NAMA – NAMA USANG
Aku merangkai nama di antara seribu cakrawala
Dengan kelopak matahari yang terdiam di bilik kamarku
Bukan saja, aku mendengar bisikan ibuku yang ada di surga
Menyerupai kidung malaikat
Aku mengeja lagi nama-nama usang
Yang aku sendiri tak tahu berapa yang mati
Karena beban meraih batu-batu
Klaten, Jan ‘08
KHABAR SEPI
Diantara reruntuhan matahari
Perempuan yang menjemput badai
Cerita tentang nestapa di penghujung senja
Kaca-kaca telah mengering embunnya
Bangku-bangku taman sudah ditinggalkan kembara
Aku memandangya dengan tiga belas pelangi di bianglala
Lalu, kawan abadi menjadi umpatan
Kita telah mengkhianatinya
Klaten, Jan ‘08
MEMOIR UJUNG PAGI
Jendela kamar.
Daun yang basah dengan embun.
Tatapan kosong penjual kembang.
Seribu malaikat ajari matahari menari dengan sayapnya.
Sepotong puisiku tertinggal di samodera,
Aku mengenangmu seperti pagi ini.
Klaten, Jan ‘08
SETELAH KERETA PERGI
Stasiun tua yang lenggang, dengan rel-rel yang sudah rapuh
Aku mendatangi perpisahan ini
Seperti gurun yang tak pernah didatangi hujan
Segala kata, dengan sejuta sajak yang sudah tak bisa terbaca
Stasiun itu mencengkram air mata kita
Lalu, engkaupun pergi dengan dua belas gerbong yang sombong
Janji itu menghunusku sendiri
Klaten, Jan ‘08
EMPAT BUNGA
Aku melukis empat bunga di ufuk janjimu
Dengan bingkai lama, berwarna hitam
Membekas bayangan camar-camar yang lelah terbang
Karena kini tak ada langit yang menjadi sahabat
Bunga yang berwarna –warni
Dengan tangkai yang berbekal kesetiaan
Catatan panjang tentang bidadari yang menari di jantung cakarawala
Aku masih melukis empat bunga
Dengan ditemani badai.
Klaten, Jan ‘08
ORANG-ORANG BERKERUMUN
Biarkan orang-orang berkerumun
Membawa pelangi di pundaknya
Menawarkan pahit di jelaga
Aku merasa tak ada kata yang terbaca
Hanya, khabar dari sebuah mendung
Yang sangsi terhadap perjalanan
Bagai tanganku memegang bara
Ketika orang-orang berkerumun
Menjadi batu atas badai di mata mereka
Klaten, January ‘08
Tak ada mainan ayunan dan gebak sodor
Tangannya penuh dengan debu dan nanah
Warnanya merah kotor.
: ada sekilas framentasi kembara yang hilang
kecupan kekasih ditelikung jaman
kita pun merapat di buritan yang sepi
meninggalkan
untuk menunggu kawan lain
Janji meradang di lintasan HI
Gedung-gedung mengejek tanah di desaku
Kaca-kaca mecibir irigasi sawah-sawah petani yang sulit karena musim
Asap knalpot mencakar cemburuku pada huma yang berkawin dengan rerumputan
Sebelas kuda putih mendatangiku, simpul angin gembalakan kedatangan seribu badai
Terkapar, memungut jantung para gembel yang terburai di senja hari lalu
Khabarku hanyut di tapal penantianku
Aku pernah melukis
Senandungnya merdu bak biduanita tempo dulu
Dengan kebaya hijau, berjarik sido mukti
Wajahnya anggun dengan bunga sejentik di kupingnya
Sayangnya, biduanita itu kini telah mati
Karena hidup di
Bayangkan panas aku teguk di jalanan
Angin surga tak ada, mobil-mobil mewah memamerkan angsuran
Pengeman-pengamen kecil ciderai kemanusiaan
Mal-mal berdiri invasi kaptalisme merajalela
Panas masih mencabik batinku,
Keringat meleleh di dahiku
Selintas aku ingin pulang ke desaku
Untuk memungut buah talok yang kini tumbuh subur di sawahku
DINDING PUTIH I
Cerita tentang kabut yang kau simpan di balik senja
Masih menjaga kenangan-kenangan yang terberai di pematang rinduku
Pada dinding putih kutorehkan napasmu, yang terakhir kali
Nyanyian nelayan tua yang menggembalakan gelombang
Menciptakan buih-buih keberanian
Dinding putih memasung jarak kita
Untuk saling memungut kemiskinan
Klaten, Jan ‘08
DINDING PUTIH II
Berlanjut kita di tempat yang mestinya sudah kita lupakan
Pada dinding-dinding putih yang selalu menjaga malam
Kita menemukan tiga angsa putih yang mati karena kehilangan pagi
Budak-budak kecil memanggul harapan di tepian kematian
Orang-orang memandang hanya dengan angka-angka
Tanpa ada yang mengerti kerajaan nurani di sukmanya
: dinding putih selalu mencari cerita
Klaten, Jan ‘08
DINDING PUTIH III
Dinding putih tak ada.
Mereka roboh karena menyimpan kejujuran.
Mereka dilayati oleh bau tanah dan peradaban angin
Orang-orang memikirkan perut
Kepala mereka terlepas tanpa otak dan akal
Dinding putih bersemayam di nirwana
Bersama bintang dan penglihatan putih.
Klaten, Jan ‘08
PADA SEPI
Pada sepi sajakku bernyanyi
Karena sepi adalah kunci inspirasi
Pada sepi sajakku bertalu
Memainkan kata dan lagu
Pada sepi sajakku menjaga malam
Karena malam di situ ada Tuhan yang bersemayam
Pada sepi sajakku merindu
Seperti adam hawa yang sedang bercumbu di paruh waktu
Pada sepi sajakku melangit
Menyepi untuk merasakan perih dan sakit
Pada sepi sajakku mencari nirwana
Sembilan sembilan doaku akan menjadi pertanda.
: bahwa sajak adalah perang kehidupan dan ‘juang untuk satu titik.
Klaten, Jan ‘08
PADA LANGIT
Pada langit kalimatku menghiasi bianglala
Dengan cakrawala keperakan aku pamerkan sakitku
Dengan terlunta-lunta menasbihkan gelombang doa
Entah bersemayam di kerajaanMu, atau hilang bersama badai mimpi
yang canggung menghitung kereta waktu.
Pada langit senja yang terlukis di pantai
Dengan camar yang kehilangan sayap
Setelah mengukur jarak dan depa
Aku meninggalkan jejak di pasir putih
Dengan kecipak air yang membasahi telapak kakiku
Mengajari batin dengan keyakinan
Aku singgahi langit, dengan perasaan jatuh cinta lagi.
Klaten, Jan ‘08
KEPADA ANGIN I
Kepada angin di abad yang membatu
Aku mencumbu tubuhmu terakhir di tapal ketakutan
Malam yang membisu, hening yang membatin
Seribu kelelawar menggurui aku
Dan ibuku masih berada di terasMu.
Klaten, Feb ‘08
KEPADA ANGIN II
Orang-orang lupa alamat rumahnya
Lalu angin yang mengantarnya
Meski, rumah serupa fatamorgana
Selalu angin menjadi muaranya.
Klaten, Feb ‘08
KEPADA ANGIN III
Berlarian orang-orang menemui kemiskinan
Yang selalu bergelanyut di mata bocah-bocah yang matanya hilang sebelah
Korban berjatuhan, tapi, tetap saja orang tak bergeming
Ketika melihat cahaya kebiruan menghampirinya
Meski itu petaka
Angin yang rakus melahapnya
Tanpa sisa apapun.
Klaten, Feb ‘08
KEPADA ANGIN IV
Aku senandungkan ini menjelang fajar
Pada rintik yang kesekian kali
Dengan batin yang meronta
Ketika daun meneteskan keabadian
Seribu angin menjadi pertapa
Yang hening tipu sang pagi
Klaten, Feb ‘08
KEPADA ANGIN V
Aku melihat ibuku berada di bintang
Wajahnya ramah menawarkan senyum
Dan aku melihat diriku
Terberai di antara cermin dunia
; hembusMu kembalikanlah aku.
Klaten, Feb ‘08
REMBULAN DI TEPI WAJAHMU
Rembulan di tepi wajahmu
Menyanjung malam dengan nyanyian bidadari
Kau menyapa khabar langit
Selaksa ratusan kunang menyemarakkan malam
Rembulan di tepi wajahmu
Sabar menunggu jawaban
Antara kepastian yang tak berujung
Rembulan di tepi wajahmu adalah aku ,ketika meminang sepi
Dengan pisau yang tertancap di jantung
Klaten, maret ‘08
MENUNGGU KAWAN LAMA DI TENGAH HUJAN LEBAT
Datang hujan yang aku sumpahi
Dengan kaki-kaki yang runcing
Dengan bisingnya kacaukan pandangku
Pada kawan lama yang menunggu di ujung cakarawala
Tanpa catatan yang menghiba, tanpa rindu yang membara
Hanya kawan lama, tak ada yang lain
Sedangkan aku terperangkap di tengah hujan yang lebat
Kawan lama sudah tak ada lagi
Hujan pisahkan kami
Kini, aku berteman dengan hujan lebat
Persis kedatangannya seperti kawan lama
Berisik dan dingin.
Klaten, Maret ‘08
SEKOLAH MALING
Anakku dididik menjadi maling
Ketika gurunya melupakan kurikulumnya
Anakku diajari menjadi koruptor
Ketika gurunya lupa membawa buku pelajaran matematika
Anakku dibina menjadi plagiator
Ketika gurunya sibuk melihat iklan tivi
Anakku dilatih menjadi anarkis
Ketika gurunya menyuruh baju olah raga diganti dengan baju rompi anti peluru
Anakku diwanti-wanti untuk menjadi kompromis
Ketika gurunya sedang sibuk membagi hasil uang proyek gedung sekolahan dengan para kontraktor
Anakku kini,
Tak mau jadi apa-apa
Dia hanya ingin menjadi,
Naruto, ultraman, dragon ball, power rangers, transformers,
Eehh, dia juga mau jadi si entong
Weee lhadalah, anakku tak mau jadi seperti aku
Yang selalu demam karena musim.
Klaten, Maret ‘08
LELAKI DENGAN DUA BELAS MATAHARI
Ternaknya-ternaknya telah lama mati
Karena virus yang tak terdeteksi
Rumahnya hanya tinggal catatan bata-bata yang kropos
Dengan dua makam istri dan anaknya
Dengan nisan yang berdiri rapuh
Di tanah yang berdebu malam
Hidupnya hanya bersandar pada kenyataan
Perjalanan yang tersendat, kadang berhenti, kadang bimbang meradang
Busur panah sudah terlepas menuai badai
Dengan kemarau yang merinding
Dengan taufan yang menelan
Dia bertapa pada kesepian
Berharap cahaya memenjarakan dirinya
dengan dua belas matahari
Klaten, Maret ‘08
SENYUMKAN BUMI
Senyumkan bumi dengan kecipak airmu
Senyumkan bumi dengan tabungan budi pakertimu
Senyumkan bumi dengan nyayian empat angsamu
Senyumkan bumi dengan tarian bidadarimu
Senyumkan bumi dengan lagu subur sawahmu
Senyumkan bumi dengan petak umpet hutanmu
Senyumkan bumi dengan alif ba’ta’mu
Semoga Alloh berkenan
Klaten, Maret ‘08
MINYAK TAK BANYAK
Minyak sekarang tak banyak
Katanya diminum segerombolan burung gagak
Ketika cerita ini seperti di negeri budak
Lepas napas lepas jejak
Di antara reruntuhan martabat yang terkoyak
Orang-orang di tepi sudah bermuram galak
Dengan pisau di jantung yang lama tergeletak
Anjing-anjing srigala di hutan kini sudah menyalak
Sudah saatnya, negeri ini harus bijak
Atau kapal khatulistiwa ini harus tetap retak
Dan minyak sekarang tak banyak
Aku pun hanya bisa membuat sajak
Yang sebatas hanya cerita satu babak
Catatan dosa negeri ini sudah begitu sesak
Klaten, maret ‘08
SEMALAM YANG TAK
Sebelum kita tidur di bimbang malam yang tak perawan
Aku mendengar seekor gagak tua menimang sakitnya, dengan catatan purba
Banyak sudah gerimis yang membuyarkan tanah ranggas
Aku memikirkan pertemuan ini,
Dengan ujung belati di ujung matamu
Ketika nelayan mengayuh sampan dengan perahu limbung sebelah
Kau tidak berubah pendirian
Semalam adalah hening dengan napas sajak
Kelu sudah mencabik penungguan
Akan fajar yang sudah berkeping-keping.
Klaten, April ‘08
NEGERI SAKIT
Wajah orang-orang itu memucat
Di tanah –tanah tandus mereka mendirikan nurani
Dengan jejak-jejak kaki yang sudah terhapus badai
Kapan kesembuhan ini menjadi catatan langit
Ketika kenyataan sudah mati di bibir kemiskinan
Orang-orang pergi tanpa bekal
Menuju nirwana di atas mimipinya sendiri, tanpa rasa sakit
Klaten, Mei ‘08
SALAM RASA SAKIT NEGERI
Aku mengeluh dengan mataku yang papa
Sebongkah batu mendatangiku dengan tangannya yang kotor
Sebuah angsa mati tertembak di jantung
Jasadnya kaku di selangkangnya khatulistiwa
Puisi kini tak bisa menjadi daya hidup
Ketika orang-orang menggali kuburannya sendiri
Di tanah pardikan.
Menyampaikan pesan yang tak terbaca langit
Mendung yang mengintai di balik awan
Kini, menangis seperti tak ada kawan yang setia
Ketika usai senja, kidung malam menjadi canda
Yang ada hanya sebuah pisau berkarat terletak di meja
Kapan akan terhunuskan, tentang khabar sang negeri
Klaten, Mei ‘08
KINI
Pada alam yang menyubur
Di ladang dan air sungai yang mengalir
Di keringat petani yang menggambarkan kesabaran
Aku melihat lelah langit mengumbar napas iblis
Dengan jemari yang runcing dengan darah dan nanah
Sebatang padi patah di jantung martabat bangsa
Harga diri amblas tanpa bekas
Harga – harga mengacaukan paruh burung gagak
Yang cekatan membaca situasi
Anak-anak sekolah menjual buku pelajaran
Guru-guru menggadaikan papan kurikulum
Merah putih tak pernah bisa berkibar lagi
Karena angin merasa dikhianati
Jejak kaki para pahlawan bangsa
Tergilas roda traktor kapitalisme
Sementara para buruh
Menuntut uang pesangon di pabrik
Ketika para direktur sudah plesiran ke luar negeri
Cakrawala sudah menghitam
Mendung sudah menggantung
Sebentar lagi hujan
Ketika rumah-ruamah sudah tak beratap
Janji langit adalah harapan
Yang harus diperjuangkan
Diantara duri kejahatan para pemimpin
Yang menusuk nurani
Klaten, Mei ‘08
JANJI
Janji bukanlah kata suci
Kini kalimat itu berubah menjadi belati
Yang sudah terasah walau jutaan orang menjerit
Jajni adalah barang basi
Yang ada hanya nyali
Ketika satu persatu orang akan mati
Kini para pemimpin sudah lupa diri
Akan janji dan prasasti sang negeri
Yang diwarisakan penuh oleh ibu pertiwi
Janji para pemimpin seperti membunuh nurani
yang lelah menghitung saudara-saudara kami yang mati
karena janji tak pernah ditepati.
Klaten, Mei ‘08
AKU CATAT AIR MATAMU DI MATAHARI
Aku catat air matamu di matahari
Ketika embun belum kering benar di dedaun
Pagi itu sejuta perempuan
Menyandarkan wajahnya di tembok pertokoan
Rautnya berkeping tanpa tepi
Cakarawala masih tidur
Aku tak bisa menterjemahkan air matamu
Klaten, Mei ‘08
COBA KAU INGATKAN
Coba kau ingatkan
Tentang tanah kemerdekaan ini
Yang tertulis di cakar rajawali
Ketika mencabik bianglala tanpa teman
Coba kau ingatkan
Dewa-dewa yang bersemayam di gunung
Yang menangis, ketika mengingat para ksatrianya
Menghunuskan pedang di jantungnya sendiri
Coba kau ingatkan
Ketika perempuan-perempuan menjual rahimnya
Tatkala badai waktu merampas catatan biru di langit
Yang tak pernah mengajari,
Betapa sakitnya menjadi pelarian.
Klaten Agt ‘08
MENDEKATI WAKTU
Aku dekati waktu
Yang aku sadari akan terus mengejarku
Ketika detaknya menghujam, memburu langkah, pada kaki-kaki gunung yang merenung
Aku dekati waktu, semakin dekat
Jarakku meyerupai burung kondor
Gambar-gambar perempuan telanjang, menjajah bahasa kitabku
Kenapa kita justru akan mendekati waktu ?
Kenapa matahari masih bersinar ?
Kenapa cahyanya adalah masa laluku ?
Berbinar nanah jerat penungguan ini
Ketika aku semayamkan waktuku di pojok kursi tua
Menunggu ajal.
Klaten, Agt ‘08
SEBATANG BAMBU
Langsat warna bagai batin yang menggila
Tentang khabar badai yang serakah
Srigala hitam bagai jelaga nasib yang menunggu
Sebatang bambu mendadak menjadi buaian nadi yang muncrat
Samodera kesabaran kita di ditantang oleh sembilan matahari
Aku berdiri di pasir putih yang panas
Ketika kapal-kapal sudah mengucapkan selamat tinggal
Aku cari sebatang bambu itu,
Untuk menggurui perjalanan paruh waktu
Klaten, Agt ‘08
BANGKAI BANGSA DI UJUNG MATAMU
Aku melihat cadar khatulistiwa tergores di titik tengahnya
Warnanaya merah puitih, ketika itu menjadi asap
Kembang-kembang habis termakan ulat
Satu jiwa yang menghilang, seribu napas tertahan di kereta waktu
Sejuta permohonan telah tergadai di pingir-pinggir kali
Pengemis sudah mati sebelum menjadi miskin
: dan aku melihat bagkai bangsa di ujung matamu
semenjak itu aku membencimu.
Klaten, Agt ‘08
UANG ITU TERSELIP DI OTAKMU
Sontoloyo….
Kita miskin menjadi ritual penghayatan
Bajigur……
Harga bbm, sembako seperti badai
Senewen….
Seluruh nusa bangsa dalam kidung sebelah hati
Belasungkawa……
Mati diganyang uang
Aku menjadi terbayang
Pada trilyunan uang
Ketika rengekan bayi-bayi, menjadi sajak mendayu-ndayu ribuan mal-mal dan partai.
Klaten, Agt ‘08
KATA MEREKA KITA MERDEKA
KARYA : DENDY RUDIYANTA
Kata mereka kita merdeka
Yang seharusnya,tanpa penjajahan
Tanpa penindasan
Seperti nyanyian seribu bidadari di surga
Tapi yang kami lihat
Hanyalah kemiskinan dan kebodohan yang mengancam jantung ibu pertiwi
Kata mereka kita merdeka
Yang seharusnya, anak-anak bisa belajar dengan tenang
Tapi, tatkala hantu kemiskinan bergentayangan
menjadi mimpi buruk bagi orang tua mereka
sekolah seperti sebuah jurang-jurang yang sulit dilalui
karena mahalnya biaya pendidikan
para pengajar jadi malas untuk mengajar
karena, uaph keringat dan pengabdian tak sesuai di hati
kaum cerdik cendekiawan sibuk menghitung angka-angka teori
yang sulit dimengerti
kaum politisi lihai bersilat lidah untuk mengingkari janji kepada rakyat
sang penguasa keluar keringat dingin ketika ditinggalkan para kabinetnya
rakyat hanya melongo ketika minyak tanah habis, BBM melambung tak bisa dibeli, korupsi menjadi-jadi. Masya Alloh.
kami yang disini
tidak seperti di jaman VOC
yang bodoh ketika datang ribuan bule
tatkala rayuan mereka menjadi bencana sejarah
dari perjalanan mental bangsa ini
kami tidak ingin dijajah lagi oleh para kolonial imperialis
yang hanya memeras keringat para rakyat kecil
tanpa diberi imbalan apapun, tapi malah mengeruk harta pusaka
warisan nenek moyang
sekarang timor timur lepas
sipidan legitan hendak terlepas
papua ingin merdeka
maluku bersiteru
aceh bergejolak
dimana bung karno muda
dimana hatta muda
dimana bung tomo muda
dimana diponegoro muda
dimana cut nyak dien muda
menangiskah mereka ?
ketika menyaksikkan ibu pertiwi bersenandung duka tanpa da yang menghiburnya
Ya Alloh
Hamba mohon padaMu, Ya Alloh
Jadikan negeriku yang makmur ini
Menjadi makmur kembali
Jadikan negeriku yang kaya ini
Menjadi kaya lagi
Jadikan para pemimpin kami
Menjadi pemimpin yang berpihak kepada rakyat
Hilangkan kemiskinan dan kebodohan di negeri kami ini, Ya Alloah
Aku berdiri di sini
Menunggu perubahan
Ketika brung-burung terbang rendah
Menunggu kemerdekaan akan kembali lagi
Dengan jutaan pasukan kaum muda yang berani
Berkata benar dan penuh kejujuran
Kata mereka kita merdeka
Klaten, Agustus 2008
IBU PERTIWI
KARYA : DENDY RUDIYANTA
Ibu pertiwi,
Aku tulis sajak ini bersama badai
Di antara Sang Saka ku
Merah putih menjadi kelabu
Karena panji-panji jarang dikibarkan
Ibu pertiwi,
Aku tulis sajak ini bersama hujan
Tatkala mendung di ufuk cakrawala
Berubah menjadi belasungkawa bangsaku
Ibu pertiwi,
Aku tulis sajak ini bersama darah
Ketika banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya
Karena tak kuat menahan kemiskinan
Ibu pertwi,
Aku tulis sajak ini bersama tangismu
Ketika arak-arakan awan hitam menjadi sepasukan
Alamat mimpi buruk masa depan kami
Aku masih berharap padamu
Dengan sejiwa semangat yang masih berkobar
Dengan sejuta nadi yang masih mengalir
Aku akan selalu membasuh air matamu
Kebayamu yang lusuh
Tak semerah semangat yang mendera
Wajahmu yang putih
Tak sesuci doamu kepada kami
Ratusan gelombang telah kita hadapi
Ratusan harapan ada di jiwamu
Jangan pernah menangis lagi, Ibu
Jangan pernah bersedih,
Aku masih ada disampingmu
Untuk membasuh luka-luka di kakimu
Perkenankan rangkaian melati merah putih ini,
Untuk kusematkan di telingamu
Dirgahayu
Klaten, Agustus 2008
KUNANG-KUNANG DI LENGKUNG BULAN
Pada paruh waktu yang menepi
Kita dendangkan tangis di tengah kemelut
Perapian yang lama tepadam
Sedari waktu merenggut bangkai jejak
Aku melihat beribu kunang di lengkung bulan
Cahayanya samar mengintip
Ketika sejuta puisi tidak menghasilkan apa-apa
Hanya kenangan yang memagut
Diantara ribuan kunang-kunang
Kulihat rembulan malah menyembunyikan sinarnya.
Klaten, Agt ‘08
PERCUMA
Percuma kita membuat sajak
Kalau tak ada yang mengerti
Percuma kita menyindir pejabat
Kalau justru perubahan tak terjadi
Percuma kita menangis di ujung pelangi
Kalau kesendirian menyebabkan penyakit
Percuma kita membela yang lemah
Kalau justru kita yang telah terkalahkan
Percuma memuji drama percintaan
Kalau kita selalu patah hati,
Karena ditelikung keadaan
Klaten, Agt ‘08
IBU, YANG MENUNGGUKU
Dengan sutra putih terukir azimat doa yang meluruh
Seperti kamar pengantin yang berbau melati
Suaraku memelan menajamkan doaku
di relung waktu yang membatin
sempat aku simpan kenangan, dengan album photo yang sudah lapuk
dengan gambar camar-camar yang terbang rendah di pantai
aku merindukan buaian matamu yang menidurkan aku
sampai ke pucuk pelangi
Tuhan pasti mengerti
dengan catatan-Nya.
Klaten, Agt ‘08
KARNAVAL DI SORE HARI
Melihat warna-warna mencibir cakrawala
Sekumpulan merpati terbang tak tentu arah
Karena sarang-sarang dari mereka belum dibukakan
Sebiji angin singgah di tengah aspal
Panji-panji menjuntai
Menari, berjoget, berteriak
Di depan panggung kehormatan sang bupati
Memberi salam, melambaikan tangan
Lalu bergerak kembali. Seperti kereta mereka akan menuju stasiun berikutnya
Karnaval nuraniku tak sempat aku pamerkan
Karena hari sudah mulai malam.
Klaten, Agt ‘08
DI ACARA HAJATAN
Aku minum kepapan ini dengan renyah nadi desaku
Kepolosan berkhidmat , aku tasbihkan kepada sawah yang mengering
Uang, uang dan uang
Adalah mimpi jejak yang terasing
Kembang ditaburkan pada perjamuan malam yang menggantung
Tawa Sang Kaum mengucap serentetan doa
Membumi dan membumi
Seperti sandyakalaning raga yang mati
Membisikkan nestapa ketika raung srigala
mengintip di balik kemiskinan
Janji alam sudah diprasastikan
Semua orang meng amini nya.
Klaten, Agt ‘08
CATATAN KEMARAU
Aku melihat kemarau menjadi album photo
Di wajah petani yang mati karena tak punya sawah
Aku melihat napas kemarau menjadi kembang kamboja
Ketika ratusan tentara menembaki saudaranya sendiri
Aku melihat darah kemarau menjadi undan-undang
Puluhan ribu buruh meminum darah keringatnya sendiri
Aku melihat janji kemarau melayang di cakarawala
Ketika sajakku mati karena tak pernah ada hujan yang datang
Klaten, Agt ‘08
JEMBATAN CINTA
Dia tak pernah bisa meyeberang
Pada sungai hati yang mati
Karena birunya langit tak bisa menjadi catatan kembara
; ketika tangan yang putih belum berhias kasturi
ketika senja yang datang selalu mengawali tangisan
kita rebahkan cinta kita
pada bambu-bambu yang rapuh
dengan bagian penyesalan yang setengah jalan
berhenti di bibir jembatan cinta
pada nadir janji yang tak bisa terucap
aku pun menunggu
tanpa pernah tahu kapan Engkau akan datang.
Klaten, Agt ‘08
SATU LELAKI DENGAN SATU SAJAKNYA
Aku persembahakn sajak ini
Dengan kuhunuskan pedang di tanganku
Yang sudah berlumuran darah para musuhku
Tak ada srigala
Tak ada burung erring
Api-api telah aku padamkan
Aku di temani satu sajakku
Dengan selaksa makna kata ‘juang
Aku tak bisa mati karena musuhku
Yang bersembunyi di dalam kalbu
Aku tak bisa menyerah dengan cinta
Yang menggoda di waktu bimbang
Dan kini, aku persembahkan sajakku
Untuk kujadikan nabuat menuju muara-Mu
Klaten, Agt ‘08
GELAS TERAKHIR
Gelas terakhir aku habiskan
Seteguk itu sudah hilang
Janji langit meratapi kesendirian yang membatu
Dengan sejarah budak-budak yang minta merdeka
Asap terakhir pun aku isap tuntas
Gelembung udara meyelimuti paras cantik seribu bidadari
: siapa yang menjadi nahkoda itu ?
, sahabat yang mati karena terseret arus ?
, atau tubuhku ibuku yang sudah berdiam di surga ?
gelas terakhir mencibir, kesialanku
karena salah memilih musim.
Klaten, Agt ‘08
BULAN TERAKHIR
Bulan terakhir ini,
Anakku meminta bulan
Istriku merengekan bintang
Tetanggaku mau berhutang matahari
Sahabatku merindukan lautan
Orang – orang di pasar depan rumahku, ramai berebut cakarawala
Aku pulang
Aku marah.
Aku tawarkan mereka nama Tuhan. Selesai.
Klaten, Agt ‘08
TAK BISA PULANG
( FRAGMEN SATU BABAK )
ibu, tak bisa ku-nahkodai kapal yang menghanyut
tak berkompas, sepuluh mercu suar tak memberi suluh
aku terbelenggu di karang, dengan gelombang yang membatu
aku disini menangis, seratus awakku hilang karena ditelan malam
ibu, engkau di mana ?
anakmu mati rasa, dengan beban tubuh yang koyak
seekor camar pun tak ada yang berkidung
pada setengah malam, mereka enggan membawa khabar
aku tersesat penuh luka,aku merindukan kedatanganmu
mana yang harus kulakukan
menunggumu, atau berlari ke hutan.
Klaten, Sept ‘08
BERKUMPUL DI MASJID
Awal ramadhan
Orang banyak menjadi suci, sejuta peluh dosa di bakar
Masjid ramai. Jamaah serentak berkata amin
Kidung doa kepada rabb-Nya selaksa godam menghantam sejuta syetan
Kelaparan menjadi kemakuran, kemurahan menjadi rejeki, rasa hening menjadi berkah
Suluh yang terang ketika mengalun tasbih
Aku bercerita dalam sajak ini, tatkala awal ramadhan
Entah setelah itu.
Klaten, Sept ‘08
SEMBAHYANG ALAM RAYA
Senja yang ketiga belas, dengan lekukan wajah bidadari
Menari di awal kemarau, kenapa menangis di paruh waktu ?
Sawah-sawah dan rerumputan bertunduk, mengilhami bumi
Tasbih, menjadi tawakur, kaca-kaca alam menjadi cahaya
Selempangkan sajadah, wahai pujangga alam raya
Mari berkawan hujan, mari berjabat badai, mari berkidung bencana
Tak ada yang hilang dari pandangan
Cakrawala menghitam, langit berjelaga
Nyanyian malaikat dihadirkan
Melihat mereka bertunduk,
Kita terdiam seperti tak percaya
Syukur pun enggan diucapkan
Klaten Sept ‘08
SAMPAI HARI INI
Sampai hari ini,
Orang-orang masih bingung dengan hutang-hutangnya
Sampai hari ini,
Orang-orang tak bisa melunasinya
Sampai hari ini,
Kehidupan menjadi terbelenggu
Sampai hari ini,
Kita terjajah oleh keinginan
Sampai hari ini,
Keinginan dunia menjadi berhala
Sampai hari ini,
Malaikat kebingungan mencatat kebodohan
Sampai hari ini,
Dosa kian menumpuk
Sampai hari ini,
Aku tak hapal hari.
Klaten, Sept ‘08
PENYAKIT DUNIA
Penyakit dunia adalah nafsu
Selalu menjanjikan dan membakar amarah
Penyakit dunia adalah peluh
Yang menguras tenaga tanpa hasil yang seimbang
Penyakit dunia adalah tangisan
Mengiba kepada hati lalu mematikan rasa
Penyakit dunia adalah kehilangan
Tak rela kesenangan terenggut dengan kekonyolan
Penyakit dunia adalah kekosongan
Ketika tak ada teman untuk bercerita
Penyakit dunia adalah penyakit
Ketika teguran Tuhan dianggap dongeng.
Klaten, Sept ‘08
POTRET JALANAN
: untuk anak-anak SPI ( serikat pengamen
Anak-anak mengiba di kaca-kaca bis
Wajahnya menghitam karena terserap energi matahari
Suaranya memelan yang terdengar hanyalah angin
Aspal hitam, baliho karatan dan gambar presiden
Seperti balada tanpa kembara
Lampu-lampu
Siapa yang disalahkan ? didikan kapitalis kah yang kini sudah menjadi berhala ?
Kini, kapak- kapak perang masih tersimpan
Panji-panji perang mulai berkibar
Ufuk mataku memandang samar warna merah
Seperti darah ibuku mengingatkan
Klaten, Sept ‘08
POTRET PEDESAAN
Kemuning padi, kini bukan harapan petani
Sawah-sawah sudah puluhan tahun menangis
Ketika ribuan tengkulak mendirikan kerajaan rahwana
Aku sumbangkan dewi sri di mimpi-mimpi
Aku berikan sego wiwit yang sudah terkontaminasi dengan urea dan apotas
Sekumpulan emprit gantil menjadi mimpi buruk bocah-bocah melas
Embun pagi yang menetes di pohon waru, sudah tak bisa menjadi catatan sajakku
Kering sudah ladang, ada batu untuk kita santap
Sebagai kemarahan kita terhadap diri sendiri
Klaten, Sept ‘08
BERTASBIH DI DASAR MALAM
Menggurui malam dengan doa
Lirih melafadzkan bait rindu yang menangis
Istighfar kupanjangkan berbenah kepapaan yang mamagut
Sedangkan kita masih bertapa dengan dosa
Langit menjadi saksi, ketika malam dengan sepinya
Terus saja kupanggil nama-Mu
Klaten, Sept ‘08
MELIHAT WAJAHMU DI ANTARA ASAP ROKOK
Melihat wajahmu menyerupai asap rokokku
Yang mengebul setelah menangkap inspirasi
Ketika
Sejuta rayumu kalahkan dentuman kemiskinan
Aku tangkap matahari
Sebagai kado bilur-bilur luka
Aku sangsikan engkau menjadi pantai
Ketika ratusan nahkoda mempertanyakan arahnya
Masih kulihat wajahmu muncul di balik kelambu
Seribu syahwat mencabik sepiku
Seribu kunang-kunang menyantap sajakku
Dan wajahmu tak bisa aku kenali lagi
Karena aku masih melawan ombak
Klaten, sept ‘08
Mentasbihkan alam raya
Gembel-gembel yang berserakan di ayat-ayatMu
kaki-kaki yang mati jejak, menjumpai pelangi untuk di sandarkan di album photo
lalu, kereta waktu datang tergopoh-gopoh
menawarkan ajal tanpa kartu nama dan alamat
: berjuta bencana kepada umat yang lupa diri
kenapa kita masih di sini,
hanya untuk menghapalkan candu dunia ?
batu-batu di dalam jantungku
mengeras bagai dentuman bom
toh, kita tak pernah mengenal ibu kita, anak-anak kita
yang kini tengah mememgang genderang perang
dari jaman yang tak ada kata kasihan
Klaten, Sept ‘08
ORANG – ORANG TERDAMPAR
Aku melihat riak gelombang pecah biduk,
di tepi karang yang mengonggok
aku angkat satu orang yang mati dengan bibir yang terkatup
di nadinya tak ada peta, yang ada hanyalah bekas luka yang menetes nanah
aku angkat lagi orang yang berada di dekatnya
yang ada hanya hembusan angin purba
warnanya hitam berbau anyir
aku masih bisa melihat ada sepuluh orang yang terkapar
tak jelas maknanya
satu persatu seperti lagu tanpa partitur
seperti lenguh ribuan malaikat yang membuat api unggun
aku kelelahan dengan berkata-kata
senja yang belum terbangun
terkejut di tapal pelangi
aku melihat ratusan biduk yang telah hancur
menuju ke arahku
kini, aku tak punya teman untuk menghitung.
Klaten, Sept ‘08
ORANG-ORANG LAPAR
Orang-orang lapar mengerang di antara buku teori dan bangku-bangku tua
Sementara sejuta bintang yang muntah-muntah di teras almamater
Seperti parody jejak pencuri di
Aku tidak melihat bayangan perahu, yang tadi malam masih menemani angin
Ketika, orang-orang lapar itu berdiri di batas pelangi
Sejak kita dilahirkan di tanah gersang ini,
Tak satupun biji senyum menjadi unggun
Karena traktor, petisida, giro, bilyet dan infotainment
Sudah dirasa sebagai kurikulum kehidupan
Orang-orang lapar mengenag ribuan burung camar
Yang terpanah ketika menyelamatkan ribuan malaikat
Klaten, Sept ‘08
ORANG-ORANG BERTASBIH
Dimulutnya ratusan firman menjadi perahu
Dengan nahkoda nyala unggun yang memercik
Ruang munajat di biduk yang limbung menjadi pelajaran
Nubuwat nuh adalah janji kalam yang telah teruji
Karang-karang menyingkap ruh yang menari
Gelombang sepi pertambatan suara penantian
Kembara yang purba, akan malam yang hening
Pohon-pohon mencari pelangi
Bocah-bocah bertaruh dosa orang tuanya
Orang-orang masih menyisakan sejuta perahu yang terdampar
Akankah ditunggunya ?
Meski itu adalah saudaranya.
Klaten, Sept ‘08
ORANG-ORANG DI ANTARA API
Perang telah terhampar
Panah menghunus langit
Pedang berkilauan sangsikan kidung perdamaian
Surat-surat cinta sudah dibakar habis
Kekasih malam meyerupai srigala tua yang kelaparan
Kamar-kamar pelaminan terbuang syahwat di kolong jembatan
: aku digantung di pohon waru tua
mataku buram seburam warna langit yang memecah
mainanku tertinggal di sajak-sajak usangku
aku di antara lingkaran api
nama ibrahim pernah ada di sini
ketakutanku menjelma ribuan malaikat
Klaten, Sept ‘08
ORANG-ORANG KESEPIAN
Jejak ribuan pelayat hilang di tikungan
Tersisa deretan lagu tua yang berselera rendah
Puing-puing firman Tuhan berserakan tak bisa dibaca
Seribu angsa tua yang keriput, tak bisa menjadi hiasan sajakku
Memerih batin ini,
Memelan jalan peraduanku
Senja sudah datang dengan ribuan orang yang mendatangi bukit kapur
Kaki mereka seperti nanah, anyir dan sudah celaka
Sekeranjang atas nama sepi, sudah dipanggulnya
Tanpa ucap kata pisah
Karena kata pisah akan membikin tangis
Klaten, Sept ‘08
EPISODE TANAH BASAH
Ketika napasmu aku semayamkan di kaki hujan
Jejak bayangan malam menjadi pintu kealpaan kita
Ketika detak jantungmu menjadi harmoni senja hari
Malahan, kebisuan serasa dijadikan peraduan
Aku melihat ratusan rembulan tak bisa menari
Aku melihat ribuan merpati tak bisa kembali ke sarang
Karena tanah-tanah basah ini sudah mengajari kita untuk rakus menunggu matahari
Klaten, Okt ’08
EPISODE BUNGA SAKURA
Dia hadir tumbuh di depan teras
Warnanya merah muda, bak putri menunggu pangeran
Dia hadir tumbuh serupa senja
Masih meminang sajak di lingkaran kata-kata
Satu jimpit bunga jatuh, laksana mengurai daya hidup
Sukmaku jengah menyingkap takbir
Rasaku kelu mengabarkan tangis
Pada bunga sakura,
Yang hadir tumbuh
Aku saksikan kau gugur satu persatu
Rantingmu ternyata benalu,
karena cemburu
Klaten, Okt ’08
EPISODE KERINGAT DI DEPAN SAJAKKU
Bagaimana bisa sajakku bosan dengan kata-kata ?
Bagaimana bisa sajakku mencemburui sepi ?
Bagaimana bisa sajakku menghilangkan cahya rembulan ?
Astaga, perempuan-perempuan itu menggunting rambutnya yang terurai
dengan gunting yang di pegangnya, bercampur kenangan yang memahit
rambut mereka jatuh bersama badai di perutnya
bayi-bayi yang terbuang sia-sia,
masih menyisakan doa orang tuanya di surga
sajakku menjadi bah bersama keringatku.
Klaten, Okt ’08
EPISODE GAGAL PANEN
Pak tani kemarin bernyanyi di lumbung padinya
Bu tani menyiapkan unggun bersama anak perempuannya
Kemarin pesta dimulai. Lelagon ijo royo-royo, wang sinawang katon angsal anugerah
Langit membiru, cakrawala dibeberkan cerita percintaan
Sriti putih memberi salam
Permadani kemakmuran sudah akan dibentangkan
Gelegar.
Satu bunyi sejuta rasa pedih
Air tumpah.
Tanah-tanah berlarian tak tahu arah
Tak ada mercu suar.
Pesta menjadi sepi.
Matahari menunduk tak ada wajahnya.
Langit murung tapi tak merenung.
Padi dan lumbungnya
Pak tani dan bu tani.
Anak perempuan dan lelagonnya
Sriti putih dan permadani
Melayang ke atas mimpi buruk
Dua ratus lima puluh juta rakyat.
Klaten, Okt ’08
EPISODE TEH HANGAT
Ya Allah, aku sodorkan shubuhku
Serasa embun mencabik mataku
Aku kalahkan empat mata iblis di tengah belantara tanya
Ketika doa-doa telah dikirimkan
Fajar yang terbangun, dengan beberapa perempuan
Menjajakan hasil panennya di pinggir jalan.
Ya Allah, sudah terpagut aku dengan pagi
Ratusan kelelawar sudah masuk ke kolong-kolong genting
Ya Allah, khabarkan pagi ini dengan perjuangan di daya hidupku
Tak ada kata mati.
Tak ada kata miskin.
Dengan sentuhan teh hangat dan gula batu.
Klaten, Okt ’08
SETELAH RAMADHAN
Setelah ramadhan
Aku mendengar tangis surau dan langgarku
Tak ada jamaah
Tak ada infak
Sajadah kering, kini sudah tak berjejak kening
Mimbar kosong yang ada hanya petuah yang hambar
Para malaikat merasa tak berguna untuk menunggu
Nada adzan yang tertatih-tatih
Tak bersua para jamaah untuk datang
Setelah ramadhan
Bangkai-bangkai doa yang berceceran
Entah, berguna atau terbuang sia-sia
Klaten, Okt ’08
TANPA HUJAN
Orang-orang meninggalkan jubahnya
Karena panas menjalari nadi mereka
Keringat yang menetes bak bercak dosa yang sudah mengakar
Di luar panas menjadi musuh
Matahari semakin mendekat
Lelehan peluh menjadi ketakutan akan kembara yang menghilang
Di antara hutan tua yang gersang
Di antara tanaman jagung yang mengering
Makam – makam para pahlawan gelisah,
Karena memikirkan anak cucu mereka
Akan tinggal di mana.
Air sudah sulit di dapat
Berdentum pertanyaan
Dalam catatan para langit
Sombongkah kita akan hari depan ?
Klaten, Okt ’08
DEBU JALAN
Bencana dan bencana dicatat dengan tangan yang berdarah
Lalu, orang-orang pergi begitu saja.
Dengan melempar kesalahan di samodera
Embun yang membangunkan pagi
Tak bisa menjadi kembara yang berarti
Lampu-lampu sudah dimatikan
Anak-anak sekolah sudah memikul kurikulum yang mahal harganya
yang tak pernah diajari untuk memahami puisi
Bencana-bencana dicatat dengan tangan yang berdarah
Seratus duka mengembang di kaki-kaki pelangi
Seratus harapan tak bisa didoakan lagi
’atas nama alam raya
’ selamatkan bercak mataku dari debu jalan.
Klaten, Okt ’08
LANGIT HITAM TAK ADA KUNANG
Langit hitam tak ada kunang
Binatang-binatang malam takut pulang
Di sarang tak berpenghuni
Pembunuh berkeliaran mencari bukti
Akan janji yang sudah lari
Tanganku sudah mati rasa, tak bisa menulis lagi
Langit hitam tak ada kunang
Di gua-gua orang-orang ternyata bersembunyi
: langit hitam tak ada kunang
Klaten, Okt ’08
SETELAH SHUBUH
Setelah shubuh aku menulis puisi
Dengan hati yang berjalan biasa saja
Ditemani secangkir teh hangat, dan sebatang rokok
Suaraku terdengar lirih dan gamang
Tak ada nyanyian embun pagi
Atau celoteh burung pagi
Semuanya biasa saja.
Tembok putih yang ada di depan terasku
Kosong tak ada coretan
Kupandang shubuh itu, dengan jejak doaku yang antre di kaki langit
Klaten, Okt ’08
BAYANGAN MATAHARI
Sempat aku bisikkan memori di batubatu
Sempat aku titipkan tangis di kapalmu
Delapan belas sajak tua, mengais pelayatan terakhir
Aku rebah pada seribu katakata
Mengenali jejak matahari yang terluka kakinya
Suaramu masih terdengar mencabik
Klaten, Nov ’08
SAJAK, HUJAN DAN SHUBUH
Aku terbangun menaiki doadoa yang tertingal
Pada shubuh yang basah, karena hujan mengawalinya
Kesepian menyeruak langkahku
santun menuju sebidang ruang munajat
Menyerahkan batin yang memang sudah menyerah
Terdengar keletihan sinar perak rembulan
Menitipkan pesan pada seribu malaikat,
Jubah yang basah dengan bau hari yang rakus
Aku merengkuh sujudku Kau terimakan
Klaten, Nov ’08
MATI
Mati itu batas.
Peraduan sudah hilang
Dua belas sajak sudah hilang syair
Melepuh sukma ,terbaca nyata jejak.
: perjuangan dosa pahala berhenti
lalu, terdiam, takut, gelap, menunggu.
Perhitungan dimulai.
Klaten, Nov ’08
NAPAS
Bagai sungai waktu
Menghisap keduniaan
Membuang sisa ampas jejak
Ke-ghaiban menjelma tak terarah
Sesal ketika lepas, mulut sudah berucap
Klaten, Nov ’08
MELIHAT RODA
Dunia.
Di bawah. kau kekarkan otot tangan dan jiwamu untuk kau naikkan
Keterbatasan. Tak ada daya.
Terdiam dan berhenti. Batu menghambat jalan rodamu.
: Menyerah ?
Dunia.
Di atas. ribuan kunang-kunang menghalangi pandangmu
Satu badai, sejuta cabikan hujan, sedahsyat halilintar, petir pun bersekutu
Kau tiada daya, tanpa pegangan.
: terjatuh ?
Tuhan tahu,
Semua ada batasnya.
Klaten, Nov ’08
HIDUP APA ?
Bersenda gurau, lalu hilang ?
Mendendam, lalu tertawatawa ?
Menyesal, lalu mencibir sejarah ?
Meratapi kemiskinian, lalu bertabur ke-maksiatan ?
Merasa benar, lalu menindas ?
Ber-petuah dengan firmanNya, lalu menghakimi ?
Sesaat.
Atas bawah.
Bumi langit.
Hitam putih.
Persiapan kematian.
Hampa.
Mampir ngombe.
Keabadian !
Terserah !
Semua bermuara padaNya.
Klaten, Nov ’08
KUNANG-KUNANG DALAM SAJAK LANGIT BIRU
Kunang-kunang yang terbang bagai seribu janji
Pada langit yang biru, pada kota yang berpacu dengan kamatian
Aku menjelma angin menghitung katakataku
Kunang-kunang yang terbang mengitari taman kota
Perempuan satu berkaca pada belenggu di rahimnya
Kenyataan kenangan tentang masa kanakkanak
Seperti langit biru yang kini akan menjadi hitam
Kunang-kunang pergi. Langit biru di atas kota menjadi hitam
Seperti hujan, entah ada kunang
Klaten, nov ’08
MENITIPKAN SANGSI
Melawan badai dengan sajak yang mati
Tasbih dengan alam raya undang sukma menjadi pertapa
Pada batu-batu kusempatkan menjadi nabi
Dengan kaki-kaki kecil bocah, aku berlarian mengejar bayangan bidadari
Yang hilang di kala senja
Walau tanpa warna.
Melawan badai dengan sajak yang purba
Dimana aku mengenalmu tanpa alamat
Hanya, puing-puing janjimu yang tercecer ditaman kota
Walau tanpa lampu.
Melawan badai dengan sajak yang menepi
Kusangka engkau pahlawan,
Ragamu buyar ketika mendengar kidung malam
Walau tanpa kelelawar.
Klaten, des ’08
SENANDUNG ALANG-ALANG
Senandung alang-alang
Di padang yang gersang
Jejak kaki para pejuang
Sepagi ini, sudah terbuka gerbang perang
Anak-anak melihat, lalu menegur bapaknya untuk cepat pulang
Karena rumah adalah inspirasi mencari tenang
Dan anak-anak tetap seperti alang-alang
Melihat kenyatan dengan mata telanjang
Klaten, Des ’08
ORANG MATI, GAGAK HITAM, ANAK-ANAK DAN AKU
Orang mati berada di sekitarku
Gagak hitam adalah seperti mitos berada di pucuk mimpi malam anak-anak
Orang tua tetap mendengkur , gagak hitam tetap menakutkan
Suaranya menggema di sela jendela kayu
Orang mati tapat berada di bawah lampu mercury
Doa-doa telah dilepas, entah mengena atau tidak
Yang penting berdoa dulu
Urusan diterima atau tidak, itu urusan Tuhan
Kita tinggal meng-amininya.
Amin.
Orang mati berada di sekitarku
Jantungku berdetak kencang
Pertanda aku masih hidup
Aku dikejar gagak hitam
yang terbang tak tentu arah
gagak hitam kini malah ketakutan
karena di kejar anak-anak dengan ketapel kayu mlanding
anak-anak kini tak takut lagi
karena gagak hitam kini sudah mati
dengan jantung terbelah dua
Gagak hitam berada di sekitarku
Anak-anak mengelilinginya dengan ketapel kayu mlanding
Aku berjingkat meninggalkan mereka
Aku tinggal jantungku di sisi gagak hitam yang mati
Anak-anak sudah pulang
Meninggalkan ketapel kayu mlanding
Klaten, Des ’08
GELISAH
Gelisah itu penyakit
Hati bebas dirasa dipasung
Gelisah itu pengecut
Kenyataan dianggap zombie
Gelisah itu bau bangkai
Nafsu disimpan sebagai kemenangan
Gelisah itu jelaga
Buta akan warna pelangi
Gelisah itu batu
Kerasnya kelak hancur jua
Klaten, Des ’08
TAKUT
Semua orang takut menghadapi kehidupan
Materealis, kapitalis, hedonis sarang penyamun
Orang-orang berkumpul menyepakati keadaan
Seperti lebah mereka berdengung
Memekakkan telinga
Malaikat pun menutup kupingnya
Di gua mereka mengadakan perkumpulan
Agar ketakutan menjadi kelebihan
Tapi tetap saja
Satu orang serasa pahlawan, seribu orang menjadi pengecut
Matahari tak pernah bisa menyinari tempat tinggal mereka
Matahari marah.
Bulan pun ikut-ikutan
Rasa dingin menjalar
Tak ada api
Tak ada selimut
Ketakutan menjadi-jadi
Di gua mereka saling membunuh
Karena takut melihat wajah saudaranya sendiri
Wajah itu wajah kemiskinan kita sendiri
Yang menakuti penghuni gua
Matahari tetap saja tak bisa menyinari
Bulan pun ikut-ikutan
Klaten, Des ’08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo kasih komentar, komentar anda berguna bagi saya :