Selasa, 24 Februari 2009

PUISI-PUISI TAHUN 2008

NAMA – NAMA USANG

Aku merangkai nama di antara seribu cakrawala

Dengan kelopak matahari yang terdiam di bilik kamarku

Bukan saja, aku mendengar bisikan ibuku yang ada di surga

Menyerupai kidung malaikat

Aku mengeja lagi nama-nama usang

Yang aku sendiri tak tahu berapa yang mati

Karena beban meraih batu-batu

Klaten, Jan ‘08

KHABAR SEPI

Diantara reruntuhan matahari

Perempuan yang menjemput badai

Cerita tentang nestapa di penghujung senja

Kaca-kaca telah mengering embunnya

Bangku-bangku taman sudah ditinggalkan kembara

Aku memandangya dengan tiga belas pelangi di bianglala

Lalu, kawan abadi menjadi umpatan

Kita telah mengkhianatinya

Klaten, Jan ‘08

MEMOIR UJUNG PAGI

Jendela kamar.

Daun yang basah dengan embun.

Tatapan kosong penjual kembang.

Seribu malaikat ajari matahari menari dengan sayapnya.

Sepotong puisiku tertinggal di samodera,

Aku mengenangmu seperti pagi ini.

Klaten, Jan ‘08

SETELAH KERETA PERGI

Stasiun tua yang lenggang, dengan rel-rel yang sudah rapuh

Aku mendatangi perpisahan ini

Seperti gurun yang tak pernah didatangi hujan

Segala kata, dengan sejuta sajak yang sudah tak bisa terbaca

Stasiun itu mencengkram air mata kita

Lalu, engkaupun pergi dengan dua belas gerbong yang sombong

Janji itu menghunusku sendiri

Klaten, Jan ‘08

EMPAT BUNGA

Aku melukis empat bunga di ufuk janjimu

Dengan bingkai lama, berwarna hitam

Membekas bayangan camar-camar yang lelah terbang

Karena kini tak ada langit yang menjadi sahabat

Bunga yang berwarna –warni

Dengan tangkai yang berbekal kesetiaan

Catatan panjang tentang bidadari yang menari di jantung cakarawala

Aku masih melukis empat bunga

Dengan ditemani badai.

Klaten, Jan ‘08

ORANG-ORANG BERKERUMUN

Biarkan orang-orang berkerumun

Membawa pelangi di pundaknya

Menawarkan pahit di jelaga

Aku merasa tak ada kata yang terbaca

Hanya, khabar dari sebuah mendung

Yang sangsi terhadap perjalanan

Bagai tanganku memegang bara

Ketika orang-orang berkerumun

Menjadi batu atas badai di mata mereka

Klaten, January ‘08

KOTA RAYA I

Kota raya berjoget di awang-awang

Tak ada mainan ayunan dan gebak sodor

Tangannya penuh dengan debu dan nanah

Warnanya merah kotor.

: ada sekilas framentasi kembara yang hilang

kecupan kekasih ditelikung jaman

kita pun merapat di buritan yang sepi

meninggalkan kota raya, yang lama berdiri

untuk menunggu kawan lain

Jakarta, Jan ‘08

KOTA RAYA II

Janji meradang di lintasan HI

Gedung-gedung mengejek tanah di desaku

Kaca-kaca mecibir irigasi sawah-sawah petani yang sulit karena musim

Asap knalpot mencakar cemburuku pada huma yang berkawin dengan rerumputan

Sebelas kuda putih mendatangiku, simpul angin gembalakan kedatangan seribu badai

Kota raya yang aku datangi

Kota raya yang aku tengok

Terkapar, memungut jantung para gembel yang terburai di senja hari lalu

Khabarku hanyut di tapal penantianku

Jakarta, Jan ‘08

KOTA RAYA III

Aku pernah melukis kota raya dengan nuraniku

Senandungnya merdu bak biduanita tempo dulu

Dengan kebaya hijau, berjarik sido mukti

Wajahnya anggun dengan bunga sejentik di kupingnya

Sayangnya, biduanita itu kini telah mati

Karena hidup di kota raya.

Jakarta, Jan ‘08

KOTA RAYA IV

Bayangkan panas aku teguk di jalanan

Angin surga tak ada, mobil-mobil mewah memamerkan angsuran

Pengeman-pengamen kecil ciderai kemanusiaan

Mal-mal berdiri invasi kaptalisme merajalela

Panas masih mencabik batinku,

Ada istana yang masih sepi dengan kongkalingkongnya

Keringat meleleh di dahiku

Selintas aku ingin pulang ke desaku

Untuk memungut buah talok yang kini tumbuh subur di sawahku

Jakarta, Jan ‘08

DINDING PUTIH I

Cerita tentang kabut yang kau simpan di balik senja

Masih menjaga kenangan-kenangan yang terberai di pematang rinduku

Pada dinding putih kutorehkan napasmu, yang terakhir kali

Nyanyian nelayan tua yang menggembalakan gelombang

Menciptakan buih-buih keberanian

Dinding putih memasung jarak kita

Untuk saling memungut kemiskinan

Klaten, Jan ‘08

DINDING PUTIH II

Berlanjut kita di tempat yang mestinya sudah kita lupakan

Pada dinding-dinding putih yang selalu menjaga malam

Kita menemukan tiga angsa putih yang mati karena kehilangan pagi

Budak-budak kecil memanggul harapan di tepian kematian

Orang-orang memandang hanya dengan angka-angka

Tanpa ada yang mengerti kerajaan nurani di sukmanya

: dinding putih selalu mencari cerita

Klaten, Jan ‘08

DINDING PUTIH III

Dinding putih tak ada.

Mereka roboh karena menyimpan kejujuran.

Mereka dilayati oleh bau tanah dan peradaban angin

Orang-orang memikirkan perut

Kepala mereka terlepas tanpa otak dan akal

Dinding putih bersemayam di nirwana

Bersama bintang dan penglihatan putih.

Klaten, Jan ‘08

PADA SEPI

Pada sepi sajakku bernyanyi

Karena sepi adalah kunci inspirasi

Pada sepi sajakku bertalu

Memainkan kata dan lagu

Pada sepi sajakku menjaga malam

Karena malam di situ ada Tuhan yang bersemayam

Pada sepi sajakku merindu

Seperti adam hawa yang sedang bercumbu di paruh waktu

Pada sepi sajakku melangit

Menyepi untuk merasakan perih dan sakit

Pada sepi sajakku mencari nirwana

Sembilan sembilan doaku akan menjadi pertanda.

: bahwa sajak adalah perang kehidupan dan ‘juang untuk satu titik.

Klaten, Jan ‘08

PADA LANGIT

Pada langit kalimatku menghiasi bianglala

Dengan cakrawala keperakan aku pamerkan sakitku

Dengan terlunta-lunta menasbihkan gelombang doa

Entah bersemayam di kerajaanMu, atau hilang bersama badai mimpi

yang canggung menghitung kereta waktu.

Pada langit senja yang terlukis di pantai

Dengan camar yang kehilangan sayap

Setelah mengukur jarak dan depa

Aku meninggalkan jejak di pasir putih

Dengan kecipak air yang membasahi telapak kakiku

Mengajari batin dengan keyakinan

Aku singgahi langit, dengan perasaan jatuh cinta lagi.

Klaten, Jan ‘08

KEPADA ANGIN I

Kepada angin di abad yang membatu

Aku mencumbu tubuhmu terakhir di tapal ketakutan

Malam yang membisu, hening yang membatin

Seribu kelelawar menggurui aku

Dan ibuku masih berada di terasMu.

Klaten, Feb ‘08

KEPADA ANGIN II

Orang-orang lupa alamat rumahnya

Lalu angin yang mengantarnya

Meski, rumah serupa fatamorgana

Selalu angin menjadi muaranya.

Klaten, Feb ‘08

KEPADA ANGIN III

Berlarian orang-orang menemui kemiskinan

Yang selalu bergelanyut di mata bocah-bocah yang matanya hilang sebelah

Korban berjatuhan, tapi, tetap saja orang tak bergeming

Ketika melihat cahaya kebiruan menghampirinya

Meski itu petaka

Angin yang rakus melahapnya

Tanpa sisa apapun.

Klaten, Feb ‘08

KEPADA ANGIN IV

Aku senandungkan ini menjelang fajar

Pada rintik yang kesekian kali

Dengan batin yang meronta

Ketika daun meneteskan keabadian

Seribu angin menjadi pertapa

Yang hening tipu sang pagi

Klaten, Feb ‘08

KEPADA ANGIN V

Aku melihat ibuku berada di bintang

Wajahnya ramah menawarkan senyum

Dan aku melihat diriku

Terberai di antara cermin dunia

; hembusMu kembalikanlah aku.

Klaten, Feb ‘08

REMBULAN DI TEPI WAJAHMU

Rembulan di tepi wajahmu

Menyanjung malam dengan nyanyian bidadari

Kau menyapa khabar langit

Selaksa ratusan kunang menyemarakkan malam

Rembulan di tepi wajahmu

Sabar menunggu jawaban

Antara kepastian yang tak berujung

Rembulan di tepi wajahmu adalah aku ,ketika meminang sepi

Dengan pisau yang tertancap di jantung

Klaten, maret ‘08

MENUNGGU KAWAN LAMA DI TENGAH HUJAN LEBAT

Datang hujan yang aku sumpahi

Dengan kaki-kaki yang runcing

Dengan bisingnya kacaukan pandangku

Pada kawan lama yang menunggu di ujung cakarawala

Tanpa catatan yang menghiba, tanpa rindu yang membara

Hanya kawan lama, tak ada yang lain

Sedangkan aku terperangkap di tengah hujan yang lebat

Kawan lama sudah tak ada lagi

Hujan pisahkan kami

Kini, aku berteman dengan hujan lebat

Persis kedatangannya seperti kawan lama

Berisik dan dingin.

Klaten, Maret ‘08

SEKOLAH MALING

Anakku dididik menjadi maling

Ketika gurunya melupakan kurikulumnya

Anakku diajari menjadi koruptor

Ketika gurunya lupa membawa buku pelajaran matematika

Anakku dibina menjadi plagiator

Ketika gurunya sibuk melihat iklan tivi

Anakku dilatih menjadi anarkis

Ketika gurunya menyuruh baju olah raga diganti dengan baju rompi anti peluru

Anakku diwanti-wanti untuk menjadi kompromis

Ketika gurunya sedang sibuk membagi hasil uang proyek gedung sekolahan dengan para kontraktor

Anakku kini,

Tak mau jadi apa-apa

Dia hanya ingin menjadi,

Naruto, ultraman, dragon ball, power rangers, transformers,

Eehh, dia juga mau jadi si entong

Weee lhadalah, anakku tak mau jadi seperti aku

Yang selalu demam karena musim.

Klaten, Maret ‘08

LELAKI DENGAN DUA BELAS MATAHARI

Ternaknya-ternaknya telah lama mati

Karena virus yang tak terdeteksi

Rumahnya hanya tinggal catatan bata-bata yang kropos

Dengan dua makam istri dan anaknya

Dengan nisan yang berdiri rapuh

Di tanah yang berdebu malam

Hidupnya hanya bersandar pada kenyataan

Perjalanan yang tersendat, kadang berhenti, kadang bimbang meradang

Busur panah sudah terlepas menuai badai

Dengan kemarau yang merinding

Dengan taufan yang menelan

Dia bertapa pada kesepian

Berharap cahaya memenjarakan dirinya

dengan dua belas matahari

Klaten, Maret ‘08

SENYUMKAN BUMI

Senyumkan bumi dengan kecipak airmu

Senyumkan bumi dengan tabungan budi pakertimu

Senyumkan bumi dengan nyayian empat angsamu

Senyumkan bumi dengan tarian bidadarimu

Senyumkan bumi dengan lagu subur sawahmu

Senyumkan bumi dengan petak umpet hutanmu

Senyumkan bumi dengan alif ba’ta’mu

Semoga Alloh berkenan

Klaten, Maret ‘08

MINYAK TAK BANYAK

Minyak sekarang tak banyak

Katanya diminum segerombolan burung gagak

Ketika cerita ini seperti di negeri budak

Lepas napas lepas jejak

Di antara reruntuhan martabat yang terkoyak

Orang-orang di tepi sudah bermuram galak

Dengan pisau di jantung yang lama tergeletak

Anjing-anjing srigala di hutan kini sudah menyalak

Sudah saatnya, negeri ini harus bijak

Atau kapal khatulistiwa ini harus tetap retak

Dan minyak sekarang tak banyak

Aku pun hanya bisa membuat sajak

Yang sebatas hanya cerita satu babak

Catatan dosa negeri ini sudah begitu sesak

Klaten, maret ‘08



SEMALAM YANG TAK ADA SAJAK

Sebelum kita tidur di bimbang malam yang tak perawan

Aku mendengar seekor gagak tua menimang sakitnya, dengan catatan purba

Banyak sudah gerimis yang membuyarkan tanah ranggas

Aku memikirkan pertemuan ini,

Dengan ujung belati di ujung matamu

Ketika nelayan mengayuh sampan dengan perahu limbung sebelah

Kau tidak berubah pendirian

Semalam adalah hening dengan napas sajak

Kelu sudah mencabik penungguan

Akan fajar yang sudah berkeping-keping.

Klaten, April ‘08

NEGERI SAKIT

Wajah orang-orang itu memucat

Di tanah –tanah tandus mereka mendirikan nurani

Dengan jejak-jejak kaki yang sudah terhapus badai

Kapan kesembuhan ini menjadi catatan langit

Ketika kenyataan sudah mati di bibir kemiskinan

Orang-orang pergi tanpa bekal

Menuju nirwana di atas mimipinya sendiri, tanpa rasa sakit

Klaten, Mei ‘08

SALAM RASA SAKIT NEGERI

Aku mengeluh dengan mataku yang papa

Sebongkah batu mendatangiku dengan tangannya yang kotor

Sebuah angsa mati tertembak di jantung

Jasadnya kaku di selangkangnya khatulistiwa

Puisi kini tak bisa menjadi daya hidup

Ketika orang-orang menggali kuburannya sendiri

Di tanah pardikan.

Menyampaikan pesan yang tak terbaca langit

Mendung yang mengintai di balik awan

Kini, menangis seperti tak ada kawan yang setia

Ketika usai senja, kidung malam menjadi canda

Yang ada hanya sebuah pisau berkarat terletak di meja

Kapan akan terhunuskan, tentang khabar sang negeri

Klaten, Mei ‘08

KINI INDONESIA

Pada alam yang menyubur

Di ladang dan air sungai yang mengalir

Di keringat petani yang menggambarkan kesabaran

Aku melihat lelah langit mengumbar napas iblis

Dengan jemari yang runcing dengan darah dan nanah

Sebatang padi patah di jantung martabat bangsa

Harga diri amblas tanpa bekas

Harga – harga mengacaukan paruh burung gagak

Yang cekatan membaca situasi

Anak-anak sekolah menjual buku pelajaran

Guru-guru menggadaikan papan kurikulum

Merah putih tak pernah bisa berkibar lagi

Karena angin merasa dikhianati

Jejak kaki para pahlawan bangsa

Tergilas roda traktor kapitalisme

Sementara para buruh

Menuntut uang pesangon di pabrik

Ketika para direktur sudah plesiran ke luar negeri

Cakrawala sudah menghitam

Mendung sudah menggantung

Sebentar lagi hujan

Ketika rumah-ruamah sudah tak beratap

Janji langit adalah harapan

Yang harus diperjuangkan

Diantara duri kejahatan para pemimpin

Yang menusuk nurani

Klaten, Mei ‘08

JANJI PARA PEMBUNUH

Janji bukanlah kata suci

Kini kalimat itu berubah menjadi belati

Yang sudah terasah walau jutaan orang menjerit

Jajni adalah barang basi

Yang ada hanya nyali

Ketika satu persatu orang akan mati

Kini para pemimpin sudah lupa diri

Akan janji dan prasasti sang negeri

Yang diwarisakan penuh oleh ibu pertiwi

Janji para pemimpin seperti membunuh nurani

yang lelah menghitung saudara-saudara kami yang mati

karena janji tak pernah ditepati.

Klaten, Mei ‘08

AKU CATAT AIR MATAMU DI MATAHARI

Aku catat air matamu di matahari

Ketika embun belum kering benar di dedaun

Pagi itu sejuta perempuan

Menyandarkan wajahnya di tembok pertokoan

Ada kaca hati yang telah retak

Rautnya berkeping tanpa tepi

Cakarawala masih tidur

Aku tak bisa menterjemahkan air matamu

Klaten, Mei ‘08

COBA KAU INGATKAN

Coba kau ingatkan

Tentang tanah kemerdekaan ini

Yang tertulis di cakar rajawali

Ketika mencabik bianglala tanpa teman

Coba kau ingatkan

Dewa-dewa yang bersemayam di gunung

Yang menangis, ketika mengingat para ksatrianya

Menghunuskan pedang di jantungnya sendiri

Coba kau ingatkan

Ketika perempuan-perempuan menjual rahimnya

Tatkala badai waktu merampas catatan biru di langit

Yang tak pernah mengajari,

Betapa sakitnya menjadi pelarian.

Klaten Agt ‘08

MENDEKATI WAKTU

Aku dekati waktu

Yang aku sadari akan terus mengejarku

Ketika detaknya menghujam, memburu langkah, pada kaki-kaki gunung yang merenung

Aku dekati waktu, semakin dekat

Jarakku meyerupai burung kondor

Gambar-gambar perempuan telanjang, menjajah bahasa kitabku

Kenapa kita justru akan mendekati waktu ?

Kenapa matahari masih bersinar ?

Kenapa cahyanya adalah masa laluku ?

Berbinar nanah jerat penungguan ini

Ketika aku semayamkan waktuku di pojok kursi tua

Menunggu ajal.

Klaten, Agt ‘08

SEBATANG BAMBU

Langsat warna bagai batin yang menggila

Tentang khabar badai yang serakah

Srigala hitam bagai jelaga nasib yang menunggu

Sebatang bambu mendadak menjadi buaian nadi yang muncrat

Samodera kesabaran kita di ditantang oleh sembilan matahari

Aku berdiri di pasir putih yang panas

Ketika kapal-kapal sudah mengucapkan selamat tinggal

Aku cari sebatang bambu itu,

Untuk menggurui perjalanan paruh waktu

Klaten, Agt ‘08

BANGKAI BANGSA DI UJUNG MATAMU

Aku melihat cadar khatulistiwa tergores di titik tengahnya

Warnanaya merah puitih, ketika itu menjadi asap

Para pahlawan tak punya nisan terpatri

Kembang-kembang habis termakan ulat

Satu jiwa yang menghilang, seribu napas tertahan di kereta waktu

Sejuta permohonan telah tergadai di pingir-pinggir kali

Pengemis sudah mati sebelum menjadi miskin

: dan aku melihat bagkai bangsa di ujung matamu

semenjak itu aku membencimu.

Klaten, Agt ‘08

UANG ITU TERSELIP DI OTAKMU

Sontoloyo….

Kita miskin menjadi ritual penghayatan

Bajigur……

Harga bbm, sembako seperti badai

Senewen….

Seluruh nusa bangsa dalam kidung sebelah hati

Belasungkawa……

Mati diganyang uang

Aku menjadi terbayang

Pada trilyunan uang

Ketika rengekan bayi-bayi, menjadi sajak mendayu-ndayu ribuan mal-mal dan partai.

Klaten, Agt ‘08

KATA MEREKA KITA MERDEKA

KARYA : DENDY RUDIYANTA

Kata mereka kita merdeka

Yang seharusnya,tanpa penjajahan

Tanpa penindasan

Seperti nyanyian seribu bidadari di surga

Tapi yang kami lihat

Hanyalah kemiskinan dan kebodohan yang mengancam jantung ibu pertiwi

Kata mereka kita merdeka

Yang seharusnya, anak-anak bisa belajar dengan tenang

Tapi, tatkala hantu kemiskinan bergentayangan

menjadi mimpi buruk bagi orang tua mereka

sekolah seperti sebuah jurang-jurang yang sulit dilalui

karena mahalnya biaya pendidikan

para pengajar jadi malas untuk mengajar

karena, uaph keringat dan pengabdian tak sesuai di hati

kaum cerdik cendekiawan sibuk menghitung angka-angka teori

yang sulit dimengerti

kaum politisi lihai bersilat lidah untuk mengingkari janji kepada rakyat

sang penguasa keluar keringat dingin ketika ditinggalkan para kabinetnya

rakyat hanya melongo ketika minyak tanah habis, BBM melambung tak bisa dibeli, korupsi menjadi-jadi. Masya Alloh.

kami yang disini

tidak seperti di jaman VOC

yang bodoh ketika datang ribuan bule

tatkala rayuan mereka menjadi bencana sejarah

dari perjalanan mental bangsa ini

kami tidak ingin dijajah lagi oleh para kolonial imperialis

yang hanya memeras keringat para rakyat kecil

tanpa diberi imbalan apapun, tapi malah mengeruk harta pusaka

warisan nenek moyang

sekarang timor timur lepas

sipidan legitan hendak terlepas

papua ingin merdeka

maluku bersiteru

aceh bergejolak

dimana bung karno muda

dimana hatta muda

dimana bung tomo muda

dimana diponegoro muda

dimana cut nyak dien muda

menangiskah mereka ?

ketika menyaksikkan ibu pertiwi bersenandung duka tanpa da yang menghiburnya

Ya Alloh

Hamba mohon padaMu, Ya Alloh

Jadikan negeriku yang makmur ini

Menjadi makmur kembali

Jadikan negeriku yang kaya ini

Menjadi kaya lagi

Jadikan para pemimpin kami

Menjadi pemimpin yang berpihak kepada rakyat

Hilangkan kemiskinan dan kebodohan di negeri kami ini, Ya Alloah

Aku berdiri di sini

Menunggu perubahan

Ketika brung-burung terbang rendah

Menunggu kemerdekaan akan kembali lagi

Dengan jutaan pasukan kaum muda yang berani

Berkata benar dan penuh kejujuran

Kata mereka kita merdeka

Klaten, Agustus 2008

IBU PERTIWI

KARYA : DENDY RUDIYANTA

Ibu pertiwi,

Aku tulis sajak ini bersama badai

Di antara Sang Saka ku

Merah putih menjadi kelabu

Karena panji-panji jarang dikibarkan

Ibu pertiwi,

Aku tulis sajak ini bersama hujan

Tatkala mendung di ufuk cakrawala

Berubah menjadi belasungkawa bangsaku

Ibu pertiwi,

Aku tulis sajak ini bersama darah

Ketika banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya

Karena tak kuat menahan kemiskinan

Ibu pertwi,

Aku tulis sajak ini bersama tangismu

Ketika arak-arakan awan hitam menjadi sepasukan

Alamat mimpi buruk masa depan kami

Aku masih berharap padamu

Dengan sejiwa semangat yang masih berkobar

Dengan sejuta nadi yang masih mengalir

Aku akan selalu membasuh air matamu

Kebayamu yang lusuh

Tak semerah semangat yang mendera

Wajahmu yang putih

Tak sesuci doamu kepada kami

Ratusan gelombang telah kita hadapi

Ratusan harapan ada di jiwamu

Jangan pernah menangis lagi, Ibu

Jangan pernah bersedih,

Aku masih ada disampingmu

Untuk membasuh luka-luka di kakimu

Perkenankan rangkaian melati merah putih ini,

Untuk kusematkan di telingamu

Dirgahayu Indonesia !

Klaten, Agustus 2008

KUNANG-KUNANG DI LENGKUNG BULAN

Pada paruh waktu yang menepi

Kita dendangkan tangis di tengah kemelut

Perapian yang lama tepadam

Sedari waktu merenggut bangkai jejak

Aku melihat beribu kunang di lengkung bulan

Cahayanya samar mengintip

Ketika sejuta puisi tidak menghasilkan apa-apa

Hanya kenangan yang memagut

Diantara ribuan kunang-kunang

Kulihat rembulan malah menyembunyikan sinarnya.

Klaten, Agt ‘08

PERCUMA

Percuma kita membuat sajak

Kalau tak ada yang mengerti

Percuma kita menyindir pejabat

Kalau justru perubahan tak terjadi

Percuma kita menangis di ujung pelangi

Kalau kesendirian menyebabkan penyakit

Percuma kita membela yang lemah

Kalau justru kita yang telah terkalahkan

Percuma memuji drama percintaan

Kalau kita selalu patah hati,

Karena ditelikung keadaan

Klaten, Agt ‘08

IBU, YANG MENUNGGUKU

Dengan sutra putih terukir azimat doa yang meluruh

Seperti kamar pengantin yang berbau melati

Suaraku memelan menajamkan doaku

di relung waktu yang membatin

sempat aku simpan kenangan, dengan album photo yang sudah lapuk

dengan gambar camar-camar yang terbang rendah di pantai

aku merindukan buaian matamu yang menidurkan aku

sampai ke pucuk pelangi

Tuhan pasti mengerti

dengan catatan-Nya.

Klaten, Agt ‘08

KARNAVAL DI SORE HARI

Melihat warna-warna mencibir cakrawala

Sekumpulan merpati terbang tak tentu arah

Karena sarang-sarang dari mereka belum dibukakan

Sebiji angin singgah di tengah aspal

Panji-panji menjuntai

Menari, berjoget, berteriak

Di depan panggung kehormatan sang bupati

Para anak-anak tertutup punggung orang tuanya sendiri

Memberi salam, melambaikan tangan

Lalu bergerak kembali. Seperti kereta mereka akan menuju stasiun berikutnya

Para penguasa puas, rakyat puas

Karnaval nuraniku tak sempat aku pamerkan

Karena hari sudah mulai malam.

Klaten, Agt ‘08

DI ACARA HAJATAN

Aku minum kepapan ini dengan renyah nadi desaku

Kepolosan berkhidmat , aku tasbihkan kepada sawah yang mengering

Uang, uang dan uang

Adalah mimpi jejak yang terasing

Kembang ditaburkan pada perjamuan malam yang menggantung

Tawa Sang Kaum mengucap serentetan doa

Membumi dan membumi

Seperti sandyakalaning raga yang mati

Membisikkan nestapa ketika raung srigala

mengintip di balik kemiskinan

Janji alam sudah diprasastikan

Semua orang meng amini nya.

Klaten, Agt ‘08

CATATAN KEMARAU

Aku melihat kemarau menjadi album photo

Di wajah petani yang mati karena tak punya sawah

Aku melihat napas kemarau menjadi kembang kamboja

Ketika ratusan tentara menembaki saudaranya sendiri

Aku melihat darah kemarau menjadi undan-undang

Puluhan ribu buruh meminum darah keringatnya sendiri

Aku melihat janji kemarau melayang di cakarawala

Ketika sajakku mati karena tak pernah ada hujan yang datang

Klaten, Agt ‘08

JEMBATAN CINTA

Dia tak pernah bisa meyeberang

Pada sungai hati yang mati

Karena birunya langit tak bisa menjadi catatan kembara

; ketika tangan yang putih belum berhias kasturi

ketika senja yang datang selalu mengawali tangisan

kita rebahkan cinta kita

pada bambu-bambu yang rapuh

dengan bagian penyesalan yang setengah jalan

berhenti di bibir jembatan cinta

pada nadir janji yang tak bisa terucap

aku pun menunggu

tanpa pernah tahu kapan Engkau akan datang.

Klaten, Agt ‘08

SATU LELAKI DENGAN SATU SAJAKNYA

Aku persembahakn sajak ini

Dengan kuhunuskan pedang di tanganku

Yang sudah berlumuran darah para musuhku

Tak ada srigala

Tak ada burung erring

Api-api telah aku padamkan

Aku di temani satu sajakku

Dengan selaksa makna kata ‘juang

Aku tak bisa mati karena musuhku

Yang bersembunyi di dalam kalbu

Aku tak bisa menyerah dengan cinta

Yang menggoda di waktu bimbang

Dan kini, aku persembahkan sajakku

Untuk kujadikan nabuat menuju muara-Mu

Klaten, Agt ‘08

GELAS TERAKHIR

Gelas terakhir aku habiskan

Seteguk itu sudah hilang

Janji langit meratapi kesendirian yang membatu

Dengan sejarah budak-budak yang minta merdeka

Asap terakhir pun aku isap tuntas

Gelembung udara meyelimuti paras cantik seribu bidadari

: siapa yang menjadi nahkoda itu ?

, sahabat yang mati karena terseret arus ?

, atau tubuhku ibuku yang sudah berdiam di surga ?

gelas terakhir mencibir, kesialanku

karena salah memilih musim.

Klaten, Agt ‘08

BULAN TERAKHIR

Bulan terakhir ini,

Anakku meminta bulan

Istriku merengekan bintang

Tetanggaku mau berhutang matahari

Sahabatku merindukan lautan

Orang – orang di pasar depan rumahku, ramai berebut cakarawala

Para petugas pemerintah dan petugas keamanan sibuk menjaga martabat bumi

Aku pulang

Aku marah.

Aku tawarkan mereka nama Tuhan. Selesai.

Klaten, Agt ‘08

TAK BISA PULANG

( FRAGMEN SATU BABAK )

ibu, tak bisa ku-nahkodai kapal yang menghanyut

tak berkompas, sepuluh mercu suar tak memberi suluh

aku terbelenggu di karang, dengan gelombang yang membatu

aku disini menangis, seratus awakku hilang karena ditelan malam

ibu, engkau di mana ?

anakmu mati rasa, dengan beban tubuh yang koyak

seekor camar pun tak ada yang berkidung

pada setengah malam, mereka enggan membawa khabar

aku tersesat penuh luka,aku merindukan kedatanganmu

mana yang harus kulakukan

menunggumu, atau berlari ke hutan.

Klaten, Sept ‘08

BERKUMPUL DI MASJID

Awal ramadhan

Orang banyak menjadi suci, sejuta peluh dosa di bakar

Masjid ramai. Jamaah serentak berkata amin

Kidung doa kepada rabb-Nya selaksa godam menghantam sejuta syetan

Kelaparan menjadi kemakuran, kemurahan menjadi rejeki, rasa hening menjadi berkah

Suluh yang terang ketika mengalun tasbih

Aku bercerita dalam sajak ini, tatkala awal ramadhan

Entah setelah itu.

Klaten, Sept ‘08

SEMBAHYANG ALAM RAYA

Senja yang ketiga belas, dengan lekukan wajah bidadari

Menari di awal kemarau, kenapa menangis di paruh waktu ?

Sawah-sawah dan rerumputan bertunduk, mengilhami bumi

Tasbih, menjadi tawakur, kaca-kaca alam menjadi cahaya

Selempangkan sajadah, wahai pujangga alam raya

Mari berkawan hujan, mari berjabat badai, mari berkidung bencana

Tak ada yang hilang dari pandangan

Cakrawala menghitam, langit berjelaga

Nyanyian malaikat dihadirkan

Melihat mereka bertunduk,

Kita terdiam seperti tak percaya

Syukur pun enggan diucapkan

Klaten Sept ‘08

SAMPAI HARI INI

Sampai hari ini,

Orang-orang masih bingung dengan hutang-hutangnya

Sampai hari ini,

Orang-orang tak bisa melunasinya

Sampai hari ini,

Kehidupan menjadi terbelenggu

Sampai hari ini,

Kita terjajah oleh keinginan

Sampai hari ini,

Keinginan dunia menjadi berhala

Sampai hari ini,

Malaikat kebingungan mencatat kebodohan

Sampai hari ini,

Dosa kian menumpuk

Sampai hari ini,

Aku tak hapal hari.

Klaten, Sept ‘08

PENYAKIT DUNIA

Penyakit dunia adalah nafsu

Selalu menjanjikan dan membakar amarah

Penyakit dunia adalah peluh

Yang menguras tenaga tanpa hasil yang seimbang

Penyakit dunia adalah tangisan

Mengiba kepada hati lalu mematikan rasa

Penyakit dunia adalah kehilangan

Tak rela kesenangan terenggut dengan kekonyolan

Penyakit dunia adalah kekosongan

Ketika tak ada teman untuk bercerita

Penyakit dunia adalah penyakit

Ketika teguran Tuhan dianggap dongeng.

Klaten, Sept ‘08

POTRET JALANAN

: untuk anak-anak SPI ( serikat pengamen Indonesia )

Anak-anak mengiba di kaca-kaca bis kota dan mobil mewah

Wajahnya menghitam karena terserap energi matahari

Suaranya memelan yang terdengar hanyalah angin

Aspal hitam, baliho karatan dan gambar presiden

Seperti balada tanpa kembara

Lampu-lampu kota memandang celaka, pada jutaan nasib yang menggelandang

Siapa yang disalahkan ? didikan kapitalis kah yang kini sudah menjadi berhala ?

Kini, kapak- kapak perang masih tersimpan

Panji-panji perang mulai berkibar

Ufuk mataku memandang samar warna merah

Seperti darah ibuku mengingatkan

Klaten, Sept ‘08

POTRET PEDESAAN

Kemuning padi, kini bukan harapan petani

Sawah-sawah sudah puluhan tahun menangis

Ketika ribuan tengkulak mendirikan kerajaan rahwana

Aku sumbangkan dewi sri di mimpi-mimpi

Aku berikan sego wiwit yang sudah terkontaminasi dengan urea dan apotas

Sekumpulan emprit gantil menjadi mimpi buruk bocah-bocah melas

Embun pagi yang menetes di pohon waru, sudah tak bisa menjadi catatan sajakku

Kering sudah ladang, ada batu untuk kita santap

Sebagai kemarahan kita terhadap diri sendiri

Klaten, Sept ‘08

BERTASBIH DI DASAR MALAM

Menggurui malam dengan doa

Lirih melafadzkan bait rindu yang menangis

Istighfar kupanjangkan berbenah kepapaan yang mamagut

Sedangkan kita masih bertapa dengan dosa

Langit menjadi saksi, ketika malam dengan sepinya

Terus saja kupanggil nama-Mu

Klaten, Sept ‘08

MELIHAT WAJAHMU DI ANTARA ASAP ROKOK

Melihat wajahmu menyerupai asap rokokku

Yang mengebul setelah menangkap inspirasi

Ketika kota dan desa sudah tak bisa berkawan lagi

Sejuta rayumu kalahkan dentuman kemiskinan

Aku tangkap matahari

Sebagai kado bilur-bilur luka

Aku sangsikan engkau menjadi pantai

Ketika ratusan nahkoda mempertanyakan arahnya

Masih kulihat wajahmu muncul di balik kelambu

Seribu syahwat mencabik sepiku

Seribu kunang-kunang menyantap sajakku

Dan wajahmu tak bisa aku kenali lagi

Karena aku masih melawan ombak

Klaten, sept ‘08

SURAT PUTIH DI BALIK MENDUNG

Mentasbihkan alam raya

Gembel-gembel yang berserakan di ayat-ayatMu

kaki-kaki yang mati jejak, menjumpai pelangi untuk di sandarkan di album photo

lalu, kereta waktu datang tergopoh-gopoh

menawarkan ajal tanpa kartu nama dan alamat

: berjuta bencana kepada umat yang lupa diri

kenapa kita masih di sini,

hanya untuk menghapalkan candu dunia ?

batu-batu di dalam jantungku

mengeras bagai dentuman bom

toh, kita tak pernah mengenal ibu kita, anak-anak kita

yang kini tengah mememgang genderang perang

dari jaman yang tak ada kata kasihan

surat putih itu, kapan engkau kirim ?

Klaten, Sept ‘08

ORANG – ORANG TERDAMPAR

Aku melihat riak gelombang pecah biduk,

di tepi karang yang mengonggok

aku angkat satu orang yang mati dengan bibir yang terkatup

di nadinya tak ada peta, yang ada hanyalah bekas luka yang menetes nanah

aku angkat lagi orang yang berada di dekatnya

yang ada hanya hembusan angin purba

warnanya hitam berbau anyir

aku masih bisa melihat ada sepuluh orang yang terkapar

tak jelas maknanya

satu persatu seperti lagu tanpa partitur

seperti lenguh ribuan malaikat yang membuat api unggun

aku kelelahan dengan berkata-kata

senja yang belum terbangun

terkejut di tapal pelangi

aku melihat ratusan biduk yang telah hancur

menuju ke arahku

kini, aku tak punya teman untuk menghitung.

Klaten, Sept ‘08

ORANG-ORANG LAPAR

Orang-orang lapar mengerang di antara buku teori dan bangku-bangku tua

Sementara sejuta bintang yang muntah-muntah di teras almamater

Seperti parody jejak pencuri di padang kurusetra

Aku tidak melihat bayangan perahu, yang tadi malam masih menemani angin

Ketika, orang-orang lapar itu berdiri di batas pelangi

Sejak kita dilahirkan di tanah gersang ini,

Tak satupun biji senyum menjadi unggun

Karena traktor, petisida, giro, bilyet dan infotainment

Sudah dirasa sebagai kurikulum kehidupan

Orang-orang lapar mengenag ribuan burung camar

Yang terpanah ketika menyelamatkan ribuan malaikat

Klaten, Sept ‘08

ORANG-ORANG BERTASBIH

Dimulutnya ratusan firman menjadi perahu

Dengan nahkoda nyala unggun yang memercik

Ruang munajat di biduk yang limbung menjadi pelajaran

Nubuwat nuh adalah janji kalam yang telah teruji

Karang-karang menyingkap ruh yang menari

Gelombang sepi pertambatan suara penantian

Kembara yang purba, akan malam yang hening

Pohon-pohon mencari pelangi

Bocah-bocah bertaruh dosa orang tuanya

Orang-orang masih menyisakan sejuta perahu yang terdampar

Akankah ditunggunya ?

Meski itu adalah saudaranya.

Klaten, Sept ‘08

ORANG-ORANG DI ANTARA API

Perang telah terhampar

Panah menghunus langit

Pedang berkilauan sangsikan kidung perdamaian

Surat-surat cinta sudah dibakar habis

Kekasih malam meyerupai srigala tua yang kelaparan

Kamar-kamar pelaminan terbuang syahwat di kolong jembatan

: aku digantung di pohon waru tua

mataku buram seburam warna langit yang memecah

mainanku tertinggal di sajak-sajak usangku

aku di antara lingkaran api

nama ibrahim pernah ada di sini

ketakutanku menjelma ribuan malaikat

Klaten, Sept ‘08

ORANG-ORANG KESEPIAN

Jejak ribuan pelayat hilang di tikungan

Tersisa deretan lagu tua yang berselera rendah

Puing-puing firman Tuhan berserakan tak bisa dibaca

Seribu angsa tua yang keriput, tak bisa menjadi hiasan sajakku

Memerih batin ini,

Memelan jalan peraduanku

Senja sudah datang dengan ribuan orang yang mendatangi bukit kapur

Kaki mereka seperti nanah, anyir dan sudah celaka

Sekeranjang atas nama sepi, sudah dipanggulnya

Tanpa ucap kata pisah

Karena kata pisah akan membikin tangis

Klaten, Sept ‘08

EPISODE TANAH BASAH

Ketika napasmu aku semayamkan di kaki hujan

Jejak bayangan malam menjadi pintu kealpaan kita

Ketika detak jantungmu menjadi harmoni senja hari

Malahan, kebisuan serasa dijadikan peraduan

Aku melihat ratusan rembulan tak bisa menari

Aku melihat ribuan merpati tak bisa kembali ke sarang

Karena tanah-tanah basah ini sudah mengajari kita untuk rakus menunggu matahari

Klaten, Okt ’08

EPISODE BUNGA SAKURA

Dia hadir tumbuh di depan teras

Warnanya merah muda, bak putri menunggu pangeran

Dia hadir tumbuh serupa senja

Masih meminang sajak di lingkaran kata-kata

Satu jimpit bunga jatuh, laksana mengurai daya hidup

Sukmaku jengah menyingkap takbir

Rasaku kelu mengabarkan tangis

Pada bunga sakura,

Yang hadir tumbuh

Aku saksikan kau gugur satu persatu

Rantingmu ternyata benalu,

karena cemburu

Klaten, Okt ’08

EPISODE KERINGAT DI DEPAN SAJAKKU

Bagaimana bisa sajakku bosan dengan kata-kata ?

Bagaimana bisa sajakku mencemburui sepi ?

Bagaimana bisa sajakku menghilangkan cahya rembulan ?

Astaga, perempuan-perempuan itu menggunting rambutnya yang terurai

dengan gunting yang di pegangnya, bercampur kenangan yang memahit

rambut mereka jatuh bersama badai di perutnya

bayi-bayi yang terbuang sia-sia,

masih menyisakan doa orang tuanya di surga

sajakku menjadi bah bersama keringatku.

Klaten, Okt ’08

EPISODE GAGAL PANEN

Pak tani kemarin bernyanyi di lumbung padinya

Bu tani menyiapkan unggun bersama anak perempuannya

Kemarin pesta dimulai. Lelagon ijo royo-royo, wang sinawang katon angsal anugerah

Langit membiru, cakrawala dibeberkan cerita percintaan

Sriti putih memberi salam

Permadani kemakmuran sudah akan dibentangkan

Gelegar.

Satu bunyi sejuta rasa pedih

Air tumpah.

Tanah-tanah berlarian tak tahu arah

Tak ada mercu suar.

Pesta menjadi sepi.

Matahari menunduk tak ada wajahnya.

Langit murung tapi tak merenung.

Padi dan lumbungnya

Pak tani dan bu tani.

Anak perempuan dan lelagonnya

Sriti putih dan permadani

Melayang ke atas mimpi buruk

Dua ratus lima puluh juta rakyat.

Klaten, Okt ’08

EPISODE TEH HANGAT

Ya Allah, aku sodorkan shubuhku

Serasa embun mencabik mataku

Aku kalahkan empat mata iblis di tengah belantara tanya

Ketika doa-doa telah dikirimkan

Fajar yang terbangun, dengan beberapa perempuan

Menjajakan hasil panennya di pinggir jalan.

Ya Allah, sudah terpagut aku dengan pagi

Ratusan kelelawar sudah masuk ke kolong-kolong genting

Ya Allah, khabarkan pagi ini dengan perjuangan di daya hidupku

Tak ada kata mati.

Tak ada kata miskin.

Dengan sentuhan teh hangat dan gula batu.

Klaten, Okt ’08

SETELAH RAMADHAN

Setelah ramadhan

Aku mendengar tangis surau dan langgarku

Tak ada jamaah

Tak ada infak

Sajadah kering, kini sudah tak berjejak kening

Mimbar kosong yang ada hanya petuah yang hambar

Para malaikat merasa tak berguna untuk menunggu

Nada adzan yang tertatih-tatih

Tak bersua para jamaah untuk datang

Setelah ramadhan

Bangkai-bangkai doa yang berceceran

Entah, berguna atau terbuang sia-sia

Klaten, Okt ’08

TANPA HUJAN

Orang-orang meninggalkan jubahnya

Karena panas menjalari nadi mereka

Keringat yang menetes bak bercak dosa yang sudah mengakar

Di luar panas menjadi musuh

Matahari semakin mendekat

Lelehan peluh menjadi ketakutan akan kembara yang menghilang

Di antara hutan tua yang gersang

Di antara tanaman jagung yang mengering

Makam – makam para pahlawan gelisah,

Karena memikirkan anak cucu mereka

Akan tinggal di mana.

Air sudah sulit di dapat

Berdentum pertanyaan

Dalam catatan para langit

Sombongkah kita akan hari depan ?

Klaten, Okt ’08

DEBU JALAN

Bencana dan bencana dicatat dengan tangan yang berdarah

Lalu, orang-orang pergi begitu saja.

Dengan melempar kesalahan di samodera

Embun yang membangunkan pagi

Tak bisa menjadi kembara yang berarti

Lampu-lampu sudah dimatikan

Anak-anak sekolah sudah memikul kurikulum yang mahal harganya

yang tak pernah diajari untuk memahami puisi

Bencana-bencana dicatat dengan tangan yang berdarah

Seratus duka mengembang di kaki-kaki pelangi

Seratus harapan tak bisa didoakan lagi

’atas nama alam raya

’ selamatkan bercak mataku dari debu jalan.

Klaten, Okt ’08

LANGIT HITAM TAK ADA KUNANG

Langit hitam tak ada kunang

Binatang-binatang malam takut pulang

Di sarang tak berpenghuni

Pembunuh berkeliaran mencari bukti

Akan janji yang sudah lari

Tanganku sudah mati rasa, tak bisa menulis lagi

Langit hitam tak ada kunang

Di gua-gua orang-orang ternyata bersembunyi

: langit hitam tak ada kunang

Klaten, Okt ’08

SETELAH SHUBUH

Setelah shubuh aku menulis puisi

Dengan hati yang berjalan biasa saja

Ditemani secangkir teh hangat, dan sebatang rokok

Suaraku terdengar lirih dan gamang

Tak ada nyanyian embun pagi

Atau celoteh burung pagi

Semuanya biasa saja.

Tembok putih yang ada di depan terasku

Kosong tak ada coretan

Kupandang shubuh itu, dengan jejak doaku yang antre di kaki langit

Klaten, Okt ’08

BAYANGAN MATAHARI

Sempat aku bisikkan memori di batubatu

Sempat aku titipkan tangis di kapalmu

Delapan belas sajak tua, mengais pelayatan terakhir

Aku rebah pada seribu katakata

Mengenali jejak matahari yang terluka kakinya

Suaramu masih terdengar mencabik

Klaten, Nov ’08

SAJAK, HUJAN DAN SHUBUH

Aku terbangun menaiki doadoa yang tertingal

Pada shubuh yang basah, karena hujan mengawalinya

Kesepian menyeruak langkahku

santun menuju sebidang ruang munajat

Menyerahkan batin yang memang sudah menyerah

Terdengar keletihan sinar perak rembulan

Menitipkan pesan pada seribu malaikat,

Jubah yang basah dengan bau hari yang rakus

Aku merengkuh sujudku Kau terimakan

Klaten, Nov ’08

MATI

Mati itu batas.

Peraduan sudah hilang

Dua belas sajak sudah hilang syair

Melepuh sukma ,terbaca nyata jejak.

: perjuangan dosa pahala berhenti

lalu, terdiam, takut, gelap, menunggu.

Perhitungan dimulai.

Klaten, Nov ’08

NAPAS

Bagai sungai waktu

Menghisap keduniaan

Membuang sisa ampas jejak

Ke-ghaiban menjelma tak terarah

Sesal ketika lepas, mulut sudah berucap

Klaten, Nov ’08

MELIHAT RODA

Dunia.

Di bawah. kau kekarkan otot tangan dan jiwamu untuk kau naikkan

Keterbatasan. Tak ada daya.

Terdiam dan berhenti. Batu menghambat jalan rodamu.

: Menyerah ?

Dunia.

Di atas. ribuan kunang-kunang menghalangi pandangmu

Satu badai, sejuta cabikan hujan, sedahsyat halilintar, petir pun bersekutu

Kau tiada daya, tanpa pegangan.

: terjatuh ?

Tuhan tahu,

Semua ada batasnya.

Klaten, Nov ’08

HIDUP APA ?

Bersenda gurau, lalu hilang ?

Mendendam, lalu tertawatawa ?

Menyesal, lalu mencibir sejarah ?

Meratapi kemiskinian, lalu bertabur ke-maksiatan ?

Merasa benar, lalu menindas ?

Ber-petuah dengan firmanNya, lalu menghakimi ?

Sesaat.

Atas bawah.

Bumi langit.

Hitam putih.

Persiapan kematian.

Hampa.

Mampir ngombe.

Keabadian !

Terserah !

Semua bermuara padaNya.

Klaten, Nov ’08

KUNANG-KUNANG DALAM SAJAK LANGIT BIRU

Kunang-kunang yang terbang bagai seribu janji

Pada langit yang biru, pada kota yang berpacu dengan kamatian

Aku menjelma angin menghitung katakataku

Kunang-kunang yang terbang mengitari taman kota

Perempuan satu berkaca pada belenggu di rahimnya

Kenyataan kenangan tentang masa kanakkanak

Seperti langit biru yang kini akan menjadi hitam

Kunang-kunang pergi. Langit biru di atas kota menjadi hitam

Seperti hujan, entah ada kunang

Klaten, nov ’08

MENITIPKAN SANGSI

Melawan badai dengan sajak yang mati

Tasbih dengan alam raya undang sukma menjadi pertapa

Pada batu-batu kusempatkan menjadi nabi

Dengan kaki-kaki kecil bocah, aku berlarian mengejar bayangan bidadari

Yang hilang di kala senja

Walau tanpa warna.

Melawan badai dengan sajak yang purba

Dimana aku mengenalmu tanpa alamat

Hanya, puing-puing janjimu yang tercecer ditaman kota

Walau tanpa lampu.

Melawan badai dengan sajak yang menepi

Kusangka engkau pahlawan,

Ragamu buyar ketika mendengar kidung malam

Walau tanpa kelelawar.

Klaten, des ’08

SENANDUNG ALANG-ALANG

Senandung alang-alang

Di padang yang gersang

Jejak kaki para pejuang

Sepagi ini, sudah terbuka gerbang perang

Anak-anak melihat, lalu menegur bapaknya untuk cepat pulang

Karena rumah adalah inspirasi mencari tenang

Dan anak-anak tetap seperti alang-alang

Melihat kenyatan dengan mata telanjang

Klaten, Des ’08

ORANG MATI, GAGAK HITAM, ANAK-ANAK DAN AKU

Orang mati berada di sekitarku

Gagak hitam adalah seperti mitos berada di pucuk mimpi malam anak-anak

Orang tua tetap mendengkur , gagak hitam tetap menakutkan

Suaranya menggema di sela jendela kayu

Orang mati tapat berada di bawah lampu mercury

Doa-doa telah dilepas, entah mengena atau tidak

Yang penting berdoa dulu

Urusan diterima atau tidak, itu urusan Tuhan

Kita tinggal meng-amininya.

Amin.

Orang mati berada di sekitarku

Jantungku berdetak kencang

Pertanda aku masih hidup

Aku dikejar gagak hitam

yang terbang tak tentu arah

gagak hitam kini malah ketakutan

karena di kejar anak-anak dengan ketapel kayu mlanding

anak-anak kini tak takut lagi

karena gagak hitam kini sudah mati

dengan jantung terbelah dua

Gagak hitam berada di sekitarku

Anak-anak mengelilinginya dengan ketapel kayu mlanding

Aku berjingkat meninggalkan mereka

Aku tinggal jantungku di sisi gagak hitam yang mati

Anak-anak sudah pulang

Meninggalkan ketapel kayu mlanding

Klaten, Des ’08

GELISAH

Gelisah itu penyakit

Hati bebas dirasa dipasung

Gelisah itu pengecut

Kenyataan dianggap zombie

Gelisah itu bau bangkai

Nafsu disimpan sebagai kemenangan

Gelisah itu jelaga

Buta akan warna pelangi

Gelisah itu batu

Kerasnya kelak hancur jua

Klaten, Des ’08

TAKUT

Semua orang takut menghadapi kehidupan

Materealis, kapitalis, hedonis sarang penyamun

Orang-orang berkumpul menyepakati keadaan

Seperti lebah mereka berdengung

Memekakkan telinga

Malaikat pun menutup kupingnya

Di gua mereka mengadakan perkumpulan

Agar ketakutan menjadi kelebihan

Tapi tetap saja

Satu orang serasa pahlawan, seribu orang menjadi pengecut

Matahari tak pernah bisa menyinari tempat tinggal mereka

Matahari marah.

Bulan pun ikut-ikutan

Rasa dingin menjalar

Tak ada api

Tak ada selimut

Ketakutan menjadi-jadi

Di gua mereka saling membunuh

Karena takut melihat wajah saudaranya sendiri

Wajah itu wajah kemiskinan kita sendiri

Yang menakuti penghuni gua

Matahari tetap saja tak bisa menyinari

Bulan pun ikut-ikutan

Klaten, Des ’08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo kasih komentar, komentar anda berguna bagi saya :