ya, Ma..” Mas Tono menjelaskan dengan masih sibuk memilih berkas-berkas pekerjaan yang harus dia siapkan besok pagi.

“ Syukurlah, tidak jadi naik kapal laut,ya ? “.

“ Apa, Ma ? “

“ Ah. Enggak “.

Siang itu waktu berjalan seperti biasanya. Tak ada yang berubah. Jalanan masih ramai dengan kesibukkannya.

* * *

Rumah mewah pagi itu sudah kelihatan sibuk. Mas Tono mempersiapkan koper dan segala perangkat kerjanya. Putrinya yang duduk kelas empat SD, sudah siap dengan seragamnya. Istrinya juga sudah siap untuk mengantarkan keduanya, dua orang yang sangat dicintainya.

“ Ayo, Ma”. Teriak Mas Tono mengajak untuk segera berangkat. “ Aku harus bertemu dengan buyer saya, jam sembilan pagi nanti “.

“ Hiya, Mas “.

* * *

Rumah mewah itupun tampak sudah sepi,hanya terlihat para pembantu membersihkan sisa sarapan dari para majikannya. Udara pagi itu begitu dingin dan mendung, karena shubuh tadi, hujan turun membasahi tanah dan pepohonan. Meski begitu, orang-orang tetap saja harus bekerja. Kata orang, jaman ini kalau tidak disikapi dengan kerja keras, akan makan apa. Jamannya lagi jaman sulit. Beras mahal, minyak goreng mahal apalagi biaya pendidikan dan kesehatan tak ada yang murah. Semuanya mahal.Kerja keras tanpa ber-ikhtiar terhadap Gusti Allah hasilnya tidak akan maksimal. Proses kehidupan ini seperti air yang mengalir, entah akan dibawa kemana kita ini. Hanya Tuhan yang mengetahui segala nasib perjalanan kehidupan kita.

* * *

Telepon berdering, di rumah mewah itu. Bari istri Mas Tono bergegas mengangkat gagang telepon tersebut.

“ Pesawat Bapak terbakar, Bu pagi tadi di Bandara Yogya “.

Bari yang mendengar khabar dari kantor suaminya tadi, langsung pingsan.

Klaten, Maret ‘07

TIVI

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Aku tidak tahu apa yang terjadi pada anakku, setiap hari yang dilihat hanya tivi dan tivi, tak ada yang lain. Aktifitasnya pun hanya di depan tivi. Makan pun di depan tivi, habis pulang sekolah, tetap saja di depan tivi. Habis mandi sambil masih memegang handuk, tetap saja nyetel tivi. Teman-teman sepantaran dia yang sering ngajak main ke luar, tak dipedulikannya, tetap saja dia mempertahankan tivinya daripada main di luar rumah. Acara tivi yang dia senangi, memang kebanyakan acara anak-anak, paling-paling ya pilem kartun. Sebenarnya anakku itu orangnya pintar, kalau ngitung perkalian maupun hapalan pelajaran di sekolah, dia sangat cekatan dan cerdas. Tapi yang aku herankan kenapa magnit tivi selalu menyita kegiatan ke-sehari-hariannya. Mungkin, hanya tidur saja dia tak berhubungan dengan tivi. Pernah dia nglindur, nglindurnya pun berhubungan acara tivi. Dia berteriak menyebut salah satu acara favorit pilem kartunnya. Sebagai seorang bapak, aku sangat khawatir dengan kondisi kejiwaan dari anakku tersaebut. Sudah pernah tak bawa ke dokter spesialis kejiwaan, kata dokter sih, itu hal lumrah tak ada yang perlu ditakuti maupun dikhawatirkan. Aku bingung, bagaimana dokter bisa bilang begitu ? , lha wong keadaan anakku seperti itu. Aku ingin anakku menjalani kehidupan secara normal, seperti anak-anak yang lain.Pernah suatu kali, tivi itu saya sembunyikan di tempat persembunyian yang jelas anakku tak tahu keberadaan tivi kesayangannya. Eh..dia malah pergi nonton tivi di tempat tetanggaku. Ketika melihat tivi di tempat tetanggaku itu pun, seakan dia tak mempedulikan bahwa itu bukan rumahnya, dia asyik nonton acara tivi kesayangannya. Aku jadi tidak enak sama tetanggaku tersebut. Lha bagaimana tidak ? Justru kenyamanan keluarga dari tetanggaku jadi tak nyaman, privasi dari tetanggaku jadi terganggu karena kehadiran anakku. Keluarga tetanggaku sering bertengkar, gara-gara anakku sering nonton tivi di tempatnya. Suami istri itu malahan sering cek-cok karena beberapa alasan, biaya listrik bertambah, ruang tivi jadi kotor, dan macam-macam alasannya lainnya. Aku ngerti mereka tidak enak untuk menegur anakku, karena mereka juga ingin tidak melukai perasaannku. Memang hampir sebulan ini, tivi yang dirumahku tak sembunyikan, juga hampir sebualan keluarga dari tetanggaku tersebut mengalami goncangan keributan yang tanpa henti karena kehadiran anakku yang ingin nonton acara tivi. Lebih tragisnya suami istri dari tetanggaku tersebut mengalami keributan besar, karena anakku memecahkan vas bunga kesayangan mereka. Mereka ribut saling menyalahkan, keributan memuncak sang istri pergi karena mungkin sangat jengkel dan marah. Karena suaminya tak bisa menegur anakku. Aku serba salah, pelajaran untuk mendidik anakku dengan cara menyembunyikan tivi, malah berbuah keributan sebuah keluarga.Hiya gara-gara anakku. Akhirnya pun aku meminta maaf karena kelakuan ceroboh anakku yang memecahkan vas bunga mereka.Dengan peristiwa memalukan tersebut, terpaksa tiviku pun tak keluarkan dari tempat persembunyiannya. Bisa ditebak, anakku kegirangan melihat barang kotak yang berisi tabung, dan material elektronik tersebut muncul kembali. Tak ada perubahan setelah satu bulan anakku melihat tivi di luar rumah, tetap saja asyik nonton tivi. Apa yang harus aku perbuat, istriku pun tak kuasa menahan keinginan dari anakku yang selalu ingin melihat tivi. Dari jam ke jam, dari hari ke hari waktuku pun tersita untuk memikirkan kebiasaan anakku tersebut.

* * *

Dengan mengendarai sepeda motorku, aku menjelajah jalanan kota yang sempit dan berdebu. Memang, semenjak proyek perbaikan jalan dan pelebaran jalan di kota ini, keadaannya malah tambah semrawut. Jalanan menjadi sempit dan kacau, apalagi ditambah para armada angkutan saling berebut untuk memenuhi jalan tanpa tahu resiko dari ulah mereka. Tiga hari yang lalu, ada anak SMP mati tertabrak bis kota, karena sopirnya mbyayakan ngebut, gara – gara ingin ngejar uang setoran. Orang-orang sekarang memang sering kemrungsung, pinginnya semuanya serba cepat dan instant. Walau kadang justru akan membahayakan nyawa dan lingkungan. Seperti sudah ditebak sopir yang nabrak anak SMP tersebut, akhirnya hanya dihajar massa ramai-ramai, dan bis kotanya pun kena sasaran amukan massa, bisnya dibakar tak tersisa. Penegak hukum pun tak bisa berbuat apa-apa. Panas siang itu memang sangat terik dan gerah. Mungkin, sebentar lagi akan hujan. Musim pun sekarang sulit ditebak. Ah entahlah, alam dan manusia harusnya bisa saling bersanding, tapi kenyataannya manusia sering memperkosa hak-hak dari alam itu sendiri. Dengan agak kelelahan, aku sandarkan motorku persis di bawah pohon sawo. Aku menuju sebuah kantor Lembaga Swadaya Masyarakat punya kawan kuliahku dulu. Jaket kulit lusuhku kusampirkan saja di stang motorku, lalu di atasnya kutaruh helm kesayanganku. Jam masih menunjuk, setengah satu siang. Masuklah aku ke kantor yang sebenarnya bukan seperti lazimnya sebuah kantor. Kantor itu hanya ada satu meja tempat komputer, dan satu set meja kursi tamu. Selebihnya kosong, paling ditembok hanya tertempel poster-poster perlawanan yang sudah basi. Ada satu dispenser tapi juga sering tidak terisi airnya. Tapi aku percaya pada mereka yang di kantor ini, otaknya pintar-pintar. Pintar diskusi, pintar adu argument, pintar memiliki konsep ke depan yang futuristik, tapi kadang mereka juga pintar utang, kalau sama aku.

“ Asalalmu’alaikum…”. Kusapa duluan mereka.

Walaikumsalam..”. Serentak mereka menjawab.

“ “ Eh koe, Sam “. Bram temanku kaget ketika aku datang. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, aku beranikan untuk mengutarakan permasalahan yang aku hadapi.

“ Sudah tenanglah, justru kasus anakmu ini yang akan menjadi power kita untuk memprotes kebijaksanaan pemerintah tentang penyiaran televisi “, Bram masih seperti dulu, gayanya masih berapi-api.

“ Terus langkahmu, apa ?” Aku mulai tertarik, mungkin karena melihat temanku yang gaya bicaranya sangat menyakinkan sekali.

“ Kita akan mengadakan demontrasi besar-besaran, kita akan kumpulkan orang-orang tua yang nasibnya sama seperti kamu. Kita akan mengadakan mimbar bebas selama satu minggu penuh, kita protes masalah penayangan televisi, kita protes masa deapan anak-anak bukan hanya untuk dimanjakan di depan televisi, masa depan anak-anak kita harus diselamatkan. Pokoknya kita nanti akan mengundang tokoh-tokoh nasional di negeri ini. Baik itu tokoh, politik, ekonomi, sosial, seniman dan para sastrawan, tak lupa aktivis LSM dan para mahasisiwa. Kita undang semua mereka….”

“ Tapi,,Bram…”.

“ Sudahlah kamu tunggu saja acaranya, pokoknya anakmu harus berhenti untuk melihat acara tivi “. Temanku tetap saja nerocos, tak mempedulikan aku yang bingung dengan acara-acara tersebut. Aku tak habis pikir, kenapa Bram punya ide gila semacam itu. Lha wong, persaoalannya cuma anakku yang doyan nonton tivi, titik. Tidak ada yang lain, kok pakai acara demonstrasi besar-besaran segala.Dengan perasan bingung, aku pamit pulang.

* * *

Di kota sudah ramai orang-orang dengan atribut beraneka warna, ada yang bawa segala bentuk poster dan gambar. Keadaanya persis seperti mau pawai pitulasan. Kebanyakan menang anak-anak muda, memang ada beberapa ibu-ibu yang menggendong anaknya. Aku pun demikian dengan anakku, kuhadiri rapat akbar tersebut, menuntut kepada pemerintah dan pihak yang berwenang untuk, menghentikan acara televisi. Temanku Bram benar-benar gila. Dia benar-benar mewujudkan ide gilanya. Di situ ada panggung mimbar bebas, yang disediakan untuk siapa saja yang ingin menyuarakan protesnya. Waktu bergulir begitu cepat, siang sudah terasa panasnya, gemuruh suara dan teriakan membahana, semuanya bernada protes. Massa yang semula hanya puluhan, sekarang berangsur-angsur terus bertambah. Ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu. Lapangan tempat untuk demonstrasi itu yang semula sangat lapang, sekarang beruabah jadi lautan manusia. Mereka datang dari segala arah. Tenggara, timur, barat, selatan, utara. Pokoknya datang dari berbagai arah, seperti badai mereka datang. Bergemuruh dan suaranya pun sudah tidak jelas. Saling sahut-sahutan. Aku ngeri melihat itu semua, anakku aku dekap erat jangan sampai lepas. Panas dan berdebu seakan sudah menyatu menjadi satu kesatuan dalam suasana tersebut.Aku ingin pergi dan berlari menjauh dari orang-orang itu, tapi tak bisa. Aku terhimpit puluhan orang.Aku ingin berteriak keras-keras tapi suaraku hilang. Panggung mimbar bebas semakin panas, orang-orang saling berebut microphone, mereka semuanya ingin berpidato. Tiba-tiba dari arah belakangku terdenagr suara seperti ledakan yang maha dahsyat. BLARRR.Aku terkesima, tetap kupeluk anakku. Lagi-lagi suara itu datang lagi, malahan lebih keras dan memekakakkan telinga. Kekacauan terjadi, orang-orang saling berlari, bertubrukan dan banyak yang terjatuh.Situasi sangat tidak terkendali. Pontang-panting orang-orang ingin mneyelamatkan diri. Ada ratusan pasukan aparat berubah menjadi ancaman bagi para pengunjuk rasa. Pasukan itu, menangkapi semua orang yang dianggap mengganggu ketertiban. Ada yang dipukuli, dihajar lalu dimasukkan ke dalam truck. Oh, mengerikan sekali. Dan seketika itu, aku melihat temanku Bram dihajar habis-habisan oleh puluhan aparat, lalu temanku entah dibawa ke mana. Aku tidak tahu. Tiba-tiba kepalaku terasa pening dan berat, yang aku lihat hanyalah bayangan hitam yang berputar-putar di atas kepalaku, setelah itu sangat gelap. Dekapan tanganku terlepas.

* * *

Di ruang tamu, masih kulihat anakku melihat tivi. Sekarang bukan hanya anakku, tapi puluhan anak-anak kecil sudah memenuhi ruang tamuku.

Klaten, Maret ‘07

KURSI

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Dengan tangan yang sudah keriput termakan usia, Karto seorang lelaki tua yang berumur sekitar 78 tahun, masih dengan cekatan mengerjakan pekerjaannya. Sebuah pekerjaan yang mestinya bukan untuk porsi seorang Karto yang sudah tua, mungkin dibilang usia uzur. Pekerjaan Karto sejak remaja, memang seorang pengrajin kursi. Entah itu, kursi tamu, teras, taman maupun kursi anak-anak.Sudah ratusan hasil karyanya. Di sebut sebuah karya, karena memang kursi itu, hasil disain dari Karto sendiri. Orang tinggal bilang, mau pesan untuk apa, di gunakan untuk siapa. Maka, Karto dengan intuisinya membuat disain sendiri. Dan, kebanyakan pemesan merasa sangat puas, dengan hasil pekerjaan Karto tersebut. Dia tidak mau di bayar hanya untuk meniru hasil karya orang lain atau disain orang lain, dia maunya hasil karya otak dan tenaganya sendiri. Karto memang seorang seniman kursi sejati. Dia mengerjakan pekerjaannya hanya sendiri, tak ada yang membantunya. Karena memang Karto adalah seorang lelaki yang hidup sendiri. Tak punya keluarga, tak punya istri, apalagi anak.Sudah hampir puluhan tahun Karto menjalani hidup sendiri. Ketegaran dan kesungguhan dia dalam bekerja, banyak memberikan inspirasi bagi lingkungan tersebut. Pernah suatu kali, Karto menadapat order membuat kursi orang Londho, jumlahnya puluhan kursi, dia kerjakan hampir tiga bulan-an. Londho itu senang, malahan Karto mau diboyong ke tempat asal Londhonya tersebut, untuk melihat hasil karyanya yang akan di pamerkan dalam ajang Festival Furniture International. Tapi Karto tidak mau, alasannya takut naik pesawat. Akhirnya Londho itu pun terpaksa tidak bisa mengajak Karto. Karena merasa sangat senang dengan pesanannya, Londho itu tak tanggung-tanggung ngasih bayaran Karto lima puluh juta rupiah. Karto yang lugu, tak bisa menerima bayaran sebesar itu. Dia mau hanya dibayar sesuai harga kursi tersebut, yaitu lima ratus ribu rupiah. Londho yang kaya itu, semakin bingung dan heran. Karena Londho itu memang sudah niat ingin memberi bayaran yang banyak kepada Karto, akhirnya dengan negoisasi yang damai, bersama perangkat desa dan ketua adat kampung. Uang lima puluh juta rupiah itu, akhirnya diberikan Karto, sebagai bayaran order-an pembuatan kursi. Karena Karto merasa bahwa uang itu, terasa sangat besar baginya. Maka, dengan kerelaan hati, uang itu di akan dia sumbangkannya ke Masjid kampung dan untuk perbaikan jalan di kampung.Sedangkan, Karto hanya mengambil lima ratus ribu rupiah, sesuai bayaran yang harus dia terima. Bagaimana senangnya warga kampung, karena ada orang yang begitu baik dan tulus membantu memperbaiki masjid dan jalan. Karto jadi buah bibir di beberapa tempat. Baik, di kampung sendiri maupun di luar kampung. Karto menjadi terkenal sebagai tokoh yang dermawan dan baik hati. Semua orang mendoakan Karto. Setiap Jum’atan di Masjid, para khotib selalu menyebut nama Karto sebagai Hamba Allah yang dermawan, karena bersedekah kepada kepentingan orang banyak tanpa pamrih. Itulah Karto seorang lelaki tua dan mulai uzur menjalani kehidupan dengan hanya mengandalkan keahliannya sebagai seorang tukang pembuat kursi.Dan, siang itu, memang Karto sedang mengerjakan pekerjaanya membuat sebuah kursi berukir .Entah siapa yang memesan Sepertinya hampir selesai.

* * *

Sudah hampir satu bulan ini, Karto belum selesai mengerjakan pekerjaan kursi berukirnya. Padahal yang aku tahu Karto adalah seoarang pekerja yang cekatan dan tepat waktu. Tapi sekarang, sudah satu bulan Karto belum selesai meyelesaikan kursi itu. Padahal hanya satu kursi. Yang aku lihat Karto setiap hari pasti berada dalam bengkel pertukangannya dan mengerjakan satu buah kursi itu. Kalau dilihat secara awam, kursi itu sudah jadi.Tapi, Karto seperti merasa bahawa kursi itu, belum jadi yang seperti dia harapkan. Semua orang merasa heran, kursi model dan berbentuk apa yang diharapkan oleh Karto itu sendiri ? Karena, orang-orang menganggap bahwa kursi itu sudah jadi dan bagus. Kenyataaanya Karto masih terus mengerjakan hasil karyanya.

“ Belum saatnya “. Hanya itu jawaban Karto ketika semua orang bertanya tentang kursi itu. Semua orang terdiam dan hanya menunggu. Sejak Karto membuat kursi itu, rumah Karto jadi ramai, karena terjadi rumor yang beredar di masyarakat, bahwa kursi yang sedang dibuat Karto membawa berkah, apalagi kalau yang mampu membeli kusri itu seorang pejabat, pastilah pejabat itu akan awet kedudukannya. Rumor itu berkembang sampai ke tingkat kabupaten, bahkan propinsi. Dan juga sudah terdengar ke telinga pangusaha-pengusaha sukses. Semua orang ingin melihat kursi tersebut. Ada seorang pejabat yang kata koran hampir tersangkut perkara korupsi uang rakyat, bersedia membeli kursi itu dengan harga satu milyar rupiah, cash. Gila. Pejabat itu mungkin takut kasusnya terbongkar.Makanya, pejabat itu berani mengeluarkan kocek sebesar itu untuk menyelamatkan kedudukannnya. Dengan tawaran harga selangit itu, Karto seperti biasanya hanya menjawab , “ Belum saatnya”. Semua orang tidak mengerti jalan pikiran Karto. Tetap saja kursi itu dianggap belum selesai penggarapannya, bagi pembuatnya. Orang semakin bertambah penasaran ingin menyaksikkan kursi itu. Ada efek bisnis yang menguntungkan bagi lingkungan desa tersebut. Karena berjubelnya orang-orang ingin melihat kursi itu,para pemuda kampung tersebut membuat lahan parkir bagi para pengunjung atau tamu yang ingin menyaksikkan Karto sedang membuat kursi. Banyak pemuda yang membuka parkir sepeda, motor dan mobil. Para ibu-ibu membuat warung dadakan baik, minuman ringan maupun makanan. Warga dan orang-orang kampung merasa senang. Tapi, Karto tak mempedulikan perubahan yang terjadi pada kampungnya. Yang dia inginkan hanyalah menyelesaikan hasil karya kursinya tersebut. Entah kapan.

* * *

Enam bulan berjalan, Karto yang lugu, yang usianya sudah uzur, yang pekerjaannya sebagai tukang kayu itu masih saja belum selesai mengerjakan hasil karya kursinya tersebut. Sedangkan perubahan telah terjadi di kampungnya Karto. Warga yang dulu kebanyakan hidupnya hanya

mengandalkan hasil penen dan sebagai buruh pabrik. Kehidupan mereka pun rata-rata miskin. Kini, berubah status sosialnya, mereka sekarang bisa beli uduk, rumah mereka dikeramik, punya tipi, punya kulkas, pemudanya banyak yang punya handphone dan masih banyak lagi perubahan status sosial yang terjadi di kampungya Karto. Hiya, gara-gara mereka memanfaatkan orang-orang,pejabat, pengusaha dan orang-orang luar daerah yang ingin menyaksikkan kursi yang dibuat Karto, dengan cara menarik uang kepada para pengunjung yang ingin menyasikkan Karto sedang membuat kursi. Rumah Karto sekarang memang seperti tempat rekreasi bagi keluarga, setiap hari ramai. Rumah Karto sekarang dipagari bambu, sekedar untuk menertibkan para pengunjung agar tidak semrawut.Aparat keamanan tak mau ketinggalan, mereka juga ikut menertibkan. Karto tetap tak mempedulikan yang terjadi disekitarnya, tetap saja dia kosentrasi menyelesaikan pekerjaannya.

* * *

Langit sudah kelihatan berjelaga, bintang-bintang sudah mulai nampak. Sang Baskara sudah menuju peraduannya, untuk menuju buana yang lain. Malam akan datang, suara binatang malam seperti orekestra yang sedang beryanyi. Kelelawar pun sudah keluar untuk mencari mangsa. Rumah yang sudah tua seperti pemiliknya yang sudah uzur, kelihatan sepi. Tak ada kegiatan apa-apa. Semunaya tampak sepi. Lampu di dalam rumah itu, masih tetap saja kelihatan temaram. Tak ada suara dari pemilkinya. Di ruang tamu pun kelihatan kosong, hanya tivi 14 inch dan satu set meja kursi tamu. Di ruang tidur yang temboknya sudah keropos, tampak seorang lelaki tua, yang usianya sudah uzur, yang tangannya sudah keriput., mati di atas kursinya dengan wejah yang kelihatan puas.

Klaten , maret ‘07

PILIHAN LURAH

CERPEN KARYA : DENDY RUDIYANTA

Menjelang pilihan lurah di kampungku,sudah terasa atmosfer persaingan antar calon.Banyak warga mulai kasak-kusuk.Banyak pula kader dari para calon bergerilya.Isu untuk menjatuhkan lawan sering terjadi.Psywar antar kader menjadi acara rutin.Rapat-rapat sosialisasi untuk para calon setiap malam sering diadakan.Baik,sekadar mengenalkan calon,atau sekadar pamer kekuatan.’Rakyat sekarang gampang dibeli,’kata seorang kader salah satu calon.’Uang adalah segalanya.Nggak penting itu yang namanya pengabdian,nggak penting itu otak cerdas dan pandai berpidato.Yang penting punya uang banyak,dan suara warga akan kita beli per gundulnya.Berapa mereka minta,kita turuti,’imbuh dia.

Ada tiga calon lurah dikampungku.Semua kaya.Termasuk Pak Ripto mantan lurah.Dia punya banyak

Massa meski,secara kinerja dia sering me-markup anggaran kelurahan.Yang kedua,Pak Ramli,juragan minyak tanah yang kekayaannya konon tidak bias dihitung.Punya tiga mobil mewah,punya tiga rumah

dan punya tiga usaha minyak tanah di luar daerah.Tapi saying,tiga tahun lalu,Pak Ramli ketangkap basah oleh isterinya sedang bersama seorang penyanyi di sebuah hotel.Tapi persoalan selesai dengan membelikan isterinya sebuah rumah mewah dinsalah satu kota. Calon yang satunya,Pak Suyud mantan pejabat kabupaten.Orangnya kalem,sopan dan disiplin.Tapi sayangnya umurnya sudah hampir enampuluh tahun.Katanya,dulu dia pernah berurusan dengan aparat hokum,tentang masalah proyek pengadaan barang di kantornya.Pak Suyud dianggap memalsukan data pengeluaran dan pemasukan untuk mencari keuntungan pribadi.Sebagai seorang mantan pejabat kabupaten,dia orang yang sangat tahu seluk-beluk kerja pemerintahan.Kekayaan sebetulnya pas-pasan,karena uang hasil korupsi habis untuk nyogok aparat.Makanya dia bias lolos dari jeratan hukum.Keberanian dari Pak Suyud maju menjadi calon karena dorongan adiknya yang sekarang menjabat seorang Dirjen di Ibukota.Semua biaya ditanggung adiknya Pak Suyud.Suasana tampak lengang di sebuah jalan kampungku.Jam belum terlalu sore.Rasa heranku bertambah,ketika kulihat semua rumah tertutup rapat.’’Ada apa dengan kampung ini ?’’Matahari bergeser pelan menuju arah senja.Kutinggalkan keherananku di jalanan kampungku,’’Ah,entahlah.’’Aku tidak memedulikan suasana aneh di kampungku.Sudah satu pecan ini aku tinggalkan kampungku,karena ada tugas kuliah akhir yang harus kuselesaikan.Sebelumnya aku mengira,kampungku pasti ramai.Orang-orang gembar-gembor berkampanye,untuk menarik simpati warga.Tapi,ternyata yang aku kira meleset.Kalau kuingat,satu pecan lalu,banyak orang saling berkelompok di pojok-pojok jalan,di warung-warung makan,untuk membicarakan tentang pilihan lurah.Gambar-gambar calon pun banyak yang sudah dipasang.Sekarang ,gambar-gambar raib.Sebelum keherananku memuncak, aku sudah sampai di rumahku.Setelah meletakkan tas diatas meja tamu,aku langsung menuju dapur.Tanpa basa-basi kusantap habis makanan.’’Sudah selesai tugas kuliahmu Den?’’Bapak yang tiba-tiba muncul mengagetkan.’’Mmmm…,belum Pak.’’ ‘’Kapan akan kamu selesaikan?Lima tahun kuliah, nggak rampung-rampung !’’Tak perlu kujawab, karena kalau aku jawab,Bapak pasti akan bercerita ngalor-ngidul tentang sejarah perjuangannya, yang tiada kenal lelah.Aku sudah bosan dengan wejangan-wejangan Bapakku.Ketika di kamar sendiri, terbayang suasana kampong sore tadi.Akupun tak sempat bertanya perihal suasana kampungku kepada orangtuaku.Aku beranjak dari tempat tidurku, radio di kamar kumatikan.Kubuka jendela kamar. Angin dingin menerpa tubuhku.Dari arah jendela kulihat kampong masih kelihatan sepi.Bulan di atas sana menyinari malam yang penuh bintang dengan cahayanya, membuat aku merasa menikmati keagungan Tuhan.Jam di ruang tamu berdentang dua belas kali.Tak kutemukan jawaban tentang keanehan kampungku sore tadi,akupun tertidur sampai pagi menjemputku.Burung perkutut klangenan Bapakku sudah menyambut pagi dengan suara khasnya.Pagi ini sangat berbeda dengan suasana sore kemarin.Orang-orang melakukan kegiatan, berjualan, ada yang sudah siap pergi kerja, anak-anak pergi ke sekolah.Jalan kampungku tampak hidup.Koran pagi kubaca lembar demi lembar.Pada halaman daerah, aku terperangah kaget,’’Tiga calon Lurah Kampung Segar Mlati, diseret ke penjara karena kasus korupsi dan perselingkuhan.’’ ‘’Masya Allah !’’ hanya itu ucapku.Belum sempat aku memberi jawaban atas berita Koran tadi,Bapakku tiba-tiba menepuk pundakku.’’Aku yang melaporkan tiga calon lurah itu kepada polisi, karena aku tidak mau kampong ini dijabat maling-maling seperti mereka,aku sudah tau ulah tengik mereka.’’Bapak tak melanjutkan pembicaraannya.Aku hanya terbengong tak percaya.Pendapa kabupaten sudah ramai.Terlihat Bapak Bupati serta beberapa stafnya hadir, upacara pelantikan akan segera dimulai. Aku pun sudah siap dengan seragam baruku untuk dilantik menjadi Lurah Kampung Segar Mlati.

Klaten, Juni ‘07

Dimuat di Harian “ SOLOPOS “

Minggu, 17 Juni 2007

TIKUS

CERPEN KARYA : DENDY RUDIYANTA

Sudah hampir tiga pecan ini aku disibukkan dengan urusan tikus.Yah, hanya seekor tikus.Makhluk kecil sangat menjijikkan dan rakus. Tak peduli itu makanan atau barang lain. Bahkan, baju satu lemari milik anakku, dimakannya juga. Isteriku mencak-mencak ketika melihat tahu bacem yang digorengnya tadi sore, habis dimakan tikus. Tiap malam aku diganggu oleh ulah tikus. Suaranya menderit kayak engsel pintu yang lupa diberi pelumas. Plafon rumahku pun dibuat bocor oleh ulah tikus. Maka, setiap hujan rumahku kebanjiran. Aku tidak tahu berapa ekor tikus yang mendiami rumahku. Kalau dilihat dari rebut suaranya, pasti lebih dari satu. Mungkin lima, sepuluh, tiga puluh atau mungkin malah seratus ekor tikus. Aku pun kurang tahu dari mana muasal tikus-tikus itu. Padahal rutin aku membersihkan rumahku. Isteriku setiap hari selalu membersihkan perabot rumah. Baju-baju keluargaku ditata rapi. Isteriku sebenarnya orang yang telatin membersihkan rumah dan mengurusi suami serta anak. Tapi, mengapa tikus-tikus itu meneror keluargaku. Tiap menit ada ulah tikus-tikus itu. Malah kemarin sore, aku sempat dibuat malu oleh ulah si tikus. Ketika itu ada tamu kerumahku. Lagi enak-enaknya ngobrol, eh… tahu-tahu ada mahluk kecil yang ikut nyruput minuman tamuku. Aku kaget,apalagi tamuku. Tamuku seketika shock akibat tingkah si tikus. Aku malu dengan kejadian itu. Tamuku pun pamit pulang. Aku tidak tahu, apakah tamuku itu mau berkunjung lagi ke rumahku, lagi, apa tidak. Aku rasa tamuku butuh waktu lama untuk melupakan kejadian kemarin sore itu. ‘’Ini sudah yang kali keberapa kamu telat datang ke kantor, he !’’ pimpinan kantorku menghardik. ‘’ Maaf Pak. Saya ada masalah dengan rumah saya, ‘’ aku memelas. ‘’Pokoknya aku tak peduli dengan masalah rumahmu. Sekali lagi kamu talat, kamu akan saya pecat, mengerti !’’ pimpinan kantorku menegaskan. ‘’Mengerti, Pak. Tapi… Pak…’’ Aku tak sempat memberi alas an, pimpinan kantorku sudah masuk ke ruang kerjanya. Memang aku selama tiga pekan ini sering datang terlambat ke kantor. Yah, gara-gara tikus sialan itu. Bagaimana tidak terlambat kalau tiap hari aku harus memburu tikus-tikus itu. Tiada waktu luang selain memburu tikus. Malam hari pun aku lakukan. Kadang hampir subuh aku baru bias memejamkan mata. Seluruh keluargaku seakan mengalami mimpi buruk ketika malam tiba. Mereka terusik dengan suara-suara menjengkelkan itu. Anak-anakku sering tak masuk sekolah gara-gara bangun kesiangan. Isteriku pun jarang mencuci baju, memasak karena setiap malam harus menemaniku mengusir tikus-tikus peneror itu. Alasannya, isteriku kecapaian dan tidak bisa bangun pagi. Apalagi aku sebagai kepala rumah tangga, aku harus bisa menjaga kelangsungan hidup keluargaku. Aku harus menjaga keluarga dari serangan musuh, teror maupun penjahat-Walau musuh, peneror maupun penjahat itu, makhluk kecil yakni tikus. Sepekan lalu aku sempat membeli perangkap tikus. Tapi sia-sia. Justru umpan roti yang dimakannya, tikusnya masih bebas berkeliaran. Setelah perangkap tidak berhasil, aku beli obat pemusnah tikus di pasar. Aku letakkan obat itu, persis di bawah meja makanku, karena memang setelah aku amati, di bawah meja makan itu adalah jalan yang sering digunakan sang tikus untuk mencuri lauk pauk yang ada di atas meja. Aku sempat berharap usahaku berhasil. Karena, menurut sales penjual obat itu, 100% obat pemusnah tikus tadi akan bekerja sangat baik dan ditanggung memuaskan. Aku tunggu beberapa saat, satu jam, dua jam. Setelah itu, aku malah ketiduran. Aku kaget dan terbangun ketika melihat piring yang di atas meja jatuh ke lantai. Suaranya sangat keras, dan beling-belingnya pun berceceran kemana-mana. Aku tersadar, aku tadi memasang obat pemusnah tikus di bawah meja. Aku mengendap-endap untuk segera tahu reaksi dari obat itu. Sangat hati-hati aku mengintai. Aku tak peduli dengan pecahan piring tadi, yang sempat melukai kakiku. Yang aku tahu hanyalah membuat mati tikus-tikus itu. Alamak….! Obat itu ternyata masih utuh. Malah di sekitar itu yang jadi menjijikkan. Karena tikus-tikus itu buang hajat di sekitar obat pemusnah tikus itu. Baunya tidak ketulungan. ‘’Kurang ajar, dasar tikus!’’Hanya itu yang bisa kuumpatkan. ‘’Ya Tuhan, bagaimana ini ?’’ Aku bergumam sendiri. Sekarang aku tak tahu harus berbuat apa. Segala cara telah aku lakukan. Kejadian-kejadian yang menimpa keluargaku, aku ceritakan ke tetangga, teman kerjaku dan semua orang yang pernah bertamu ke rumahku. Malah ada temanku menyarankan untuk mencari penangkal tikus lewat orang pintar alias dukun. Ketika saran itu aku dengarkan, aku hanya tertawa meremehkan. ‘’Masak, gara-gara tikus, harus ke dukun,’’ cemoohku. Tak disangka semua yang aku jalani tak ada hasilnya. Ke dukun pun tak jua membuahkan hasil. Malah makin mengerikan teror tikus-tikus itu. Seakan mereka tahu , yang punya rumah ini sudah tak memiliki kekuatan lagi. Mereka seakan telah meraih kemenangan. Rumahku sudah mereka kuasai. Yang semula hanya puluhan tikus, kini jadi ratusan bahkan ribuan. Aku tidak tahu darimana mereka datangnya. Setiap hari, setiap malam berpesta di atas meja makanku,di dalam lemari baju, di atas eternit rumahku. Pokoknya seluruh teritorial rumahku telah mereka kuasai. Kini, rumahku tak seperti rumah pada umumnya. Rumahku adalah neraka bagi keluargaku, dan surga bagi tikus-tikus itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Keluargaku hancur, aku dipecat dari pekerjaanku gara-gara sering datang terlambat. Isteri dan anakku harus rela meninggalkan aku sendirian karena tak tahan menerima teror dari tikus-tikus itu. Isteri dan anak harus pergi. Yah, mereka ke rumah mertuaku di desa. ‘’Aku harus balas kekalahan ini !’’ teriakku pada tikus-tikus itu. Tiba-tiba ada sesuatu menimpa tubuhku. Pelan-pelan tubuhku mulai lunglai tak berdaya. Seakan benda itu telah menguasai tubuhku Aku pingsan. Setelah beberapa saat, aku mulai siuman. Semula aku belum sadar dengan yang telah terjadi pada diriku. Tapi, setelah beberapa saat baru aku menyadari bahwa aku tadi telah jatuh pingsan. ‘’Ya Tuhan, apa yang telah terjadi dengan tubuhku.’’ Aku terkejut bahkan sangat kaget, Ketika melihat wujud dari tubuhku saat ini. Aku telah berubah jadi seekor tikus besar. Malam itu di rumah yang kecil, lampu 10 watt masih menyala di ruang makan. Sekarang aku merasa kenyang setelah memakan tikus-tikus itu di meja makanku.

MBAH PETRUK

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Langit pagi itu, belum menampakkan warna birunya. Beberapa awan hitam masih sebagian bergelanyut di pinggir cakrawala. Memang, tadi malam hujan yang tidak terlalu deras membasahi kampung Renowangi. Kampung yang sebagian penduduknya adalah petani dan pegawai, pagi itu masih kelihatan sepi dari aktifitas. Hanya beberapa penduduk yang pagi itu sudah siap dengan cangkulnya untuk sekedar melihat hasil tanamannya. Kampung Renowangi termasuk kampung yang penduduknya masih menjunjung tinggi sistem gotong royong dan bermusyawarah. Para warganya kelihatan sangat rukun, kesenjangan sosial tampaknya juga tidak ada. Yang kelihatan kaya, bisa berbaur dengan yang miskin, bahkan sering yang kaya membantu yang miskin. Sebaliknya juga begitu Pagi itu, memang belum nampak kegiatan yang berarti dari para penduduk. Mereka mungkin masih berada di rumah, untuk mempersiapkan sesuatu yang berguna untuk hari ini. Yang sekolah mungkin masih mempersiapkan buku-buku pelajarannya, atau mungkin sudah sarapan bersama keluarganya. Kedamaian dan kesejukkan terasa berada di kampung. Ini sangat kontras sekali dengan keadaan jaman sekarang, khususnya yang berada di kota. Tak ada suasana gotong royong, yang ada hanyalah kepentingan pribadi yang saling menyerobot. Tak ada kesejukan maupun kedamaian, yang ada hanya rasa iri,dengki berbuat jahat terhadap orang lain.Yang di kantor-kantor instansi, mereka berebut untuk me-mark up anggaran kantor.Beda dan jauh dibandingkan dengan kampung Renowangi. Matahari sudah bergerser ke arah barat, orang-orang sudah keluar dengan wajah penuh rasa optimis.

* * *

Orang setengah baya itu masih menyabit rumput di depan rumahnya. Sesekali dia mengusap keringat di dahinya. Di mulutnya sebatang rokok kretek, yang mungkin tinggal sekali hisapan sudah habis, dan mau tidak mau harus dia buang. Satu sabetan, dua sabetan, sepuluh,lima belas, dua puluh sabetan, pras..pras…pras. Tampak rumput-rumput itu sudah berjatuhan ke tanah.Dengan tangan yang kelihatan berotot tapi tampak pucat, dia memungut rumput-rumput itu satu persatu, lalu dia masukkan kedalam keranjang rumput. Memang kelihatan bersih sekarang halaman rumah orang setengah baya itu. Sekarang pun sudah raib rumput – rumput liar yang merusak pemandangan rumahnya.Dengan cekatan pula, dia membuang rumput-rumput itu ke tempat pembuangan sampah di belakang rumahnya. Tangannya cepat, kakinya cepat.Sebagai seorang pensiunan pegawai kantor pos, Mbah Petruk orang biasa menyebutnya begitu, tentu saja kegiatan sehari-hari itu sudah biasa dia lakukan. Sekedar pengusir stress dan penghibur nglangut pikirannya.Kalau tidak membersihkan halaman, Mbah petruk sering di bawah pohon sawo yang rindang, mengisi TTS dan membaca koran atau membuat guyonan suntuk menghibur warga kampung Renowangi. Sebagai pensiunan pegawai kelas rendah, dia sadar betul bahwa gaji pensiunannya tentu tak cukup untuk berbuat macam-macam, seperti orang kaya. Dengan seorang istri dan tiga orang anak yang sekarang sudah berkeluarga semua dan bekerja ke luar Jawa. Anaknya yang pertama, kerja di Riau, yang kedua di Balikpapan dan yang terakhir di Manado. Sangat bangga Mbah Petruk dengan ke tiga anaknya tersebut, bahwa doa dan usahanya membuahkan hasil bagi anak-anaknya. Banyak orang bilang, Mbah Petruk seperti tokoh Petruk dalam pewayangan Purwa Jawa. Orangnya lucu, ngomongnya ceplas-ceplos, suaranya kadang mewakili orang-orang miskin, pikrannya cerdas dan pintar. Secara phisik Mbah Petruk beda dengan Petruk dalam pewayangan.Mbah Petruk orangnya pendek, hidungnya nggak mancung, nggak punya saudara karena saudara Mbah Petruk sudah meninggal semua. Karena, wabah penyakit yang menyerang desanya dua puluh tahun yang lalu. Sedangkan Petruk dalam pewayangan, orangnya tinggi, hidungnya mancung, punya tiga saudara dan hidup dalam dunia pakeliran bukan dunia realita.Nama aslinya Mbah Petruk adalah, Tomo Prastowo. Semua orang kadang bingung, kenapa bisa dipanggil Mbah Petruk.Atau mungkin kesukaan Mbah Petruk dengan seni tradisi wayang. Karena setiap malam Mbah Petruk selalu mendengarkan siaran wayang dari radio RRI. Itulah Mbah Petruk lelaki setengah baya, yang sangat percaya bahwa hidup pasti ada perubahan, kalau kita punya kontuinitas untuk terus berusaha.

* * *

“ Apakah benar, anda Mbah Petruk ? “ Tampak seorang lelaki tambun berkaca mata hitam, menanyakan seorang lelaki setengah baya, yang memang dialah Mbah Petruk. Malam itu, bintang hilang entah kemana. Sekelebat kelelawar membawa malam menjadi begitu sepi.

“ Betul. Saya Mbah Petruk alias Tomo Prastowo “. Mbah Petruk sangat tegas. Dan seperti biasanya, sebatang rokok kretek masih menempel di bibirnya yang lebam akibat kebanyakan kena nikotin.

“ Kalau boleh bertanya, sampeyan – sampeyan itu siapa ? Kok nggaya banget, kemaki. Blusukan masuk nggak kulonuwun, eh…malah nggak sopan sama orang tua. Apa sampeyan ini polisi, tho ? Saya, nggak punya salah. Kok sampeyan mau menangkap saya”. Mbah Petruk tampaknya marah, perihal kedatangan tamu-tamu yang tak diundang tersebut.

“ Mbah Petruk, silahkan ikut dengan kami…” Tamu lelaki yang agak kurusan, mencoba memutus bicaranya Mbah Petruk.

“ Ikut kemana ? “ Mbah Petruk semakin bingung.

“ Mbah Petruk hari ini ditunggu Bapak Presiden di Istana Negara. Ini perintah.Mbah Petruk harus ikut dengan kami.Ini surat resminya.Silahkan membacanya. Semua keperluan Mbah Petruk, sudah kami siapkan.” Yang agak kurusan meneruskan pembicaraan.

“ Apa ? Presiden ? Istana Negara ? Tidak mungkin !” Mbah Petruk terperangah. Malam menghening semakin hening.

* * *

Dua minggu berlalu. Kampung Renowangi sepi semenjak menghilangnya Mbah Petruk Kampung Renowangi gelisah, orang-orang kalang-kabut, ketika mendengar Mbah Petruk menghilang. Hanya ada secarik kertas, yang sekarang dipegang terus oleh istrinya Mbah Petruk. Entah apa isinya.Semua orang tidak diperbolehkan untuk membaca surat tersebut. Istrinyapun tidak mau memberitahu tentang keberadaan Mbah Petruk. Istrinya ketika ditanya, salah seorang tokoh desa, hanya klecam-klecem, seakan-akan meyembunyikan sesuatu.Semua orang Tak tahu apa maksudnya.Ketika, istrinya Mbah Petruk tak memberi jawaban yang pasti, semua warga semakin penasaran untuk mencari keberadaan Mbah Petruk. Ya, hampir dua minggu MBah Petruk memang menghilang.Renowangi sepi, tidak ada lagi orang yang sering membuat orang sakit perut, karena guyonannya. Karena Mbah Petruk adalah sosok penghibur bagi Kampung Renowangi.Dan sekarang orang-orang menjadi bingung. Setiap tempat sudah dicari. Dari warung – warung makan pinggir jalanan, terminal bis di Kabupaten, Rumah Sakit negeri maupun swasta, semuanya sudah disisir oleh beberapa pemuda, tapi tetap tidak ada sosok Mbah Petruk. Bahkan, aparat kepolisian setempat juga dikerahkan untuk mencari keberadaan Mbah Petruk. Hasilnya, tetap nihil. Banyak spekulasi pendapat dari warga saling bermunculan. Ada yang menganggap Mbah Petruk sedang ke luar Jawa bertemu dengan salah satu anaknya. Ada juga yang menganggap, Mbah Petruk sedang bersemedi mencari wangsit. Pokoknya macam-macam pendapat para penduduk Renowangi. Sejak kehilangan Mbah Petruk, orang-orang menjadi seperti kehilangan gairah hidup. Muka mereka semuanya kelihatan masam dan cemberut. Karena orang yang dianggap penghibur bagi kampung mereka, sudah tidak ada. Sepertinya Mbah Petruk segalanya bagi mereka.

* * *

Istana Negara geger. Banyak mobil ambulance berhiliran keluar masuk Istana Negara. Tim medis pun sibuk. Mereka datang dari beberapa Negara.Tersiar khabar, puluhan menteri dan puluhan tamu negara, harus di-opname karena sakit perut. Rencana untuk mengadakan rapat antar negara, membahas penggusuran tanah dari para warga yang kena bencana, gagal total. Gara-gara para pejabat negara dan tamu negara serta para undangan pejabat-pejabat yang terkait, semuanya harus dilarikan ke Rumah Sakit. Tapi, Bapak Presiden tidak ada. Entah kemana.

* * *

Kampung Renowangi siang hari. Istrinya Mbah Petruk senyam-senyum, sambil memegang sebuah kertas kecil, warna putih untuk menunggu kedatangan suaminya.

Klaten, Juni ‘07

PERTUNJUKKAN TERAKHIR

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Kasini malam itu terasa puas, setelah menghibur para penonton di lapangan pinggir Kantor Kecamatan. Wajahnya kelihatan sangat bahagia sekali. Sebagai seorang penyanyi Kasini memang harus bisa tampil prima. Semua itu demi profesi yang harus dijalaninya.15 lagu dia babat habis. Baik itu lagu Ndang dut, Pop, Keroncong maupun Rock sekalipun, dia mampu dan sangat profesional.Yang menambah Kasini bersemangat untuk menyanyi, adalah uang sawer yang diberikan oleh para penonton, hampir Rp. 150.000, itupun sudah pendapatan bersih setetah dia bagi dengan para pengiringnya ditambah bayaran nyanyi dari Pak Camat sendiri Rp. 300.000,-.“ Lumayan buat beli baju dan sepatu “ , bisik Kasini malam itu. Malam itu memang malamnya Kasini. Bulan pun yang sedari tadi muram tertutup mendung, malam itu menampakkan sinar peraknya yang kemilau apalagi, ditambah jutaan bintang yang bergelanyut manja di gigir awan hitam.Dan malam itu bulan dan bintang memang sedang menyemangati hati Kasini. Karena, sudah hampir 1 bulan ini Kasini sepi dari Job untuk menyanyi. Maklum banyak para warga yang belum mau nge-job dirinya. Katanya sih, konsentrasi dananya untuk biaya masuk sekolah anaknya. Kasini pun maklum dengan semuanya itu. Tapi, kemarin 3 hari yang lalu, Mas Jardo datang ke rumahnya,

“ Kas, besok malam minggu nge-job, acara khitanan anaknya Pak Camat. Tempatnya di Lapangan pinggir Kantor Kecamatan. Kamu bisa, tho ?” Kasini hanya mantuk-mantuk saja, tanda setuju. Hampir 2 hari 2 malam Kasini harus pulang pagi terus. Karena harus latihan nyanyi. Dia tidak mau mengecewakan Pak Camat yang sudah menyuruh dia untuk nyanyi.Pak Camat memang sangat menyukai musik Keroncong. Apalagi yang nyanyi Kasini. Mungkin 1 tahun yang lalu, Pak Camat pernah melihat Kasini menyanyi Keroncong, ketika dia menghibur para warga yang kena bencana gempa. Meski tidak dapat bayaran waktu itu, tapi Kasini sangat puas. Karena yang melihat dia nyanyi para pejabat. Pak Camat memang suka musik Keroncong, bahkan para Staff bawahannya harus diwajibkan untuk bisa menyanyi lagu Keroncong. Dan malam itu, banyak orang sangat terhibur dengan penampilan Kasini. Baik yang tua maupun muda. Karena Kasini memang manut permintaan penonton. Dengan gaun warna merah, wajah di make up sewajarnya tidak seronok. Kasini memang penyanyi hebat. Pak Camat pun sangat puas dengan penampilannya.

“ Besok kalau anakku yang perempuan mantenan, kamu tak tanggap lagi, Kas “, Pak Camat tersenyum puas, setelah menyalami Kasini. Kasini hanya mesam-mesem senang. Setelah menghitung uang dari jerih payahnya menyanyi, Kasini pun pulang dengan diantar Mas Jardo ketua rombongannya. Mas Jardo dianggap Kasini orang yang mengenalkan dunia seni tarik suara kepada dirinya. Mas Jardo yang sejak kecil ngajari Kasini menyanyi dan akhirnya sampai sekarang, Kasini bisa dianggap sebagai penyanyi yang mempunyai suara yang cukup lumayan . Mas Jardo pun sejak remaja memang getol dengan musik, maklum dia jebolan ISI jurusan musik. Tapi sayang, cita-citanya untuk menjadi musisi hebat harus kandas ditengah jalan karena faktor ekonomi keluarganya, semenjak ayahnya meninggal kecelakaan 15 tahun yang lalu. Setelah itu, Jardo pun hanya berprofesi sebagai seniman musik kampung yang hanya nunggu tanggapan dari para warga. Jardo menganggap Kasini sebagai adiknya, dia sangat sayang dengan Kasini. Karena apapun Jardo masih menganggap orang tua Kasini sebagai penolong dirinya.Orang tua Kasinil ah yang membiayai kuliahnya Jardo sampai kelar, setelah orang tuanya meninggal. Orang tua Kasini dianggap sebagai orang tua Jardo juga.Meski orang tua Jardo dan orang tua Kasini tak ada hubungan darah sama sekali tapi, orang tua Kasini memang merasa kasihan dengan masa depan Jardo yang harus berhenti di tengah jalan. Setelah menurunkan Kasini di depan rumahnya, Jardo langsung tancap gas untuk pulang. Malam merayap pelan, dingin meresap ke dalam tulang. Kampung malam itu terasa sepi. Hanya beberapa kendaraan yang melaju kencang menembus pekat malam.

* * *

Di depan cermin Kasini tampak terdiam. Dipandang wajahnya, dilihat seluruh raut mukanya. Tampak gurat-gurat kekecewaan yang dalam dari dalam wajah Kasini. Ada sesuatu yang masih terasa menyakitkan. Entah perasaan apa yang ada dalam benak Kasini. Tetap dipandang wajahnya.

“ Apa yang kurang pada diriku ? Aku mempunyai wajah cantik, suaraku bagus. Apa yang kurang dari diriku ? Cinta ? “ Suara mendesah dan penuh kekecewaan keluar dari mulut Kasini.Keluar dari kamarnya, Kasini tetap tak bergeming. Bapaknya sudah berangkat kerja, sebagai guru di sebuah SMP swasta di Kabupaten. Ibunya sudah meninggal sewaktu Kasini berumur 3, 5 tahun. Kasini mempunyai seorang adik laki-laki yang kini sudah berkeluarga di Kota Kediri. Rumah Kasini tidak luas benar. Tapi cukup nyaman untuk ditinggali. Meski hanya mereka berdua. Tampak kedamaian berada di dalam rumah itu. Kasini memang mempunyai wajah yang cukup lumayan. Makanya, banyak orang yang tertarik untuk nge-job Kasini untuk nyanyi. Rambutnya yang panjang hitam tergerai, kulitnya kuning langsat sempurnalah dia dianggap sebagai seorang perempuan. Umurnya sebenarnya sudah layak sebagai seorang perempuan yang sudah matang untuk berkeluarga. Sekitar 27 tahun. Tapi sampai saat ini,Kasini belum mempunyai seorang pasangan. Entah mengapa ? Pernah, dia dilamar oleh seorang saudagar kaya dari Semarang tapi Kasini menolaknya. Karena, hanya dijadikan sebagai istri simpanan.

“ Aku punya harga diri, Mas ! “ Jawab ketus Kasini pada waktu itu. Pagi itu masih tersisa dingin yang dibawa angin. Jam di rumah Kasini menunjuk pukul 10.30. Terdengar suara motor datang menuju rumah Kasini.

“ Mas Jardo ?” Memekik pelan suara Kasini. Setelah turun dari motornya, Jardo langsung disambut Kasini di teras rumah.

Ada apa, Mas ? Kok tumben ? “.

“ Hiya, Kas. Kamu harus latihan sekarang, besok malam minggu kamu tak kasih job nyanyi “. Sahut Jardo.

“ Sekarang, Mas ? “

“ Hiya. Sekarang. Siap, tho kamu ?”

“ Siap, Mas. Mau nyanyi di mana, tho Mas malam minggu besok ? “

“ Sudahlah. Yang penting kamu mbonceng saya, kita latihan dulu. Nanti malam minggu pasti kamu akan tahu “. Jelas Jardo tampak kemrungsung.Dengan sedikit berbenah. Sekedar ganti baju, dan memoles wajahnya, Kasini sudah berada di balik punggung Jardo. Di pegang pinggang Jardo kencang-kencang. Wajah Kasini masih kelihatan meninggalkan sebuah pertanyaan besar. Wajah dan pikirannya terbang bersama angin pagi, yang kini sudah dilibas habis motornya Jardo.Mereka berdua hilang ditikungan jalan kampung.

* * *

Malam itu bulan belum kelihatan kecantikkannya. Hanya awan yang sedikit mengganggu wajah bulan. Radio di seberang sana, masih menyiarkan siaran berita yang membosankan, apalagi harus diselingi iklan-iklan yang memabukkan. Suara radio itu sangat berisik dan sangat mengganggu. Malam itu, Mas Surip dengan Mas Tarwo datang ke rumah Kasini.

“ Kas, ini ada undangan “. Mas Surip memulai pembicaraan.

“ Undangan ? Undangan apa, Mas ? “

“ Undangan pernikahan. Mas Jardo akan menikah malam minggu besok. Calon istrinya adalah seorang penyanyi Ibukota.Dan malam minggu itu, kita akan mengadakan pentas. Kita harus memberi sumbangan pentas istemewa kepada mempelai berdua “. Mas Tarwo menjelaskan.

“ Mas Jardo mau menikah ?” Wajah Kasini tampak berubah drastis.

“ Hiya, Kas. Mas Jardo memang seorang seniman yang penuh kejutan. Kita saja yang satu rombongan tidak tahu, kalau Mas Jardo ternyata mempunyai seorang pacar. Cantik lagi. Oh ya, Kas. karena sudah malam, kami pamit pulang dulu, ya.” Mereka pun pergi. Kasini sendirian dengan masih memegang sebuah undangan berwarna biru muda. Malam merampas lamunan Kasini. Ada sebutir air mata menetes di pipi putihnya Kasini. Siaran radio di seberang sana, malam itu semakin membosankan.Malam terasa merayap pelan dan sepi. Dibukanya album photo Kasini bersama rombongan musiknya. Ada memory yang tertatih-tatih berjalan di pikiran Kasini. Butiran air mata itu semakin deras membasahi pipinya Kasini. Tak ada suara hanya lenguh melas yang keluar dari mulut Kasini.

* * *

Malam minggu,memang malamnya Jardo dan istrinya. Pesta malam itu memang sangat meriah. Banyak orang yang sangat terhibur dengan penampilan rombongannya Kasini dan kawan-kawan. Para pejabat dari Kabupaten banyak yang datang. Pak Camat datang, Pak Danramil datang tak ketinggalan Pak Kapolsek juga datang. Pokoknya malam itu, pesta pernikahan Mas Jardo sangat istimewa. Kasini malam itu memang tampil sangat luar biasa. Seperti ada energi yang lain dari dalam suara dan stamina Kasini. Kasini malam itu sangat berbeda dengan penampilan-penampilan yang terdahulu. Dengan gaun warna hitam pekat dan dengan suara yang sangat dahsyat, Kasini mampu meng-hipnotis ratusan undangan yang datang malam itu. Semuanya puas dan terhibur. Dini hari acara pesta usai. Kasini menghampiri Mas Jardo.

“ Mas saya pamit pulang dulung. Selamat, ya”.

Lho, Kas ? “ Belum sempat Jardo melanjutkan pembicaraannya, Kasini sudah hilang ditelan malam.Kasini malam itu, pulang sendiri. Tak ada Mas Jardo yang biasa mengantarnya untuk pulang.

* * *

Pagi belum bangun benar. Embun masih menetes menyisakan sejuk di daun-daun. Lampu-lampu taman masih belum dimatikan. Di rumah Kasini sudah berkerumun banyak orang. Kasini mati bunuh diri, dengan cara menggantung diri dengan seutas tali. Di bawah mayatnya ditemukan undangan pernikahan Mas Jardo.

Klaten, September ‘07

Dimuat di Harian ‘ SOLOPOS “ Hari, Minggu 9 Desember 2007

HILANGNYA RAMADHAN

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Sudah hampir 2 minggu ini, orang-orang di Kampung Sendangan dibuat bingung. Karena ada kejadian yang janggal perihal hilangnya seorang bayi yang baru berumur 2 tahun. Bayi itu bernama, Ramadhan. Bayi mungil yang lucu. Pak Kasman adalah ayah dari bayi Ramadhan ini. Pak Kasman sampai saat ini sudah berbuat maksimal. Dari mencari ke kampung tetangga, menghubungi pihak polisi sampai mendatangkan Paranormal segala untuk mencari bayi tersebut. Pak Lurah Tarso, Pak Bayan Turah, Pak RW Siswo dan Pak RT Guguh, malam itu sudah berkumpul di rumahnya Pak Kasman, untuk membicarkan masalah hilangnya Si Ramadhan anaknya Pak Kasman.

“ Ramadhan harus segera kita temukan ! “ Instruksi Pak Lurah Tarso malam itu.

“ Tapi, Pak Lurah…”. Pak RW mencoba menyela.

“ Sudahlah, kita coba menggerakkan para aparat desa, Pak Polisi dan seluruh penduduk Kampung Sendangan untuk mencari Ramadhan .” Pak Lurah melanjutkan Instruksinya kepada orang yang hadir malam itu. Pak Kasman hanya terdiam. Wajahnya menampakkan kegelisahan pikiran yang sangat mendalam.

“ Jangan-jangan Ramadhan di culik, Pak Lurah ? “ Tanya Pak Bayan membuyarkan keheningan.Semuanya tetap terdiam. Tak ada yang menjawab. Tidak juga Pak Lurah maupun Pak Kasman sendiri. Ada satu kesimpulan yang pasti, bahwa Ramadhan tidak mungkin diculik. Karena apapun motif penculikan pastilah tentang uang penebusan. Dan biasanya yang diculik adalah,anak-anak orang yang kaya mblegedhu, atau pejabat yang punya nama besar. Sedangkan, Ramadhan adalah hanya seorang anak petani yang dibilang kehidupan dari Pak Kasman masih di bawah standar orang yang mampu.Untuk makan sehari saja, Pak Kasman bersama istrinya kadang masih kesulitan.

“ Malam ini saya perintahkan kepada para Penduduk Kampung Sendangan untuk mencari Ramadhan .” Pak Lurah dengan tegas memberi komando kepada yang hadir malam itu. Jam di dinding rumah Pak Kasman sudah menunjukkan pukul 22.30. Malam sudah semakin larut. Mata dari Pak Kasman jauh menerawang kepada Ramadhan anak satu-satunya, yang dulu sangat dia harapkan kehadirannya. Memang, untuk menunggu kedatangan sang jabang bayi Ramadhan, Pak Kasman dan Istrinya harus menunggu hampir 20 tahun. Tapi, setelah 2 tahun merawat bayi tersebut, kenyataan pahit harus diterima Pak Kasman dan Istrinya. Anaknya raib entah kemana. Malam itu pertemuan di rumahnya Pak Kasman sudah selesai. Pak Lurah, Pak Bayan, Pak RW dan Pak RT sudah pulang. Kini, di rumahnya Pak Kasman terasa lenggang, sepi dan hanya di temani lampu bohlam 10 watt yang menyala di ruang tamu Pak Kasman. Pak Kasman semenjak kehilangan anaknya, memang jarang tidur malam. Pikirannya tidak bisa tenang sebelum anaknya ketemu. Hidupnya kini hanya melamun dan menunggu khabar dari orang-orang yang berusaha mencari anaknya. Tapi, samapai detik ini tetap saja nihil tiada khabar.

* * *

Kampung Sendangan 2 tahun lalu, adalah sebuah kampung yang asri,agamis, nyaman, damai dan penuh rasa kekeluargaan dari para penduduknya.Tapi sekarang, sudah hampir 2 minggu ini Kampung Sendangan berubah drastis. Para penduduk sudah kehilangan pegangan sopan santun dan norma. Kemaksiatan merajalela di kampung tersebut.Para penduduk yang biasanya rajin untuk pergi ke sawah, sekarang ini cenderung mereka malas-malasan untuk bekerja. Malahan kehidupan mereka dihabiskan di tempat perjudian. Para penduduk setiap malam menghambur-hamburkan uangnya hanya untuk berjudi di perempatan jalan kampung. Para pemudanya pun sama saja. Mereka yang biasanya nurut sama perintah orang tua dan rajin untuk belajar, sekerang kebanyakan dari mereka berani melawan apa yang di perintah oleh orang tua mereka dan lebih mementingkan untuk berfoya-foya daripada belajar. Mereka sekarang sering mengadakan pesta miras. Malahan, kemarin lusa ada 6 pemuda dari Kampung Sendangan tersebut harus masuk penjara, karena ketahuan tertangkap basah mengadakan pesta narkoba. Ini memang sebuah kenyataan yang pahit dari kehidupan Kampung Sendangan. Apa yang selalu diidam-idamkan dari sebuah Kampung yang nyaman dan damai kini, hilang sudah. Masjid yang dulu penuh dengan para jamaatnya, kini harus teronggok tak terurus. Ironisnya Takmirnya kini jadi buron aparat Polisi karena melarikan uang Infak dan sumbangan pembangunan Masjid dari para Donatur. Kampung Sendangan kini sudah gersang. Tak ada kebanggan yang harus diceritakan. Sangat beda dengan kehidupan 2 tahun yang lalu.Kampung Sendangan kini sudah sangat kotor dan jorok tak terurus, seperti para penduduk dan aparat desanya.Orang lain kampung sekarang jarang berkunjung ke Kampung Sendangan. Alasannya, takut ketularan jadi kotor.Setiap malam di Kampung Sendangan , pasti terjadi keributan. Kalau tidak, perkelahian, pastilah aparat Polisi yang ngobrak-ngabrik sarang perjudian dari para penduduk tersebut. Dan Malam itu, tampaknya rembulan tidak jenak untuk bersinar. Hujan gerimis kecil-kecil turun di kampung tersebut.

* * *

“ Ini passti karena Ramdhan belum ditemukan “. Bisik seorang penduduk siang itu.

“ Ramadhan harapan kita untuk mengembalikan kampung kita ini menjadi seperti semula “. Imbuh salah satu penduduk.Inilah rumor yang terjadi sat ini. Semenjak hilangnya anaknya Pak Kasman yang bernama Ramadhan, kampung itu memang telah berubah 180 derajat. Memang, ada yang percaya dengan rumor tersebut ada juga yang tidak. Opini pun beragam munculnya.Dari yang bersifat rasional, sampai ke hal-hal yang berbau klenik. Pak Lurah Tarso, yang dianggap sebagai tokoh yang di tua-kan di kampung tersebut, semakin letih untuk berpikir. Wajahnya yang sudah keriput kini, semakin menampakkan usia yang semakin uzur. Dia tidak mampu lagi untuk berpikir atau memberi ide untuk menemukan Ramadhan. Aparat bawahannya pun sama saja.Para penduduk semakin rusak pikirannya. Kalau di telusuri kronologi dari hilangnya Ramadhan memang sangat aneh dan nyleneh. Ramadhan hilang secara misterius, tak ada yang mengetahuinya. Pak Kasman ketika ditanya seorang aparat Polisi, hanya menjawab “ Tidak tahu “.

* * *

2 minggu telah berlalu. Kampung Sendangan telah sepi. Sebagian penduduk terpaksa harus pindah ke tempat lain, mencari rumah yang lain asal tidak di Kampung Sendangan. Mereka sudah bosan hidup dengan hal-hal yang tidak wajar dan penuh dengan kebobrokan.Sawah-sawah kini sudah ditingalkan oleh para petani. Tanah di sawah kini sudah tidak subur lagi, karena tidak ada yang merawatnya.Pemudanya pun banyak yang harus berurusan dengan polisi. Kampung Sendangan kini sudah mati. Pak Lurah Tarso sudah semakin sepuh, sudah sering sakit-sakitan. Dia hanya tergolek lemas tak ada berdaya di tempat tidurnya, dan tugasnya kini di pegang oleh wakilnya. Tapi, itupun tak menampakkan perubahan yang berarti.

* * *

Di rumah Pak Kasman dan istrinya tampak keduanya masih seperti dulu. Menunggu khabar tentang keberadaan anaknya.Di lubuk yang paling dalam dari Pak Kasman terpancar harapan, bahwa suatu saat anaknya Ramadhan pasti akan kembali kepadanya.Seperti kembalinya kehidupan Kampung Sendangan yang lalu.

Klaten, September ‘07

KOTAK INFAK

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Terdengar suara adzan Dhuhur yang datang dari arah masjid kecil di kampung Tegalwangi. Masjidnya kecil seperti kampung tersebut, terdengar suara adzanpun sangat lirih dan berisik. Berbeda dengan masjid-masjid di kota besar yang terdengar sampai seantero,kerena mungkin didukung sound system yang memadai dan dana yang ada. Sedangkan di masjid Tegalwangi tersebut sangat miskin dengan segala fasilitas. Baik itu untuk tujuan sholat berjamaah yang harus berdesak-desakkan ketika akan melaksanakan sholat. Belum lagi, tempat wudhu yang hanya satu tempat dan tak terawat. Semua tidak tahu, kenapa masjid tersebut bisa terlantar demikian dan tidak terurus. Padahal kalau dilihat dari masyarakat di kampung Tegalwangi sangat taat beribadah dan sangat religius sekali kehidupan mereka. Tapi, kenapa masjid yang dianggap sebagai Rumah Allah, bisa sedemikian parahnya tidak ada yang mengurusnya. Masjid itu memang ada pengurus Takmirnya, tapi kelihatanya kurang aktif dan tidak peka lingkungan.Dan pada hari ini, tepatnya nanti malam, tersiar khabar akan ada pertemuan pengurus masjid dan beberapa tokoh masyarakat serta akan dihadiri oleh Pak Kadus, untuk membicarakan perihal pembangunan masjid tersebut.

* * *

Malam datang dengan nuansa ramahnya. Bintang dan rembulan yang telah menggantung di awan hitam tampak sudah menghiasi kampung Tegalwangi. Tak seperti biasanya di masjid kampung Tegalwangi sudah banyak berkumpul orang-orang. Baik itu pengurus masjid maupun tokoh masyarakat. Pembukaan pertemuan dibuka oleh Takmir Masjid, kemudian Pak Kadus. Didisusul beberapa tokoh masyarakat untuk urun rembug perihal pembangunan Masjid. Banyak adu argumen yang terjadi pada pertemuan malam tersebut. Layaknya sidang di DPR mereka saling interupsi, beradu mulut. Yah, sekedar hanya untuk menghidupkan suasana pertemuan tersebut. Semua yang hadir di dalam pertemuan tersebut, semuanya angkat bicara. Tak ada yang tertinggal sedikitpun. Karena memang kepentingan dari pertemuan tersebut adalah, mencari solusi bagaimana masjid bisa dianggap sebagai Masjid sebagaimana mestinya. Akhir dari pertemuan tersebut, kemudian disimpulkan oleh Pak Kadus dan ditambahi oleh Ketua Takmir masjid tersebut. Bahwa, masjid harus segera direnovasi atau dipugar dengan cara mencari donatur dari masyarakat setempat dan membuat kotak infak untuk para dermawan yang mengunjungi masjid ini. Karena selama ini di masjid Tegalwangi tersebut, sampai sekarang memang belum ada kotak Infak. Sangat aneh dan lucu, bagaimana mungkin yang namanya masjid sampai tidak ada kotak infaknya.Karena logikanya ada masjid berarti ada kotak infaknya.

“ Kotak infak kita buat tidak hanya satu, tapi banyak.Rencananya kotak infak tersebut akan kita letakkan di setiap pintu masuk masjid dan di dalam masjid. Karena di masjid ini ada empat pintu masuk. Maka, kotak infak rencananya akan kita buat delapan kotak infak termasuk yang untuk di dalam Masjid “. Pak Kadus dengan suara lantangya memerintahkan kepada yang hadir di pertemuan malam tersebut. Yang hadir terdiam semua dan hanya meng-amini-nya saja.

* * *

Kotak infak sudah dibuat oleh tukang kayu pilihan. Kotaknya hanya sederhana. Hanya sebuah kotak kayu jati yang di –plitur warna coklat dan di posisi atasnya ada belahan yang berguna untuk memasukkan uang . Bentuknya tidak seberapa besar tapi cukup rapi. Persis delapan kotak infak . Tukang kayu itu telah membuat kotak infak tersebut, seperti yang diperintahkan oleh Pak Kadus. Setelah kotak infak selesai dibuat, Pak Kadus didampingi pengurus Takmir disaksikkan beberapa tokoh masyarakat dan warga sekitar, kotak infak tersebut lalu dipasang diseluruh empat pintu masjid tersebut. Yang sisanya empat diletakkan di dalam masjid.

“ Semoga setelah kotak infak ini kita letakkan di empat pintu masuk dan di dalam Masjid sesuai dengan rencana kita, dan kita harapkan para dermawan dan para donator akan tergerak hatinya untuk sudi membantu pembangunan Masjid kita ini. Amin “. Pak Kadus memberi sambutan sedikit.Sore itu, langit sudah tampak menjingga menandakan malam akan datang. Orang-orang yang hadir di masjid tersebut, satu-satu meninggalkan lokasi masjid tersebut.

* * *

Seminggu sudah berlalu. Tiba-tiba Ketua Takmir masjid tampak berubah raut mukanya ketika membuka dan menghitung uang dari isi kotak infak yang dibuat seminggu yang lalu. Wajahnya berubah seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat dan dihitungnya.

“ Sepuluh juta tiga ratus enam puluh ribu rupiah ? “ Ketua Takmir tersebut mengulang-ngulang kalimat tersebut.Orang-orang yang mendengar Ketua Takmir tersebut, akhirnya pada berkumpul untuk melihat. Mereka semua tercengang dan seakan tak percaya. Pak Kadus dengan tergopoh – gopoh pun berlari mendekati kerumunan tersebut.Kelihatan sekali Pak Kadus juga tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“ Kotak infak ini membawa berkah, baru kali ini masjid kita mendapat uang sebanyak ini ‘, Pak Kadus menyela pembicaraan ketika semua orang sedang berkosentrasi memandang uang yang ada dalam kotak infak tesebut. Mereka masih belum percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.Pak Kadus tersenyum bangga, begitu juga Ketua Takmirnya.Memang, setelah kotak infak itu dibuat dengan delapan kotak infak dan diletakkan di empat pintu masuk serta di dalam masjid. Masjid itu berubah menjadi ramai dan hidup. Banyak orang yang datang untuk sholat di masjid itu. Ada juga yang hanya istirahat melepas lelah karena habis bekerja,ada juga yang hanya mampir untuk melihat keadaan masjid tersebut. Kebanyakan yang datang bukan hanya dari warga sekitar, tapi dari beberapa pelosok daerah.dan dari beberapa kalangan. Kebanyakan dari kalangan orang-orang kaya, ini dilihat dari kendaraan yang dikendarainya. Semuanya bermobil kelas mewah. Mungkin para pejabat, mungkin para pengusaha sukses,saudagar, mungkin para musafir yang tergerak hatinya untuk melihat dan memberi bantuan uang untuk pembangunan masjid terebut. Hampir ratusan orang berkunjung ke masjid tersebut setiap hari. Dari berkunjung untuk melaksanakan sholat,mereka lantas dengan ikhlas akan memberi bantuan uang yang dimasukkannya ke dalam kotak infak tersebut.Mungkin mereka memberi bantuan secara ikhlas tersebut untuk pembangunan masjid yang memang layak untuk dibangun. Sampai – sampai dari delapan kotak infak yang tersedia di masjid tersebut, semuanya terisi penuh dengan uang. Kotak infak tersebut tidak muat untuk menampung sumbangan dari para dermawan.Kotak infak tersebut semuanya penuh dengan hasil sumbangan dari para dermawan

“ Pak,kapan pembangunan masjid kita ini akan dimulai ? Kami kira dengan dana dari para dermawan tersebut, pembangunan Masjid ini bisa kita mulai “. Usul salah satu warga kepada Pak Kadus.

“ Tenang Bapak-bapak, dananaya belum cukup. Kita tunggu saja sampai dananya memang mencukupi. Bapak-bapak berdoa saja semoga apa yang yang kita harapkan bisa terwujud”. Pak Kadus dengan wibawanya memberi penjelasan kepada warga.

“ Tapi, Pak…” Ada warga yang ingin bertanya tapi Pak Kadus seakan tidak menggubrisnya. Akhirnya semuanya hanya berharap rencana dari pembangunan Masjid bisa berjalan sesuai rencana.

“ Untuk mempercepat pembangunan masjid agar segera dilaksanakkan, dan melihat kenyataan yang terjadi pada hari ini. Maka, kita harus membuat kotak infak lagi. Karena, kotak infak yang ada sekarang ini sudah tidak bisa mencukupi untuk menampung sumbangan dari para dermawan “. Pak Kadus membuat rencana yang sama sekali di luar dugaan para warga. Warga pun masih tetap terdiam dengan apa yang baru saja mereka dengar.

* * *

Masjid kampung Tegalwangi semakin ramai. Tak ada hari sepi dari para tamu yang datang ke masjid kecil itu. .Mobil dan kendaraan roda dua berjubel parkir di sekitar masjid kecil tersebut. Lapangan sebelah masjid pun digunakan untuk menampung kendaraan tamu yang datang. Mereka yang datang rata-rata memang untuk mengerjakan sholat dan kemudian secara ikhlas,mereka akan mengeluarkan sejumlah uang yang dimasukkannya ke dalam kotak infak untuk membantu memberi sumbangan kepada masjid tersebut.Dan di lapangan sebelah masjid itu memang setiap hari bejubel kendaraan. Karena lahan untuk parkir di sekitar masjid sudah tidak bisa mencukupi lagi. Maka, digunakan lapangan sebelah Masjid tersebut untuk manampung kendaraan para tamu masjid tersebut.Kelihatan sekali para tamu atau pengunjung yang datang ke masjid kecil itu, tampak puas ketika bisa memberi sumbangan pembangunan kepada Masjid tersebut. Semuanya ikhlas tanpa pamrih apapun, kecuali pahala dari Allah.Setiap hari bertambah tamu yang datang ke masjid tersebut. Aparat kemanan dari Polsek setempat dan beberapa pemuda ikut dilibatkan untuk mengamankan ketertiban dari para tamu.Khususnya kendaraan yang akan parkir. Rejeki pun bertambah. Suasana kampung Tegalwangi semakin ramai,hidup dan ngrejekeni. Para pengurus Takmir, Bapak Kadus dan beberapa tokoh masyarakat wajahnya sangat bahagia sekali dengan apa yang terjadi. Kotak infak itu ternyata memang membawa berkah bagi masjid tersebut dan seluruh kampung Tegalwangi. Ini diluar dugaan mereka semua. Seperti biasanya Pak Kadus membuat instruksi kepada pengurus Takmir, untuk membuat kotak infak lagi sebanyak mungkin dan tak terbatas.

“ Biar kampung Tegalwangi menjadi kaya raya dan bisa bermanfaat bagi semua warga “..Pak Kadus percaya dengan perhitungannya. Semuanya pun mempercayai dengan perhitungan Pak Kadus.Tapi, dengan kenyataan yang terjadi sekarang ini, pembangunan masjid pun belum juga dimulai.

* * *

Kini, di kampung Tegalwangi berubah total. Kampung yang dulu ramai dan sibuk, kini tampak sepi dan lenggang. Segala aktifitas dari para penduduk tak ada sama sekali.Yang terlihat kini hanyalah jutaan kotak infak yang memenuhi setiap sudut kampung.Kini, semuanya telah di penuhi dengan yang namanya kotak infak. Rumah – rumah penduduk semuanya sudah penuh dengan kotak infak, Di jalanan kampung, tak ada tempat lagi untuk bisa dilewati, karena semuanya sudah penuh dengan yang namanya kotak infak. Tak ada ruang secuilpun yang bisa untuk lewat atau berjalan karena semuanya penuh dengan kotak infak. Dan, sekarang di masjid itu, kini tak ada tempat lagi untuk bisa menjalankan kegiatan sholat, kini tak ada ruang lagi untuk bisa mengumandangkan adzan. Karena, seluruh ruangan masjid itu kini sudah terpenuhi dengan yang namanya kotak infak, Hampir seluruh bangunan masjid tersebut tertutupi oleh kotak infak, genting dan kubah masjid nya pun sudah tak kelihatan. Semuanya tertutupi oleh kotak infak. Sekarang, masjid itu sudah tidak nampak seperti masjid. Yang terlihat hanya ratusan ribu kotak-kotak yang menutupi bangunan tersebut

* * *

.Di rumah Pak Kadus, Ketua Takmir, Pengurus Takmir dan beberapa tokoh. Rumah mereka semuanya sama. Rumah mereka semuanya mirip kotak infak.

Klaten, Sept ‘07

MEJA KANTOR

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Ruangan kantor instansi pemerintah yang jembar dan sejuk, pagi itu masih kelihatan sepi. Tak ada aktifitas apapun di dalam ruangan.. Orang-orang belum banyak yang masuk. Hanya beberapa orang yang kelihatan sliweran di halaman kantor, sekedar membersihkan halaman dari kotoran daun-daun yang jatuh. Mereka adalah tukang kebun, tukang sapu dan tukang pembersih kantor. Pak Naryo pagi itu, juga sudah melaksanakan tugasnya membersihkan ruangan dan menata meja kursi. Arsip-arsip yang kurang tertata rapi, dia rapikan. Ditatanya arsip-arsip dengan hati-hatinya, jangan sampai berceceran kemana-mana. Karena dia tahu arsip-arsip itu pasti sangat penting. Dia tak mau disalahkan karena ada beberapa arsip yang ketlisut.Sebagai petugas pembersih ruangan kantor, di tahu betul tugasnya membersihkan kantor, menyapu lantai, membuang kertas-kertas yang ada di bak sampah. Karena kertas-kertas dan kotoran yang ada di bak sampah berarti memang sudah tidak terpakai. Makanya, dia berani membuang dan membersihkannya. Sudah hampir 25 tahun dia bekerja sebagai pegawai honorer di instansi pemerintah tersebut, yang tugasnya sebagai tukang pembersih kantor. Umurnya sudah hampir 58 tahun, tapi tenaganya masih seperti masih berumur 18 tahun. Seperti tak kenal lelah. Kadang dia biasa disuruh sebagai tukang pengantar surat-surat kantor, kalau memang petugas yang biasa mengantar surat pas tidak ada di tempat.Tenaganya pokoknya siap sedia.Kalau bicara tentang gaji, Pak Naryo digaji oleh negara, hanya Rp. 530.000 per bulan. Dengan gaji itu, Pak Naryo merasa sudah cukup. Anak-anaknya sudah mentas semua. Yang tertua sudah kerja di Banyuwangi. Yang kedua perempuan ikut suaminya di Cirebon dan yang terkecil lagi magang di perusahaan asing di Balikpapan.Mungkin tidak ada orang yang bisa hidup dan membesarkan anak-anaknya sampai dewasa dan sekarang mereka semuanya bisa bekerja dengan gaji kecil seperti itu. Itulah Pak Naryo pegawai honorer yang masih tetap percaya dengan yang namanya kejujuran dan pengabdian. Meskipun di jaman sekarang ini, yang namanya kejujuran dan pengabdian ibarat bintang-bintang kecil yang jauh di ufuk sana yang tertutup mendung, sudah tidak jelas dan hampir hilang. Pagi itu Pak Naryo bekerja seperi biasanya. Jam masih menunjukkan pukul 06. 48. Masih cukup waktu untuk mebersihkan ruangan kantor. Karena kalau sudah di atas jam tujuh, banyak pegawai yang sudah masuk kantor. Dengan hati-hati dia menata arsip-arsip yang yang di atas meja. Ketika dia membersihkan salah satu meja di dalam ruangan kantor instansi pemerintah tersebut, tiba-tiba seperti ada suara yang memelas memanggil namanya “ Nar….Naryo “ sayup-sayup suara itu terdengar di telinga Pak Naryo, lalu menghilang. Pak Naryo kaget,dia terdiam sejenak tapi cepat-cepat dia tepiskan pikirannya. Yang dia pikir hanya segera menyelesaikan pekerjaannya. Akhirnya para pegawai sudah memenuhi ruangan tersebut dengan kegaduhannya masing-masing. Pak Naryo pun merasa lega sudah bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Pagi itu orang-orang kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Pelan-pelan matahari bergeser.

* * *

Di bangku taman kantor, Pak Naryo melepas lelahnya dengan menghisap sebatang rokok kretek. Sebetulnya Pak Naryo bukanlah type perokok berat, dia merokok kalau memang ada yang memberi atau kalau sedang tidak ada kerjaan sama sekali. Asap rokok yang keluar dari mulutnya Pak Naryo, seperti menggambarkan rasa heran dan aneh yang terjadi pagi tadi.

“ Aneh, siapa yang memanggil namaku tadi, ya ?”, hanya itu yang keluar dari mulut Pak Naryo.Hisapan terakhir akhirnya mengakhiri istirahat siang itu Secepatnya dia beranjak untuk melanjutkan tugas pekerjaan yang belum selesai.Kesibukkan di kantor instansi pemerintah siang itu, benar-benar terasa. Banyak orang berlalu-lalang. Yang sibuk pun bukan hanya pegawai kantor, tapi orang-orang yang datang seakan menambah kesibukkan. Sebagai kantor instansi pemerintah yang menangani proyek-proyek pemerintah adalah hal biasa kalau justru banyak tamu-tamu kantor yang datang. Mereka kebanyakan dari orang-orang kontraktor yang akan menangani proyek pemerintah. Mereka biasanya ingin menyelesaikan berkas-berkas yang belum selesai, atau memberi uang pelicin bagi para pejabat agar proyek pekerjaannya bisa berjalan mulus. Sepertinya sudah tradisi yang mendarah daging, seorang kontraktor harus memberi uang pelicin untuk para pejabat. Malahan para pejabat itu seakan tidak ada rasa malu harus meminta uang pelicin tersebut. Karena kalau memang tidak ada uang peliciin,urusan apapun akan berjalan tersendat-sendat. Seperti siang ini.

“ Ini bukan untuk saya, Pak. Tapi, untuk kepentingan bapak sendiri dan kepentingan teman-teman kantor. Bagaimana kalau 20 % ? Kan masih ada sisa ? “ Ungkap seorang pejabat kepada seoarang kontraktor.

“ Baik, Pak. Tapi anggaran besok saya masih dapat tho, Pak ? “

“ Jangan khawatir, tinggal nunggu saja”.

Seperti sudah menjadi kebiasaan di lingkungan kantor tersebut, seorang kontraktor ketika mau meninggalkan kantor harus memberi amplop yang berisi uang.

“ Ini, Pak. Sekedar untuk beli rokok “ Pejabat itupun dengan cekatan mengambil amplop yang baru saja diserahkan oleh seorang kontraktor itu. Seperti seorang pesulap, tangan pejabat itu dengan lincahnya menyambar amplop yang ada di atas mejanya, kemudian dengan cekatan pula dimasukkannya amplop itu ke dalam lacinya. Dan sekarang, kontraktor itu pun bisa meninggalkan kantor dengan perasaan tenang, meski hasil yang didapat belum sepadan apa yang dia kerjakan. Dia pun berharap akan mendapatkan proyek pekerjaan yang lebih besar di kemudian hari. Hiya, memang setiap hari pastilah terjadi transaksi haram yang ada di kantor tersebut. Puluhan juta uang pelicin yang tak terdeteksi pada nilai anggaran proyek akan terus terjadi. Dan puluhan juta rupiah akan menjadi bancakan bagi para pejabat yang ada lingkungan kantor tersebut. Pak Naryo hampir puluhan tahun menyaksikkan hal-hal semacam itu. Tapi, sebagai pegawai rendahan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia memaklumi keadaan yang demikian. Mungkin, memang harus demikian.

* * *

Di rumah. Pak Naryo malam itu tak bisa memejamkan mata. Dia masih memikirkan kejadian aneh tadi pagi. “ Padahal di kantor tadi, tidak ada seorangpun di dalam ruangan itu”.Gelisah tampak di kerut wajah tuanya. “ Suara itu memanggil namaku “. Masih saja Pak Naryo tidak bisa lepas dari kejadian aneh tadi pagi. Semakin malam Pak Naryo sudah lelah dengan pikiran bingungnya, tertidurlah dia.

“ Nar..Naryo. Aku tahu kamu masih mendengarkan aku. Aku adalah temanmu, teman yang sudah hampir puluhan tahun bersama. Dan kita selalu menyasikkan kebusukan di dalam kantor tempat tinggalku dan tempat bekerjamu. Bayangkan, setiap hari aku selalu yang menjadi tumpuan untuk menyimpan uang-uang haram tersebut.Seluruh tubuhku digunakan untuk membungkus kebusukan yang terjadi. Aku menyasikkan itu, Nar ! Tubuhku sudah tidak kuat lagi, karena melihat begitu banyak kebusukan yang terjadi yang dilakukan oleh para pejabat itu. Aku tidak mau ikut berdosa karena menyimpan uang-uang yang tidak syah itu. Laci-laciku penuh dengan amplop yang berisi uang suap yang mereka terima dari para kontraktor. Kamu menyasikkan itu kan, Nar ? Aku memang seperti kamu.Yang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku percaya bahwa kamu orang yang jujur, penuh loyalitas tinggi, pengabdianmu agung. Kamu tetap bertahan kepada kejujuran. Padahal aku tahu, lingkungan kerjamu adalah lingkungan sampah, busuk dan bau.Toh, kamu tetap tak tergoda. Aku ingin berontak, Nar ! Aku ingin sebagai meja yang sewajarnya. Yang hanya dipakai untuk menulis dan menerima tamu sesuai dengan kewajaran. Bukan meja yang dipakai untuk menyembunyikan hasil penipuan anggaran proyek, manipulasi data dan hasil kemunafikan yang dilakukan oleh para pejabat itu.Lalu, korupsi menjadi acara seremonial tanpa malu dan tanpa norma. Dan, hasil korupsi yang mereka lakukan, mereka sembunyikan di dalam laci, di lipatan arsip-arsip dan di berkas-berkas. Nar..Naryo, kamu mau membantu aku, kan ?Aku tahu, kamu masih mendengarkan aku ? “. Jam 02. 09 terperanjat Pak Naryo dari tempat tidurnya. Keringat dingin keluar dari kening dan wajahnya.

* * *

Kantor instansi pemerintah pagi itu geger. Para pegawai bingung dan gelisah. Ada diantara mereka malahan ketakutan lari terbirit-birit. Ratusan pegawai pagi itu wajah mereka kelihatan seperti orang-orang yang bloon dan tolol. Mereka seakan tak percaya dengan apa yang mereka lihat pagi itu. Meja-meja yang biasa mereka gunakan untuk bekerja,kini hilang tak berbekas.Seakan lenyap ditelan bumi. Malahan di dalam ruangan itu telah berserakan ribuan amplop-amplop yang dulu tersimpam rapi di dalam laci meja, kini sudah berceceran mengotori ruangan kantor tersebut.

Klaten, Des ‘07

Dimuat di Harian ‘ SOLOPOS “ Minggu, 3 February 2008

SAKITNYA SIMBAH

Aku bosan dengan pertanyaan orang-orang di kampungku. Mereka selalu menanayakan khabar tentang sakitnya Simbah. Padahal sudah hampir lima kali Simbahku itu keluar masuk rumah sakit. Dan yang terjadi adalah sesuatu yang wajar, kalau memang orang yang sudah tua itu, pastilah memang gampang terjangkit penyakit. Contohnya ya Simbahku itu. Umurnya memang sudah uzur hampir 87 tahun. Wajar kalau sering terkena penyakit. Tubuhnya Simbahku itu sudah aus, karatan karena dipakai selama 87 tahun. Dulu, memang Simbahku adalah seoarang pejuang kemerdekaan. Waktu remaja dihabiskan dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang.Setelah jaman dan orde berganti, Simbahku menjabat sebagai Lurah di Kampungku selama hampir 5 periode. Pantaslah kalau orang mengenal nama Simbahku dengan sebutan “ Mbah Lurah atau Mbah Sastro Lurah “ . Saya tidak tahu kenapa Simbahku bisa selama itu menjabat sebagai Lurah pada waktu itu. Apa mungkin tak ada orang yang mampu untuk menggantikan Simbahku, atau memang Simbahku dalam memimpin desa dirasa bagus jadi, Simbahku mungkin tak perlu diganti oleh yang lain.Aku tidak tahu dan embuh. Dan kini Simbahku sakit.Kata Dokter di rumah sakit, sakitnya sudah kronis dan sulit untuk disembuhkan. Karena memang umur yang sudah uzur. Aku dan seluruh keluarga sudah pasrah apa kehendak Yang Maha Kuasa. Kalau memang Simbahku mau dipundut oleh Tuhan, kita meyerahkan keputusan kepada-Nya.Dan kini sudah hampir 1 bulan Simbahku terbaring lemah tak berdaya di kamar rumah sakit yang berdinding dan bersprei putih bersih itu.Kami seluruh keluarga saling bergantian untuk menjaga Simbahku. Pagi, siang malam kami kosentrasi untuk menjaga dan merawat Simbahku di rumah sakit.Simbahku selama sakit hanya sesekali terjaga dari tidurnya, lalu tertidur lagi. Tak ada kata atau kalimat yang terucap. Kadang hanya pandangan mata yang kelihatan sayu, tapi itu pun tampak kosong dan tak focus. Aku berpikir mungkin ini sudah saatnya Simbahku akan menjalani proses penjemputan maut dari Sang Khalik. Kita semua pasrah. Pukul 23.34 malam kini sudah bergerak. Seluruh keluarga sudah berkumpul semua. Keadaan hening dan sepi. Rumah Sakit pun sudah kelihatan sepi, hanya beberapa Perawat dan Satpam yang sesekali berlalulalang di koridor Rumah Sakit.Seluruh keluarga tampak sangat tabah ketika mengahadapi saat-saat yang mendebarkan. Dan tepat pukul 01.24, Simbahku telah dipanggil oleh Tuhan. Kesedihan memenuhi nuansa di kamar Rumah Sakit itu. Aku hanya terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Aku tetap menyikapi dengan sebuah pemahaman bahwa, proses kehidupan manusia dari lahir, besar dan akhirnya mati, dan semuanya adalah kehendak dari Tuhan Yang Maha Esa.Aku hanya mendoakan semoga Simbahku dapat diterima amal kebaikannya dan dihapus dosa-dosanya. Setelah mendoakan almarhum Simbahku, aku bergegas untuk pulang, karena aku harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan prosesi acara pemakaman besok.

* * *

Jam 14.00 tepat acara pemakaman Simbahku selesai. Acara pemakaman semua berjalan dengan baik dan penuh suasana khidmad. Dan kini,aku hanya merasa sangat ngantuk dan lelah siang itu, mungkin karena sudah beberapa hari ini aku memang jarang mungkin tidak pernah tidur dan istirahat, karena aku setiap hari harus menunggu Simbahku selama berada di Rumah Sakit.Di sudut ruangan aku pun tertidur pulas.Meski keadaan di rumah duka Simbahku sangat ramai, aku merasa tak bisa kompromi dengan badan dan mataku ini.Tak terasa malam itu aku terbangun, perut rasanya lapar sekali. Di teras rumah ada beberapa tamu yang masih sekedar lek-lekan dan ngobrol, mungkin para tetangga atau tamu orang tuaku. Aku langsung menuju dapur, mungkin masih ada sisa makanan yang bisa mengenyangkan perutku. Aku bersyukur, masih ada banyak makanan yang bisa mebuat perutku terisi kembali. Langsung tanpa dikomando aku langsung mengambil piring dan kuisi perutku. Seperti bandan segar kembali.

HUJAN YANG DATANG

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Siang yang tidak terlalu panas. Tampak lalu lalang mobil dan semrawutnya lalu lintas di kota raya itu . Becak dan uduk dari tahun gaek sampai yang gres berebut ingin menguasai jalanan. Lampu traffic light yang tak berpengaruh apa-apa terhadap lancarnya arus lalu lintas seakan menambah ruwetnya jalanan siang yang hampir sore itu. Mal-mal, hotel berbintang serta para pedagang kaki lima sangat selaras dengan geliat kota raya.Untung saja, panas terik yang biasanya menghujam kota itu tak nampak. Matahari yang biasanya menyalak panas, digantikan dengan mendung yang menggelanyut hitam mewarnai wajah langit. Hujan sebentar lagi pasti datang. Dan pasti akan terjadi hujan lebat. Semua orang berharap hujan akan ramah bila benar-benar turun. Mereka takut kejadian yang menyedihkan beberapa tahun yang lalu, bencana, dan bencana. Kalau tidak gempa, angin, banjir. Memang, kota ini dan kota-kota yang lain akhir-akhir ini gelisah menghadapi alam yang tak bersahabat lagi serta sulit diprediksi. Siang itu, orang-orang seakan bergegas menyelesaikan segala urusannya. Dari yang jual beli, bekerja di kantor dan para pengendara seakan ingin segera berada dalam bangunan agar tidak kehujanan. Akhirnya, hujan benar-benar turun. Awalnya hanya rintik –rintik pelan. Lama-kelamaan air dari atas langit mengguyur deras sekali. Genting-genting toko, mal maupun rumah penduduk yang semula kering kerontang, siang yang hampir sore itu berubah warnanya karena hujan membasahi. Orang-orang yang naik mobil pelan-pelan menjalankan mobilnya. Karena pandangan untuk melajukan mobilnya terhalang derasnya hujan, wiper mobil yang bergerak cepat tak juga bisa menepis hantaman air hujan yang menghantam kaca mobil. Mobil-mobil merayap pelan sekali. Yang mengendarai sepeda motor, ada yang berhenti untuk berteduh, ada yang nekat melawan hujan. Mereka mungkin ingin segera berada di rumah bersama keluarganya. Di emperan toko dan mal sudah seabreg orang untuk saling berteduh dan berharap hujan akan segera reda. Seakan tampak kegelisahan di wajah mereka, takut akan terjadi apa-apa. Karena hujan siang itu, memang mengkhawatirkan. Bukannya berhenti tapi justru malah semakin lebat. Selokan serta pembuangan air yang seharusnya bisa mengurangi melimpahnya air di jalan raya, sepertinya tak muat lagi menahan arus air hujan yang turun. Mereka melimpah mengaliri dan membanjiri jalan raya. Kecipak-kecipak air yang kena terjang roda-roda mobil tampak seperti semburan letusan gunung berapi menjuntai membasahi dinding dan orang-orang yang berada di pinggir jalan.Di depan mal yang tidak terlalu besar di kota siang yang sebentar lagi sore itu, tampak beberapa anak-anak kecil. Kalau dilihat umurnya kurang lebih diantara 10- 15 tahun-an. Mereka menawarkan jasa kepada para pengunjung mal sebagai ojek payung. Para pengunjung mal, sangat terbantu dengan adanya para bocah-bocah itu. Karena mereka tidak akan kehujanan untuk menerjang hujan yang lebat itu. Kebanyakan pengguna jasa dari para ojek payung itu adalah, orang-orang yang memarkirkan mobil di luar gedung mal. Jadi,untuk menuju mal atau untuk menuju parkiran mobil mereka harus melewati jarak yang cukup jauh, apalagi mereka tidak membawa payung sendiri. Maka, ojek payunglah yang mereka gunakan jasanya. Sangat tidak nyaman jika harus masuk ke mal dengan baju yang basah. Dan sangat tidak diharapkan gara-gara kena hujan, badan menjadi meriang dan sakit. Ojek payunglah penyelamat mereka. Bayarannya pun terserah.

Seikhlasnya ibu saja “.Ketika ada seorang ibu yang menanyakan berapa ongkosnya. Padahal, kalau si bocah itu memeberi tarip berapapun, pastilah akan dibayar oleh ibu itu. Dengan badan yang kecil, kurus serta baju yang basah serta lusuh. Pastihlah bocah-bocah itu dari keluarga yang tidak mampu.

Rong ewu, lumayan “. Tampak wajah puas diperlihatkan bocah ojek payung itu. Meski uang kertas hasil pemberian ibu tadi basah, tetap saja dimasukkannya ke dalam saku celana pendeknya yang basah pula.Setelah itu, bocah itu berlarian untuk mencari pengguna jasa payung yang lain. Sibuk sekali dia. Kalau dihitung-hitung sudah hampir 10 kali, orang-orang yang di mal menggunakan jasanya. Mungkin bocah yang itu yang paling banyak digunakan jasanya. Mungkin karena payungnya yang memang agak kelihatan besar.Jadi, orang lebih terasa aman ketika mendapatkan payung yang lebih besar Atau memang lagi rejekinya. Badannya kecil, berkaos oblong putih yang lusuh. Rambutnya pendek,bercelana pendek. Umurnya mungkin 11 tahun. Badannya kini basah, kaos oblong putih yang lusuh basah pula, celananya yang sekarang menyimpan hasil jerih payahnya basah juga.Badannya kini menggigil kedinginan, karena hujan sudah pelan-pelan mereda. Orang-orang yang di mal sudah berani keluar dari gedung mal. Bocah itu hanya duduk di emperan toko dekat mal. Dihitungnya uang hasil kerjanya. Wajahnya mengulum senyum yang tersembunyi. Dilihat langit sudah memudar. Tidak nampak mendung lagi, diangkat tubuhnya yang kecil itu, lalu ditutup payungnya yang besar itu. Dia bergegas untuk melangkah pulang. Badannya tetap menggigil karena kedinginan.Emperan mal dan toko sudah sepi dengan orang yang berteduh. Langit semburat jingga, senja akan segera menjemput.

* * *

“ Kenapa tho, Mak, aku nggak boleh ngojek payung lagi ? Aku kan dapat uang, dan bisa membantu Emak “. Malam itu di rumah yang sederhana. Terjadi perdebatan kecil antara seorang bocah kecil dan seorang permepuan setengah baya.

“ Kamu kalau nanti sakit, Emak yang repot. Ongkos berobat sekarang mahal, Kas “.Ikas yang dinasehati Emaknya, tampak berontak.

“ Emak tidak usah khawatir dengan kesehantanku. Apa aku pernah sakit selama ini ? Yah, paling hanya sakit demam, itu pun hanya sehari setelah itu sembuh. Apa Emak nggak seneng kalau aku dapat uang banyak ?”

“ Tapi, air hujan itu bahaya, Le “. Emaknya Ikas mencoba melawan kemauan anaknya yang semata wayang itu.

“ Pokoknya kalau ada hujan yang lebat lagi, aku akan ngojek payung lagi. Sudah ya, Mak. Aku mau tidur dulu “. Malam itu wajah perempuan yang 3 tahun lalu ditinggal mati suaminya karena tertimpa bangunan rumahnya pada waktu gempa, berubah sedih dan kelu. Air matanya menetes di pipinya yang terlihat mengeriput karena memikirkan kehidupan yang semakin berat. Anak satunya – satunya kini harus menanggung beban hidup yang berat sekedar untuk mempertahankan hidup yang semakin sulit. Sebagai buruh pabrik kertas daur ulang di kotanya, Emak Kartinah nama perempuan itu tentu sangatlah sulit mempertahankan hidup setelah di tinggal mati suaminya 3 tahun yang lalu. Rumahnya yang kecil, 3 tahun lalu roboh karena gempa. Kini,ketika dapat bantuan dari pemerintah dia pelan-pelan bisa memperbaiki rumahnya. Meski sebagian bantuan dari pemerintah itu tidak digunakan semuanya. Dia gunakan sebagian untuk membiayai anaknya sekolah , sebagian lagi untuk membayar hutang mendiang suaminya.Waktu itu, dia berpikir, orang yag sudah meninggal harus dibersihkan segala hutang-hutangnya di dunia, biar kelak suaminya bisa lancar menuju surga tanpa terhalang hutang di dunia. Rumahnya kini sudah di cat baru. Meski ada sebagian ruangan yang masih mengkhawatirkan, tapi tetap saja dipertahankan ruangan itu. Mungkin perempuan itu berpikir, semoga saja masih dapat bantuan gratisan. Kalau ada bantuan lagi, kelak dia akan memperbaiki ruangan itu.Dan malam itu di rumah yang kecil itu, dihapusnya air mata yang menetes di pipinya.

“ Kasihan Ikas. Dia harus merasakan kepahitan ini “. Hanya itu keluhnya. Malam merayap pelan dan sunyi. Suara radio dari radio tetangga masih terdengar menyiarkan wayangan semalam suntuk dari dalang lokal yang tidak terlalu terkenal.Perempuan itu pun merebahkan badannya yang kurus ke kursi sofa depan tivi hitam putih 14 inch warisan mendiang suaminya. Matanya menerawang jauh, entah tujuannya kemana.

* * *

“ Emak ! Hujan deras, Mak. Hujan lebat sekali, Mak !”, teriak Ikas siang itu. Memang hujan kembali turun. Dan ini lebih dahsyat dari yang kemarin.

“ Emak ! Hujan, Mak !” Kembali anak itu berteriak memanggil Emaknya yang lagi berada di dapur.Karena tak betah diteriakki begitu, perempuan itu menemui anaknya Ikas yang sudah siap dengan payung besarnya.

“ Kamu mau kemana, Le ? “

“ Emak iki piye, tho ? Lha hiya cari obyekkan tho, Mak. Ini hujannya lebat sekali, Mak. Pasti banyak orang yang akan menggunakan jasa payungku. Aku pasti dapat uang banyak, Mak”. Anak itu nerocos nggak karuan karena kegirangan.

“ Tapi, hujan ini tidak seperti baisanya, Le. Hujan ini disertai angin. Ini Sangat berbahaya, Le. Kamu nanti sakit lho. Mbok di rumah saja sama Emak. Nanti tak gorengkan ubi, ya “. Emaknya membujuk.

“ Pokoknya sekarang aku mau cari uang yang banyak buat Emak. Biar kita bisa beli tivi yang gedhe, seperti punyanya Burhan. Sudah ya, Mak. Aku berangkat dulu “. Anak itu berlarian kegirangan menerjang hujan yang sangat lebat. Badannya yang kecil akhirnya tak tampak karena hujan yang lebat menghalangi perginya bocah itu.. Pandangan mata dari perempuan yang kelihatan sayu tak berani melepas kepergian anaknya.Perempuan itu terdiam sesaat. Dihembuskan kegelisahan itu sambil mengusap seluruh mukanya.

Ya Alloh, lindungilah anakku “.Hanya itu yang keluar dari mulut perempuan itu.

Hujan begitu besar. Angin berkelebat kesana – kemari. Orang-orang tak ada yang berani keluar rumah.Mal-mal sepi pembeli, toko-toko dan pedagang kaki lima sudah menutup dagangannya lebih awal.Mungkin, karena takut akan terjadi hujan lebat dan angin besar. Jalanan sepi dari lalu lalang kendaraan.Tak ada kecipak air yang menjulang seperti gunung vulkanik yang meletus. Hujan semakin deras, angin semakin ganas. Banyak baliho reklame dan pohon mahoni yang tumbang, tapi tetap saja dibiarkan. Tak ada yang membersihkan atau menyingkirkannya. Kota itu porak poranda dengan air hujan yang meluap tak terarah. Angin yang rakus seakan sangat berkuasa dengan gerakkannya yang membabi buta. Keadaan gelap. Listrik dimatikan oleh petugas PLN. Jaringan teleponpun juga terputus. Keaadan siang itu begitu mencekam. Tak ada aktifitas apapun. Yang ada hanya suara gemuruh dari terjangan angin dan hujan. Jalanan sudah luber dengan air. Banyak daun berguguran ke jalanan. Jalanan itu begitu kotor. Bocah kecil yang bernama Ikas, melihat itu semua.Kini, kenyataan yang terjadi siang itu, tak ada yang memanfaatkan jasa payungnya. Karena memang tak ada orang di mal itu. Teman-temannya juga tak nampak batang hidungnya. Dia sendirian dengan payung besarnya di tempat parkir, tempat biasa dia jadikan tempat mangkal.Hujan deras mengahantam tubuhnya yang kecil. Kembali dia menggigil. Beberapa saat dia menunggu. Berharap ada yang masih menyewa payungnya. Tapi tetap tak ada orang. Parkiran mobil sudah akan ditutup oleh pemiliknya.Hujan dan angin sepertinya tak bisa berhenti,dan tak bisa diajak kompromi lagi. Hujan itu sepertinya menertawai bocah kecil itu. Bocah itu mengangkat tangannya ke atas. Dirasakan dengan telapak tangannya, hujan itu memang sangat deras sekali menghantam telapak tangannya yang mengeriput karena kedinginan. Suara yang datang sangat bergemuruh seakan ribuan pasukan berkuda dari padang kurusetra yang sedang bergerak untuk menuju medan perang. Suaranya mengerikan. Banyak seng-seng dan atap rumah yang terbuat dari kayu, saling beterbangan ke segala arah. Ikas bocah kecil melihat itu semua. Dia teringat Emaknya yang di rumah sendirian. Seakan melupakan keinginannya untuk mencari uang, dia berlarian untuk melihat Emaknya yang berada di rumah sendirian. Dilihat dari jauh, tampak rumahnya penuh dengan orang. Dilihatnya, atap rumahnya sudah tak ada.Dilihatnya lagi, sebagian tembok rumahnya roboh.Dia teringat sesuatu yang tak akan pernah dia lupakan. Yah, seperti 3 tahun yang lalu.Dilihatnya para tetangganya sudah banyak yang berkumpul. Lalu tiba-tiba, bocah kecil itu berteriak.

“ Emaaaak !! “ Bocah kecil yang bertubuh kecil itu sekuat tenaga memanggil Emaknya.

“ Mereka sudah membawa Emakmu ke rumah sakit.Jenasahnya sebentar lagi akan tiba”. Tenang sekali orang itu menceritakan kejadian yang menimpa Emaknya kepada bocah kecil itu. Bocah kecil itu sekarang terpaku dengan linangan air mata yang kembali mengalir seperti 3 tahun yang lalu.

Klaten, Feb ‘08

CALON GUBERNUR COKRO

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Siang yang tidak terlalu panas dekat alun-alun di kota sudah banyak orang berkerumun untuk mendengarkan pidato politik dari salah satu tokoh partai di kota itu. Dari yang tua, muda, ibu dan para pemuda pemudinya sepertinya tampak semangat untuk menghadiri acara tersebut. Mungkin memang suasana sekarang lagi hangat-hangatnya akan berlangsungnya pilihan gubernur. Tampak beberapa petugas panitia sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Dari yang segi keamanannya sampai tentang masalah sound systemnya. Orang-orang tampak tidak sabar untuk mendengarkan isi pidato dari tokoh politik itu. Salah satu panitia tampak naik podium.

“ Tenang saudara-saudara. Acara akan segera kita mulai. Ini beliau Pak Cokro sudah meluncur ke alun-alun ini. Jadi, saudara-saudara harap sabar sebentar “. Panitia menenangkan orang-orang yang sudah tidak sabar itu.Mungkin, karena waktu sudah tidak sesuai dengan jadwal acara hampir molor setengah jam. Suasana semakin riuh. Ada yang tabah sabar untuk menunggu, ada yang hanya sekedar grenengan menyindir panitianya yang kurang profesional, ada yang sudah tidak sabar langsung pulang dengan wajah yang mbesengut karena kesal.

“ Mau jadi gubernur kok tidak disiplin. Gubernur apa itu ? “. Orang-orang yang tidak sabar sudah saling menggerutu tidak karuan. Terdengar suara sirene dari petugas keamanan meraung-raung. Dipastikan tokoh politik itu sudah datang. Dengan kawalan beberapa Satgas partai dan beberapa orang aparat kemanan, Pak Cokro dengan bangganya turun dari mobil sedan warna hitam tersebut. Wajahnya tampak bangga dan penuh percaya diri berjalan diantara kerumunan orang-orang yang sudah lama menunggu itu. Tangannya melambai-lambai ke arah orang-orang itu. Sesekali tersenyum kepada semua yang membalas lambaian tangannya.

“ Karena orang yang kita tunggu-tunggu sudah hadir di sini. Maka langsung kita panggil calon gubernur kita, Bapak Cokro Wiro Santoso. Mari kita sama – sama beri tepuk tangan yang meriah kepada calon gubernur kita ! “.Pembawa acara tampak senang sekali, karena acara sudah akan dimulai. Dia takut kalau acara gagal. Tepuk tangan bergemuruh di alun-alun kota itu. Pak Cokro naik podium, gayannya dibuat sewibawa-bawa mungkin, aura kepemimpinan dilihatkannya. Akhirnya Pak Cokro memulai pidato politiknya.

“ Kalau saya terpilih nanti, bapak bapak ibu ibu tidak usah khawatir. Semua biaya pendidikan dan pengobatan akan saya gratis-kan. Tidak usah mbayar. Asal saya bisa terpilih menjadi gubernur “. Ngalor ngidul pidato Pak Cokro. Dengan penuh semangat Pak Cokro terus merayu orang-orang itu untuk memilih dia menjadi gubernur . Tepat jam 12.00 acara pidato politik Pak Cokro selesai. Orang-orang sudah beranjak untuk pulang. Wajah mereka masih terlihat bingung, karena merasa pidatonya Pak Cokro membingungkan. Langit memudar terbias di cakrawala.Alun-alun sudah sepi, hanya setumpuk kotoran yang mengotori alun-alun itu. Tapi kotoran yang berupa ; koran-koran,kertas, botol-botol minuman plastik bagi para pemulung adalah berkah .

* * *

Koran-koran lokal pagi itu sudah memberitakan acara pidatonya politik dari Pak Cokro, tempo hari. Isinya pun macam-macam, ada yang bernada mendukung, ada juga yang meng-kritik tajam perihal isi pidato politik dari Pak Cokro tersebut. Yang namanya koran yang penting laku, dan banyak yang membaca. Tidak peduli isinya bener apa tidak. Tidak peduli isinya ngaco atau penuh muatan tendensius. Yang penting laku, dan yang masang iklan banyak. Di sebuah rumah yang cukup megah, dengan taman yang cukup asri, tampak beberapa orang sibuk keluar masuk rumah tersebut. Kesibukkan kelihatan di rumah itu. Ada yang membawa setumpuk stofmap yang nampaknya berisi berkas-berkas data yang sangat penting. Di halaman rumah ada hampir 7 mobil keluaran baru terparkir rapi di depan rumah.

“ Data-datanya sudah valid belum ? “ Seorang yang bertubuh cukup atletis mencoba menanyakan sesuatu kepada orang yang membawa setumpuk berkas.

“ Sudah, Mas.” Jawab mantap orang itu.

“ Ini waktunya sudah semakin sempit dan Pak Cokro tidak mau sesuatu berjalan terlambat dan bertele-tele .

“ Data ini adalah data terakhir, Mas. Dan kita masih unggul dengan calon yang lain. Pokoknya semuanya sesuai rencana dan kita pasti menang “. Orang itu mencoba menanggapi dengan penuh keyakinan. Sementara itu, di ruang lain tampak beberapa orang yang duduk di sofa yang besar,nampaknya sedang ada rapat penting. Pak Cokro tampak serius mendengarkan orang-orang yang ada dalam ruangan itu. Lalu datang seorang perempuan setengah baya membawa sebuah kopor hitam. Dibukanya kopor itu, lalu dikeluarkan isi kopor itu. Ternyata, sebuah uang kertas yang jumlahnya tentu saja sangat banyak, itu dapat dilihat dari penuhnya uang itu dalam kopor.

“ Bagikan ! “ Hanya itu ucapan Pak Cokro. Setelah meng-komando kepada perempuan setengah baya itu, Pak Cokro langsung meninggalkan ruangan itu. Sementara perempuan setengah baya yang diperintah Pak Cokro, dengan cekatan pula membagi uang itu kepada orang-orang yang ada dalam ruangan itu. Yang menerima uang itu pun tampaknya sangat senang, itu tampak dari raut muka mereka. Setelah menerima uang itu, satu persatu dari orang itu pun meninggalkan ruangan rapat itu. Kesibukkan di rumah Pak Cokro tak pernah berhenti. Tampak saja orang yang hilir - mudik keluar masuk rumah Pak Cokro. Suara telepon yang terus menerus berdering itu pun seakan menambah ramainya suasana di rumah Pak Cokro. Memang, kelihatan sekali kalau itu rumahnya seorang calon gubernur yang kans untuk menang sangat besar.

* * *

Di jalan-jalan raya propinsi sudah merebak gambar, poster, baliho, spanduk dan bermacam-macam gambar mewarnai setiap jalanan itu. Gambar Pak Cokropun tak ketinggalan ikut memeriahkan perang gambar tersebut. Tidak hanya di jalanan besar, di jalanan kampung juga sama saja, malahan lebih semarak lagi. Setiap perempatan gang sudah berjubel gambar-gambar dari para calon gubernur.Di rumah para penduduk juga tak ketinggalan dari serangan perang gambar tersebut. Sudah banyak pintu-pintu rumah penduduk itu tertempel beberapa stiker dari para calon gubernur itu. Memang, kalau dilihat prosentase dari banyaknya gambar tersebut, gambar Pak Cokro yang paling banyak sendiri dibanding dengan calon yang lain. Mungkin dana untuk kampanyenya Pak Cokro yang paling banyak. Sebagai pengusaha yang memiliki beberapa pabrik, sangat mudah sekali Pak Cokro mengeluarkan dana kampanyenya. Dana bagi Pak Cokro tidak jadi masalah.

“ Kalau diaudit sampai saat ini, mungkin sudah mencapai 50 sampai 60 miliar. Saya tak masalah, kok untuk mengeluarkan uang sebanyak itu. Yang penting rakyat seneng. Namanya juga pesta rakyat. Rakyat harus disenangkan. Dan saya pribadi punya kepentingan, wajar tho kalau saya harus mengeluarkan uang yang banyak “. Ungkap Pak Cokro pada salah satu kolom koran harian lokal.

“ Bayangkan 50 miliar sudah dikeluarkan Pak Cokro, padahal pilihan gubernurnya masih 1 bulanan “. .Di sebuah warung angkringan, Antok seorang mantan politikus muda, seorang sarjana politik lulusan universitas negeri terkemuka dan seorang mantan anggota partai yang kini telah terdepak karena ke-vokalan-nya menentang kebijakan partainya sendiri. Malam itu dia kelihatan sangat gelisah dan antusias atas pemberitaan koran harian lokal itu perihal Pak Cokro yang sudah mengeluarkan dana kampanye sebanyak 50 miliar. Tampaknya dia ingin mencoba mengeluarkan uneg-unegnya yang lama terpendam kepada orang-orang yang jajan di warung angkringan itu .

Edan ! Semua yang di sini pasti berkata begitu.Bagaimana kalau tidak jadi ? Dan bagaimana kalau jadi, kembalikah uang itu ? Aku tidak bisa membayangkan uang sebanyak itu dihambur-hamburkan hanya untuk kepentingan kekuasaan sesaat.Itulah yang selalu menjadi pikiranku melihat kenekatan para calon-calon gubernur itu ketika ingin mencapai kemenangan. Walaupun kemenangan itu harus diraih dengan mengorbankan materi yang luar biasa. Yah, seperti Pak Cokro. Dia tak peduli berapa uang yang sudah ia keluarkan untuk membiayai pencalonan dirinya. Dari pendaftran ke salah satu Parpol dia harus mengeluarkan uang ratusan juta agar dirinya bisa menjadi calon tunggal dari partai tersebut,lalu menyiapkan berkas-berkas, itupun dia harus mengeluarkan dana, sosialisasi ke daerah, pembelian atribut kampanye, dan lain-lain semuanya pakai uang. Belum lagi, orang-orang makelaran suara yang selalu bergentayangan setiap menjelang pilihan begini. Dengan dalih bisa mencarikan suara yang signifikan, ujung-ujungnya orang itu minta bayaran yang tidak sedikit. Alasannya untuk biaya transport akomodasi.Padahal orang itu hanya tukang kibul politik. Itulah yang terjadi sekarang.Wajar kalau para pemimpin kita kini saling berkompetisi mengadakan hajatan uang hasil korupsi program pemerintah,guna untuk mengembalikan dana kampanyenya. Situasi dan susana memang yang terjadi seperti ini. Rakyat pun sama saja, mereka juga butuh uang. Makanya mereka mau dibeli suaranya. Yang penting dapat uang. Uang kini sudah menjadi berhala. Siapa yang tidak mau mendapatkan uang, tak peduli dia mau memilih apa. Toh, politik bukan agama. Politik hanya produk manusia yang punya nafsu ingin meraih kursi kekuasaan. Rakyat kita mungkin kini tidak mencari pemimpin, yang mereka cari hanyalah uang untuk menghidupi hidup yang semakin sulit. Tak peduli siapa pemimpinnya toh, mereka sudah hapal betul dengan jargon dan janji kampanye mereka. Mereka semuanya hanya manis di mulut,tapi tak ada kenyataannya. Kalau sudah jadi, mereka dengan entengnya melupakan janji pada waktu kampanye. Saya berpikir, pemimpin itu sebetulnya tidak usah dicari, tapi akan muncul sendiri ketika keadaan sudah sedemikian parah.Semua itu akan muncul ketika banyak rakyat tertindas, terjajah hak daya hidupnya. Maka, pemimpin itu akan muncul dengan sendirinya.Sejarah telah membuktikan itu semua. Makanya,kita santai-santai sajalah, tidak usah ngoyo. Yang penting sekarang kita kerja untuk mencari uang halal dengan keringat kita sendiri “. Antok nerocos nggak karuan. Orang-orang yang di warung angkringan hanya mantuk-mantuk saja. Mengerti, atau pura-pura ngerti. Antok tampaknya bangga dan puas bisa ngomong seperti itu.

“ Mas Antok ini ngomongnya kok begitu, tho ? Apa tidak takut sama para calon-calon itu, Mas ? Lik Darminto mencoba menyela.

“ Oh tidak, Lik ! Saya tidak pernah takut sama siapapun”. Sanggah Antok dengan percaya diri.

“ Apa Mas Antok kecewa tidak dijadikan tim sukses sama salah satu calon gubernur itu ? Makanya, Mas Antok bicara seperti itu . “ Lik Jangkung menambahi suasana menjadi gayeng.

“ Apa, Lik ? Kecewa ? Oh tidak, saya adalah orang yang tidak kompromis ketika melihat ketidak benaran, Lik. Siapa pun yang salah akan saya lawan. Buat apa menjadi tim sukses kalau hanya untuk menipu rakyat kecil seperti kita ini . Kita harus berani bilang, Tidak ! Kita harus melawan,Lik !!“. Gaya Antok seperti seorang politikus yang sedang mengadakan rapat akbar. Malam kini semakin larut, bintang-bintang dan rembulan tampaknya akan digulung sang mendung. Langit menghitam pekat, hujan pasti akan datang. Orang-orang di angkringan satu persatu meninggalkan warung tersebut. Antok pun tampaknya sudah kecapekan dengan pidatonya, kini dia beranjak untuk pulang. Yang tertinggal hanya Dangso penjual angkringan bersama sisa – sisa dagangannya.

* * *

Di rumah yang kecil dan sederhana. Malam itu tampak beberapa orang yang berbadan atletis masuk ke rumahnya Antok. Tampaknya Antok sudah menyiapkan kedatangan mereka itu. Kelihatan ketika tamu-tamu yang berbadan atletis itu tak perlu repot-repot mengetuk pintu karena Antok sudah menyambut kedatangan mereka. Beberapa saat keadaan rumah itu sepi. Tapi, akhirnya ada pembicaran di ruangan tamu Antok.

“ Pak Cokro percaya sama Mas Antok. Menurut Pak Cokro, Mas Antok orang yang mampu menguasai wilayah ini. Mas Antok punya power untuk mempengaruhi rakyat.Tugas Mas Antok hanyalah, memenangkan Pak Cokro “. Orang itu berbicara sangat pelan malah terdengar hanya seperti berbisik. Dengan pelan-pelan pula dia mengeluarkan sebuah amplop yang ukurannya tidak terlalu besar dari kantong baju safarinya.

“ Dan ini ada titipan uang dari Pak Cokro, 100 juta rupiah. Yang 50 juta untuk membeli suara , yang 50 juta, khusus untuk Mas Antok, sekedar ucapan terima kasih dari Pak Cokro. Tapi Pak Cokro wanti-wanti, Mas Antok tidak boleh mengecewakan Pak Cokro. Hasilnya harus maksimal sesuai dengan nominal uang tersebut.Pak Cokro juga berpesan kepada kami, nanti kalau Pak Cokro menang, Mas Antok akan diberi jabatan strategis di birokrasi pemerintahan. Bagaimana, Mas ? Diterima atau tidak tawaran ini ? “ Di luar rumah langit masih menghitam.Mendung masih saja mengintip. Karena memang sekarang adalah musim hujan yang setiap hari akan turun hujan. Rintik-rintik suaranya kini sudah tedengar. Orang-orang yang berbadan atletis kini sudah siap pamit untuk pergi. Dengan mobil sedan warna hitam, rombongan orang-orang yang bertubuh atletis itu pun sudah meninggalkan halaman rumah Antok. Hujan pun tiba-tiba sudah menghujam ke bumi.Kini, semua tanah dan rumah-rumah penduduk menjadi basah karena hujan yang semakin deras. Suara hujan itu terdengar bising dan berisik. Ditambah halilintar memancarkan cahaya yang menakutkan. Suara guntur menggelegar membelah suasana malam itu.Lampu ruang tamu di rumhnya Antok sudah dimatikan.

* * *

Pemungutan suara pilihan gubernur telah usai. Koran-koran dan Quick count dari beberapa jaringan survey LSM mengabarkan, Pak Cokro kalah telak dengan calon yang tidak diunggulkan.Pak Cokro kaget. Pak Cokro seakan tak percaya dan mungkin sangat tidak percaya dengan hasil pemungutan suara itu. Tapi kenyatan yang terjadi adalah, Pak Cokro sudah kalah telak dengan calon gubernur yang tidak diunggulkan.Tim sukses Pak Cokro kelihatan terpukul dengan hasil itu. Mereka kebingungan, seperti ada yang tidak beres.

* * *

Di rumah Antok sudah sepi. Antok pergi entah kemana.Pagi shubuh dia sudah pergi bersama istri dan anaknya. Dia sudah pergi sebelum pemungutan suara dimulai. Di luar rumah Antok, tampak orang-orang tetangga Antok saling tertawa renyah bahagia karena mendapatkan uang, yang masing-masing orang mendapatkan Rp. 100 ribu dari Mas Antok. Dan di dalam bis, Antok masih memegang sebuah amplop yang berisi uang Rp. 50 juta.

Klaten, Maret ‘08

BAU BUSUK

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Sudah banyak orang yang mati gara-gara mencium bau busuk. Entah bau itu datang dari mana. Tak ada orang yang tahu. Arahnya baunya pun berubah-ubah. Kadang di utara, kadang di selatan, kadang terbawa angin, sebentar ada, sebentar menghilang. Ketika orang mencium bau susuk itu, badan orang itu langsung membiru bak buah duwet,mata orang itu berubah menjadi merah menakutkan. Tak berapa lama orang itu akan mengalami kematian. Kalau dihitung-hitung sudah hampir 7 orang yang meninggal gara-gara mencium bau itu. Kebanyakan memang orang-orang yang sudah dewasa yang terkena wabah bau busuk itu. Baunya memang bukan seperti bau busuk seperti bau busuk bangkai, tapi terasa sangat khas dan spesifik. Belum ada yang pernah mencium bau yang sedahsyat itu. Pernah beberapa petugas kesehatan dan lingkungan hidup dari Dinas Kesehatan Kabupaten meneliti tentang bau itu, sampai sekarang tak ada hasil yang bisa disampaikan ke masyarakat. Hampir 1 bulan ini, orang-orang di desa digerakkan oleh Pak Lurah dan beberapa tokoh desa untuk mencari bau busuk itu. Tapi juga nihil hasilnya.

“ Kita harus membentuk tim khusus untuk mencari bau busuk itu “. Pak Lurah siang itu memberi pengarahan kepada beberapa tokoh desa.

“ Siapa, Pak yang cocok untuk memimpin tim pencarian bau busuk itu ? “ Sambil berdiri Pak Modin mencoba menfokuskan pembicaraan Pak Lurah.

“ Kalau saya boleh usul, Bagaimana kalau yang memimpin tim khusus ini adalah Mas Songap ? Dia termasuk orang yang mempunyai pengalaman luas terhadap berbagai hal bau,dia mempunyai kredibilitas yang bagus , daya penciumannya tajam melebihi anjing pelacak, cekatan dalam bertindak tak peduli bau busuk itu ada dalam rumah seorang pejabat tinggi, dia tak ada istilah ewuh pekewuh, pokoknya bau basuk yang mengganggu, dia habiskan, dan yang paling penting Mas Songap orangnya jujur makajur, tak mempan disuap. Itu terbukti dari kasus-kasus bau busuk yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Mas Songap bisa menyelesaikan segala kasus secara gemilang. Tapi, memang kasus kali ini yang paling parah karena sampai memakan korban segala.Bagaimana kalau Mas Songap yang memimpin tim khusus ini ? “ Seorang tokoh desa Pak Basirun yang belum terlalu sepuh memberikan saran atau mungkin bisa dibilang tekanan kepada peserta kumpulan itu.

“ Setuju ! Mas Songap saja yang mimpin ! “ Seperti koor suara itu meriuhkan ruangan itu.

“ Baik. Mas Songap besok akan saya perintahkan untuk membentuk tim, dan tugasnya menyelesaikan kasus bau busuk ini yang menimpa desa kita sampai selesai. Rapat ditutup. Terima kasih “. Pak Lurah seketika itu meninggalkan ruangan. Orang-orang pun satu persatu meninggalkan ruangan itu. Mereka berharap kasus bau busuk ini, segera bisa selesai dan tak akan terjadi lagi.

* * *

“ Apa ? Aku yang harus mimpin, Pak ? “. Mas Songap seakan tak percaya dengan apa yang baru saja diperintahkan oleh Pak Lurah kepada dirinya.

Lha hiya kamu, tho. Siapa lagi yang bisa menangani kasus ini, satu-satunya orang yang bisa, ya kamu ini.! “ Pak Lurah menekan Mas Songap.

“ Tapi, Pak. Saya sudah capek sudah ingin hidup tenang, tak ingin berurusan dengan yang namanaya bau busuk. Penciuman saya sudah tak setejam dulu, Pak. Saya sudah tidak seperti dulu lagi. “. Mas Songap mengelak.

“ Itu kan hanya perasaanmu saja, Ngap. Itu kan bisa dilatih lagi. Semuanya kalau tidak dilatih ya pasti tidak akan berfungsi lagi. Kamu hanya perlu latihan beberapa hari saja, pasti hidung penciumanmu akan tajam seperti dulu lagi. Sudahlah, kamu terima tugas mulia ini. Apa kamu tidak kasihan dengan penduduk desa ini ? Mereka sangat ketakutan ketika mencium bau busuk itu. Hidup mereka sekarang ini tidak tenang, mereka seakan dibayang-bayangi dengan bau busuk keparat itu. Oarng-orang itu memberi amanah mulia kepada kamu. Kamu harus menerima amanah itu. Sekarang tugasmu adalah, mencari beberapa orang sebagai partner kerjamu, minggu depan kamu harus sudah mulai bergerak. Target waktu 1 bulan.”. Pak Lurah dengan tegas menekan Mas Songap.

“ Tapi, Pak…”

“ Sudah ! Saya harus pergi. Kalau perlu apa-apa, minta sama Pak Bayan. “. Pak Lurah meninggalkan Mas Songap sendirian di Kantor Kelurahan siang itu. Matanya menerawang jauh kepada peristiwa pengungkapan kasus bau busuk beberapa tahun yang lalu.Peristiwa itu berkelebat bak pedang yang mengiris perih dan tajam.Pada peristiwa beberapa tahun yang lalu, dia harus kehilangan istri tercintanya karena berhasil mengungkap kasus busuk yang disebarkan oleh seorang putra mantan pejabat dan penguasa wilayah itu. Bapaknya tidak terima anaknya dituduh menyebarkan bau busuk. Songaplah yang pertama menemukan bau busuk itu berasal dari keluarga itu untuk menyerang lawan bisnisnya. Karena tidak terima dituduh melakukan penyebaran bau busuk, mantan penguasa yang membela anaknya itu, dengan cara menyewa seorang pembunuh bayaran,dia menculik istrinya Songap dan membunuhnya di hutan jati . Mayat istrinya Songap baru ditemukan seminggu kemudian. Karena Songap mempunyai kelebihan dalam hal penciuman, pembunuh istrinya itu pun akhirnya tertangkap beserta mantan penguasa dan anaknya. Mereka semuanya dihukum seumur hidup.

“ Akankah peristiwa itu terulang lagi, kini yang ada hanya Si Rowa anakku satu-satunya, oh tidak. Ini demi kebenaran, pengabdianku dan demi ketenangan para penduduk desa. Apapun yang terjadi harus aku hadapi .“ Songap mencoba tegar ketika peristiwa 5 tahun yang lalu mengejek keberaniannya. Ditinggalkannya kantor kelurahan itu dengan perasaan yang terpecah.Kini, yang tingal hanya puing-puing peristiwa yang tak mungkin bisa diutuhkan lagi. Dengan langkah mantap Songap menatap harapan para penduduk desa kepada dirinya.

* * *

Dengan ditemani beberapa temannya, Songap mencoba tetap kosentrasi dengan indra penciumnnya. Dimana sebenarnya bau busuk itu berasal ? Dari lokasi rumah penduduk semua sudah ditapisnya, tapi tak ada hasil. Di sawah, di jalan-jalan Songap tak menemukan titik terang. Sudah hampir 5 hari Songap bersama teman-temannya bekerja, tapi sampai sekarang tak membuahkan hasil. Ketika memasuki minggu ke 4, Songap dan timnya hanpir menyerah. Dia merasa kasus bau busuk ini adalah kasus yang terberat dan tersulit. Rata-rata dalam pekerjaan mengungkap kasus bau busuk, Songap hanya memerlukan waktu 3 hari, pastilah kasus bisa terungkap. Tapi kali ini, dia dapat ujian yang maha berat. Bau busuk itu terus meneror para penduduk desa, malahan baru saja tambah 1 lagi seorang penduduk yang mati. Para penduduk sudah semakin resah dan takut. Mereka menanyakan kepada Pak Lurah, tentang kerjanya Songap dan timnya, seperti tidak ada hasilnya. Para penduduk sepertinya sudah tak percaya dengan kerjanya Songap.Para penduduk sudah sangat frustasi. Sudah sebagian penduduk desa itu, telah meninggalkan kampung halaman dan rumahnya untuk pindah, entah kemana. Pak Lurah bingung, Para tokoh desa bingung. Tak ada yang bisa diperbuat oleh mereka.

“ Songap, kenapa lama sekali ? Ini keadaan sudah sangat genting sekali. Kalau kasus ini tidak bisa terungkap dan menghentikan bau busuk itu, kedaan bisa runyam dan rusak. Para penduduk akan menyerangku,kewibawaan dan kursiku akan terancam. Kekacauan akan terjadi di mana-mana. Ini akan berakibat fatal terhadap stabilitas desa dan pemerintahan desa. Kamu harus segera menemukan bau busuk itu. Aku kasih waktu 3 hari, kasus bau busuk ini harus segera terungkap “. Ultimatum Pak Lurah semakin membuat Songap tertekan.

“ Apa yang harus aku lakukan ? Bau busuk ini memang tidak seperti kasus bau busuk yang lain, baunya sangat khas.dan sulit diperkirakan Bau bau busuk ini bukan bau sembarang bau. “ Songap termenung di teras rumahnya, ketika siang itu Pak Lurah datang untuk menemuinya. Angin yang sudah tak segar lagi, menyentuh rambutnya yang agak gondrong. Satu persatu rambut Songap bergerak perlahan tak teratur. Dengan menghisap sebatang rokok kretek, Songap siang itu berpikir keras. Ilmu penciumannya sudah dikuras habis untuk menemukan kasus bau busuk ini. Wajah Songap kelihatan sekali sedang berpikir keras, itu terlihat dari beberapa kali dia berpindah tempat, kadang berdiri berjalan kesana-kemari, lalu duduk lagi. Tiba-tiba bau busuk yang dia cari menyentuh hidungnya, dia terperangah kaget. Tapi bau busuk itu hanya sebentar lalu menghilang lagi. Songap kebingungan, dia berlari tak terarah untuk mencari bau busuk itu. Di halaman itu dia mengendus-endus, tapi bau busuk itu sudah tak ada. Dia berlari kedalam rumahnya, juga tak dietemukannya.Hampir 1 jam Songap mencari bau busuk itu, tapi hanya kekecewaan yang dia dapat. Songap kecapekan. Keringatnya meleleh ke seluruih tubuhnya. Matanya berkaca-kaca, rambutnya pun basah oleh keringat. Kini,Songap terduduk lemas di teras rumahnya. Langit sudah semburat jingga, sebentar lagi senja akan menjemput. Songap tak bergeming dengan ketidak percayaan yang baru saja berkelebat dalam hidungnya. Bau busuk itu menjadi catatan beban tugas berat bagi Songap.

* * *

3 hari berlalu, tapi Songap belum bisa menemukan bau busuk itu. Spekulasi pendapat dan isu bermunculan di mulut para penduduk.. Isu yang berkembang, yang membuat Songap sakit hati adalah, bahwa bau busuk itu yang menyebarkan adalah Songap sendiri. Alasan mereka berpendapat begitu, agar Songap dapat proyek pekerjaan dari Pak Lurah. Berbagai macam isu sekarang ini justru menghantam Songap. Isu yang paling membuat miris hatinya Songap adalah, bahwa kematian istrinya karena dibunuh oleh Songap sendiri, karena Songap ketahuan sama istrinya sedang berselingkuh dengan Wulandari istrinya putra mantan penguasa itu. Maka, Songap untuk menghilangkan jejak perselingkuhannya, Songap tega membunuh istri dan membuat skenario bahwa, yang membunuh istrinya adalah putra mantan penguasa itu.

“ Ini sudah keterlaluan. Pengabdianku untuk desa ini seakan tak ada. Salahku apa terhadap desa ini ? Aku bertaruh nyawa untuk menyelamatkan desa ini, justru yang aku dapat fitnah yang tak masuk akal semacam ini. Aku sudah kehilangan istriku, apakah aku sekarang harus kehilangan kehidupanku. Duh Gusti, apa salahku ? “ Songap menangis di pojok kamarnya sendiri. Tiba-tiba,matanya merah menyala seperti srigala. Giginya bertautan suaranya bergretak seperti menahan amarah yang luar biasa.

“ Aku tidak terima dengan sumua ini ! Akan aku cari orang-orang itu ! Akan aku cincang mulutnya ! Mulut mereka semua sudah bau busuk ! Songap bergerak bak panah yang terlepas dari busurnya. Dibawanya sebuah klewang yang lama tersimpan dalam lemari jatinya, seakan singa yang kelaparan, dia sedang mencari mangsanya. Dicarinya satu persatu orang yang mefitnah dirinya. Tapi Songap tak menemukan satu orang pun.Diketuk pintu rumah satu persatu dari para penduduk itu, tapi juga sama saja tak ada orang. Semuanya tampak sepi. Dengan berlarian tak tentu arah, Songap berusaha untuk bisa menemukan orang-orang desanya. Tapi, tetap saja tak diketemukan para penduduk desa. Keadaan semakin aneh. Para penduduk seakan sudah lenyap ditelan bumi. Mereka sudah pergi meninggalkan desa mereka. Entah pergi kemana mereka. Desa itu kini telah menjadi desa mati, tak ada orang satu pun, tak ada aktifitas apapun. Songap yang masih memegang sebuah klewang menyasikkan itu semua.. Kini, pikiran Songap semakin kacau.Dia termenung ketika melihat para penduduk desa,kini telah pergi.

“ Orang-orang desa telah meninggalkan tanahnya sendiri. Bau busuk itu telah merusak pikiran mereka semua. Semuanya tidak waras ! Tanah ini adalah tanah harapan mereka, kenapa mereka tega meninggalkan tanah kelahiran mereka sendiri ? Dan aku sendiri kini,telah kalah. Bau busuk itu telah mengalahkan aku. Aku tidak bisa menepati janji, waktuku telah habis .” Songap masih terpaku di tengah jalan. Badannya lemas, keringat menetes deras di keningnya. Matahari siang itu memang terasa panas sekali tidak seperti biasanya. Tapi Songap masih terpaku di tempatnya. Ketika Songap mendongak keatas, tiba-tiba angin berdesir keras. Suaranya bergemuruh seperti kereta. Langit berubah hitam. Songap kaget. Mulutnya gemrimil tidak jelas. Dia seakan ingin mengucap sesuatu. Tapi yang terdengar hanya suara terbata-bata dan hampir tidak terdengar. Angin itu berdesir kembali menyentuh hidung Songap.

Bbbau …bau itu…. “. Songap gagap mengucap dan mengingat sesuatu.

“ Bau itu seperti bau ketika istriku masih ada .“ Songap teringat sesuatu. Ketika Songap terbata-bata untuk mengingat, seketika itu ada bau harum menyerbak di hidung Songap. Bau itu terus menyebar ke seluruh penjuru desa yang sudah sepi itu.Bau harum dan wangi itu, masuk ke rumah para penduduk yang sudah pergi meninggalkan rumahnya. Bau yang harum dan wangi itu, kini bergerak ke kantor kelurahan yang sudah tak ada pegawainya, bau itu berputar – putar terus seperti gangsingan. Lalu, bau itu bergerak lagi mencari sela dan sudut tanpa sisa. Bau itu terus menguasai seluruh desa itu. Baunya sangat harum penuh kedamaian. Bukan bau busuk yang kini telah mengusir para penduduk desa sekarang ini. Bau busuk yang dulu ditakuti ,kini telah hilang bersama para penduduk desa. Bau busuk itu kini, telah berubah menjadi bau yang harum dan wangi. Bau harum dan wangi itu terus menebarkan aroma. Angin yang membawa bau harum dan wangi itu, kini berputar – putar, dan datang seperti gelombang samodera. Lalu, berhenti persis tepat di depan Songap. Songap mundur beberapa langkah tapi dia tak bisa bergerak ketika angin yang membawa bau harum dan wangi itu masuk kedalam tubuhnya. Kini Songap bisa tersenyum puas.

Klaten, April ‘08

PENJARA

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Ueedan ! “, Teriak istrinya Samsi siang itu. Ketika matahari sudah nampak keperkasaannya dengan teriknya yang menyengat.

Sampeyan itu memang sudah edan, gendeng, tak waras “, Istrinya Samsi masih saja mulutnya yang agak mrongos nerocos tidak karuan. Entah apa yang mereka ributkan.Siang itu Samsi bercerita kepada istrinya tentang keinginannya untuk menjadi seorang maling.Entah apa yang ada dalam pikiran Samsi yang tiba-tiba berkeinginan untuk menjadi seorang maling. Padahal kalau dilihat dari pendapatan mereka dibilang standart. Tidak kurang dan tidak lebih. Samsi yang bekerja sebagai kuli pasar dan istrinya sebagai buruh pabrik apalagi mereka belum dikarunia seorang anak, pastilah pendapatan mereka berdua dibilang cukupan. Tapi, siang itu ada pikiran yang tidak normal dari Samsi yang berkeinginan untuk menjadi seorang maling. Kalau diruntut-runtut Samsi tidak ada silsilah keturunan trah keluarga maling. Mbah buyutnya sampai orang tuanya hanya seorang petani biasa. Samsi pun, bukan seorang jagoan. Badanya kecil mungkin bisa dikatakan krempeng. Tampangnya biasa saja, tak ada kumis tebal di bibirnya yang kebanyakan menghiasi wajah seorang preman kampung. Dia sangat lugu dan polos bahkan bisa dibilang pemalu. Dia dapat Umi yang sekarang menjadi istrinya, karena dijodohkan oleh seorang tetangganya, saking dia sangat tertutup dan pemalu ketika berhadapan dengan seorang perempuan. Umi yang sekarang istrinya itupun juga seorang perempuan pemalu, mungkin karena dia jebolan pondok pesantren yang dididik untuk tidak berhubungan dengan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya. Laki-laki pemalu bertemu dengan seorang perempuan pemalu, akhirnya mereka pun menikah sampai sekarang. Tapi, siang itu pikiran edan telah merasuki otak Samsi. Istrinya pun kebingungan dan tak habis pikir dengan kemauan suaminya yang ingin menjadi seorang maling.

“ Aku ingin menjadi seorang maling, biar aku di penjara. “

Hiya. Maling memang tempatnya dipenjara, apa sampeyan mau dipenjara bertahun-tahun, Mas ?

“ Itulah yang aku inginkan ! “ Samsi menjawab tegas.

“ Aneh. Dipenjara kok menjadi sebuah keinginan. Sampeyan itu memang aneh kok, Mas. Pokoknya aku tidak mau kalau sampeyan menjadi seorang maling. Kehormatan keluarga ini harus dijaga,Mas. Apa kata orang kalau sampeyan harus menjadi seorang maling, lantas dipenjara. Aku malu, Mas. “

“ Sudahlah, Dik. Kamu nanti pasti tahu alasanku kenapa aku berbuat begitu. Pokoknya kamu akan tahu alasannya kenapa aku berkeinginan untuk menjadi seorang maling. . “ Samsi dengan santainya menjelaskan kepada istrinya.Dan istrinya pun hanya terdiam membisu.Setelah itu, tak ada perbincangan. Semuanya terdiam. Pikiran mereka melayang sendiri-sendiri. Hanya tampak kerut wajah sedih bercampur kebingungan kelihatan di wajah Umi seorang perempuan lugu.

* * *

Tiga bulan sudah Samsi menjalani hidup sebagai seorang maling. Awalnya dia hanya mencuri beberapa ekor ayam milik tetangganya. Setelah itu, meningkat mencuri beberapa ekor kambing, kemudian meningkat lagi mencuri hewan yang harganya lebih besar yaitu, beberapa ekor sapi. Bosan dengan hanya mencuri milik tetanggannya, Samsi lari ke kota mencoba bergabung dengan teman-teman perampok yang professional dan mempunyai senjata api. Dari satu kota ke kota yang lain, Samsi mengikuti ulah para perampok yang telah dia gabungi itu. Dari satu toko emas ke toko yang menjual sembako, dia beraksi bersama teman-temannya itu. Sampai saat itu, aktifitas kejahatan Samsi belum terendus oleh pihak yang berwajib. Karena memang, strategi dan cara kerja mereka sangat rapi, halus dan begitu professional.Dari hasil kejahatan itu, Samsi tidak menggunakan untuk bersenang-senang maupun berfoya-foya. Uang hasil kejahatan Samsi seluruhnya dia sumbangkan ke panti asuhan dan beberapa pondok pesantren di beberapa kota. Sisanya dia berikan kepada istrinya. Tidak seperti teman-temannya yang hasil kejahatan mereka gunakan untuk berfoya-foya dan menghambur-hamburkannya. Memang, motivasi dan tujuan mereka berbeda dengan Samsi. Tujuan Samsi jelas, ingin masuk penjara. Tapi tujuan mereka teman-teman Samsi sesama perampok hanya untuk mencari uang dengan cara pintas lalu menghambur-hamburkannya,mereka juga tidak ingin berurusan dengan pihak berwajib, apalagi masuk penjara. Dan sore itu langit masih belum nampak ingin segera beranjak ke peraduannya. Langit tampaknya masih membiru. Kelihatan sekali sore itu memang keadaan langit sangat cerah sekali. Samsi sore itu mungkin sedang libur kerja untuk merampok. Dia tampak kelihatan hanya duduk di teras rumahnya yang tetap sederhana itu. Raut mukanya tampak memikirkan sesuatu.

“ Tidak keluar, Mas ? Istrinya kini sudah terbiasa dengan segala aktifitas suaminya itu.

Nggak, Dik. Lagi malas “, Jawan Samsi datar.

“ Malas kenapa ? Tak ada toko yang akan di rampok ? Atau sudah malas jadi perampok. Kalau begitu, bagus. Berarti Mas Samsi akan kembli kepada kehidupan normal lagi “, Istrinya tampak gembira.

Hiya, Dik. Sudah tiga bulan ini aku selalu menunggu untuk bisa masuk penjara, eh kok nggak ketangkep-tangkep oleh polisi “, Samsi masih saja datar jawabannya.

“ Gampang tho, Mas. Mas Samsi tinggal menyerahkan diri dan mengaku semua kejahatan yang telah dilakukan selama ini, Mas Samsi pasti akan masuk penjara”, Istrinya berubah jengkel ketika mendengar keinginan suaminya untuk masuk penjara masih menggebu-nggebu itu.

“ Bukan dengan cara seperti itu, Dik yang aku inginkan. Tapi,aku ingin masuk penjara seperti seorang penjahat yang memang tertangkap oleh polisi pada waktu aku melakukan kejahatan. Tidak ada rekayasa, skenario ataupun kepura-puraan. Semuanya harus berjalan sesuai aturan.”, Samsi meninggikan suaranya.

“ Terserah Mas Samsilah “. Istrinya langsung masuk ke dalam rumah ketika mendengar jawaban dari suaminya itu. Sekarang senja sudah memanggil dengan warna jingganya yang menghiasi langit. Di teras rumah Samsi pun sudah mulai enggan dengan pikirannnya, dia pun menyusul istrinya masuk.

* * *

Kini, Samsi bukanlah Samsi yang biasanya. Tampangnya kini berubah. Wajahnya kini brewokan dan berkumis. Kulitnya menghitam. Tampangnya sangar persis singa yang kelaparan. Hiya, Samsi kini berubah total. Kini dia benar-benar sudah menjadi penjahat professional. Kelasnya pun berubah. Dari kelas maling kampung kini sudah menjadi perampok professional. Wilayah jelajahnya sudah meluas. Seluruh pula Jawa sudah di sambanginya. Sumatera, Sulawesi pun sudah. Samsi kini benar-benar sebagai penjahat kelas kakap. Aksinya jarang tercium pihak kepolisian. Karena strategi gerilyanya sangat rapi dan professional. Pegangannya sekarang bukan pisau dapur, tapi sudah senjata api kaliber colt. Anak buahnya ratusan tersebar di seluruh pulau Jawa dan Sumatera. Samsi memang sekarang menjadi target utama polisi. Karena ulah dan aksinya sudah meresahkan masyarakat. Tapi anehnya, kehidupan Samsi tetaplah kehidupan yang sangat sederhana. Istrinya pun kini tak pernah melarang aksi suaminya yang sekarang sudah menjadi penjahat kelas kakap. Tetap saja Samsi berpedoman seperti pejuang Robin Hood, yang harta rampasannya dia bagikan kepada kaum miskin. Cita-citanya hanya satu ingin masuk penjara, setelah itu bertobat tak akan menjadi maling lagi.

* * *

Langit yang melukis awan dengan warna birunya terpancar jelas di atas sana. Kota raya kini sudah sibuk dengan aktifitasnya. Di seberang jalan dekat pasar. Siang itu, terdengar tembakan beberapa kali. Orang-orang yang mendengar suara itu, berlarian ingin menyasikkan apa yang sedang terjadi. Satu mobil kijang station dan sebuah mobil patroli polisi mendadak berhenti tepat kepada sumber suara. Banyak orang yang bersenjata lengkap sedang mengawasi sesuatu. Ada yang berseragam polisi ada yang hanya berkaos oblong biasa. Tampak orang yang bersenjata lengkap itu sedang megarahkan senjata apinya kepada sesoarang yang sudah tersungkur bersimbah darah di kaki kanannya. Ternyata orang yang bersimbah darah di kaki kanannya, adalah Samsi. Samsi kini sudah tertangkap polisi ketika dia mau merampok sebuiah toko emas dekat pasar kota. Samsi tertembak di kaki kanannya. Tampak wajah Samsi meringis kesakitan akibat dihujami timah panah oleh pihak berwajib. Samsi kini benar-benar tertangkap dan sebentar lagi akan masuk penjara. Mendengar khabar Samsi tertangkap dan hanya tertembak kaki kanannya, Istrinya Samsi hanya berucap “ Alhamdullillah.Akhirnya… “.

* * *

Pengadilan akhirnya memutuskan Samsi di penjara selama 15 tahun. Wajah Samsi biasa-biasa saja, tak nampak raut mukanya sedih. Dia pun juga tak mengajukan PK, layaknya penjahat ataupun orang yang terkena kasus. Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Mungkin karena memang semua ini sudah disiapkan oleh Samsi. Di dalam penjara Samsi kini bisa merasakan kepuasan yang lama dia impikan. Pada jeruji –jeruji besi yang perkasa, pada lantai semen yang lembab dan bau yang pesing, Samsi menikmati benar hidup di penjara. Dia tak peduli ketika badannya harus memar-memar, ketika jagoan penjara mengahajarnya karena Samsi lupa memberi jatah rokok pada sang jagoan penjara. Memang hidup di penjara seperti hidup dalam rimba raya, siapa yang kuat dan berani berarti dia menguasai teritorial penjara itu. Samsi memang sudah memperkirakan bahwa hidup di penjara haruslah mempunyai mental dan phisik yang kuat. Sebagai seorang pesakitan yang bergelar perampok agaknya mempunyai arti sendiri dan kebanggan sendiri. Di penjara memang ada kualifikasi perlakuan dan kehormatan antar napi. Yang paling rendah adalah napi yang kena pasal hukum tentang pemerkosaan dan yang paling ditakuti adalah napi yang berpredikat sebagai seorang pembunuh. Samsi agak mendingan. Sebagai seorang perampok nama dan kredibilitas-nya agak disegani oleh sesama napi. Tapi sebenarnya apa yang diinginkan Samsi sehingga harus mengorbankan pekerjaan, harga diri dan keluarga ? .Di ruang penjara Samsi, udara masih terasa panas sementara para napi masih banyak yang berkumpul untuk menghabiskan waktu yang gamang untuk menunggu para sipir penjara memasukkan mereka ke dalam ruangannya masing-masing.

* * *

Terdengar suara gaduh dan ribut di sekitar lingkungan penjara, tersiar khabar ada seorang menteri dan beberapa pejabat serta beberapa anggota wakil rakyat yang kena hukuman dari pengadilan karena terjerat kasus korupsi. Kamar untuk para pejabat itu memnag sudah disiapkan sebelumnya oleh beberapa petugas penjara. Kamarnya memang agak berbeda tapi tetap saja dalam wilayah penjara dan sebutan mereka bukan lagi sebagai pejabat tapi berubah menjadi seorang pesakitan yang kini tinggal dalam penjara Siang itu,. Samsi kegirangan mendengar khabar tersebut.

“ Ini saatnya yang aku tunggu “ bisiknya dalam hati.Muka Samsi kelihatan menggambarkan sesuatu yang ingin cepat-cepat dia selesaikan. Kemudian beberapa pejabat yang kena hukuman itu dengan muka tertunduk malu dan dengan perasaan asing, ketika menginjakkan kaki di lingkungan yang baru. Mereka kini sudah digiring oleh beberapa penjaga penjara untuk memasuki ruang penjara mereka masing-masing.

* * *

Siang itu lingkungan penjara mendadak ramai dan gaduh. Semuanya seakan tak percaya, kalau di siang yang tidak begitu panas itu ada kejadian yang mengerikan. Beberapa pejabat , menteri dan wakil rakyat yang kemarin baru saja menjalani hukuman penjara, siang itu, mereka mati dengan luka tusukan yang mengerikan.Semua lingkungan penjara terperangah sekan tak percaya bahkan sipir, staff kantor penjara serta seluruh aparat hukum, khususnya polisi menjadi sibuk karena kejadian tragis siang itu. Di dalam sudut kamar penjara yang dihuni oleh salah satu pejabat ditemukan sepucuk surat lusuh bertulisan tangan., yang isinya

“ Inilah balasan dari harta haram yang kalian makan. Tertanda Samsi “ Hanya itu yang tertuang dalam tulisan itu. Semuanya tercengang.Keributan terjadi.

“ Samsi yang membunuh mereka, Samsi membunuh para koruptor ! “ Teriak beberapa penghuni penjara.

* * *

Tapi, siang itu Samsi sudah menghilang. Entah kemana.Para sipir penjara dan beberepa aparat polisi, kini sibuk mencari keberadaan Samsi. Di rumahnya Samsi pun tampak kosong.Istrinya pun juga menghilang. Siang itu udara mendadak mendung.

Klaten, Juli 2008

Dimuat di harian “ SOLOPOS “

Minggu,17 Agustus 2008

AKTOR

CERPEN KARYA : DENDY RUDIYANTA

Burhan tak bisa memejamkan mata malam itu. Malam yang begitu dingin, dengan angin yang pelan-pelan berhembus menusuk tulang. Burhan yang kurus merasakan betul hembusan angin malam itu yang seakan-akan membekukan seluruh jaringan tubuhnya. Tapi tetap saja Burhan tak bisa memejamkan mata. Pandangannya melambung pada kenangan tiga belas tahun yang lalu. Ketika dia menjadi buah bibir masyarakat karena keahliannya menjadi aktor panggung sandiwara. Penampilannnya pada waktu itu, sepertinya tak ada yang bisa menandinginya. Gayannya mantap, apalagi ketika dia memerankan seorang raja ataupun seorang ksatria pembela kebenaran. Semua orang yang melihat penampilan Burhan di panggung sandiwara, semuanya seakan-akan terhipnotis, terkesima, terkagum-kagum bahkan ada yang sampai menangis tersedu-sedan ketika sebuah cerita sandiwara itu menggambarkan sebuah cerita tragedi. Burhan memang seorang aktor. Wajahnya juga cukup bisa dijual alias ganteng. Saking penampilan panggung serta phisiknya mendukung, banyak perempuan yang melihat penampilan Burhan, pastilah akan terpincut-pincut. Bahkan, kedanan. Perempuan mana yang tak terpikat dengan penampilan Burhan. Di panggung dia sering memerankan tokoh protagonis yang jumawa, bersahaja dan selalu penuh kewibawaan serta kearifan. Di luar panggung pun Burhan, tak jauh beda dengan ketika dia memerankan seorang tokoh jagoan. Gayanya biasa-biasa saja. Seakan-akan dia bukanlah seorang aktor yang hebat. Dengan para penggemarnya dia sangat ramah dan fleksibel. Kesombongan tak terpancar kepada dirinya.Semua penggemar yang ingin berkenalan, berphoto bersama,minta tanda tangan, dia layani dengan penuh senyum yang mengembang. Burhan memang seorang aktor yang mampu memikat yang namanya perempuan. Pernah ada suatu kali, mungkin saking kesengsemnya dengan penampilan Burhan. Seorang istri pejabat kabupaten merelakan cerai dengan suaminya yang pejabat, hanya untuk mengejar cintanya dengan sang aktor Burhan. Tapi Burhan bukanlah type lelaki yang mudah terayu harta dan perempuan. Dia lebih mementingkan karier dalam bidang ke-aktorannnya daripada harus terkungkung dalam cengkraman yang namanya perempuan dan kekuasaan. Istri pejabat itu pun ditolak cintanya mentah-mentah oleh Burhan. Karena cintanya ditolak oleh Burhan, istri pejabat itu rela mati bunuh diri dengan cara gantung diri di kamar mandi rumahnya. Mungkin karena ingin mengejar kariernya di bidang ke-aktorannya, maka sampai saat ini Burhan belum mempunyai pendamping. Burhan sampai saat ini masih single.Bahkan, belum punya pacar. Apalagi istri. Meski sudah puluhan perempuan yang antri ingin menjadi istrinya. Burhan tetap bersikukuh pada pendiriannya.

“ Panggung adalah segalanya bagiku. Istriku adalah panggung. Syahwatku adalah para penonton “, katanya pada waktu itu, ketika sahabatnya menyodorkan seorang perempuan cantik nan seksi yang didatangkan dari kota yang diharapkan bisa menjadi istrinya Burhan.

“ Wong kenthir …”, sahabatnya akhirnya kapok ketika harus berbicara masalah pendamping untuk Burhan. Burhan orangnya sangat sederhana. Dia tak merokok, penampilannya biasa saja. Bukan seperti kebanyakan seniman yang penampilannya selalu asal-asalan dengan rambut gondrong dan di mulut tak pernah lepas dengan yang namanya rokok. Kelebihan Burhan yang banyak orang menyebutnya, seorang jenius panggung. Karena Burhan bukan hanya sebagai pemain di panggung, tapi juga sebagai penulis cerita dan seorang sutradara ditambah sebagai pimpinan rombongan sandiwaranya. Dia bisa segalanya, dari menulis naskah cerita, me-nyutradarai, memainkan peran di panggung sampai menata panggung dan musiknya. Semuanya adalah olahan pikiran Burhan.Burhan juga seorang yang transparan. Upah para anak buahnya dibicarakan secara terbuka, ketika acara pentas sudah usai. Setelah itu, Burhan dengan adil dan transparan membagi hasil jerih payah kepada para anak buahnya. Semuanya senang tak terkecuali Burhan sendiri.Tak ada yang merasa dirugikan. Karena bayaran dibagi secara adil menurut kapasitas kerja mereka. Anak buah Burhan menyebut Burhan sebagai dewa penolong dan seorang guru yang selalu membimbing kepada profesionalitas kerja. Tapi itu, tiga belas tahun yang lalu. Sangat kontradiktif dengan keadaan sekarang. Burhan kini hanya seorang bekas. Yah, hanya seorang bekas aktor panggung yang dulu selalu dipuja-puja penggemarnya. Burhan kini hanya seorang pengangguran. Tak punya kerja. Karena dia memang bukan seorang pekerja yang kerjanya hanya melakukan rutinitas kegiatan yang membosankan.Dia bukan seorang buruh, karena dia memang bukan seorang yang gampang diperintah maupun disuruh-suruh. Burhan dulu adalah seorang sutradara yang kerjanya mengatur dan memerintah para pemain.Kehidupan Burhan saat ini sangat berbeda jauh dengan tiga belas tahun yang lalu. Segalanya kini sepi. Semua anak buahnya kini pergi untuk mencari penghidupan yang layak di ibukota. Burhan tak punya teman. Seperti malam itu Burhan tak bisa memjamkan mata. Pikirannya memerawang jauh.

* * *

Dengan sedikit tertatih-tatih Burhan akhirnya dapat menyelesaikan pekerjaannya. Sebuah panggung yang cukup besar. Dengan bahan bambu dan kayu jati seadanya, Burhan kini telah menyelesaikan sebuah panggung di depan rumahnya.Semua orang yang lewat depan rumahnya, bertanya-tanya,

“ Untuk apa Mas Burhan membuat panggung ? Apa mau manggung lagi, ya ? Ah, mana mungkin “, kata orang – orang yang lewat. Udara sore itu masih menyisakan panas yang tak begitu menyengat. Tapi di rumah Burhan, tampak kesibukkan. Burhan masih tampak mencoba membaca sebuah naskah sandiwara. Mulutnya komat-kamit persis kayak dukun gadungan. Tampaknya Burhan sedang menghapalkan sebuah naskah sandiwara yang dia karang sendiri. Burhan akan kembali ? Ah entahlah. Sore menjemput petang akan datang dan adzan maghrib pun berkumandang.

* * *

“ Aku harus kembali ! “, teriak Burhan malam itu.

“ Hidup dan matiku ada di panggung. Kejayaan tiga belas tahun yang lalu harus kukembalikan. Aku akan bermain menjadi aktor lagi. Telah aku buat cerita yang semua orang tak akan pernah melupakan cerita dan penampilanku “, Burhan berkata sendiri di kamar tidurnya. Pikirannnya terus memimpikan penampilan yang akan dia lakukan malam minggu besok. Dia seakan-akan sudah sangat merindukan keinginannya untuk tampil di panggung lagi. Dia akan menampilkan sebuah reportoar monolog. Semuanya dia lakukan sendiri. Tanpa bantuan orang lain. Karena memang sudah tidak ada anak buahnya lagi.

“ Masih dua minggu. Cukup untuk aku latihan dan menyempurnakan pementasannya. Semuanya pasti akan kagum dan mengakui, akulah sang aktor hebat. Tak ada yang bisa menyamaiku “, Burhan bergumam sendiri. Langit tetap menghitam dengan warna jelaganya. Bulan tampak malu ketika segumpal awan hitam menyambut sinarnya. Malam semakin larut. Burhan masih setia dengan naskahnya.

* * *

Beberapa lembar pamflet sudah tersebar ke kampung-kampung dan kota. Semua orang yang mendapatkan selebaran pamflet itu. Tampak orang-orang itu seakan tak percaya dengan yang ada dalam tulisan pamflet tersebut.

“ Burhan akan pentas. Burhan akan main lagi. Sang aktor kini kembali lagi. Aktor yang hilang kini sudah kembali “, orang-orang berteriak-teriak, ketika membaca selebaran yang tersebar di jalanan itu.

“ Sang aktor akan main, malam minggu nanti…”, orang-orang yang jalanan itu, tetap saja berteriak. Mobil pick up hitam yang membawa selebaran itu sudah pergi meninggalkan orang-orang itu. Suaranya menderu melibas aspal hitam.Kini, tak ada sisa suara mobil itu akhirnya mobil pick up hitam itu menghilang di tikungan jalan.

* * *

Malam minggu yang cerah. Bintang-bintang dan rembulan menyanding cahaya yang menawan. Seakan perpaduan yang tak bisa dilukiskan. Tuhan memang benar atas segala nikmat kebesaran dan kuasa-Nya. Alam begitu indah kalau kita bisa merenungi kehebatan Sang Penciptanya. Seperti malam ini, malam yang ditunggu ratusan orang. Khususnya, Burhan sang aktor. Tua muda, laki-laki perempuan, rakyat jelata sampai pejabat semuanya berjubel memenuhi halaman rumah Burhan. Keinginan mereka hanya satu, menyaksikkan penampilan sang aktor Burhan. Kerinduan mereka mungkin sudah memuncak. Karcis semuanya terjual habis. Target penonton yang ingin dicapai Burhan sudah tercapai. Tamu undangan yang terdiri dari para pejabat, tokoh masyarakat, seniman, para wartawan cetak dan elektronik semuanya sudah datang. Bahkan, para teman-temannya yang dulu menjadi anak buahnya semuanya juga sudah datang.Karena memang Burhan mengundang mereka. Mungkin mereka ingin juga merindukan penampilan sang gurunya. Setelah dirasa waktu sudah semakain larut. Acara pun dimulai. Diawali sambutan oleh Pak Lurah, selaku sesepuh dan sponsor utama acara pentas monolog Burhan. Setelah itu, MC memulai acara,

“ Inilah Burhan sang aktor yang sudah lama kita tunggu penampilannya. Malam ini akan membawakan sebuah reportoar pentas monolog, dengan judul, Matinya Sang Aktor. Kepada para penonton,inilah saat yang kita tunggu-tunggu. Selamat menonton “. Lampu padam. Musik mengalun pelan mendayu. Para penonton diam tak ada suara.Hening menguasai seluruh panggung dan sekitranya.Tak ada yang berani bicara, bahkan berbisik tak terdengar. Semuanya sekan sudah terbawa dalam arus pementasan malam itu. Sang aktor keluar dengan begitu gagahnya.Dengan berpakaian seperti seorang ksatria yang telah memenangkan sebuah pertempuran di medan perang, Dan di tangan sang aktor membawa sebuah keris. Dengan suara yang lantang, sang aktor berbicara,

“ Aku hidup dan mati sebagai aktor panggung. Inilah akhir dari penampilanku. Aku minta maaf kepada kalian semua “, tiba-tiba Burhan menusukkan keris yang dia bawa ke perutnya. Persis kena jantungnya.Darahnya muncrat. Burhan terkapar bersimbah darah. Orang – orang yang melihat terkesima. Semuanya memberi tepuk tangan. Tepuk tangan mereka tak berhenti. Seperti darah yang terus mengalir memenuhi panggung. Darah sang aktor tak bisa berhenti.Entah sampai kapan.

Klaten, Juli ‘08

BUDAYA,CERPEN

PENSIL ROBOT

Cerpen Karya :

Dendy Rudiyanta

Dengan agak kelelahan Kang Tanggong, meletakkan sepeda tuanya di pojok rumahnya. Sepeda yang sudah hampir 80 % besinya karatan dan dengan dua ban yang sudah halus, Kang Tanggong masih tetap saja memakai sepeda tua itu. Maklum, tanpa sepeda itu berarti seluruh keluarganya tidak bisa makan dan menyekolahkan anak satu-satunya. Anak Kang Tanggong saat ini sudah kelas 2 SD. Namanya Bagas. Badanya kecil tapi sangat pintar dan juga sudah bisa membaca. Kang Tanggong sangat sayang kepada anak satu-satunya itu.Dengan sepeda tuanya itu, Kang Tanggong bekerja sebagai seorang pencari rongsokan. Sepeda yang di belakangnya dia beri sebuah bronjong yang terbuat dari anyaman bambu. Kang Tanggong meletakkan rongsokan di dalam bronjong itu. Macam-macam rongsokan yang Kang Tanggong bawa. Dari yang namanya besi, kertas, kardus, sampai barang-barang yang memang sudah tak terpakai. Biasanya dia berkeliling dari satu kampung ke kampung yang lain, mencoba mencari orang-orang yang mau menjual barang-barang yang sudah tak terpakai atau yang mengotori rumahnya. Kang Tanggong lalu membeli barang itu, dengan hitungan kiloan. Memang Kang Tanggong biasanya membawa timbangan kecil yang bisa dibawa ke mana-mana. Setelah membeli dari orang-orang, dia lalu menjualnya kepada juragan rongsok yang kelasnya agak besar. Hitungannya sama. Juragan rongsok akan membeli brang-barang rongsok Kang Tanggong juga dengan hitungan kiloan. Hasilnya lumayan. Biasanya Kang Tanggong setiap hari bisa mengantongi duit paling sedikit 15 ribu per harinya. Pekerjaan ini memang memerlukan ketelatenan yang kuat, dan mental yang tahan banting. Bayangkan dia setap hari harus berekliling dari satu tempat ke tempat yang lain, tanpa mempedulikan waktu. Apalagi ketika ada orang-orang yang sinis memandangnya, Kang Tanggong dengan ikhlas dan sabar menerima perlakuan seperti itu.

“ Namanya juga kerja, pasti ada kendalanya”, ujarnya pada waktu itu . Memang kalau kerjaan seperti Kang Tanggong itu penuh resiko. Karena pada saat ini kerjaan seperti Kang Tanggpng itu, sering dsianggap minor oleh masyarakat. Ada yang bilang mereka itu sering mencuri barang-barang yang bukan miliknya. Karena seringnya warga melaporkan bahwa mereka kehilangan barang-barang bekasnya. Dan para warga menuduh behwa yang melakukan adalah para pemulung –pemulung. Seperti pekerjaan Kang Tanggong pada saat ini. .Kang Tanggong menyadari semua itu. Tapi dengan mental yang pantang menyerah dan dengan kejujurannya, bahwa dia belum pernah sama sekali untuk bertindak seperti yang dituduhkan tadi, apalagi sampai mencuri. Kang Tanggong sore itu, sudah tiba di rumah. Setelah meletakkan sepeda tuanya, Kang Tanggong langsung menuju sebuah padasan. Berwudhulah dia, karena adzan maghrib sudah memanggil. Kang Tanggong memang orang yang tidak pernah lupa kewajibannya untuk menunaikan ibadah sholat. Setelah menunaikan sholat maghrib, Kang Tanggong langsung menuju sumur di belakang rumahnya, sekedar untuk menghapus kelelahan dengan mandi. Ketika selesai mandi, wajah Kang Tanggong seperti sedang mencari seseorang.

“ Bagas mana, Dik ? “, tanya Kang Tanggong kepada istrinya.

“ Tidur”, hanya itu jawaban istrinya.

Lho, kok tidur ? Ini kan baru jam setengan tujuh “.

“ Bagas marah, dia pingin pensil robot seperti punyanya Wawan teman sebangkunya “, istrinya menjelaskan.

“ Pensil robot ? “.

Iya, Kang Tanggong besok kalau lewat toko buku, tolong Kang Tanggong mencari pensil robot buat Bagas. Pensilnya biasa, tapi ada gambar robotnya “’ Kang Tanggong terdiam sejenak seperti berpikir.

Sudah jangan dipikir, yang penting Kang Tanggong sekarang makan dulu. Itu sudah aku siapkan bothok teri kesukaan Kang Tanggong “, istrinya seketika itu beranjak dari kursi kayu untuk mempersiapkan makan malam suaminya.

* * *

“ Pensil robot ? Kemana aku harus mencarinya ? “, pertanyaan itu terus menggelanyut dipikiran Kang Tanggong. Kang Tanggong adalah orang yang sangat sayang kepada anaknya. Apapun yang diinginkan anaknya, kalau dia mampu dia akan membelinya. Seperti kemarin, anaknya minta dibelikan layangan, karena harganya murah, dia belikan layangan itu. Meski sekarang layangan itu sudah hilang karena tersangkut pohon kemarin sore. Seperti siang ini, Kang Tanggong sudah harus keluar masuk dari toko satu ke toko yang lain tapi tak ada yang menjual yang namanya pensil robot. Hampir setengah hari Kang Tanggong harus mencari pensil robot.Untuk sementara, pekerjaannya pun dia lupakan. Dengan susah payah dia harus keluar masuk toko, keluar masuk pasar. Tapi tetap nihil hasilnya. Sudah dia tanyakan hampir puluhan orang, tapi tetap saja tak dia temukan pensil robot itu.Karena hari sudah kelihatan akan gelap, Kang Tanggong dengan lesu menyerah. Dia sudah kehabisan waktu. Dia berpikir semangat dan waktu sudah tak seimbang. Keinginannya sebenarnya adalah, hari ini dia harus bisa membawa sebuah pensil robot untuk anaknya Bagas. Tapi kenyataan berkata lain, dia tak bisa membawakan Bagas sebuah pensil robot.

“ Dapat Pak pensilnya ? “ Bagas bertanya penuh harap.

“ Besok ya, Gas. Tadi bapak sudah mencari ke sana ke sini, tapi tak ada yang menjualnya “.

“ Kata Wawan, belinya di tokonya Koh Ndut. Tokonya warnanya biru “, Bagas agak kecewa ketika keinginannya tak dia dapatkan.

“ Oh ya. Bapak tahu kok tempat itu. Besok bapak kesana. Sekarang kamu tidur dulu, besok pensil robotnya pasti sudah bapak belikan “. Kang Tanggong menghibur Bagas. Bagas secepatnya menuju kamar tidurnya. Dia berharap bapaknya pasti akan membelikan pensil robot. Kang Tanggong menghela napasnya dalam-dalam. Akhirnya dia bisa menghibur Bagas tanpa ada masalah. Meski sekarang yang jadi masalah adalah, Kang Tanggong sebenarnya tidak tahu tokonya Koh Ndut. Setahu Kang Tanggong, dia belum pernah mendengar toko yang nama penjualnya bernama Koh Ndut. Tapi dia berkeyakinan, dia akan mencari toko itu. Yang pasti pemiliknya adalah orang cina. Malam bergerak cepat dan hening. Kang Tanggong dengan perlahan-lahan meletakkan badannya yang lelah di atas sebuah kursi tamu berhadapan dengan sebuah TV kecil 14 inch. Kang Tanggong kini sudah lupa segalanya, karena malam sudah merenggut rasa kantuknya yang dia tahan sejak tadi.

* * *

Setelah penuh dengan barang rongsokan di bronjongnya, Kang Tanggong mengayuh sepedanya menuju pasar kota dekat terminal. Hanya satu tujuannya mencari tokonya Koh Ndut, yang katanya Bagas tokonya Koh Ndut yang menjual pensil robot. Barang yang diinginkan Bagas sejak kemarin. Dengan lincahnya dia mengayuh sepeda tuanya. Agak keberatan juga Kang Tanggong mengayuh sepeda yang telah bersi barang-barang rongsokan hasil kerja setengah harinya tadi. Dengan sekuat tenaga Kang Tanggong mengayuh dua pedal sepedanya karena jalanan kelihatan menanjak tajam. Hampir satu jam, akhirnya Kang Tanggong sampai di pasar kota. Di pasar itu sudah berjubel para pedagang dan pembeli. Memang hari ini tidak seperti biasanya. Hari ini tampak pasar kelihatran ramai sekali dan ruwet. Lalu lalang kendaraan dan angkutan saling berdesakkan. Pasar kota siang itu memang terasa geliatnya. Kang Tanggong sudah sampai, dia mencoba mencari toko yang catnya berwarna biru. Agak kelelahan Kang Tanggong harus mengamati satu toko ke toko yang lain. Tapi, tiba-tiba di dekat sebauah sungai kecil dan jembatan kecil, dia melihat sebuah bangunan tua yang berwarna biru. Dia berpikir pasti itu toko yang dimaksud temannya Bagas. Lima menit dia sudah sampai persis dihadapan toko yang berwarna biru itu. Keyakinan Kang Tanggong bertambah, ketika dia melihat sang pemilik toko adalah orang cina yang badannya gendut.

“ Pasti toko ini yang dimaksud “, Kang Tanggong dengan keyakinan penuh, masuk ke toko tersebut.Dengan sedikit mengusap peluhnya, dia menanyakan barang yang dimaksud kepada pemilik toko itu.

“ Maaf, Pak pensilnya sudah habis. Baru saja dibeli oleh seorang ibu yang membawa seorang anak perempuannya. Mungkin belum ada 5 menit-an perginya, jawab pemilik toko itu dengan entengnya. Wajah Kang Tanggong seketika itu menjadi pucat pasi dan hampir pingsan ketika mendengar jawaban pemilik toko itu.

Klaten, Juli ‘08

HIKAYAT, SOLOPOS

PAK USMAN

KARYA : DENDY RUDIYANTA

Namanya Pak Usman orangnya kecil, rambutnya sebagian sudah memutih, umurnya kurang lebih 50 tahun an. Orang-orang tidak tahu darimana dia berasal. Sudah hampir 3 minggu ini, Pak Usman hidup di dalam mushola kecil di tengah kampung.mushola yang sudah berdiri sejak aku belum lahir tapi jarang dipakai untuk melakukan ibadah sholat berjamaah oleh para warga yang beragama Islam. Memang, pengetahuan agama warga kampungku belum terlalu mengerti atau bisa dibilang minim. Kebiasaan dari para warga, kebanyakan mereka mempercayai hal-hal yang masih bersifat tahayul dan mistik. Jadi, masalah agama justru dianggap tidak penting. Memang kebanyakan mereka beragama Islam tapi jarang melakukan kegiatan keagamaan. Makanya, mushola yang kecil itu tidak terawat sama sekal karena memang jarang dipakai untuk kegiatan keagaamaan khususnya kegiatan sembahyang sholat . Orang-orang tidak tahu siapa sebenarnya Pak Usman itu. Setiap hari selalu berada di mushola itu. Kadang hanya beberapa jam dia meninggalkan mushola kecil itu, lalu kembali lagi. Orang-orang juga tidak tahu apa pekerjaan Pak Usman itu. Aku tahu namanya Pak Usman karena beberapa hari yang lalu, aku pernah menanyakan kepadanya.

“Maaf, Bapak siapa ?”, tanyaku pada waktu itu.

“ Namaku Usman, Dik “. Sudah hanya itu jawaban Pak Usman. Setelah itu dia langsung pergi, entah ke mana. Padahal ada berpuluh-puluh pertanyaan yang akan aku tanyakan kepadanya. Tapi keburu dia sudah meninggalkan aku sendirian di teras mushola itu. Aku sampai detik ini masih bertanya-tanya siapa gerangan Pak Usman itu ? Suatu saat pasti akan aku tanyakan lagi siapa sebenarnya dia itu. Memang keberadaan Pak Usman tidak mengganggu kenyamanan para warga kampungku. Malahan, sekarang mushola itu tampak bersih dan asri. Tapi tetap saja para warga tidak ada yang melakukan sholat berjamaah di mushola itu. Pak Usman tampaknya memang sosok yang misteri bagiku. Pada waktu sholat 5 waktu, suara Adzan yang biasanya memang tidak pernah terdengar di dalam mushola itu, kini selalu terdengar semenjak ada Pak Usman. Dari sholat Dhuhur sampai Shubuh, Pak Usman dengan fasihnya melafadzkan kalimat-kalimat panggilan sholat. Meski tetap saj tak ada yang datang ke mushola itu. Pak Usman dengan ikhlas tetap melakukannya. Pak Usman yang adzan, Pak Usman yang qomad, Pak Usman yang jadi imamnya, yang jadi ma’mum nya juga Pak Usman. Semuanya Pak Usman Karena memang tak ada satu wargapun yang berkeinginan melakukan sholat berjamaah. Dalam hati aku sedih dan terharu. Pak Usman yang tua itu, tanpa pamrih apapun sedia melakukan kebaikan. Aku sendiri yang juga buta terhadap agama, ketika melihat Pak Usman jadi tertarik untuk mendatangi mushola di kampungku itu. Keinginan tahuku adalah, ingin tahu apa sebenarnya yang diinginkan Pak Usman. Dan kenapa dia melakukan itu semua ? Pertama-tama aku membuat sebuah rencana, bagaimana caranya mengorek seluk beluk Pak Usman itu sebenarnya. Paling tidak, aku pernah berbicara dengan Pak Usman minimal dia sudah mengenal aku, meski hanya sekilas.

* * *

Sholat Mahgrib aku mencoba pergi ke mushola itu untuk bertemu Pak Usman. Setelah selesai mengumandangkan Adzan Maghrib, aku masuk ke mushola. Pak Usman tampak khusyu’ dengan posisi bersimpuh, sesekali mulutnya tampak komat-kamit. Pandangan matanya tertunduk. Sepertinya dia tidak tahu kalau aku datang untuk bersama-sama menjalankan sholat Mahgrib berjamaah bersamanya. Aku pelan-pelan duduk di sampingnya. Ketika melihat aku datang, Pak Usman tampak kaget, tapi cepat-cepat dia menyembunyikan kekagetannya. Kemudian, dia tersenyum padaku lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Aku senang dia sudah tahu kedatanganku.Tapi kembali lagi Pak Usman berkonsentrasi melafadzakan doa-doa, itu tampak mulutnya kembali komat-kamit. Aku pun hanya terdiam dan hanya duduk menunggu Pak Usman untuk mengumandangkan Qomat. Setelah sholat Mahgrib itu, aku mencoba untuk berbicara dengan Pak Usman.Tapi sekali lagi yang sudah aku duga menjadi kenyataan, Pak Usman enggan berbicara denganku. Pak Usman setelah sholat itu langsung pergi ke luar mushola dan meninggalkan aku sendiri di dalam mushola itu. Esok yang dingin. Aku melihat Pak Usman duduk di bawah pohon sawo dekat mushola. Wajahnya seperti biasanya tak nampak gurat kesusahan di raut mukanya. Wajah Pak Usman memang sudah banyak kerutan karena termakan usia. Tapi aku melihat di balik wajah itu, ada sinar keikhlasan yang luar biasa yang terpancar di wajahnya . Dengan mengenakan sarung yang sudah tua karena warnanya kelihatan sudah kusam dan memudar sepertinya sama dengan umur orang yang memakianya itu. Dan dengan baju koko warna hijau muda, ditangan kanannya Pak Usman memegang sebuah tasbih kecil warna putih keperak-perakkan. Mulutnya sepertinya tak berhenti mengucap Asma Allah. Tampak khusyu’ sekali dia melafadzkan itu. Aku yang mengawasi gerak-gerik Pak Usman jadi tampak sungkan untuk mendekat. Karena tekadku sudah bulat, yaitu ingin mengorek keterangan tentang siapa sebenarnya Pak Usman, hal itu tak aku pedulikan. Aku nekat mendekati Pak Usman.

Assalamu’alaikum, Pak Usman.” Pak Usman kaget melihat kedatanganku yang mendadak itu.

Walaikumsalam, Dik. Hanya itu yang diucapkan Pak Usman. Kembali lagi dia bekosentrasi mengucapkan Asma Allah yang tadi terhenti karena kedatanganku . Aku jadi rikuh dan kiku’. Kembali aku nekat untuik menggangu ke khusuyu’ kannya.

“ Maaf, Pak Usman.Boleh saya sedikit mengganggu.Eehh anu…, Pak Usman sebenarnya tinggal di mana ? Apa Pak Usman punya keluarga ? Pak Usman kerja di mana ?”, meski nekat dan lancang aku menanyakan semuanya itu. Mungkin ini karena sudah tekat bulatku aku beranikan untuk bertanya ke Pak Usman. Aku melihat dengan jelas, ekspresi wajah Pak Usman tak menampakkan perubahan sama sekali. Sepertinya dia sudah tahu perihal kedatanganku dan segala pertanyaanku tadi. Waktu terdiam dan mati sejenak, semuanya tampak sepi. Hanya desiran angin pagi yang menjatuhkan beberapa helai daun-daun kering di pohon sawo itu.Aku hanya menunggu jawaban dari Pak Usman. Tak ada reaksi dari Pak Usman. Kosentrasinya tetap saja pada butiran-butiran tasbih yang ada dalam genggaman tangan kanan Pak Usman.Seketika itu Pak Usman berdiri.

“ Maaf, Dik. Saya harus pergi “.

“ Tapi….? “

Wassalamu’alaikum….”.

Walaikumsalam…”. Pak Usman pergi. Aku terbengong-bengong. Sama sekali tak ada jawaban. Dan semua rencanaku untuk mengorek keterangan tentang Pak Usman gagal.Helai demi helai daun kini sudah berterbangan ke sana kemari. Pagi yang begitu dingin menambah kuat penasaranku terhadap Pak Usman.Setiap hari yang aku kerjakan seperti seorang intelejen BIN dan layaknya agen CIA. Aku selalu mengawasi gerak-gerik yang dilakukan Pak Usman. Kesimpulannya adalah, tak ada yang aneh dari kegiatan Pak Usman. Dari membersihkan kamar mandi mushola, tempat wudlu, mengumandangkan Adzan sampai melakukan sholat. Kegiatan Pak Usman itu tak ada yang aneh dan merupakan rutinitas sehari-hari dari kegiatan Pak Usman di mushola itu. Energi pikiran dan tenagaku sepertinya kalah dengan energi keikhlasan Pak Usman terhadap mushola itu. Aku kini sudah lelah untuk mengawasi Pak Usman. Aku tak bisa mendapatkan apa-apa. Tapi ada perubahan yang mencolok dari musholaku kini. Mushola itu tampak bersih. Meski tetap saja,tak ada jamaahnya.

* * *

Beberapa bulan ini keadaan Mushola di kampungku mulai regeng dan makmur.Ada perubahan drastis yang terjadi di kampungku Kini, sudah ada beberapa orang warga yang pergi ke mushola untuk melakukan sholat jamaah. Meski hanya waktu Mahgrib dan Isya’. Dari yang kaum bapak - bapak, ibu-ibu, sampai anak-anak kini sudah giat untuk pergi ke mushola. Aku pun termasuk sebagian dari mereka. Mushola yang dulunya kotor dan sepi, kini terasa ramai dan suasana keagamaan di kampungku kini sudah sangat terasa menggema. Malahan kini, tiap malam minggu sudah diadakan pengajian rutin yang mendatangkan ustadz dari luar kampungku.Dan pada hari minggu kemarin para pemuda bergotong royong melakukan bersih-bersih dan mengecat ulang tembok mushola ke warna yang lebih segar dan indah.Semua tampaknya bekerja tanpa pamrih karena niat mereka untuk mencari pahala sebanyak-banyaknya dan menebus semua kesalahan yang lalu terhadap Allah. Mungkin kesalahan-kesalahan dari para warga kampungku adalah, sering melalaikan kewajibannya untuk mengingat Allah dan tidak memelihara mushola secara benar sebagai sarana tempat ibadah para warga yang beragama Islam. Ini mungkin karena Pak Usman ? Ya, Pak Usman. Pak Usman yang aku sendiri tidak kenal siapa beliau ?, Rumahnya di mana ?, Pekerjaannya apa ? Dan segala tetek bengek tentang dia. Ya, Pak Usman mampu merubah kampungku yang dulunya sering menyepelekkan tentang agama, kini secara pelan-pelan mau kembali untuk memenuhi kewajibannya terhadap Tuhannya.

* * *

Kini, Pak Usman telah menghilang entah kemana. Tak ada orang yang tahu. Aku juga tak pernah tahu keberadaan dari Pak Usman.Yang aku pikir adalah, dialah orang yang mempu merubah kampungku menjadi kampung yang sudah kembali kepada kewajibannya terhadap Allah. Mushola kampungku kini sudah dipadati oleh para jamaah. Sekarang bangunan mushola sudah direnovasi dari hasil penarikan dana sumbangan para warga dan bantuan dari pemerintah kabupaten. Megah sekali bangunan itu, tempatnya pun diperbesar agar bisa menampung para jamaah yang lebih banyak. Setelah berhasil membentuk kepengurusan dan mengadakan rembuk desa, mushola itu kini berubah statusnya menjadi sebuah masjid, dengan nama; Masjid “ Usman “. Aku tersenyum bangga Air mataku menetes pelan di pipi. Wajahku tengadah ke atas, aku melihat bayangan Pak Usman yang kini mungkin sudah pergi ke tempat ibadah di kampung lain yang mungkin keadaanya sama dengan musholaku yang dulu. Ya, mungkin. Terima Kasih, Pak Usman.

Klaten, Agustus ‘08

HIKAYAT, SOLOPOS

HUTANG

Karya : Dendy Rudiyanta

“ Tanggal 18 tinggal empat hari lagi, Pak “. Wayah mengingatkan suaminya yang sejak tadi masih memegang sebuah buku agama yang berwarna hijau.

“ Mas Badrun pasti akan datang lagi untuk menagih hutang :, Wayah meneruskan bicaranya. Suaminya pun tak bergumam sedikitpun. Masih tetap membaca buku agama.

“ Kita jelas tak mungkin bisa membayar dalam waktu dekat ini. Dagangan kita bulan-bulan ini sepi pembeli. Padahal besok anak kita Rahmat harus membayar uang kuliahnya”.Wayah mencurahkan kekkhawatirannya tentang kondisi keuangan keluarganya kepada suaminya.Suaminya yang diajak bicara dari tadi, sekarang berdiri dan langsung masuk kamar. Tak ada reaksi apa-apa dari Midar suami Wayah. Midar sepertinya tak menghiraukan keluh kesah istrinya itu. Itu tampak dari sikap Midar yang sepertinya tak menampakkan kegelisahan seperti istrinya.

Piye tho, Mas ? Diajak ngomong kok malah pergi tidur “. Kini yang terdengar hanya napas malam yang mulai terasa. Napas malam itu terasa terengah-engah seperti kehidupan Wayah dan keluarganya yang kini harus menanggung beban hidup yang semakin berat. Sebagai seorang penjual warung makan di pinggir jalan, pastilah dengan persaingan bisnis yang semakin ketat kalau tidak dengan cara berhutang tak mungkin mereka bisa bertahan hidup. Meski harus gali lubang tutup lubang ke sana sini. Sudah hampir 4 bulan ini, keluarga Midar berhutang kepada Pak Syamsul juragan beras yang nyambi bisnis meminjamkan uang kepada siapa saja yang membutuhkannya. Meski dengan bunga yang mengerikan. Tapi, tetap saja orang-orang yang butuh bantuan untuk menambah modal usaha, mereka mau saja meminjam uang kepada Pak Syamsul.

Ya,karena butuh, Mas”, jawab orang-orang pada waktu itu.Memang uang di jaman sekarang ini bagaikan berhala yang membiuskan.Uang bagaikan valium yang memabukkan Uang adalah segalanya. Tak ada uang tak ada kehidupan. Malam kini semakin merayap dengan cepatnya, napasnya pun semakin menggila. Udara pun juga nampak sudah terasa dinginya. Rumah type 36 yang terletak di pinggir lapangan Volley itu sudah nampak senyap. Tampaknya penghuni rumah itu sudah menyerahkan kepada sang malam. Entah apa yang akan diperbuat kepada mereka. Yang jelas keluarga Midar harus melunasi hutang-hutang kepada Pak Syamsul, lewat debt kolektornya Mas Badrun. Badrun adalah seorang residivis. Selama 3 tahun ini, dia menghirup udara bebas. Dulu Badrun terkenal dengan perampok berdarah dingin. 5 nyawa sudah dihabisinya. 3 diantaranya adalah seorang polisi, 2 lainnya petugas parkir dan seorang ibu yang sedang berada dalam Toko Mas tatkala Badrun bersama kelompoknya mengadakan aksi perampokan di Surabaya. Badrun menjalani hukuman selama 18 tahun. Dan 3 tahun ini dia bisa merasakan udara bebas. Pak Syamsul tak menyia-nyiakan kesempatan ini, ditariknya Badrun untuk bekerja kepadanya sebagai seorang debt kolektor. Banyak hasil yang didapat ketika Badrun bekerja di tempatnya Pak Syamsul. Hampir 99 % setiap orang yang ditagih hutang oleh Badrun, hasilnya pasti 100 % berhasil. Dan 4 hari lagi keluarga Midar harus berurusan dengan Badrun.

* * *

Ok, 3 hari lagi saya ke sini. Awas kalau melanggar janji, rumah ini akan saya sita ! “ Badrun tegas menggertak Midar. Si debt kolektor Badrun yang sudah memegang sebuah golok, tampak sungguh-sungguh dengan ancamannya.Midar hanya diam terpaku.Dia bingung mau berbuat apa-apa. Istrinya yang berdiri di samping suaminya sudah dari tadi gemetaran semenjak kedatangan Badrun.

15 juta, Pak ? Bagaimana kita harus mencarinya dalam waktu 3 hari ini ? ‘, Wayah berucap seperti orang gila. Midar yang orangnya memang pendiam. Tetap saja diam.Tak bereaksi apa-apa.Pagi yang tidak terlalu panas itu, sudah membikin panas suasana keluarga Midar. Kehidupan keluarga Midar pagi itu, sudah tampak gerah dan menyesakkan dada. Kebingungan melanda keluarga itu. Pikiran mereka melayang sendiri – sendiri. Jawaban pun tak ada. Yang ada hanya kebisuan seakan-akan mereka sedang menghadapi tembok yang maha perkasa dan kokoh bak baja yang menantang.

“ Kita berdoa saja, Bu”, hanya itu jawaban Midar.

“ Berdoa ? Aku sudah bosan dengan doa,Mas. Berapa ribu permintaan sudah kuungkapkan kepada Tuhan. Tapi apa ? Apa yang kita dapat ? Malahan kebuntuan dan kekalahan ini yang selalu kita dapatkan. Kok sampeyan bisa ngomong, berdoa saja ,Bu. Buat apa sih, sampeyan ini belajar agama ? Buat apa setiap malam kita melakukan sholat tahajud ? Hasilnya pun tak kita dapatkan”.

“ Mungkin doa kita belum di dengar Allah, Bu. Mbok sabar, pasti ada jalan keluarnya”, Midar menenangkan pikiran istrinya.

“ Sudahlah, Pak. Aku akan cari jalan untuk bisa membayar hutang kita sama Pak Syamsul, dari pada menanggung malu.Sudah aku mau keluar sebentar ! “.

Bu, mau ke mana ?.... “, teriakan Midar tak dihiraukan istrinya. Wayah sudah pergi meninggalkan suaminya sendiri yang terpaku di kursi ruang tamunya.

* * *

“ Bagus bagus. Ini yang namanya nasabah tertib. Nanti kalau mau pinjam bilang sama saya lagi. Oke, uang 15 juta sudah saya terima. Karena urusannya sudah selesai, saya mohon pamit. Terima kasih atas kerja samanya “, Badrun tampak puas ketika bisa membawa uang 15 juta dari Wayah. Wayah pun terlihat puas seperti sudah melepaskan berpuluh bom waktu yang ada di badannya.. Jam waktu siang itu berdetak kencang sekali.Ketika itu Midar yang sejak pagi sudah harus kulakan bahan dagangan, siang itu wajahnya tampak lusuh dan kuyu.

“ Ini, Pak. Nanti tolong kasihkan uang ini sama Rahmat buat mbayar uang kuliahnya ! “, Wayah santai saja menyerahkan uang itu kepada Midar suaminya.

Lho, ini uang dari mana ? Terus urusan kita sama Pak Syamsul, bagaimana ? “, Midar terbengong-bengong dengan kejadian yang baui saja dia alami.

“ Sudahlah, Sampeyan bekerja seperti biasanya. Pokoknya semuanya sudah beres !”, jawaban Wayah malah membuat Midar semakin bingung.

Mas, saya mau keluar dulu. Pokoknya Mas Midar tidak usah khawatir, pokoknya semuanya serahkan sama saya. Itu makan siangnya sudah aku siapkan. Sudah ya, Mas. Wassalamu’alaikum”, Wayah memecah kebingungan pikiran Midar.

Walaikumsalam”, Midar hanya bisa memandangi punggung istrinya yang pelan-pelan yang menghilang balik pintu pagar rumahnya.

“ Aneh ? Darimana istriku mendapatkan uang ? “, sejuta pertanyaan bergelanyut di pikiran Midar.

* * *

Malam itu bayangan sesosok perempuan tampak memasuki sebuah gubuk tua di pinggir desa. Umurnya tidak terlalu tua, juga tidak terlaku muda.Di tangannya kelihatan membawa sebuah bungkusan kecil yang dibungkus sebuah tas kresek hitam. Perempuan itu sekarang sudah memasuki gubuk tua itu.

“ Selamat malam, Mbah “.

“ Selamat malam, genduk cah ayu Wayah. Sudah kamu bawa ubo rampe seprti biasanya itu ? “ Mbah Mingan tampak tenang menyapa tamu perempuan itu. Yang tidak lain adalah Wayah istrinya Midar.

Sampun, Mbah. Semua ubo rampe sudah saya siapkan “.

“ Bagus, cah ayu. Mari sekarang sebelum ayam berkokok kita laksanakan hajatmu, Nduk ! “

Monggo, Mbah “. Mereka berdua masuk ke dalam sebuah ruangan.Malam itu langit seakan lesu dengan bintang-bintang. Tampak mendung hitam nenyudut dalam balik awan. Warnanya hitam berjelaga.Rumah Mbah Mingan yang kecil itu juga sepertinya tak menampakkan kehidupan yang berarti. Semuanya tampak sunyi dan nyenyet.Mbah Mingan memang seorang tokoh paranormal terkenal yang mampu memberi kekayaan kepada orang yang mau minta pertolongannya. Meski jalan yang ditempuh adalah dengan jalan kesesatan yaitu dengan cara membuat perjanjian dengan setan. Seperti yang dilakukan Wayah malam ini.Ya, kini Wayah sudah lupa dengan Tuhannya. Wayah sudah lupa bahwa tindakannya itu melanggar aturan agamanya. Tapi, Wayah adalah manusia yang lemah. Kesusahan harta dan benda membuat Wayah lupa terhadap segalanya. Wayah sudah keblinger dengan tawaran Mbah Mingan untuk mencari jalan pintas dengan cara merger bisnis dengan setan. Memang, selama hampir 6 bulan ini, setiap malam Jum’at Kliwon, Wayah harus sowan ke tempatnya Mbah Mingan untuk memenuhi syarat ritual haram, dengan cara memberikan ubo rampe kepada setan lewat perantara Mbah Mingan. Segala ubo rampe itu konon katanya di berikan untuk sesajen para setan yang telah membantunya mencarikan uang haram. Memang, kehidupan keluarga Wayah berubah total, ketika Wayah melakukan ritual sesat itu dengan Mbah Mingan, daganganya semakin laris, rumahnya kini sudah terisi penuh dengan barang-barang yang luks. Pokoknya sekarang Wayah dan keluarganya menjadi OKB alias Orang Kaya Baru di kampungnya. Malahan, kemarin Wayah sudah inden kendaraan roda empat keluaran terbaru. Sangat drastis perubahan kehidupan keluarga Wayah. Sebaliknya suaminya Midar yang pendiam, tetap saja mempercayai bahwa hasil ini didapat dari kerja kerasnya berjualan di pinggir jalan. Midar tetap konsisten menjalankan perintah agamanya. Sholatnya tertib tanpa bolong.Tahajudnya pun tak pernah putus Berbeda sekali dengan Wayah yang semakin hari, semakin ngawur tak terkendali.Setiap malam Wayah sering keluar,entah ke mana. Dia kini tak pernah menemani suaminya berjualan seperti waktu dulu. Pekerjannya kini hanya berfoya-foya, menghambur-hamburkan uang. Wayah kini tak pernah sholat, ikut pengajian ibu-ibu pun kini dia jarang sekali. Alasanya kepada tetangga, kini dia mempunyai bisnis baru yaitu, bisnis batu permata bersama para ibu-ibu pejabat kabupaten. Itulah yang terjadi sekarang. 6 bulan lalu kehidupan keluarga Wayah sangat terbatas dan hampir mati. Tapi sekarang terjadi perubahan yang mencolok dan aneh. Spekulasi dan opini pembicaraan yang berkembang di kalangan tetangga Wayah banyak bermunculan, Tapi itu tak membaut Wayah risau. Wayah tetap kukuh untuk menjadi hamba setan.

* * *

Malam itu jam 22.17 WIB. Sebuah mobil merah merk jepang keluaran terbaru melaju dengan kecepatan tinggi dalam sebuah jalan aspal pinggir kota yang sempit . Di dalamnya seorang perempuan sedang mengendarai mobil itu. Tiba-tiba sebuah mobil sedan mercy hitam juga dalam kecepatan tinggi, datang dari arah berlawanan. Karena jalanan aspal yang sempit dan dengan pandangan mata yang terbatas karena seharian tadi hujan mengguyur daerah itu.Mendadak, terdengar suara dentuman keras memekakan telinga. Suara benturan itu begitu mengerikan. Mobil merah terbalik, badan mobil itu ringsek tak berbentuk.Sedangkan mercy hitam yang tak bisa mengkontrol laju kendaraanya karena menabrak mobil merah tadi, lantas menabrak pohon mahoni tua pinggir jalan. Body mobil itu pun juga ringsek tak berbentuk. Wayah tewas menggenaskan. Di dalam mercy hitam itu, dua orang lelaki Pak Syamsul dan Badrun juga mati menggenaskan.Kedua kepala orang itu keluar darah segar. Uang ratusan juta yang ada di dalam mobil ringsek itu berserakan.

* * *

Midar dengan telatennya malam itu melayani para pembeli di warungnya.

Klaten, Sept ‘08

Di muat di Harian “ SOLOPOS “Khazanah Keluarga ‘HIKAYAT”

Jum’at, 26 September 2008

HIKAYAT, SOLOPOS

KHUSNUL KHOTIMAH

KARYA : DENDY RUDIYANTA

Setiap hari Si Bongkel ndermimil sendiri. Mulutnya komat-kamit tak jelas. Di manapun dia berada yang dia lakukan hanya mengucap kalimat “ Laa Illaha Illah Allah “. Entah angin apa yang bisa merubah kelakuan Bongkel menjadi seperti itu ? Padahal sebelumnya Bongkel mempunyai kehidupan yang keras dan penuh dengan kejahatan dan kemaksiatan. Sekarang pekerjaan Bongkel adalah sebagai juru parkir depan mall di kota. Sambilannya pun banyak, apa-apa di makelarinya. Dari makelar kendaraan,makelari setiap ada penumpang bis malam,makelari jabatan, nyarikan utangan kepada setiap orang yang butuh uang secara mendadak. Hasilnya lumayan, terbukti barang-barang yang di dalam rumahnya kelihatan harganya tidak murahan. Ada TV 20 inch, kursi meja mewah, kulkas dan lain-lain.Bongkel dulu di kenal juga sebagai seorang preman yang kejam dan terkenal dengan segala kejahatannya. 3 kali dia masuk penjara. Kasusnya macam-macam. Yang pertama kena kasus curanmor. Yang kedua kasus perkelahian antar gang dan yang ketiga ini agak lama Bongkel harus menghuni di penjara, karena Bongkel tega membunuh seorang cina juragan toko bangunan yang tidak mau memberinya uang buat minum. Itulah Bongkel yang kejam dan sadis.Tapi kehidupan Bongkel pun tetap berlanjut, dan sekarang dia menemukan pekerjaan pokoknya sebagai seoarang juru parkir.Dengan pekerjaan itu, Bongkel mampu menghidupi keluarganya. Pokoknya sepertinya kehidupan Bongkel serba kecukupan meski pekerjaan pokoknya hanya sebagai juru parkir. Istrinya Bongkel pun meng-amini pekerjaan yang dilakukan suaminya itu. Istri mana yang tak setuju jika suaminya mendapat penghasilan yang lumayan. Sayang sampai saat ini keluarga Bongkel belum dikaruniai seorang momongan. Padahal menurut mereka, tak ada kelainan apapun dari kondisi gen reproduksi mereka. Mungkin Tuhan belum memberi saja.Tapi sudah hampir 1,5 bulan ini, kehidupan pribadi Bongkel berubah 360 derajat. Bongkel sekarang jarang masuk kerja.Dia kini tak pernah keluar malam yang dulu sering dia lakukan bersama teman-teman premannya. Paling hanya 3 kali seminggu dia masuk kerja.Setiap hari yang dia lakukan hanya pergi masjid, menghadiri setiap ada pengajian dan membaca buku-buku agama. Sepertinya tak ada hari lain, sepertinya hampir 65 % kehidupan Bongkel dihabisi dengan kegiatan seperti itu. Biasanya setiap melakukan sholat fardhlu dia tak langsung pulang, tapi menghabiskan harinya dnegan membaca Al’Qur’an dan membaca buku-buku agama. Mungkin, ini akibat dia pernah ketemu dengan seorang Kyai tua,entah siapa dan darimana datangnya Kyai itu.Ada nasehat sakti dari Kyai itu, yang nyatanya mampu merubah tabiat buruk Bongkel. Sepertinya Bongkel tersentuh oleh perkataan Kyai tua itu. Buktinya hampir 1,5 bulan ini Bongkel yang preman berubah menjadi Bongkel yang religius. Istrinya pun juga tak habis pikir dengan tingkah laku suaminya akhir-akhir ini.

“ Kehidupanku dulu penuh dosa, aku harus menebusnya, Dik .”, ucap Bongkel kala itu. Istrinya terdiam seakan tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh suaminya itu.

“ Aku ingin mati di jalan Allah, tapi bagaimana caranya ?’ Bongkel berbicara sendiri ketika malam sudah semakin larut dan hening. Setelah bergumam sendiri,Bongkel mengangkat badannya dari kursi tamunya. Yang dituju hanya satu sumur belakang rumah untuk mengambil air wudhu. Bongkel hendak melaksanakan sholat malam, seperti yang sudah sering dia lakukan akhir-akhir ini. Malam itu,ditumpahkan segala doa, penyesalan dan ketakutannya terhadap janji Illahi.

Ya Allah, dulu aku ini adalah seorang yang banyak dosa, aku pernah mencuri, membunuh dan mencelakai orang. Sekarang aku menyadari semuanya itu adalah dosa besar dihadapanMu, Ya Allah. Yang kuinginkan sekarang ini hanyalah memohon ampunanMu. Dan berilah aku kesempatan untuk bertobat sebalum ajalku Engkau jemput, Ya Allah. Dan semoga ajalku ada dijalanMu. Mudahkanlah kelak nanti jika ajal menjemputku, aku mengucap Laa Illa Ha’Illa Allah. Semoga kelak Engkau terima aku di dalam surgaMu “. Bongkel tersungkur menangis di atas sajadah. Diusapnya lelehan air matanya. Pandangannnya jauh terbang kepada peristiwa kehidupan hitamnya dulu, lalu tiba-tiba alam pikirnya menjumpai dan tergambar jelas di alam pikirnya, padang yang terhampar luas, dengan sungai-sungai yang mengalir bening serta pepohonan cemara hijau nan sejuk. Malam yang dingin itu telah merenggut munajat Bongkel. Dia terbangun ketika adzan shubuh berkumandang.

* * *

Pagi itu Bongkel sudah sibuk. Dia mondar-mandir sendiri. Dari ruang tamu ke ruang tidurnya.Istrinya hanya diam tak berucap apa-apa. Dia biarkan suaminya dengan kesibukkannya. Kemudian Bongkel terduduk di kursi tamunya sambil membawa sebuah buku kecil.

“ Aku telah bersalah dengan orang-orang ini. Dan aku telah berhutang harta serta budi pada mereka. Aku harus cepat-cepat meminta maaf dan melunasi hutang-hutangku kepada mereka semua. Aku harus ke rumahnya alamarhum Koh Chun yang telah aku bunuh, aku harus ke tempatnya Wardi karena dulu pernah kutusuk perutnya ketika terjadi perkelahian, lalu aku harus membayar hutangku kepada Yu Rambat, kepada Mas Dalkir Pak RT, aku banyak berhutang harta dan budi kepada mereka. Aku harus membayar hasil perbuatanku.Aku harus melunasi hutang-hutangku Aku takut nanti di akhirat akan ditanyakan hasil perbuatan jahatku itu. Dan ketika menghadap Allah, aku ingin menjadi orang bersih seperti seorang bayi yang polos dan bersih tanpa dosa “, Bongkel kembali dengan alam pikirnya yang aneh itu. Istrinya tetap saja memandangi tingkah polah suaminya itu. Tanpa bisa berbuat apa-apa.

Dik, sebelum aku pergi ke orang-orang yang pernah aku jahati dan celakai itu.Hari ini aku ingin bicara sebentar saja. Aku ingin ngomong sama kamu, Dik. Dengan hati tulusi ini, aku ingin bicara sama kamu, Dik “.

“ Bicara apa, Mas ?”Istrinya heran.

Mmmaafkan aku, Dik. Jika aku pernah melakukan kesalahan sama kamu. Baik yang aku sengaja maupun tidak. Mau kan Dik memaafkan aku ? “, Bongkel pagi itu seperti nganeh-anehi bicaranya. Istrinya bingung dengan yang baru saja dia dengarkan yang keluar dari mulutnya suaminya itu.

Iya, Mas. Semua perbuatan Mas Bongkel tak maafkan’. Istrinya menjawab datar saja.

“ Terima kasih, Dik “.

‘ Mas Bongkel ini kok aneh, tho ? Seperti mau pergi ke mana “, istrinya menimpali dengan perasaan bingung.

“ Ini penting, Dik Kamulah satu-satunya orang pertama yang harus memaafkan kesalahanku, Dik. Puas rasanya hatiku, Dik. Kamu sudah memaafkan aku. Kalau begitu sekarang aku mau pergi dulu. Jaga rumah baik-baik ya, Dik ! Wassalamu’alaikum ‘.

Walaikumsalam…Tapi, Mas…”. Bongkel sudah pergi. Istrinya masih diam terpaku.Wajah langit pagi itu berangsur-angsur menampakkan panasnya. Matahari sudah mulai menampakkan kekuatannya. Orang-orang kini sibuk dengan seluruh pekerjaannya. Dengan kendaraan Bongkel sudah meluncur pergi meninggalkan istri dan rumahnya.

* * *

Disandarkan tubuh Bongkel pada sebuah pohon mahoni tua pinggir jalan.

“ Lunas sudah. Puas rasanya.. Alhamdulillah orang-orang yang pernah aku jahati dan celakai itu, semuanya memaafkan aku “. Bongkel melepaskan lelah badan dan pikirnya di pohon mahoni tua itu. Pikirannya menggelanyut kepada hamparan padang yang hijau dengan sungai-sungai yang mengalir bersih dan disaksikkan puluhan bayi-bayi polos yang riang bermain di kecipak air sungai. Dirasakan badannya kini bersatu dengan semilirnya angin di pinggir jalan itu. Sementara orang-orang yang berlalu-lalang tak mempedulikan Bongkel yang sudah terlelap dengan mimpi-mimpinya itu. Orang-orang masih sibuk dengan dunianya. Ketika terdengar adzan ashar berkumandang, Bongkel terbangun. Yang dituju hanya satu masjid terdekat Tatkala dia akan mengangkat tubuhnya,tiba-tiba dia muntah. Di mulutnya keluar darah merah segar. Agak sempoyongan dia untuk menujuke motornya. Dipaksakannya dia untuk bisa mengendarai motornya. Lagi-lagi dia muntah lagi, sekarang lebih banyak darah yang keluar dari mulutnya.Mungkin penyakit ini akibat dia sering merokok dan hasil kelakuannya dulu sering menenggak minuman keras. Tapi sore itu Bongkel tak mempeduilikan penyakitnya itu. Diusap mulutnya, kembali dia mencoba untuk mengendarai motornya Akhirnya dengan susah payah dia bisa berhasil mengendarainya. Yang dituju hanya satu, masjid tedekat untuk menjalankan sholat ashar. Bongkel berusaha tak mau ketinggalan dengan panggilan itu.

* * *

Mas..mas bangun. Masjid in akan digunakan untuk sholat maghrib “, seorang pengurus masjid mencoba membangunkan Bongkel yang tubuhnya terdiam kaku. Meski badannya masih dalam posisi sujud. Tapi tubuh Bongkel tetap tak bergerak. Pengurus masjid itu bingung, kemudian dia mencoba menyentuh tubuh Bongkel yang tak bergerak itu. Ketika disentuh tubuhnya, tubuh Bongkel tiba-tiba, jatuh tersungkur. Terlihat mulut Bongkel seperti mengucap sebuah kalimat.Dan darah segar masih menetes di mulut Bongkel. Tubuh itu tetap saja tak bergerak. Pengurus masjid yang menyentuh tubuh Bongkel, sambil tersenyum penuh haru hanya mengucap “ Inna Illahi Wa’Inna Illaihi Rojiun”. Langit memudar matahari redup sinarnya.

Klaten, Sept ‘08

TIM SUKSES

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Menjelang pemilu ini, Robyah kelihatan sibuk sekali. Maklum sebagai aktivis sebuah parta besar di kabupaten Robyah mempunyai track record yang bagus dalam hal pemenangan sebuah pertarungan politik. Baik yang bersifat lokal maupun tingkat lebih atas. Dari yang pemilihan kepala desa, bupati sampai gebernur, jika Robyah yang menangani sebagai tim suksesnya dipastikan akan memenangkan pertarungan. Semuanya sudah terbukti. Padahal kalau dilihat Robyah bukan jebolan S2 sebuah universitas kenamaan. Robyah hanyalah sebuah sosok manusia yang biasa, bahkan terbilang sangat biasa sekali. Seperti rakyat jelata biasa. Robyah hanyalah lulusan SMA swasta di kala itu. Dia juga bukan seorang paranormal yang pintar dalam hal dunia mistik yang bisa meramal nasib seseorang. Robyah tetaplah sebagai manusia biasa. Kehidupan ekonominya pun biasa saja.Di samping sebagai aktivis politik, Robyah bekerja sebagai instruktur sebuah bimbingan belajar sekolah menengah lanjutan atas di kotanya. Tak ada yang istimewa dari kehidupan keluarga Robyah. Keluarga Robyah tidak kelihatan berduit. Keluarga Robyah pun biasa-biasa saja. Punya istri satu yang bernama Wanti. Seorang perempuan cantik, manis dan pendiam.Sayang mereka belum dikaruniai seorang anak.Tak ada yang istimewa dari keluarga Robyah. Mungkin yang istimewa adalah keahlian Robyah dalam hal strategi politik. Karena dengan keahliannya itu, Robyah bisa mengantarkan seorang calon pemimpin untuk memenangkan pertarungan politik lewat pemilu. Robyah memang menyukai dunia politik sejak masih muda. Dia ikut berbagai macam kegiatan organisasi dan partai. Dari sanalah dia belajar ilmu poltik dan pemerintahan secara otodidak. Dia mampu menguasai ilmu itu secara luar biasa.Dari keahliannya itu, banyak calon yang menaruh kepercayaan kepada sosok Robyah. Hasilnya pun sangat memuaskan. Semuanya 99 % dipastikan akan memenangkan pertarungan. Seperti siang yang panas ini, di rumah Robyah sudah nampak tamu keluar masuk rumah yang kecil itu. Sepertinya tamu-tamu itu termasuk orang penting. Itu kelihatan dari cara penampilan mereka. Dengan memakai kemeja yang rapi, dengan sepasang sepatu hitam yang mengkilat, ditambah dengan mobil yang berderet di gang kecil depan rumah Robyah. Memang, saat-saat ini banyak tokoh-tokoh partai yang berharap Robyah mau menjadi tim sukses dari partai mereka. Tapi, kelihatan Robyah dengan gaya bicaranya yang diplomatis mampu menjawab atau menolak setiap pinangan untuk menjadi tim sukses mereka. Robyah bukanlah orang yang gampang terbujuk rayuan, walaupun bujukan rayuan mereka sangat menggiurkan. Robyah dalam dunia politik sudah bisa dibilang makan garam banyak. Jadi, ketika ada tawaran yang datang Robyah sepertinya tak berpengaruh apa-apa. Yang menawarkannya pun seakan juga terpuaskan ketika ada jawaban dari Robyah. Karena Pak Robyah memang lihai dalam berdiplomasi.

“ Sudahlah, Mas Robyah nanti akan kami beri jabatan dan uang, asal Mas Robyah mau masuk menjadi anggota partai kami, bagaimana,Mas ? “, ketika itu ada salah satu pengurus partai menawari Robyah untuk masuk sebuah partai baru.

“ Semuanya bisa diatur, Pak. Semuanya tergantung kemampuan saya dan melihat situasi dan kondisinya.” Robyah sekali lagi memberi jawaban yang cukup diplomatis. Tamu itu cukup puas dengan jawaban yang disampaikan oleh Robyah. Sore itu, di rumah Pak Robyah yang kecil nan sederhana hanya nampak sepasang suami istri sedang membicarakan persoalan serius.

“ Mas Robyah tetap saja mau berkecimpung ke politik lagi ? “, Wanti mempertanyakan kemauan suaminya yang tetap saja ingin berkecimpung ke politik praktis.

“ Iya,Wan. “ , hanya itu jawaban dari Robyah. Langit sudah memudar menjadi kelam. Senja akan turun segera. Langit sudah redup matahari akan segera menuju ke paraduannya.

* * *

“ Pak Budi adalah calon kita, jadi bapak-bapak yang hadir di sini saya anjurkan untuk memilih Pak Budi. Orangnya baik, punya duit dan punya usaha banyak. Bagaimana bapak-bapak, setuju tidak ? “

“ Setuju !! “, semuanya serentak tak ada yang membantahnya. Akhirnya rapat di rumahnya Robyah malam itu, menghasilkan kesepakatan bahwa Robyah bersama para pendukungnya memilih Pak Budi untuk menjadi calon wakil rakyat mereka .

“ Baiklah kalau begitu. Nanti secepatnya saya akan sowan ke tempatnya Pak Budi memberikan surat pendukungan ini yang nanti akan saya serahkan kepada Pak Budi untuk ditindak lanjuti “, rapatpun selesai. Orang-orang pulang dengan perasaan masing-masing. Mungkin mereka hanya percaya kepada Robyah. Terserah nanti hasilnya seperti apa. Robyah sejak tiga hari yang lalu sudah memutuskan bahwa suara dukungan diberikan kepada calon wakil rakyat yang bernama Budi.. Karena Budi adalah bekas teman sekolah istrinya sewaktu di SMA dulu.Dan itupun juga hasil bujukan istrinya yang katanya, Budi itu orangnya baik dan banyak uangnya. Si Budi itu kesehariannya bekerja sebagai pemilik sebuah toko onderdil kendaraan roda dua maupun roda empat. Kakayaan Budi berlimpah ruah. Budi adalah duda sejak lima tahun yang lalu. Istrnya meninggal gara-gara terserang kanker ganas.Sebagai mantan teman istrinya dan atas bujuk rayu istrinya, rasanya Robyah tak enak hati dan menurutnya, Budi cocok untuk menjadi calon wakil rakyat. Robyah akhirnya memutuskan untuk mendukung Budi dengan sekuat tenaga dan pikirannya. Ini semua paling tidak ada kepentingan silaturahmi sesama teman dan menyenangkan hati istri tercintanya itu.

“ Mas Robyah kalau butuh apa-apa bilang sama saya, ya ! “, Budi malam itu memberi harapan kepada keluarga Robyah.

Iya, Bud. Seperti kesepakatan tadi malam, bahwa para pendukung dan rakyat sudah bulat mendukung kamu. Dan menurut perhitungan saya, kamu akan memenangkan pertarungan nanti”, Robyah menjawab uluran bantuan dari Budi dengan meng iming-imingi sebuah harapan juga

Oh ya,Bagus bagus. Terima kasih atas bantuanya lho, Mas. Karena ini sudah malam saya pamit pulang dulu. Sampaikan salam saya kepada istrimu, ya “. Budi pergi mobil hitam merk Vitara meluncur meninggalkan rumah Robyah yang sederhana itu. Di dalam kamar. Wanti istrinya Robyah memandang dari balik jendela kamar tidurnya. Wanti memandang perginya Budi dengan hati berdebar. Entah apa yang terlintas dalam pikiran Wanti.Tiba-tba Robyah masuk ke kamar, dilihat istrinya terpaku di depan jendela kamar sambil memandang ke luar kamar.

“ Kenapa kamu, Wan ?, Robyah mengagetkan lamunan Wanti.

Eh. Nggak kok, Mas. Hanya cari udara segar “,

“ Tadi Budi titip salam sama kamu…”,

Oh ya, lalu…?”,

Ya sudah hanya itu”, Robyah menjawab dengan biasa- biasa saja.Karena Robyah melihat tak ada perasaan apa-apa ketika pertanyaan itu diucapkan di mulut istrinya. Wanti istrinya itu . Wanti sebenarnya menunggu jawaban yang lebih dari suaminya perihal Budi temannya itu, tapi yang ditunggu jawabannya sepertinya tak menggubrisnya. Akhirnya Wanti langsung menuju tempat tidurnya. Malampun mengalir lirih, selirih perasaan Wanti ketika harus mengenang kenangan manis beberapa tahun silam bersama Budi mantan pacarnya itu.Rahasia kenangan itu yang kini tetap tersimpan rapi di album hati Wanti dan Budi. Dan tak seorang pun yang mengetahuinya atau pun membukanya. Suaminya pun tak pernah tahu siapa Budi itu sebenarnya. Suaminya hanya tahu bahwa, Budi itu adalah teman istrinya. Hanya itu. Dan rahasia itu sampai sekarang masih tersimpan di relung hati mereka berdua. Tak ada yang bisa membukanya. Seperti benih bayi yang pernah mereka gugurkan sewaktu masa pacaran dulu Tak ada yang mengethaui hubungan haram mereka. .Dan sekarang Budi mantan pacarnya itu muncul di hadapannya dengan sebuah kemilau pesonanya persis seperti waktu pacaran dulu.Malam itu, bintang dan bulan seakan bersanding menghiasi alam raya. Malam bergelanyut sepi.

* * *

“ Suamimu pergi ke mana, Wan ? Budi sore itu tiba-tiba datang ke rumahnya Robyah.

“ Eh kamu, Bud. Anu, Mas Robyah sedang ke luar katanya ada acara penting. Kenapa kamu nggak ngebel ke HP nya Mas Robyah saja kalau kamu memang mau bertemu dengan Mas Robyah ? “ Wanti sejak tadi gugup ketika di hadapannya sudah berdiri Budi bekas pacarnya dulu.

Ah, itu nggak penting. Saya hanya mampir saja,kok. Saya ingin ketemu kamu, Wan. Dan pas kebeneran “.

Kebeneran, gimana ? “ Wanti semakin grogi.

Iya kebeneran. Kita kan lama tidak ketemu. Masak kamu lupa, kenangan-kenangan sewaktu kita di SMA dulu. Oh ya, kamu sekarang tetap seperti dulu. Masih tetap manis dan pendiam”. Budi seakan menemukan sebuah muara kerinduan yang mendalam ketika bertemu Wanti.

Ah, kamu Bud. Kamu juga masih seperti dulu. Nakal !.”.Suasana rumah itu sepertinya sebuah reuni kenangan yang pernah terjadi di antara mereka berdua. Mereka sudah lupa bahwa Wanti sudah berkeluarga. Dan Budi adalah seorang calon wakil rakyat. Angin sore yang sepi membuat mereka seakan lupa dan sudah terhanyut kepada kenangan-kenangan indah sewaktu mereka masih berpacaran.

* * *

Beberapa hari ini, kampanye sudah berlangsung. Keramaian terjadi di sana sini. Gambar-gambar partai bertebaran ke mana-mana. Setiap hari jalanan tambah ruwet karena pawai kendaraan dari beberapa partai membuat suasana jalanan semakin ramai dan berisik. Para calon sudah memasang strategi untuk memenangkan pertarungan mereka. Isu, rumor atau black campaign menyebar bagai virus. Dana kempanye disebarkan tak peduli itu dana haram atau halal. Yang penting segala cara harus dilakukan untuk memenangkan sebuah pertarungan politik.

“ Saudara-saudara sekalian ! Hanya satu kata, kita pilih Pak Budi untuk menjadi wakil kita ! Kita harus memenangkan Pak Budi ! Hidup Pak Budi ! Hidup Pak Budi ! “, Robyah dengan gaya orasinya yang memikat berusaha menarik simpati orang-orang yang hadir pada rapat akbar itu. Suasana tambah ramai ketika ada beberapa atraksi yang dilakukan oleh beberapa kesenian tradisional daerah setempat. Para orang tua, kamu ibu-ibu dan perempuan maupun anak-anak yang menyasikkan kampanye itu sangat terhibur dengan atraksi-aktraksi itu. Sepertinya Robyah dengan kemasan kampanyenya berhasil memberi arti kepada para pendukung Budi. Tapi di balik itu, ada beberapa orang yang mempertanyakan keberadaan sang calonnya, yaitu Budi. Budi memang dari tadi tidak kelihatan batang hidungnya.

Lha kemana calon kita Pak Budi ? “ Orang-orang mempertanyakan keberadaan Pak Budi.

“ Mungkin baru dalam perjalanan ke sini ? “ Banyak orang menebak-menebak.

“ Hidup Pak Budi ! Hidup Pak Budi ! “ Robyah masih bersemangat mengelu-elukan calonnya.

* * *

Tapi di siang itu, di sebuah villa kecil di sebuah pegunungan di lokasi obyek wisata. Tampak Budi dan Wanti istrinya Robyah, sedang memadu kasih dalam sebuah kamar villa . Siang itu,sepertinya dua orang itu lupa bahwa, Budi adalah seorang calon wakil rakyat yang kini sedang dielu-elukan oleh Robyah. Dan yang satunya adalah, Wanti adalah seorang perempuan yang bersuami seorang aktivis partai dan politikus yang sekarang sedang mengelu-elukan mantan pacarnya itu. Langit kini penuh dengan peluh.

Klaten, Sept ‘08

Dimuat di Harian “ SOLOPOS “

Minggu, 19 Oktober 2008

BUDAYA, CERPEN

LEBARAN TERAKHIR BONGKEL

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Setiap hari Si Bongkel ndermimil sendiri. Mulutnya komat-kamit tak jelas. Di manapun dia berada yang dia lakukan hanya mengucap kalimat “ Laa Illaha Illah Allah “. Entah angin apa yang bisa merubah kelakuan Bongkel menjadi seperti itu ? Padahal sebelumnya Bongkel mempunyai kehidupan yang keras dan penuh dengan kejahatan dan kemaksiatan. Sekarang pekerjaan Bongkel adalah sebagai juru parkir depan mall di kota. Sambilannya pun banyak, apa-apa di makelarinya. Dari makelar kendaraan,makelari setiap ada penumpang bis malam,makelari jabatan, nyarikan utangan kepada setiap orang yang butuh uang secara mendadak. Hasilnya lumayan, terbukti barang-barang yang di dalam rumahnya kelihatan harganya tidak murahan. Ada TV 20 inch, kursi meja mewah, kulkas dan lain-lain.Bongkel dulu di kenal juga sebagai seorang preman yang kejam dan terkenal dengan segala kejahatannya. 3 kali dia masuk penjara. Kasusnya macam-macam. Yang pertama kena kasus curanmor. Yang kedua kasus perkelahian antar gang dan yang ketiga ini agak lama Bongkel harus menghuni di penjara, karena Bongkel tega membunuh seorang cina juragan toko bangunan yang tidak mau memberinya uang buat minum. Itulah Bongkel yang kejam dan sadis.Tapi kehidupan Bongkel pun tetap berlanjut, dan sekarang dia menemukan pekerjaan pokoknya sebagai seoarang juru parkir.Dengan pekerjaan itu, Bongkel mampu menghidupi keluarganya. Pokoknya sepertinya kehidupan Bongkel serba kecukupan meski pekerjaan pokoknya hanya sebagai juru parkir. Istrinya Bongkel pun meng-amini pekerjaan yang dilakukan suaminya itu. Istri mana yang tak setuju jika suaminya mendapat penghasilan yang lumayan. Sayang sampai saat ini keluarga Bongkel belum dikaruniai seorang momongan. Padahal menurut mereka, tak ada kelainan apapun dari kondisi gen reproduksi mereka. Mungkin Tuhan belum memberi saja.Tapi sudah hampir 1,5 bulan ini, kehidupan pribadi Bongkel berubah 360 derajat. Bongkel sekarang jarang masuk kerja.Dia kini tak pernah keluar malam yang dulu sering dia lakukan bersama teman-teman premannya. Paling hanya 3 kali seminggu dia masuk kerja.Setiap hari yang dia lakukan hanya pergi masjid, menghadiri setiap ada pengajian dan membaca buku-buku agama. Sepertinya tak ada hari lain, sepertinya hampir 65 % kehidupan Bongkel dihabisi dengan kegiatan seperti itu. Biasanya setiap melakukan sholat fardhlu dia tak langsung pulang, tapi menghabiskan harinya dnegan membaca Al’Qur’an dan membaca buku-buku agama. Mungkin, ini akibat dia pernah ketemu dengan seorang Kyai tua,entah siapa dan darimana datangnya Kyai itu.Mungkin,ada nasehat sakti dari Kyai itu, yang nyatanya mampu merubah tabiat buruk Bongkel. Sepertinya Bongkel tersentuh oleh perkataan Kyai tua itu. Buktinya hampir 1,5 bulan ini Bongkel yang preman berubah menjadi Bongkel yang religius. Istrinya pun juga tak habis pikir dengan tingkah laku suaminya akhir-akhir ini.

“ Kehidupanku dulu penuh dosa, aku harus menebusnya, Dik .Ya, sebelum lebaran ini aku harus menebusnya”. Istrinya terdiam seakan tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh suaminya itu.

“ Aku ingin mati di jalan Allah,Aku ingin mati sebelum lebaran ini, Dik Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya ?’ Bongkel berbicara sendiri ketika malam sudah semakin larut dan hening. Setelah bergumam sendiri,Bongkel mengangkat badannya dari kursi tamunya. Yang dituju hanya satu sumur belakang rumah untuk mengambil air wudhu. Bongkel hendak melaksanakan sholat malam, seperti yang sudah sering dia lakukan akhir-akhir ini. Malam itu,ditumpahkan segala doa, penyesalan dan ketakutannya terhadap janji Illahi.

Ya Allah, dulu aku ini adalah seorang yang banyak dosa, aku pernah mencuri, membunuh dan mencelakai orang. Sekarang aku menyadari semuanya itu adalah dosa besar dihadapanMu, Ya Allah. Yang kuinginkan sekarang ini hanyalah memohon ampunanMu. Dan berilah aku kesempatan untuk bertobat sebalum ajalku Engkau jemput, Ya Allah.Dan di hari sebelum lebaran ini, yang aku inginkan hanyalah menebus kesalahanku yang lalu. Aku banyak berlumuran dosa, jiwaku kotor dane berdebu. . Dan semoga nanti ajalku ada dijalanMu. Mudahkanlah kelak nanti jika ajal menjemputku, lancarkan aku untuk mengucap Laa Illaha’Illa Allah. Semoga kelak Engkau terima aku di dalam surgaMu “. Bongkel tersungkur menangis di atas sajadah. Diusapnya lelehan air matanya. Pandangannnya jauh terbang kepada peristiwa kehidupan hitamnya dulu, lalu tiba-tiba alam pikirnya menjumpai dan tergambar jelas di alam pikirnya, padang yang terhampar luas, dengan sungai-sungai yang mengalir bening serta pepohonan cemara hijau nan sejuk. Malam yang dingin itu telah merenggut munajat Bongkel. Dia terbangun ketika seorang petugas masjid kampung membangunkan orang-orang untuk melakukan sahur.

* * *

Pagi itu Bongkel sudah sibuk. Dia mondar-mandir sendiri. Dari ruang tamu ke ruang tidurnya.Istrinya hanya diam tak berucap apa-apa. Dia biarkan suaminya dengan kesibukkannya. Kemudian Bongkel terduduk di kursi tamunya sambil membawa sebuah buku kecil.

“ Aku telah bersalah dengan orang-orang ini. Dan aku telah berhutang harta serta budi pada mereka. Aku harus cepat-cepat meminta maaf dan melunasi hutang-hutangku kepada mereka semua. Aku harus ke rumahnya alamarhum Koh Chun yang telah aku bunuh, aku harus ke tempatnya Wardi karena dulu pernah kutusuk perutnya ketika terjadi perkelahian, lalu aku harus membayar hutangku kepada Yu Rambat, kepada Mas Dalkir Pak RT, aku banyak berhutang harta dan budi kepada mereka. Aku harus membayar hasil perbuatanku.Aku harus melunasi hutang-hutangku Aku takut nanti di akhirat akan ditanyakan hasil perbuatan jahatku itu. Dan ketika menghadap Allah, aku ingin menjadi orang bersih seperti seorang bayi yang polos dan bersih tanpa dosa.Inilah saatnya sebelum lebaran tiba, karena waktu sudah semakin mepet. “, Bongkel kembali dengan alam pikirnya yang aneh itu. Istrinya tetap saja memandangi tingkah polah suaminya itu. Tanpa bisa berbuat apa-apa.

Dik, sebelum aku pergi ke orang-orang yang pernah aku jahati dan celakai itu.Hari ini aku ingin bicara sebentar saja. Aku ingin ngomong sama kamu, Dik. Dengan hati tulus ini, aku ingin bicara sama kamu, Dik “.

“ Bicara apa, Mas ?”Istrinya heran.

Mmmaafkan aku, Dik. Jika aku pernah melakukan kesalahan sama kamu. Baik yang aku sengaja maupun tidak. Mau kan Dik memaafkan aku ? “, Bongkel pagi itu seperti nganeh-anehi bicaranya. Istrinya bingung dengan yang baru saja dia dengarkan yang keluar dari mulutnya suaminya itu.

Iya, Mas. Semua perbuatan Mas Bongkel tak maafkan’. Istrinya menjawab datar saja.

“ Terima kasih, Dik “.

‘ Mas Bongkel ini kok aneh, tho ? Seperti mau pergi ke mana “, istrinya menimpali dengan perasaan bingung.

“ Ini penting, Dik Kamulah satu-satunya orang pertama yang harus memaafkan kesalahanku, Dik. Puas rasanya hatiku, Dik. Kamu sudah memaafkan aku. Kalau begitu sekarang aku mau pergi dulu. Jaga rumah baik-baik ya, Dik ! Dan jaga semuanya yang aku tinggalkan ini ! Wassalamu’alaikum ‘.

Walaikumsalam…Tapi, Mas…”. Bongkel sudah pergi. Istrinya masih diam terpaku.Wajah langit pagi itu berangsur-angsur menampakkan panasnya. Matahari sudah mulai menampakkan kekuatannya. Orang-orang kini sibuk dengan seluruh pekerjaannya. Bulan puasa ini memang udara sangat panas dan terik, sepertinya matahari sedang menampakkan keperkasaannya. Dengan kendaraan Bongkel sudah meluncur pergi meninggalkan istri dan rumahnya.

* * *

Disandarkan tubuh Bongkel pada sebuah pohon mahoni tua pinggir jalan.

“ Lunas sudah. Puas rasanya.Dan besok adalah akhir waktuku, karena besok lebaran sudah tiba. Alhamdulillah orang-orang yang pernah aku jahati dan celakai itu, semuanya memaafkan aku “. Bongkel melepaskan lelah badan dan pikirnya di pohon mahoni tua itu. Pikirannya menggelanyut kepada hamparan padang yang hijau dengan sungai-sungai yang mengalir bersih dan disaksikkan puluhan bayi-bayi polos yang riang bermain di kecipak air sungai. Dirasakan badannya kini bersatu dengan semilirnya angin di pinggir jalan itu. Sementara orang-orang yang berlalu-lalang tak mempedulikan Bongkel yang sudah terlelap dengan mimpi-mimpinya itu. Orang-orang masih sibuk dengan dunianya. Ketika terdengar adzan ashar berkumandang, Bongkel terbangun. Yang dituju hanya satu masjid terdekat Tatkala dia akan mengangkat tubuhnya,tiba-tiba tubuhnya bergetar, sempoyongan dia untuk berjalan.. Agak kesulitan dia untuk menuju ke motornya. Dipaksakannya dia untuk bisa mengendarai motornya. Sebetulnya dia tahu betul bahwa, dia terkena penyakit yang sudah hampir puluhan tahun menggerogoti tubuhnya tapi dia tak mempedulikannya. Istrinya pun tidak tahu perihal penyakit anehnya itu. Dia pun tak pernah memeriksakan penyakitnya itu ke seorang dokter. Yang dia tahu bahwa penyakit ini akibat dia sering mabuk-mabukan dan begadang sewaktu dia menjadi seorang preman.Akhirnya dengan susah payah dia bisa berhasil mengendarai motornya. Yang dituju hanya satu, masjid tedekat untuk menjalankan sholat ashar. Bongkel berusaha tak mau ketinggalan dengan panggilan itu.

* * *

Mas..mas bangun. Masjid in akan digunakan untuk sholat maghrib “, seorang pengurus masjid mencoba membangunkan Bongkel yang tubuhnya terdiam kaku. Meski badannya masih dalam posisi sujud. Tapi tubuh Bongkel tetap tak bergerak. Pengurus masjid itu bingung, kemudian dia mencoba menyentuh tubuh Bongkel yang tak bergerak itu. Ketika disentuh tubuhnya, tubuh Bongkel tiba-tiba, jatuh tersungkur. Terlihat mulut Bongkel seperti mengucap sebuah kalimat.Dan darah segar menetes di mulut Bongkel. Tubuh itu tetap saja tak bergerak. Pengurus masjid yang menyentuh tubuh Bongkel kaget bukan kepalang. Tapi tiba-tiba raut muka pengurus masjid itu,menjadi tersenyum penuh haru seraya mengucap “ Inna Illahi Wa’Inna Illaihi Rojiun”. Langit memudar matahari redup sinarnya. Takbir bekumandang “ Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Klaten, Sept ‘08

Dimuat di Harian “SoloPos” Jum’at 7 November 2008

MBAK SRI

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Pukul 22.14 malam.Angin malam yang berhembus di antara lampu-lampu kota yang temaram dan redup. Seorang pelacur setengah baya sedang menyeberang jalan di kota yang tak begitu ramai. Karena malam sudah akan menginjak dengan cerita malamnya . Toko-toko sudah banyak yang tutup. Hanya ada beberapa toko saja yang buka.Dingin malam sudah terasa, pelacur setangah baya itu kini menuju sebuah warung makan sederhana yang masih buka. Meski, warung makan itu tampak sepi pembeli.

“ Teh hangat, Mas ! “, Pelacur setengah baya itu duduk dekat jendela yang menghadap sebuah jalan. Lalu,dibukanya tas kecil yang sejak tadi dia jinjing , kemudian diambilnya sebuah kotak make up yang juga berukuran kecil. Di pandang riasan wajahnya yang sudah kelihatan memudar. Tampak sekali dia serius memperhatikan wajahnya. Dipandang wajahnya itu lewat cermin kecil di make up itu. Lalu diraihnya sebuah lipstick warna merah jambu yang ada didalam tas kecilnya itu. Dioles bibirnya yang indah itu dengan lembutnya. Beberapa saat, sudah tampak hidup bibir itu kini.

“ Ini teh hangatnya, Mbak Sri “, Penjual warung itu mengagetkan kegiatan ber make up pelacur setengah baya itu.

Oh iya, Mas. Terima kasih, ya “, dengan sopan dia mempersilahkan penjual warung itu menaruh teh pesanannya itu di meja.

“ Sepi, Mbak ? ‘.

Iya, Mas. Maklum musim hujan, apalagi sekarang aparat gencar ngadakan aksi pekat. Iya, takut digrebek, Mas “, santai saja dia menjawab pertanyaan Mak Redy penjual warung makan itu.

“ Kemarin Mbak Narti juga bilang sepi, Mbak Oyak juga bilang sepi. Wah, semuanyanya sepi, ya. Saya juga sepi kok, Mbak “.

Ya sudah namanya pekerjaan. Kadang sepi, kadang ramai. Kalau ramai terus juga nggak ilok. Kemaruk namanya “, masih santai perempuan itu meladeni pembicaraan penjual warung makan itu. Kembali dia melakukan kegiatan merias wajahnya. Senyum terkembang di mulutnya. Nampaknya dia puas dengan riasan di wajahnya.

“ Eh, Mas Redy, aku mau tanya, apa aku ini sekarang nggak cantik, tho ?” ,pertanyaan perempuan itu mengagetkan penjual warung makan itu.

Ya, masih cantik tho, Mbak . Siapa bilang sampeyan ini nggak cantik ? “ Pak Redi gelagapan menjawab pertanyaan yang mendadak dari perempuan setengah baya itu.

“ Yang bilang Armed anakku “. Tegas perempuan itu menjawab.

“ Anak Mbak Sri kan masih kecil belum ngerti mana perempuan yang cantik atau tidak “.

“ Tapi, aku merasa sudah tua, Mas. Nyatanya sampai hari ini nggak ada yang booking aku. Mas David juga nggak manggil aku lagi, Pak Basri pemilik Bank Kredit Desa di kota ini jarang booking aku lagi, terus itu, Mas Tamsi yang bangkotan tua anggota DPRD itu sekarang malah kencan dengan Yayuk lonthe pasar ! ”, Perempuan setengah baya itu mengalir saja dia berbicara. Mas Redy penjual warung makan itu sadar betul bahwa perempuan yang di depannya itu sekarang lagi marah dan ingin menumpahkan segala uneg-unegnya.

“ Mungkin mereka lagi sibuk, Mbak ? Maklum ini kan bulan-bulan sibuk, Mbak. Operasi dari aparat setiap malam dilakukan.Mungkin mereka takut juga ketangkap, Mbak. Nanti mereka pasti akan kembali kepada Mbak Sri lagi. Mbak Sri kan masih cantik.Pelanggan Mbak Sri kan banyak. Masak mereka melupakan Mbak Sri ? Kan nggak mungkin “. Pak Redy ngeyem-ngayemi hati perempuan itu. Perempuan itu tertunduk lesu. Diraih teh yang ada di depannya itu yang kini sudah tidak hangat lagi. Gelas putih yang terisi teh itu, kini sudah berada di mulut perempuan setengah baya itu. Setengah gelas teh telah dia habiskan.

“ Mas Redy mau tidak tidur sama saya ? Nggak usah mbayar nggak apa-apa, ini khusus buat Mas Redy, mau nggak ? “ Nakal dia menggoda penjual warung makan itu.

“ Jangan, Mbak”, gelagapan penjual warung makan itu ketika ditawari oleh perempuan itu.

Ya sudah kalau nggak mau. Berapa ini ? “

“ Seribu, Mbak”. Uang seribuan yang sejak tadi sudah disiapkan oleh perempuan itu diserahkan kepada penjual warung makan itu.Perempuan setengah baya seketika itu langsung mengangkat tubuhnya untuk meninggalkan warung makan itu.Keheningan malam mulai merayap di kota itu. Sambil berlari kecil perempuan setengah baya itu menyeberangi jalan yang sudah mulai sepi. Berhenti dia diantara 2 pot besar yang berada di pinggir trotoar jalan .Tiba – tiba sebuah mobil city wagon berhenti tepat di depannya.Di dalamnya ada seorang laki-laki juga agak setengah baya. Kelihatan laki-laki itu adalah orang kaya, itu dilihat dengan penampilannya. Mungkin seorang pejabat ?, atau mungkin seorang pengusaha ? Ada pembicaraan sedikit dari kedua manusia lawan jenis itu. Lalu perempuan setengah baya itu masuk ke dalam mobil itu. Mobil warna merah menyala itu langsung tancap gas meninggalkan kesepian malam yang semakin sepi sambil membawa perempuan setengah baya itu.

* * *

Warung makan Mas Redy tepat pukul 22.30 malam. Perempuan setengah baya masih duduk di kursi dekat sebuah jendela yang menghadap jalan. Wajahnya kusut tak berias. Di depannya teh hangat masih sisa setengah. Jalanan seperti biasanya sudah mulai sepi. Hujan tadi sore telah mengguyur kota itu. Jalanan masih terlihat basah meski di beberapa tempat, aspal jalanan sudah mulai nampak mengering. Udara tidak terlalu dingin, malahan agak cukup gerah. Di warung makan Mas Redy ada beberapa pelanggan yang masih duduk di warung makan itu sekedar menghabiskan sisa makanan, atau ada yang hanya ngobrol sambil rokokan . Tapi sebentar lagi kelihatan mereka semua mulai akan beranjak pergi. Benar sekali mereka sudah meninggalkan warung makan Mas Redy. Kini kembali hanya Mas Redy dan perempuan setengah baya itu.

“ Capek, Mbak ? Mas Redy memecah keheningan.Perempuan itu sepertinya tak mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh pemilik warung itu.

Kok diam, Mbak ?

Eh..apa, Mas ? “ Perempuan itu tampaknya kaget mendengar sapaan dari Mas Redy.

Kok kelihatan lesu banget malam ini. Sepi lagi ya, Mbak ? ”

Enggak juga, sih. Lagi malas, Mas. ”. Pandangan matanya masih menerawang jauh ke langit-langit warung makan itu.

” Anakku sakit, Mas. Badannya tadi sore panas banget. Tapi, sekarang sudah agak baikan. Tapi, aku takut kalau malam ini Si Armed kumat lagi panasnya. Untung ada Lik Dalnut tetanggaku yang mau njagain Armed.Moga-moga malam ini dia nggak apa-apa ”, perempuan itu menghela napas panjang.

Oh ya, Mas. Tadi Pak Romi ke sini tidak ? ”, Perempuan setengah baya itu mencoba mengalihkan topik pembicaraannya.

” Sepertinya dari tadi pagi sampai sekarang, tidak ada orang yang nyari Mbak Sri ”.

” Tidak ada ya, Mas ?

Nggak ada, Mbak”, Mas Redy menyakinkan.Langit yang di luar semakin hitam. Tak ada bintang apalagi rembulan. Semuanya tampak sepi dan itu memang seperti biasanya detak kehidupan malam di kota kecil itu. Kota kecil dengan penduduk yang kecil juga. Maklum, kalau jam-jam seperti ini keadaannya sudah sepi. Hanya ada beberapa pengemis dan gelandangan meng-istirahatkan nasibnya di emperan-emperan toko dan di kolong-kolong jembatan. Mereka hanyalah segelintir manusia yang mencoba berpikir tentang hidup yang tak bisa mereka bongkar. Hanya kepasrahan kepada roda nasib saja mereka akan menyerahkan hidupnya. Mereka pun hanya numpang tidur ataupun beristirahat untuk melupkan kelalahan yang setiap hari telah menyeretnya.Tempat tinggal mereka hanya di emperan toko – toko milik kaum non pribumi atau di kolong-kolong jembatan. Pikiran mereka hanya satu ” Sekarang makan untuk bertahan hidup, entah esok ”. Di warung makan itu, kembali kesepian menyergap.

” Mas Redy benar-benar nggak mau tidur sama saya ? Sekali lagi ini gratis lho, Mas ”, perempuan itu mencoba menghibur dirinya sendiri dengan cara menggoda pemilik warung makan.

” Jangan Mbak, saya anu...”, Mas Redy gelagapan. Dua kali dia ditantang oleh pelanggan setianya itu.

Ya sudah, kalau nggak mau. Nanti kalau mau, bilang sama saya, ya ”, menggoda sekali perempuan itu mencabik nafsu syahwat kelakian Mas Redy.

Hhhiiyaa, Mbak. Tapi....”.

” Kalau nggak mau ya sudah. Nggak ada tapi-tapi an ! ”.Dalam perasaan Mas Redy pasti sedang berkecamuk. Kalau dipikir, Mbak Sri itu adalah perempuan yang lumayan cantik dan manis. Dan dia bukan seperti perempuan murahan yang biasa menjajakan cinta di pinggir jalan. Mbak Sri adalah seoarang perempuan yang survive, seorang perempuan yang selalu berjuang untuk mempertahankan hidup demi keluarganya. Ya, demi seorang anaknya, Armed. Meski yang harus dijalaninya adalah dengan cara menjual diri. Pikiran Mas Redy pun bercampur. Dia sebetulnya adalah seoarang jejaka yang memang berumur siap kawin. Umur Mas redy adalah 35 tahun, dan sampai saat ini dia belum pernah merasakan masa pacaran ataupun berani menyatakan cinta dengan seorang perempuan.Karena kehidupan keras dan mandiri sudah terdidik di dalam jiwa Mas Redy sejak kecil . Karena sejak kecil Mas Redy sudah harus ditinggal oleh kedua orang tuanya. Mereka tewas saat ada bencana tanah longsor di desanya. Pada waktu itu umur Mas Redy masih 6 tahunan. Itulah Mas Redy seorang jejaka yang tahu hidup memang harus direbut. Ya, persis seperti perempuan yang ada di hadapannya itu Seorang perempuan yang ditinggal suaminya, karena tewas ditembak aparat pada waktu penggrebekan 5 yang lalu.Konon ceritanya, suami Mbak Sri adalah seorang penjahat kelas kakap dan selalu menjadi target utama aparat kepolisian Mereka bertemu dalam sebuah kampung kecil di lereng gunung lawu. Pada waktu itu suami dari Mbak Sri sedang mencoba kabur dari sergapan aparat, akhirnya lelaki buronan yang sekarang jadi suaminya Mbak Sri itu, bersembunyi di rumah seorang penduduk, yang tak lain adalah bapaknya Mbak Sri. Dengan berbagai alasan lelaki buronan itu bisa tinggal dan menetap menjadi penduduk setempat. Benih cinta tumbuh, rasa cinta terpatri. Bapaknya Mbak Sri merestui pernikahan mereka berdua. Mereka pun menjadi suami istri. Setelah satu tahun menjalani kehidupan, lahirlah Armed buah hati mereka. Tapi sayang, penciuman aparat ternyata sangat tajam sekali. Setelah hampir satu setengah tahun memburu buronan penjahat kelas kakap, akhirnya persembunyian lelaki buronan itu tercium polisi. Di sepertiga malam itu sebelum adzan shubuh berkumandang, 7 peluru menembus jantung suaminya Mbak Sri. Setelah persitiwa itu, seluruh kampung geger. Mbak Sri dan anak semata wayangnya diusir oleh para penduduk karena telah mencemarkan nama baik kampung. Bapaknya Mbak Sri pasrah tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya Mbak Sri pergi bersama anaknya Si Armed mencoba mencari keuntungan di kota. Enam bulan Mbak Sri pergi dari kampung, tersiar khabar bapaknya Mbak Sri meninggal karena sakit jantung.Mbak Sri memahami betul inilah hidup yang harus dijalaninya. Dia tak akan pernah menyerah meski rasa hina dan sinis yang selalu dia terima.Seperti kata petuah ”Perjuangan adalah merebut hidup jangan sampai menyerah kepada sejarah kelam ”. Di warung makan itu, 2 orang kini dalam kebisuan pikiran mereka masing-masing.

” Mas Redy, ini ”, Mbak Sri seperti biasanya meyerahkan uang Rp. 1000,- untuk membayar segelas teh yang tadi dipesannya.

Makasih ya, Mbak ”. Sekejap itu perasaan Mas Redy semakin tak menentu. Tapi perempuan setengah baya itu sudah meninggalkan warung makan itu, lalu menghilang di gelap malam.

* * *

Warung makan Mas Redy pukul 22.48 malam.Seorang perempuan setengah baya, duduk berdekatan dengan jendela menghadap jalan. Dengan segelas teh hangat.Ada butiran air keluar,pelan-pelan sekali air mata itu mengalir di wajahnya yang putih. Lalu, cepat-cepat diraihnya selembar tisu putih untuk mengusap butiran air yang keluar dari kedua kelopak matanya.

” Armed meninggal, Mas, seminggu yang lalu. Kata dokter, Armed kena typus.Tuhan ternyata lebih menyayangi Armed,. Mas. Tuhan pasti ingin merawat Armed di surga bukan di dunia ini. Ya, dunia yang penuh kebusukan dan kemunafikan ini.Aku tahu pasti Armed akan bahagia di surga. Tuhan pasti memberi Armed kebahagiaan di surga. Biarkan aku saja yang bertahan di dunia ini ”. Seketika itu keheningan dan perasaan sedih mengurung mereka berdua. Wajah perempuan itu sepertinya dicoba untuk bersikap biasa ketika harus menceritakan berita sedih itu. Kembali diusapnya bekas-bekas air mata itu yang kini sudah tampak mengering tapi tetap saja berbekas.

Oh ya, Mas. Mas Redy tahu kan yang namanya Pak Romy ?, yang katanya mau membooking aku dengan bayaran lima juta satu malam, ternyata menipu aku, Mas ! Dia ternyata hanyalah seorang penipu ! Harta dan perhiasanku dikuras habis oleh bajingan Romy itu, Mas ! Aku tak tahu harus mencari ke mana tengik elek ! Mau lapor polisi percuma. Ya sudahlah. Anak mati karena terserang typus,dan kini hartaku hilang karena laki-laki penipu... ”, Mas Redy yang berdiri, terpaku di hadapan perempuan itu.Dia hanya terdiam tak bisa mengucap apa-apa. Hanya terdengar suara helaan napas panjang yang keluar dari mulut Mas Redy. Entah apa arti dari helaan napas panjang itu ? Di luar ternyata gerimis telah datang. Tetesan airnya terdengar meski sangat pelan dan jarang. Di warung makan yang tidak terlalu besar itu, Mas Redy kembali berhadapan dengan seorang perempuan yang sudah mencabik-cabik dan menggoda hatinya, tentang cerita sedihnya,tentang perjuangan hidupnya,tentang keikhlasannya menghadapi badai cobaan dan nafsu kejejakaannya. Kini perempuan itu persis berada hadapannya meski dengan membawa beragam cerita yang memilukan. Sekali lagi Mas Redy menghela napas panjang.Detak jam yang menempel di tembok warung makan itu, berdetak lambat tapi pasti. Malampun merayap.Di warung makan yang tidak terlalu besar itu, Mas Redy mencoba untuk memberanikan diri untuk membuka mulutnya yang sejak tadi terkunci

Mbak, saya mau tidur kok dengan Mbak Sri. Dan saya juga mau menikahi Mbak Sri ”,memelas dan lirih suara yang keluar dari mulut Mas Redy. Letupan perasaan yang lama terpendam telah meledak. Mas Redy telah berjuang merebut hidup yang lama dia perjuangkan, yaitu hidup berumah tangga.Muka Mas Redy masih pucat pasi karena malu atau mungkin campur aduk perasaan yang ada di hati Mas Redy.Kini, dia masih menunggu jawaban dari perempuan yang ada di hadapannya itu.

” Yang benar, Mas ? ”

Iya, Mbak. Saya serius ! Saya mau menjadi suami Mbak Sri ! “.

Ya sudah besok kita menikah ! ”

Langit tak lagi hitam. Gerimis berhenti ada semburat warna rembulan yang muncul dari balik awan. Gemintangpun terasa malu-malu untuk menemani sinar sang rembulan.

Klaten, Okt ’08


P N s

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

” Kang Kelar. Iya, Kang Kelar ! ”. Pak Rogeh mencoba mengingat-ingat nama seseorang. Tersebutlah nama Kang Kelar dalam otaknya. Cepat-cepat Pak Robeh mengeluarkan pit ontanya yang tua dan karatan itu dari dalam rumahnya. Panas jam 10 an pagi itu sudah terasa menyengat. Pak Rogeh dengan gesitnya mengayuh pit ontanya menuju rumahnya juragan kelontong Mas Sobar yang berada tak jauh dari rumahnya, dimana anaknya Baros sedang bekerja menjadi kuli bangunan di rumahnya Mas Sobar. Kayuhan sepeda berputar cepat sepertinya tak dirasakan panas yang menyengat kepala. Melewati beberapa gang – gang kampung yang kini sudah berbeton, Pak Rogeh kelihatan tak mempedulikan ketika beberapa lubang mengahalangi laju sepedanya. Yang dituju hanya satu, menemui anaknya. Tepat di depan rumah Mas Sobar, Pak Rogeh menyandarkan pit ontanya di bawah pohon mangga.Dicarinya Si Sobar. Yang dicari ternyata lagi ngladeni seorang tukang yang sedang memasang genting rumahnya Pak Sobar.

Ros...Baros. Nanti sore kamu harus ke rumahnya Kang Kelar ! Ini penting masalah pekerjaanmu ”, sambil berteriak-teriak Pak Rogeh memanggil anaknya Baros.

” Pekerjaan apa, Pak ? ”

” Sudahlah. Pokoknya nanti kita bicarakan di rumah ”, Baros hanya terbengong tak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh bapaknya baru saja itu. Tampaknya Baros pun sepertinya tak mempedulikannya,lalu dilanjutkan lagi pekerjaannya yang tadi sempat terhenti.

” Pekerjaan apa, tho Ros ? ” Lik Soblah teman kerjanya Baros menanyakan perihal kedatangan bapaknya Baros.

Nggak tahu, Lik ”. Baros males-malesan menjawab pertanyaan dari Lik Soblah.

” Sebaiknya nanti kamu jangan pulang terlambat, mungkin kamu mendapat pekerjaan yang sesaui dengan titelmu sekarang ini, Ros ? Masak punya titel Es Pe De kerjanya hanya laden tukang. Ngisin-ngisini, Ros ! Sekolahmu itu mahal lho, Ros. Kasihan orang tuamu membiayai kuliahmu sampai selesai. Orang tuamu pasti menghabiskan uang banyak ”, mereka berdua sekarang malah asyik ngobrol ngalor ngidul. Baros pun meladeninya.

Iya, Lik. Saya tahu kok. Lha gimana lagi, jaman sekarang ini cari kerjaan susahnya minta ampun..”.

Iya ya. Yang sarjana saja susah, apalagi seperti saya ini, Es De saja nggak lulus, akhirnya ya kerja seperti ini ”. Lik Soblah menggerutu sendiri. Baros pun hanya tersenyum. Panas semakin terik, para pekerja bangunan di rumahnya Pak Sobar sepertinya akan menghentikan pekerjaan karena, adzan dhuhur sudah berkumandang. Dan saatnya mereka untuk beristirahat makan siang.

* * *

” Kang Kelar lah yang bisa memasukkan kamu menjadi pegawai negeri, Ros ! ”, Bapaknya Baros menegaskan.

” Dia lah orang yang punya hubungan khusus dengan Pak Bupati. Kang Kelar lah sebagai orang kepercayaan Pak Bupati saat ini. Pasti dia bisa memasukkan kamu menjadi pegawai ”, masih saja bapaknya Baros memotivasi Baros.

” Sekarang ganti bajumu, kita sama-sama pergi ke rumahnya Kang Kelar ! Jam – jam begini pasti dia berada di rumah ”. Baros terdiam, pikirannya gamang. Tapi karena ini juga untuk kepentingan dia, akhirnya Baros dan bapaknya pergi ke tempatnya Kang Kelar. Sampai di rumahnya Kang Kelar, ternyata Kang Kelarnya sedang pergi ke kota bersama anaknya.

” Tunggu saja, sebentar lagi Kang Kelar akan pulang. Lha wong, katanya hanya membelikan buku buat Abong ”, istrinya Kang Kelar menerima mereka berdua dengan ramahnya..Karena ini sangat penting, mereka pun mau menunggu pulangnya Kang Kelar. Hampir setengah jam mereka menunggu. Terdengar suara klakson mobil jeep masuk ke rumahnya Kang Kelar. Dengan tersenyum ramah Kang Kelar keluar dari mobil jeepnya. Anaknya Abong tak mempedulikan ada tamu bapaknya, dia langsung lari masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah buku cerita bergambar yang habis dibelikan oleh bapaknya. Kang Kelar seketika itu langsung menyalami kedua tamunya.

” Lama ya nunggunya ? Saya tadi dibel istri saya, katanya ada tamu yang nyari saya. Eh, ternyata Pak Rogeh dan Mas Baros ”, ramah sekali Kang Kelar menyapa Pak Rogeh dan Baros. Yang disapa hanya senyam-senyum saja, karena orang yang ditunggu-tunggu sudah menampakkan batang hidungnya.

Ah, enggak kok, Kang. Paling hanya setengah jam kami nunggu Kang kelar. Habis dari kota ya , Kang ? ” Pak Rogeh meladeni keramahan dari Kang Kelar.

” Iya, tadi Si Abong minta dibelikan buku. Maklum Abong kan lagi seneng-senengnya belajar. Dia kan sekarang sudah nol besar ”.

Oh ”. Masih saja kedua tamu itu bersikap ramah, atau sekedar basi-basi. Kegelisahan wajah dari kedua tamu itu pun muncul.

” Ada perlu apa , kok tumben mau datang ke tempat saya ? ” Kang Kelar tahu gelagat dari kedua tamunya yang kelihatan ada maksud.

Anu, Kang... saya minta tolong sama Kang Kelar...,”Pak Rogeh memberanikan diri untuk langsung menyampaikan maksud kedatangannya.

” Minta tolong apa ?’

Mbok, anak saya Si Baros ini, tolong dimasukkan menjadi pegawai negeri. Bulan ini kan bulan penerimaan calon pegawai negeri sipil.Kang Kelar pasti bisa memasukkan anak saya ini untuk menjadi pegawai negeri. Kang Kelar kan orang kepercayaannya Pak Bupati. Saya manut saja tentang syarat-syaratnya, asal anak saya yang sarjana ini bisa menjadi pegawa negeri ”. Pak Rogeh tanpa tedeng aling-aling langsung mengutarakan maksud tujuan kedatangan ke rumahnya Kang Kelar.

Oh, itu tho. Oke...oke. Yang penting besok sebelum jam 7 pagi, Mas Baros harus sudah menyerahkan berkas-berkas syarat adminitrasinya. Pokoknya gampang, semuanya bisa diatur. Yang penting Pak Rogeh dan Mas Baros mau mengikuti aturan saya. Bagaimana ? ” Kang Kelar dalam hatinya senang, karena menadapat mangsa baru.

Oh tentu Kang, saya manut, kok ”. Pak Rogeh pun juga puas mendengar jawaban dari Kang Kelar.Senja yang baru saja tergantikan oleh sang malam menjadi penutup perbincangan ketiga orang itu. Malam sudah datang, lampu-lampu sudah mulai dinyalakan. Wajah Pak Rogeh puas penuh harap, Kang Kelar senang karena dapat job baru dan Baros masih menyimpan ketidakpastian akan masa depannya.

* * *

” Ini uang pangkalnya,Kang. 25 juta rupiah ”. Pagi itu Pak Rogeh sudah berada di rumahnya Kang Kelar.

Oke, uangnya saya terima.Pokoknya kita nunggu Acc tandatangan dari Pak Bupati, Pak. Kalau sudah ditandatangani, sudah pasti Si Baros akan diterima menjadi pegawai negeri. Dan Pak Rogeh harus melunasi kekurangan 75 juta rupiahnya ”. Kang Kelar menyakinkan. Dan Pak Rogeh pun yakin bahwa anaknya pasti akan bisa menjadi pegawai negeri.

Oh, nggih. Tentu. Uangnya sudah saya persiapkan,kok. Ya, itu hasil tabungan pensiun saya dan menjual 2 sawah saya, Kang. Kalau Kang Kelar butuh sekarang, bisa kok...”.

Oh, jangan ! Nanti saja, Pak. Kalau semuanya sudah beres saja, dan pasti diterima, baru Pak Rogeh harus membereskan masalah keuangannya. Begitu, Pak ”. Kang Kelar seakan-akan bersikap tenang dan sedikit menahan.

” Iya.Iya. Baik, Kang ”. Langit semburat biru. Pagi itu terasa sejuk bagi pikiran Kang Kelar. Sebagai seorang kepercayaan Pak Bupati, segala cara aji mumpung telah dia pergunakan. Dari yang namanya makelari jabatan pegawai, proyek pemerintah, mutasi pegawai, mutasi camat sampai pembagian raskin dan sembako untuk rakyat, Kang Kelar adalah yang memegang kendali. Orang-orang pemerintahan kabupaten siapa yang tidak kenal dengan Kang Kelar. Semuanya tunduk sama Kang Kelar. Yang namanya sekda saja kalah pamor dengan Kang Kelar. Para kontraktor harus nunduk-nunduk kalau dihadapan Kang Kelar, agar mereka dapat jatah proyek pemerintah. Apalagi, yang namanya rakyat kecil sekelas Pak Rogeh yang merengek-rengek minta diberi pekerjaan untuk anaknya sebagai pegawai negeri sipil, bagi Kang Kelar itu mudah dan uangnya pun kalau sekelas rakyat kecil, dipastikan gampang keluar. Yah, seperti pagi itu. Pak Rogeh sudah menyerahkan uang 25 juta rupiah, sebagai uang pangkal agar anaknya Baros yang sarjana Es Pe De itu bisa menjadi pegawai lewat bantuan Kang Kelar.Konon katanya,untuk bisa menjadi pegawai negeri yang punya titel sarjana, patokan harga dari Kang Kelar adalah 100 juta rupiah. Dan Pak Rogeh tampaknya sudah mepersiapkan uang itu, meski uang itu dari hasil tabungan pensiun dan dari hasil menjual 2 sawahnya. Karena demi anaknya agar bisa menjadi pegawai, Pak Rogeh ikhlas akan menyerahkan uang itu. Sebagai rakyat biasa serta ingin anaknya cepat-cepat bisa menjadi pegawai sesuai cita-citanya, Pak Rogeh sangat berharap kepada Kang Kelar. Bagaimana tidak, pegawai bagi masyarakat awam adalah pekerjaan yang adi luhung, penuh prestise tinggi yang mungkin setiap orang di kampungnya menginginkan pekerjaan itu. Sebelumnya Pak Rogeh malu mempunyai anak yang punya titel sarjana dan Pak Rogeh sudah menyekolahkan sampai mendapat gelar sarjana, serta sudah mengeluarkan uang yang banyak, ternyata setelah lulus kuliah hanya menganggur dan kerjaannya sebagai tukang batu. Pak Rogeh bertekad bahwa anaknya harus menjadi pegawai negeri, walaupun dengan jalan pintas yaitu, dengan cara menyogok. Pak Rogeh tak peduli. Pak Rogeh tahu, bahwa perbuatan itu salah. Tapi karena masyarakat ini sudah membudayakan bahwa mencari kerja menjadi pegawai negeri harus dengan cara menyogok, Pak Rogeh mengikuti arus itu.

” Ini jaman edan. Kita ikuti arus saja. Dan cari pekerjaan sekarang susah. Paling gampang dengan cara ini ”, itulah argumen Pak Rogeh pada waktu itu sedang padu dengan istrinya perihal Pak Rogeh harus menyiapkan uang 100 juta rupiah. Istrinya pun hanya diam, maski dalam hatinya sayang harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Tapi karena demi anaknya, kedua orang tua itu akhirnya pasrah saja. Langit tak berubah. Warna biru menguasai cakrawala. Sepeda tua tetap saja dikayuh oleh Pak Rogeh, wajahnya memancar penuh harap.Dia berharap akan segera bertemu dengan Baros untuk menceritakan pertemuannya dengan Kang Kelar pagi tadi.

* * *

Malam itu, malam yang gelap dan sepi. Wajah kampung sudah tidur nyenyak. Hanya binatang-binatang malam saja yang selalu menjadi hiasan dan rytme malam. Rumah Pak Rogeh sepi, pemilik rumah sudah terpulas dengan mimpi-mimpinya. Tampak 2 orang berpakaian hitam-hitam dengan penutup kepala memakai sarung, menyelinap ke rumahnya Pak Rogeh. Salah satu orang sedang mencongkel sebuah jendela rumah Pak Rogeh. Salah satunya mengawasi sekeliling rumah Pak Rogeh. Setelah berhasil membuka jendela rumah Pak Rogeh, orang yang mencongkel jendela mencoba masuk. Orang yang satunya tetap berjaga mengawasi sekeliling rumah Pak Rogeh. Hampir 10 menit salah satu orang yang masuk ke runahnya Pak Rogeh belum keluar.Tiba-tiba salah satu orang yang tadi masuk ke rumahnya Pak Rogeh, melompat ke luar dari jendela bekas yang dia congkel sambil memberi isyarat kepada temannya yang sejak tadi menjaga di luar, bahwa semuanya beres. Akhirnya kedua orang yang berpakaian hitam-hitam itu, pergi meninggalkan rumah Pak Rogeh yang masih tetap saja sepi. Beberapa saat, terdengar kegaduhan yang berasal dari dalam rumah Pak Rogeh.

” Rampok !! Rampok !! Ada Rampok !! ”, Pak Rogeh, Bu Rogeh dan Baros semuanya berteriak.

* * *

” Tidak bisa, Pak ! Uang itu harus ada sekarang ! ”, Kang Kelar tegas menjawab alasan yang disampaikan oleh Pak Rogeh.

” Tapi, Kang....”, Pak Rogeh memelas.

” Kalau tidak dipenuhi yang 75 juta sekarang, berarti anak bapak tidak bisa menjadi pegawai negeri,maka akan saya coret dan digantikan dengan calon yang lain ! ”, Kang Rogeh menutup pembicaraan. Pak Rogeh memandang samar langit yang sekarang sepertinya sedang menertawakan dirinya.

Klaten, Okt ’08

HAMIL

CERPEN KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Bongkang tak bisa menyembunyikan kegembiraannya tatkala, dokter kandungan itu menyatakan bahwa Atin hamil. Dan masa kandungannya sudah berumur 1 bulan.Dengan menggandeng istrinya, Bongkang tetap saja tak bisa menyembunyikan kegembiraanya, bahwa dia akan segera mempunyai anak. Saking senangnya, Bongkang bahkan lupa untuk membayar ongkos periksa ke klinik kesehatan kecamatan itu. Itupun karena dikejar oleh petugas absensi pasien. Bongkang pun saking senangnya, tak mempedulikan orang-orang yang sedang menertawai dirinya. Istrinya Atin hanya mesam-mesem menahan malu atas tingkah suami tercintannya itu. Semilir angin desa yang berhembus,membawa 2 insan yang sedang dilanda kebahagiaan yang luar biasa itu menembus jalanan yang tidak beraspal, hanya tanah-tanah desa yang keras dan tandus. Dengan sepeda tuanya, Bongkang membawa Atin yang duduk di boncengan belakang sepedanya pulang ke rumah mungilnya. Sejuk matahari masih mengikuti arah laju sepedanya Bongkang. Peluh menetes satu persatu Bongkang tetap tak mempedulikannya. Mulutnya malahan bersiul-siul mendendangkan lagu melayu kesukaaan istrinya. Roda sepeda tetap berputar stabil meski kadang diganggu oleh jalanan yang berlubang. Bongkang tetap saja bersiul. Istrinya pun menikmati siulan dari mulutnya Bongkang.Setelah menempuh perjalanan hampir 45 menit, sampailah mereka kepada rumah yang mungil berpagar bambu dan bercat putih. Dengan hati-hati sekali Bongkang menggandeng istrinya untuk masuk ke dalam rumah. Diletakkan tubuh istrinya di kursi kayu. Bongkang masuk ke dapur untuk mengambil air putih. Kesejukkan menjalar ke tenggorokan mereka berdua. Siang itu memang terasa sejuk, karena udara juga tidak terlalu panas. Udara yang begitu, membuat mata Bongkang mulai meredup, tapi tetap ditahannya. Tetap saja Bongkang tak bisa mengalahkan rasa kantuknya.Tertidurlah dia di sebuah kursi panjang yang terbuat dari bambu itu.

Mas, Mas Bongkang bangun ! Kerja, Mas! Nanti ndak dimarahi lagi sama Mas Karjan ”, istrinya Bongkang pagi itu membuyarkan mimpi indahnya Bongkang.

Iya, Dik. Jam berapa ini ?”, Bongkang males-malesan untuk bergerak. Mimpi – mimpi itu masih membekas di otaknya.

” Jam 7 lebih, cepat sana mandi ! ” Teriakan Atin segera membuat Bongkang melepas mimpi itu, dan segera menuju kamar mandi.Sedangkan Atin yang berada di samping kamar mandi itu masih sibuk menyelesaikan cucian bajunya.

” Nanti sore kita ke tempatnya Bu Narti lagi, Dik ! ”.

” Malas, Mas. Paling jawabannya seperti bulan kemarin, belum ada hasilnya ”.

Iya, tapi katanya Bu Narti, kita harus rutin periksanya ”, Bongkang ngotot sambil berteriak di dalam kamar mandi.

” Sudahlah, Mas, mungkin kita memang belum di kasih sama Gusti Allah. Kita harus sabar, Mas ! ”. Atin akhirnya menyudahi cuciannya, dia langsung meninggalkan suaminya yang masih berada dalam kamar mandi.Bongkang pun terdiam kecewa. Impiannya untuk mempunyai keluarga yang sempurna belum terwujud. Tiba-tiba kembali mimpi-mimpi tadi malam itu mengganggu pikirannya. Memang sudah hampir 3 tahun ini Bongkang dan istrinya hidup berumah tangga, tapi kebahagiaan mereka belum sempurna karena sampai sekarang, mereka belum dikaruniai seorang anak. Sudah puluhan dokter kandungan, sampai bidan desa telah mereka datangi, tapi semuanya tidak membuahkan hasil. Ke dukun anak yang agak modern sampai yang konvensional pun sudah mereka sambangi, juga tak ada hasilnya. Segala obat dan ramuan tradisionil juga sudah mereka konsumsi, juga tak menghasilkan pengaruh apa-apa. Bongkang selalu optimis bahwa mereka pasti akan mempunyai anak. Karena menurut dokter, bahwa mereka berdua semuanya normal, tak ada yang kurang. Mungkin yang paling membahagiakan dari puluhan ahli – ahli tersebut hanyalah Bu Narti bidan desa yang nyambi jadi ahli ramal.

” Janinmu sudah ada, tapi memang belum kelihatan. Sebentar lagi kamu akan hamil, Tin ”, Bu Narti menyakinkan Atin. Walau jawaban itu sudah 3 kali diucapkan oleh Bu Narti tapi, semuanya itu membuat semangat hidup Bongkang tumbuh lagi.Dari ke 3 kali itu, Atin sudah yakin bahwa dia belum hamil. Tapi Bongkang tetap bersikukuh pada pendapat Bu Narti, bahwa, dia sebentar lagi akan melihat perut istrinya akan segera membuncit.Sedangkan Atin pun kurang percaya diri untuk yakin bahwa dia akan hamil. Dia hanya pasrah, kepasrahan dia diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Tuhan.Begitulah kehidupan keluarga Bongkang selama ini. Sebuah keluarga yang berharap sangat ingin mempunyai seorang momongan.

* * *

Setelah hampir 6 bulan berlalu, Atin pun belum menampakkan tanda-tanda kehamilan, Bongkang semakin risau dan kecewa. Setiap hari yang dia lakukan hanya melamum dan terbayang-bayang mimpi kehamilan Atin 6 bulan yang lalu. Kadang di rumah dia hanya diam sambil menampakkan keganjilan tingkah lakunya.

” Sudah kau belikan baju buat anak kita, Tin ? ” Bongkang mengkhayal bahwa anaknya akan segera lahir.

” Kamu harus mejaga kesehatanmu, Tin ! Jangan sampai bayi kita itu tidak sehat. Itu sudah saya belikan susu buat kamu dan buat bayi yang ada dalam kandunganmu. ”. Bongkang semakin tidak waras.Di depan tetangga pun Bongkang berkhayal bahwa dia akan segera punya bayi yang sehat.

Lik Jadit , tolong nanti saya dibuatkan tempat tidur bayi ya, Lik ! ” Siang itu di dalam sebuah warung minum pinggir jalan, Bongkang menyuruh tetangganya untuk membuatkan sebuah tempat tidur bayi.

” Tapi istrimu belum hamil, tho ? ” ,Lik Jadit heran dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Bongkang.

” Istri saya sudah hamil 6 bulan, Lik. Lihat saja perutnya sudah kini membesar. Anak saya itu nanti laki-laki, Lik. ” , Bongkang semakin ngawur bicaranya. Lik Jadit geleng-geleng kepala kasihan melihat perilaku Bongkang akhir-akhir ini. Lik Jadit hanya diam lalu meninggalkan Bongkang sendirian.

” Jangan lupa lho, Lik ! Sebulan lagi saya ambil, Lik ! ”, Bongkang berteriak ketika Lik Jadit sudah menjauh meninggalkannya. Bongkang tidak waras, sudah edan. Kini, yang ada dalam alam pikiran Bongkang adalah, bahwa dia akan segera mempunyai anak. Seperti harapannya sejak menikahi Atin. Mempunyai keluarga yang sempurna, yaitu mempunyai penghasilan dan mempunyai anak. Tapi kenyataan yang terjadi sampai hari ini keluarga Bongkang belum dikaruniai seorang anak. Tapi, Bongkang berkeyakinan bahwa ada bayi yang sudah berumur 6 bulan berada di rahim istrinya. Istrinya sedih. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Dulu, pernah dia mengatakan kepada suaminya itu, bahwa, dia belum hamil. Bongkang seketika itu marah-marah, dan selama 1 minggu dia tidak mau bekerja. Atin hanya pasrah. Dan hari ini, setelah peristiwa itu, dia menuruti saja kemauan suaminya kalau dia memang sedang hamil. Atin hampir berbulan-bulan bersandiwara kepada suaminya itu, kalau dia telah hamil. Itu dilakukan agar rumah tetangganys tetap utuh, dan agar suaminya tidak marah-marah lagi dan mau bekerja. Meski semuanya itu hanya bersandiwara belaka

” Istirahatmu harus cukup, Tin ! Ini saya belikan mangga muda buat kamu rujakan ”. Hati Atin menangis dan sedih melihat perilaku suaminya itu.

Ya Allah, cobaan apa yang telah Engaku berikan kepada kami ? ”, Atin dalam hati berdoa. Air matanya menetes pelan di pipinya.

” Kalau nanti sudah lahir akan aku beri nama, Satria Wibawa. Biar nanti anakku akan menjadi seorang ksatria yang berwibawa, Tin. Pasti anakku nanti berwajah tampan, gagah dan pintar seperti bapaknya. Iya, nggak, Tin ? ”, Bongkang tersenyum sendiri.Yang ditanya hanya mengangguk pelan. Atin semakin teriris hatinya. Suaminya ternyata sudah gila. Dia berjalan pelan menjauhi suaminya yang masih bergulat dengan angan-angan hampanya. Langit memudar mejadi warna jingga. Senja akan tergelar dengan alamnya yang buram dan remang. Beberapa kelelelawar sudah melepas tidurnya untuk kembali bekerja mengarungi malam yang hening dan sepi. Rembulan belum menampakkan kecantikkanya, karena langit masih menemani matahari yang akan pulang ke peraduannya. Atin di dalam kamar tidur menangis. Tangisan iba dan sedih yang sudah dia tahan sejak tadi, kini meleleh tak terbendung lagi. Dalam tangisan itu, dia memohon kepada Tuhan, hanya untuk kesembuhan suaminya agar menjadi normal kembali. Dia kini tak berpikir untuk hamil. Yang dia pikir hanyalah untuk kesembuhan suaminya. Kini, dia tersungkur dalam sajadah tua di kamarnya.Matahari sudah hilang. Malam menjuntai pelan.

* * *

’ Bongkang sudah gila ! Edan ! ”, para tetangga siang itu sedang membicarakan tingkah polah si Bongkang yang semakin tidak waras. Setelah 9 bulan berlalu, Bongkang belum juga sembuh dari ketidakwarasannya. Malahan kini semakin edan dan kenthir. Dia menyangka bayinya sudah lahir. Kemana-kamana dia selalu menggendong sebuah boneka plastik yang dia sangka itu adalah anaknya.

Ehhh jangan pipis lho, Le ! Ini bapak mau kerja, nyarikan susu buat kamu. Cup....cupp jangan nangis ya, ! Jadi laki-laki itu nggak boleh nangis...”, Orang-orang saling memandang.Semua yang melihat tingkahnya Bongkang memandang sedih dan iba. Mereka tak menyangka Bongkang akan berubah seperti itu. Padahal dulunya, Bongkang adalah seorang laki-laki yang giat bekerja, pintar dan sayang sama istrinya. Sekarang semuanya berubah 180 derajat, akibat keinginannya yang sangat ingin mempunyai seorang anak. Kini Bongkang sudah tidak bekerja lagi,Pak Karjan terpaksa memberhentikan Bongkang karena dianggap Bongkang, tidak bisa bekerja secara normal. Akhirnya Atinlah yang harus pontang-panting mencari uang untuk menjadi pekerja lepas di pabrik gerabahnya milik Pak Haji Qodar. Dengan hati perih dan sedih Atin ikhlas menerima ujian dari Tuhan. Tapi dia tetap berusaha untuk mencari jalan keluar demi kesembuhan suami tercintanya itu.Setiap hari dia memeras otak untuk mencari jalan keluar problema kehidupan keluarganya. Obat dan orang pintar sudah dia ikhtiarkan. Tapi belum satu pun yang berhasil.

” Bayi yang dikandung Mbak Sum meninggal baru saja,Tin. Tapi Mbak Sumnya selamat. Sekarang akan diadakan acara pemakamannya,Tin ”, tetangga Atin pagi itu memberi khabar tentang berita kematian seorang bayi yang baru lahir.

Oh. Innaillahi wa’inaillaihi rojiun”, hanya itu yang diucapkan Atin.Seketika itu otaknya bekerja. Dengan pelan-pelan dia menuju kamarnya lalu dengan hati-hati, dia mengambil boneka bayi yang ada di dekapan sumainya itu. Bongkang masih tertidur, dia tidak tahu kalau istrinya Atin mengambil bayi boneka yang ada di dekapannya. Masih pelan-pelan dan hati-hati sekali Atin mengambil boneka plastik itu,. dia takut kalau ketahuan suaminya. Akhirnya dia berhasil mengambil boneka bayi itu. Suami Atin masih pulas tertidur.

* * *

Mas, bayi kita meninggal. Iya, Satria meninggal, Mas. Sekarang sudah di kubur oleh para tetangga ”, Atin pura –pura menangis. Aktingya meyakinkan.

” Apa, Tin ? Satria meninggal ? Tidak mungkin ! tadi malam masih saya keloni ”, Bongkang berteriak tak percaya.

” Kalau Mas Bongkang tidak percaya, kita sekarang ke kuburannya, Mas ! ”, Atin masih berpura-pura sedih. Tanpa dikomando mereka berdua langsung menuju kuburan di pinggir kampung itu. Setelah sampai di kuburan, Bongkang berteriak-teriak. Sebetulnya Atin merasa sedih melihat suaminya mendera kesedihan seperti itu. Tapi itu satu-satunya jalan untuk menyembuhkan suaminya.

” Oh, Satria. Ini tidak mungkin ! Tidak mungkin!”, Bongkang berteriak dan meratap di kuburan yang masih baru dan basah itu. Yang tak lain adalah kuburan bayi tetangganya, yaitu bayinya Mbak Sum. Tiba – tiba Bongkang berdiri dan berlari meninggalkan tanah perkuburan itu dan meninggalkan Atin yang terkesiap melihat suaminya berlari meninggalkannya.Bongkang sudah menghilang. Langit sore itu nanar warnanya, kelihatan mendung akan mewarnai alam ini. Dan sore itu, Atin yang ditinggal sendirian, akhirnya meninggalkan kuburan itu untuk mengikuti arah suaminya tadi.Atin berpikir suaminya pasti sudah berada di rumah. Setelah membuka pintu rumahnya, Atin berteriak histeris dan keras sekali.

Ya Allah, Mas Bongkang ! ”, yang dipanggil diam saja. Karena suaminya Bongkang kini sudah tergantung kaku tak bergerak dengan sebuah selendang yang melilit lehernya di atap kayu plafond rumahnya. Tubuhnya sudah dingin tak bernyawa.

Klaten, Okt ’08.

PROYEK

CERPEN KARYA : DENDY RUDIYANTA

Dukuh Krentekan malam itu heboh. Semua orang berkumpul di rumahnya Den Mas Gul Kimul, seorang yang sugih mlegedhu, punya sawah berhektar-hektar. Dukuh Krentekan memang tak seperti biasanya malam itu. Di dalam rumah maupun di teras rumah sudah berjubel orang. Para pemuda sibuk membagi minuman dan makanan untuk acara malam itu. Para ibu-ibu tak ketinggalan menyiapkan segala yang diperlukan di dapurnya Den Mas Kimul. Segala keperluan untuk acara malam itu memnag sudah dipersiapkan secara matang oleh Den Mas Kimul. Dari pengaturan orang-orang yang akan datang ke rumahnya, makanan dan minumannya, pengaturan tempat duduk, tenda-tenda sudah dipersiapkan sejak siang tadi. Memang sekarang di rumahnya Den Mas Kimul sedang berlangsung acara temu warga seluruh Dukuh Krentekan.Pemrakarsa dari acara itu tak lain adalah Den Mas Kimul sendiri. Inti dari pertemuan itu adalah membahas kedatangan Ki Demang Margotho seorang pejabat dan pengusaha sukses kabupaten. Ki Demang Margotho adalah seoarang tokoh yang sangat dikagumi karena kedermawanannya dan kewibawaannya. Nama Ki Demang Margotho sangat terkenal seantero kabupaten ini. Karena sudah tersohor seantero kabupaten Ki Demang Margotho berniat ingin membuta sebuah proyek raksasa di kampung Krentekan tersebut. Dan Den Mas Kimul inilah yang menjadi orang kepercayaan Ki Demang Margotho untuk melancarkan proyek raksasa tersebut. Sebagai seorang anak buah yang loyal Den Mas Kimul kena sampur rejeki. Proyek raksaasa yang dijanjikan oleh Ki Demang Margotho membuat Den Mas Kimul bersemangat mengelurakan harta benda, pikiran dan tenaganya demi kesuksesan Ki Demang Margotho untuk bisa mewujudkan keinginan Ki Demang Margotho untuk membuat sebuah proyek raksasa di kampung Krentekan Konon, Ki Demang menjanjikan kepada Den Mas Kimul untuk membuat patung raksasa berbentuk seorang manusia yang gagah perkasa, patung yang akan dibuat itu tak lain dan tak bukan adalah patung dirinya Ki Demang Margotho. Den Mas Kimul harus membuat patung itu semegah mungkin dan sebagus mungkin, pokoknya harus sesempurna mungkin dan harus persis seperti layaknya manusia sebenarnya.Ki Demang Margotho seandainya bisa membuat patung itus eperti yang diinginkan Ki Demang Margotho, keinginan apapun dari Den Mas Kimul akan dituruti oleh Ki Demang Margotho.Seperti malam ini, selueruh warga dikumpulkan di rumhanya Den Mas Kimul untuk membahas masalah proyek tersebut.

” Kalau bapak-bapak dan seluruh warga Krentekan ini bisa mewujudkan apa yang menjadi ekinginan dari Ki Denag Margotho, maka kampung kita ini akan gemah ripah loh jinawi, karena Ki Demang Margotho tak segan-segan akan selalu membantu kempung ini sipaya lebih makmur dan sejahtera. Ki Demang akan membantu memperbaiki jalan-jalan kampung kita yang telkah rusak, membantu mebuatkan MCK buat kampung kita dan Ki Demang Margotho akan memberikan kredit lunak kepada warga yang menginginkan membuka usaha. Pokoknya mulai detik ini, kita harus mewujudkan apa yang menjadi keinginan dari Ki Demnag Margotho, yaitu membuat patung raksasa di pinggir lapangan kampung kita ini. Bagaimana, bapak-bapak ibu-ibu sekalian apakah semuanya setuju ? ”, jawabanya yang ekaluar dari warga yang datang di rumahnya Den Mas Kimul seperti sudah bisa ditebak, semuanya setuju. Malam semakin larut, makanan semuanya habis tak tersisa. Yang tersisa hanya piring-piring yang sudah kosong dan berpuluh gelas juga kosong. Ibu-ibu yang bertugas di dapur, semuanya sudah pulang.Kursi-kursi yang sejak tadi penuh terisi oleh pantat para tamu yang datang untuk menghadiri acara di rumahnya Den Mas Kimul, sekarang juga sama, kosong. Tinggal bebrapa pemuda dari warga setempat yang dengan cekatan membersihkan sisa – sisa sampah yang berserakan di lantai rumahnya Den Mas Kimul.Para pemuda sepertinya juga merasakan semnagat untuk menrima tawaran proyek raksasa untuk kampungnya itu. Paling tidak mereka akan kecipratan rejeki dari proyek itu.Dengan cekatan para pemuda itu membersihkan kotoran – kotoran yang masih tertinggal.

Hikayat, SOLOPOS

PULANG KAMPUNG

KARYA :

DENDY RUDIYANTA

Semilir angin desa yang mendesah pelan nan lembut membawa langkah tegas seorang pemuda yang berjalan menyusuri jalan desa sambirawit. Burhan menghirup sedalam-dalamnya hawa desa yang pernah dia kenal 7 tahun lalu. Hawa itu masih sama tak ada yang berubah. Dengan pohon-pohoin munggur yang masih rimbun, dengan nyiur hijau pohon kelapa., dengan tanaman tebu yang siap ditebang. Burhan tak mau melepaskan kerinduan dalamnya dengan suasana kampungnya itu. Dipandangnya dengan mata yang memancarkan kerinduan terhadap kampung sambirawit yang ditinggalkannya 7 tahun lalu. Tujuan kampung sambirawit tinggal beberapa langkah. Burhan mempercepat jalannya agar cepat sampai ke rumah. Ya, rumah yang kini hanya ditinggali seorang neneknya. Karena kedua orang tua Burhan sudah meninggal yang disebabkan oleh kecelakaan kereta api pada waktu Burhan berumur 3 tahun. Bapaknya Burhan adalah seoarang guru ngaji yang terkenal sangat baik hati terhadap semua orang.Tapi sayang kehidupan di dunia kedua orang tua Burhan hanya sebentar. Maka, Burhan sejak saat itu menjadi anak yatim piatu. Kakek Burhan pun juga sudah meninggal pada waktu jaman penjahjahan dulu. Kakek Burhan meninggal karena ditembak oleh tentara Belanda. Maka sejak berumur 3 tahun, Burhan diasuh oleh neneknya.Dengan kehidupan yang sangat sederhana itu, neneknya Burhan harus banting tulang untuk menghidupi dirinya dan cucu kesayangannya itu. Untung saja masaih ada uang pensiunan kakeknya Burhan yang sedikit-dikit bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada waktu Burhan berumur 15 tahun, ada seorang kyai teman bapaknya Burhan yang tinggal di seberang kampung ,mengajak Burhan untuk masuk menjadi santri di pondok pesantren di Surabaya. Dengan berat hati Burhan harus rela meninggalkan neneknya seorang diri. Tapi karena dengan niat tekad yang tulus, Burhan akhirnya pergi untuk belajar ilmu agama di Surabaya. 7 tahun Burhan telah balajar menuntut ilmu, dan sudah saatnya Burhan dengan ilmu agama yang dia dapat dari pondok pesantren, Burhan berniat untuk membawa dakwah syiar islam di kampungnya untuk meneruskan cita-cita orang tuanya. Maka pantaslah Burhan kali ini akan membawa misi dakwah bagi kampungnya. Agar masyarakatnya lebih tahu dan mengenal Alloh secara utuh dan benar. Setelah memasuki jalan kampung, karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.37 Burhan pun hendak menjalankan sholat ashar di masjid kampungnya yang telah lama dirindukannya. Rasa aneh menyelinap di benak Burhan. Masjid yang dulu bersih dan teratur, sekarang ini terlihat kotor dan seakan tak terawat. Ada banyak ambal yang berdebu dan warnanya pun sangat kusam sekali. Cat dinding masjidpun kelihatan sudah banyak mengelupas dan kulit catnya pun banyak yang berjatuhan di lantai masjid. Karena waktu sudah menujukkan pukul 15. 55, Burhan sepertinya tak mempedulikan kondisi masjid di kampungnya itu. Kembali dia khsuyu’untuk melaksanakan sholat ashar.Hampir 10 menit-an dia khusyu’ untuk melaksanakan sholat ashar, kemudian dia berdiri untuk meninggalkan masjid. Dengan langkah santai Burhan menyusuri kampungnya. Jalanan kampung yang sepi masih tampak menghiasi suasana sore itu. Hanya sesekali pandangan mata para penduduk desa tertuju ke arahnya. Ada perasaan bertanya-tanya dan keheranan yang mendalam tampak di raut muka Burhan.

” Kenapa orang-orang itu memandangku seperti itu ? ”, Burhan hanya membatin perasaannya. Ada sesuatu yang aneh memang, ketika beberapa penduduk melihat kedatangan Burhan.Tak lama kemudian tampak rumah neneknya Burhan yang kecil dan sederhana itu.

Assalamu’alaikum.Yang, ini Burhan, Yang. Burhan pulang, Yang...”, Burhan tak bisa menahan rindunya terhadap neneknya, orang yang dia sayangi. Kemudian seorang perempuan tua yang jalannya sudah tertatih-tatih, menatap seorang pemuda tampan yang berada di depannya, seakan tak percaya.

Walaikumsalam. Apa bener kamu ini, Burhan cucuku ?’

” Eyang ini bagaimana, tho ? Saya ini Burhan, Yang. Masak sama cucunya sendiri lupa ? ”

Bener kamu itu Burhan ? ” Nenek tua itu tetap masih belum percaya.

” Saya ini Burhan, Yang .” Burhan memantapkan perkataannya agar neneknya tahu bahwa dia memang benar cucu satu-satunya itu. Akhirnya kedua insan yang berlainan umur itu saling merengkuh dan berpelukan. Setetes air mata kebahagiaan dan kerinduan menetes pelan di pipi Burhan.

” Eyang sehat ? ” Burhan menanyakan keadaan neneknya itu.

Alhamdulillah, sehat. Kamu sekarang sudah besar dan tampan. Kamu persis seperti almarhum bapakmu ”. Setelah sedikit meluapkan kerinduan terhadap rumah dan neneknya itu, Burhan mencoba bertanya tentang kampungnya.

Yang, kenapa masjid kita itu sekarang kotor seperti tak terawat ? ”

” Kampung ini sekarang sudah pada lupa kepada perintah Alloh, Bur ”, datar jawaban neneknya Burhan.

” Maksud Eyang ? ’

Iya, sekarang orang-orang setelah bapakmu meninggal, mereka pada lupa sholat, apalagi pergi ke masjid. Justru yang terjadi sekarang ini, para pemudanya sering mabuk-mabukan, yang tua kalau malam sering main judi di poskamling kampung ini. Pokoknya semuanya sudah rusak”.

” Benarkah itu, Yang ? ” wajah Burhan mengisyaratkan ketidakpercayaan apa yang baru saja dikatakan oleh neneknya itu.

” Lihat saja sendiri kalau kamu tidak percaya ”, nenek yang tua itu tetap saja menjawab dengan kata-kata yang datar-datar saja.

* * *

Senja sudah menyelinap di kampung itu. Warna semburat merah nampak di ufuk atas sana. Jam menunjukkan pikul 17. 49 waktunya sholat mahgrib. Tapi yang ditunggu untuk melantunkan adzan di masjid waktu itu tak terdengar sama sekali.Burhan hanya geleng-geleng kepala, seakan tak percaya. Akhirnya Burhan menunaikan sholat mahgrib di masjid sendirian tak ada jamaah yang datang di masjid itu. Setelah menunaikan kewajibannya, Burhan melenggang untuk pulang. Di sebuah perempatan jalan ,ada sebuah rumah yang tidak terlalu besar, di dalamnya banyak pemuda yang berkumpul. Terdengar suara mereka sangat berisik. Mereka bernyanyi-nyanyi, meski suara mereka terdengar sama sekali tak merdu . Di dalAm rumah itu,beberapa orang berkerumun. Dalam kerumunan para pemuda itu, ada beberapa botol minuman keras yang berada di atas sebuah meja kayu yang cukup besar. Yang 3 botol sudah kosong isinya, masih ada sekitar 2 botol yang masih terisi penuh.

” Ternyata benar apa yang dikatakan Eyang ”, Burhan membatin ketika melewati sekumpulan pemuda mabuk itu, Burhan mencoba untuk meyapa mereka dengan senyum.

” Assalamu’alaikum ”.

” Walaikumsalam, Pak Ustad...hik...hik..”, salah seorang dari mereka menjawab sambil mulutnya mengeluarkan bau yang tidak sedap.

Oh ini, tho yang namanya Burhan, jebolan pondok pesantren itu ? Hey Burhan, ayo sini gabung dengan kami ! Tidak apa-apa sedikit saja,Tuhan juga tidak akan marah,kok. Ayolah...! ” ,yang satu mencoba merayu Burhan.

” Terima kasih. Mari. Wassalamu’alaikum ”. Burhan langsung pergi meninggalkan mereka yang sudah mabuk.

Ohhh . Payaah ! ”., cemooh mereka. Burhan hanya diam saja. Dia tetap saja meninggalkan mereka.Dalam perjalanan pulang Burhan melihat kemaksiatan terjadi lagi di matanya. Di sebuah poskamling dekat sebuah lapangan, tampak beberapa orang tua, sibuk bermain kartu. Di depan lingkaran permainan kartu itu, ada beberapa lembar uang. Bapak-bapak itu berjudi secara terang-terangan seperti tak ada dosa . Dan konon, kegiatan itu dilakukan setiap malam. Burhan memutuskan tak akan melewati jalan itu. Dia muak melihat semua itu.

” Kampung ini sudah seperti kampung jahiliyiah ”, Burhan membatin dengan geram. Tampak sekali raut mukanya memendam amarah terhadap apa yang baru dilihatnya itu.

* * *

Dalam rumah neneknya , Burhan tampak gelisah. Dia tidak habis pikir, kampung yang dulu ketika bapaknya masih hidup, kampung ini sangat sejuk dan nyaman. Orang-orang sering datang ke masjid untuk menunaikan kewajibannya. Bapaknya Burhan pun dengan rela memberi sedikit pelajaran agama kepada para penduduk. Akhirnya dari mereka, sedikit demi sedikit mereka mengerti tentang agama. Tapi setelah bapaknya tidak ada, dan dia sendiri harus mencari ilmu ke kota, kampung ini menjadi kampung yang penuh dengan kemaksiatan dan kampung yang seperti tak pernah mengenal ajaran agama.Dia menahan emosinya yang sepertinya sudah tak bisa dipertahankan. Malam itu sehabis isya’, Burhan tak bisa memejamkan mata. Teringat pesan gurunya sewaktu dia di pondok, untuk selalu melawan kemaksiatan yang ada di bumi ini. Malam semakin larut. Suara jangkrik menambah suasana menjadi semakin hening. Burhan akhirnya bisa tertidur.Tapi, baru beberapa saat tidur, Burhan mengalami mimpi. Dalam mimpinya dia didatangi seorang yang sudah tua yang memakai sorban putih di kepalanya, bajunya pun juga berwarna putih bersih. Orang tua itu berkata ” Hancurkan saja, Burhan ! Jangan takut ! ”. Seketika itu Burhan terbangun dengan keringat dingin menetes di kening dan seluruh tubuhnya.

* * *

” Poskamling terbakar...poskamling terbakar.... !!!”, teriak beberapa penduduk ketika melihat sebuah poskamling dekat lapangan menjadi ludes terbakar. Dan yang tersisa hanya puing dan abu yang berterbangan ditiup angin.

” Rumah tempat ngumpulnya para pemuda kampung ini juga terbakar ! Semuanya juga habis ludes ! ”, sambil berteriak-teriak seorang penduduk mengabarkan berita yang isinya hampir sama.

” Bagaimana ini ? Sekarang kita tidak mempunyai tempat lagi untuk bermain kartu ” , seorang bapak yang sudah tua menimpali.

” Ulah siapa ini ? ”, semua saling bertanya. Tapi tak ada yang mampu menjawab. Siang itu udara panas sekali. Para penduduk kebingungan untuk mencari penyebab terjadinya 2 peristiwa kebakaran di kampung sambirawit itu. Tapi tetap saja tak ada yang tahu.Meski begitu, tak ada yang berani melapor kejadian ini ke pihak berwajib, mereka sadar dan takut katahuan, karena telah menyalahgunakan sarana poskamling sebagai tempat untuk berjudi dan mabuk-mabukkan. Akhirnya mereka diam saja.Di sebuah rumah neneknya Burhan tampak sepi. Tak ada aktifitas. Neneknya juga tidak ada. Konon ceritanya Burhan pergi membawa neneknya untuk meninggalkan kampung yang penuh dengan kejahiliyiah- an itu.

Klaten, Feb ’09

BAPAK

KARYA : DENDY RUDIYANTA

” Maksud bapak, kamu harus tetap tinggal di sini, Zan. Bapakmu ini sudah tua, sudah waktunya untuk istirahat dan menikmati sisa hidup dengan kebehagiaan bersama anak satu-satunya, yaitu kamu, Zan. Saya sudah siap kalau kapan-kapan Alloh menjemput ajal bapak, Zan ”. Pagi itu udara belum terlalu panas, embun-embun yang ada di daun-daun masih terlihat sisa tetesnya. Seorang bapak yang usianya sudah sepuh tapi tatap pandangnya masih tajam dan phisiknya pun juga tidak terlalu rapuh, pagi itu Ihkzan mencoba mengutarakan maksudnya untuk bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah kantor dinas daerah di Palangkaraya Kalimantan Tengah.

” Tapi, ini kesempatan emas saya, Pak. Selama ini saya selalu menunggu kesempatan kerja untuk menjadi pegawai negeri di kotaku sendiri, tapi selalu gagal. Alasanya macam-macam. Kurang adminitrasi, kurang tandatangan kelurahan. Pokoknya ada saja alasan ”, Ikhzan mempertahankan alasannya untuk tetap meninggalkan kota ini dan meninggalkan bapaknya.

” Tapi, kamu kan sekarang sudah bisa berwiraswasta, berjualan sayur kelilingan. Apa itu tidak cukup, Zan ?”.

” Apa bapak tidak malu dengan profesi anaknya sebagai penjual sayur kelilingan, Pak ?”, pembicaraan pun bertambah menghangat.

” Kenapa harus malu, Zan ? Yang penting halal dan menyenangkan orang lain. Itu, thok cukup ! ” , bapaknya Ikhzan pun mulai terpancing dengan tekad anaknya untuk meninggalkannya sendirian.

” Bayangkan, bapak sebagai mantan anggota DPRD kabupaten dan mantan orang terpandang di kampung ini, mempunyai anak kerjanya hanya sebagai penjual sayur kelilingan. Apa bapak tidak malu ? Dulu bapak sangat saya harapkan untuk mencarikan pekerjaan buat saya, karena saya pikir bapak gampang saja mencari koneksi pejabat-pejabat tinggi di kabupaten ini, tapi bapak malah bilang itu nepotisme dan tidak baik. Seandainya bapak pada waktu itu mau mencarikan pekerjaan saya untuk menjadi pegawai negeri, tentu saya sekarang sudah menjadi kaya, Pak. Dan tidak mungkin menjadi penjual sayur kelilingan. Tapi, kenyataannya bapak tidak pernah mau untuk melakukan itu ”. Ikhzan meluap emosinya, meski yang dihadapi adalah bapaknya, seorang yang sangat ia sayangi, orang yang dipandang Ikhzan sebagai panutan dalam dia berpikir dan bertindak. Tapi ternyata otak pikiran Ikhzan sudah kemasukan pikiran setan yang hanya menuruti kemauannya.

” Tidak ! Bapak tidak mau melakukan hal-hal seperti itu ! Bangsa ini mau menjadi apa ? Kalau semua harus memakai cara titip-titip-an. Hey dengar, Ikhzan ! Alloh memberikan rejeki bukan hanya harus menjadi pegawai negeri. Tapi, Alloh memberi rejeki bisa datang dari segala arah. Asal orang itu mau ber-ikhtiar dan berdoa. Sekarang terserah kamu ! ”, karakter bapaknya Ikhzan sebagai politikus tua yang berwibawa dan penuh kharismatik muncul dalam pembicaraan pagi itu. Ikhzan terperangah dan kaget. Dia menyadari bapaknya sedang dalam keadaan marah besar. Itu terlihat dengan suaranya yang lantang dan keras seperti ketika mengobarkan semangat pada waktu dulu dia kampanye partai. Bapaknya Ikhzan memang seorang politikus gaek dan penuh daya kharisma. Seluruh partai, pejabat tinggi semua menghormati beliau. Ikhzan pun hanya tertunduk lesu ketika mendengar statement bapaknya yang keras itu. Dia terdiam. Bapaknya Ikhzan langsung masuk ke kamar tidurnya tak mempedulikan anaknya Ikhzan yang seakan mati kutu ketika menghadapi bapaknya. Ikhzan masih terduduk di kursinya. Dia memandang langit-langit rumahnya seakan-akan hendak runtuh menimpa dirinya.

** *

2 hari Ikhzan tak berbicara dengan bapaknya. Keduannya saling menjaga wibawa. Tak ada yang mau mengalah untuk saling bertegur sapa seperti biasanya. Hanya seorang pembantu saja yang mencoba mencairkan suasana, dia adalah, Lik Tum. Di rumah Ikhzan,Lik Tum dianggap sebagai keluarga sendiri walau pekerjaannya hanya sebagai seorang pembantu. Tapi, Ikhzan dan bapaknya menganggap Lik Tum sebagai bagian dari keluarganya. Apalagi, setelah ibunya Ikhzan meninggal 12 tahun yang lalu, Lik Tum dianggap sebagai pengganti ibunya sendiri. Lik Tum tinggal dekat rumahnya Ikhzan, jaraknya kurang lebih hanya 150 meter saja dari rumahnya Ikhzan. 2 hari Ikhzan tak berbicara dengan bapaknya. Dan 2 hari setelah pembicaraan, tentang pekerjaan yang ditawarkan kepada Ikhzan untuk bekerja sebagai pegawai negeri di Palangkaraya, Ikhzan tetap pada pendiriannya. Dia tetap ingin bekerja sebagai pegawai negeri di Palangkaraya. Dia tak peduli dengan keadaan bapaknya yang sudah sepuh dan hidup sendirian. Di kamarnya Ikhzan mempersiapkan segala kebutuhan yang akan dibawanya sebagai bekal untuk proses lamaran menjadi pegawai negeri di Palangkaraya. Dari ijazah S1 nya, surat-surat dari kelurahan, baju dan tetek bengek , dia masukkan dalam kopor hitam. Setelah hampir 30 menit-an dia menata bekal, dia mencoba untuk menelpon lewat handphonenya seorang pejabat dari Palangkaraya. Yang katanya, sebagai pejabat daerah setempat yang memiliki akses dengan panitia pe-rekrutan pegawai negeri di Palangkaraya. Katanya, pejabat itu yang bisa memasukkan orang untuk menjadi pegawai negeri, asal mau menyediakan dana sekian puluh juta rupiah.

” Ini Ikhzan, Pak. Yang dulu ditawari bapak untuk menjadi pegawai negeri di kantor dinas Palangkaraya. Bagaimana, Pak ? Semuanya tetap dengan rencana semula, tho ? ”, Ikhzan mencoba menghubungi pejabat itu.

Oh sudah pasti beres, Mas. Semua sesuai rencana. Pokoknya Mas Ikhzan nanti sudah harus bawa uang, lalu diserahkan kepada saya, sebagai jalan untuk memuluskan Mas Ikhzan bisa masuk menjadi pegawai negeri. Jangan lupa budgetnya sesuai dengan kesepakatan kita, nanti saya siapkan segala berkasnya untuk saya bawa ke panitia. Pokoknya semuanya beres, Mas. Mas Ikhzan dijamin pasti masuk menjadi pegawai negeri ”. Tampak raut muka Ikhzan berbinar menandakan ada harapan dan cita-citanya untuk menjadi pegawai negeri sudah di depan matanya. Uang jerih payahnya sebagai penjual sayur dia hitung, dia siapkan uang itu sebagai uang pelicin untuk bisa menjadi pegawai negeri.

* * *

” Jadi kamu akan pergi, Zan ? ”, Bapaknya mencoba menegur Ikhzan setelah terjadi kebuntuan komunikasi. Ikhzan kaget di beri pertanyaan seperti itu. Dia takut bapaknya pasti akan marah besar, seperti waktu lalu. Dan pasti akan terjadi keributan lagi.

” Jjjadi, Pak ”, ragu-ragu Ikhzan menjawab.

Ya sudah, bapak hanya mendoakan saja semoga kamu berhasil di sana. Yang penting kamu kalau sudah di sana tetap kirim khabar kepada bapak. Jangan lupa untuk tetap sholat. Sudah ya, bapak mau istrahat dulu, badan bapak hari ini kurang sehat. Mungkin, asam uratnya akan kambuh lagi ”, langsung orang tua itu masuk ke dalam kamarnya. Dalam hati Ikhzan teriris melihat kondisi bapaknya yang semakin menurun kesehatannya. Dia sebenarnya tak tega meninggalkan bapaknya sendirian hanya ditemani Lik Tum pembantunya. Bapaknya sudah semakin tua, hidupnya hanya mengandalkan hasil sawah warisan kakeknya. Tapi apa boleh buat, tekad sudah bulat. Dia harus meneruskan cita-citanya yang lama dia impikan.

* * *

Jam 05.30 pagi bapaknya Ikhzan di dalam kamarnya mengerang kesakitan. Ikhzan kaget, dan langsung masuk ke kamar tidur bapaknya. Bapaknya Ikhzan terlihat menahan rasa sakit yang mendalam. Dengan berpikir cepat, Ikhzan langsung membawa bapaknya ke rumah sakit. Dokter dan seluruh paramedis bekerja keras untuk menangani pasien tua itu. Keadaan semakin kritis, tampak raut muka dokter dan paramedis kelihatan tegang. Mereka mondar-mandir di ruang ICU. Ikhzan dan beberapa tetangga yang menunggu kondisi bapaknya Ikhzan semuanya tampak gelisah. Ikhzan menangis di pojok dinding rumah sakit. Matanya merah. Bayangannya seakan menjadi kabur. Harapan untuk bisa menjadi pegawai negeri, pagi itu telah dia putuskan. Kedua pipinya sudah basah dengan tetesan air mata.

” Ya, Alloh selamatkan bapakkku ”, hanya itu yang diucapkan Ikhzan. Tiba-tiba muncul seorang paramedis yang akan mengabarkan sesuatu kepadanya. Dan kata paramedis itu,

” Anda anak kandungnya Pak Ramelan ? Sekarang, anda boleh melihat kondisi Pak Ramelan ”, kata paramedis itu.

” Bagaimana keadaan bapak saya, Sus ? ” gemetar bibir Ikhzan menanyakan khabar kondisi bapaknya.

” Lihat saja nanti sendiri. Mari, saya antar ! ”. Akhirnya dengan perasaan serba tak menentu, Ikhzan ditemani seorang paramedis memasuki ruang ICU untuk melihat kondisi bapaknya. Udara pagi itu terasa dingin, sedingin ruang ICU yang ber-ac dan hening. Yang terdengar hanya suara mesin-mesin medis, suara mesin alat pemompa pemompa jantung yang menambah suasana menjadi mencekam dan mengkhawatirkan. Ruang ICU itu sangat bersih dan begitu steril. Semua pembesoek yang ingin masuk ke ruang ICU harus mengenakan pakaian khusus yang steril. Pelan-pelan Ikhzan melangkahkan kakinya untuk melihat kondisi bapaknya. Setelah melihat kondisi bapaknya, Ikhzan seakan tak percaya. Laki-laki yang dianggapnya sebagai panutan, macan politik di kabupaten kini, tergolek lemah tak berdaya. Di seluruh tubuhnya sudah terpasang alat-alat mesin medis. Kembali air mata membasahi pipi Ikhzan. Dia tetap tak percaya dengan kondisi bapaknya yang seperti itu. Dia mantapkan langkahnya untuk menuju tempat bapaknya terbaring. Dia mencoba tabah.

” Pak. Ini Ikhzan, Pak ”, Ikhzan mencoba memegang tangan kanan bapaknya yang tergolek lemas.

” Bapak harus sehat, ya ”, seketika itu terjadi respon. Mata yang sayu dan tubuh yang lemas itu, pelan-pelan bergerak. Mungkin bapaknya Ikhzan mencoba untuk me-respon ucapan dan sentuhan tangan dari Ikhzan.

” Pak, saya akan tetap bersama bapak. Ikhzan tidak jadi ke Palangkaraya. Ikhzan tidak akan pernah meninggalkan bapak. Pekerjaan apapun baik, asal halal dan menyenangkan orang lain. Ikhzan akan tetap menjaga bapak. Nanti kita akan membangun kolam lele, yang dulu pernah bapak cita-citakan untuk bisa menjadi juragan lele... ”, Ikhzan terbata-bata dengan perasaan yang tak menentu dia mencoba tabah untuk tetap berkomunikasi dengan bapaknya. Air mata itu tetap saja tak bisa dibendung menetes di kedua pipinya.Tiba-tiba tangan yang lemah dan lemas dari bapaknya Ikhzan, bergerak pelan. Dia menaikkan tangan kanannya menuju pipi Ikhzan yang basah karena air mata. Tangan itu akhirnya sampai di pipi yang basah. Dia usap air mata itu. Ikhzan kaget. Dan dia seakan malu-malu mengusap air mata di kedua pipinya dengan kedua tangannya. Mata yang sayu dan sakit itu, memandang ke arah wajah anak satu-satunya yang sangat dia cintai itu. Kemudian seakan mulut dari lelaki tua itu hendak berucap.

” Zan, kamu harus tabah. Jangan menangis. Menjadi lelaki itu harus kuat. Bbbbaapak senang kkkaaamu tidak jadi pergi. Jangan lupa sholat, ya ! Relakan bapak untuk pergi. Bapak sudah siap”, tangis Ikhzan tak bisa terbendung lagi.

” Bapak jangan ngomong begitu. Kita akan tetap bersama, Pak. Bapak jangan pergi, ya ”, Ikhzan tak bisa menahan gempuran perasaan yang datang seperti ombak. Perasaan itu akhirnya jebol membanjiri bilur – bilur perasaan yang sedih dan takut akan kehilangan orang yang sangat dia sayangi.

” Pak, Ikhzan minta maaf jika selama ini Ikhzan banyak bersalah sama bapak...”, tangan yang tua dan lemas itu, tetap dipegangnya sekedar menunjukkan rasa sayangnya dan berbakti terhadap bapaknya.

” Kamu tak punya salah sama bapak. Bapak sudah memaafkan kamu.Zan, sekarang bapakmu sudah ditunggu sama ibumu.”, keadaan hening mencekam.

” Zan, ....”. Tetap hening.

” Ya, pak ”, suara Ikhzan sudah parau menahan rasa sedih yang mendalam.

” Tuntun bapakmu mengucap La Illa hailallah.... ”, seketika itu Ikhzan langsung menuju telinga orang yang sangat dia sayangi itu, mulutnya bergerak pelan , sambil menuntut bacaan suci ” La Illa hailallah ” di telinga bapaknya. Tak lama kemudian, tangan yang sudah keriput itu, akhirnya terkulai tak berdaya. Orang yang dia cintai kini telah menemui Dzat Yang Maha Agung untuk selama-lamanya. Ikhzan tabah. Sekarang air mata itu sudah mengering. Yang terbayang sekarang adalah, harapan bapaknya harus menjadi perjuangannya meneruskan cita-cita almarhum bapaknya.

Klaten, Feb ’09

Oda untuk Bapak ” Heaven waiting to you ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo kasih komentar, komentar anda berguna bagi saya :